Dislaimer : Harry Potter bukan milikku, tapi milik dari J. K. Rowlings
Warning : Au, Slash, OOC, Dark! Fic, Dark! Harry, Dark! Draco, kekerasan, Child Abuse, Light bashing, Mpreg, Twin! Draco
Rating : M
Pairing : DMHP, RWHG, DMLL, LMNM, BZNL, RLBL
AN : Ini fic keduaku disela-sela penulisan Heir of Darkness, sedikit gelap memang karena aku mendapatkan ide ini dari banyak membaca fiction yang lain dan akhirnya berpikir tentang dunia paralel "Bagaimana bila pihak Dumbledore itu sama sekali nggak baik, namun pihak Voldemort juga nggajk bisa dikatakan innocent?". Karena itulah fic ini tercipta. Sorry bila nggak sesuai dengan harapan kalian yang menyukai pihak Dumbledore.
Chasing Liberty
by
Sky
Semasa hidupnya Draco tidak pernah merasakan apa itu yang dinamakan dengan kebebasan, ia selalu dikekang dan tidak diperbolehkan keluar dari ruangan pribadinya di Riddle Manor kecuali saat ia berduel dengan para pelahap maut lainnya. Selama 16 tahun penuh ia adalah sebuah rahasia besar yang tidak diketahui oleh dunia luar, mereka menganggap ia tidak pernah dilahirkan, tidak nyata dan tidak pernah ada di dunia ini.
Terkadang Draco merasa iri pada kakak kembarnya. Berbeda dengan Draco, Alex menjalani hidup yang berbeda karena ia adalah putera pertama dari keluarga Malfoy atau tepatnya ia dilahirkan lima menit lebih dahulu dari Draco dan karena itulah dia adalah sang pewaris, ia mempunyai hidup yang bebas dan bisa melakukan apapun sesuai keinginannya tanpa ada yang melarang, sangat berbeda dengan kehidupan Draco. Tom Riddle, ayah angkat Draco adalah seorang Dark Lord yang ditakuti oleh semua orang, bahkan menyebut namanya saja mereka semua tidak berani, namun yang tidak Draco mengerti adalah mengapa Voldemort mengambil dirinya semenjak bayi dan memutuskan untuk menjadikan Draco sebagai penerusnya adalah misteri yang besar bagi Draco.
Semenjak kecil, Draco selalu dididik dan dididik dalam segala ilmu sihir dan duel yang ada, namun ia tidak pernah diberikan kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain kecuali membunuhnya atau menyiksanya sebagai hukuman yang pedih. Iya, Draconis Xavier Salazar Malfoy adalah seorang pembunuh profesional yang dipilih menjadi ahli waris pangeran kegelapan semenjak ia dilahirkan. Takdir memang tidak pernah berpihak padanya, ia tahu itu dan tidak akan merengek seperti anak kecil karena mau tidak mau itu adalah takdirnya. Bahkan setelah Voldemort kembali dua tahun yang lalu, Draco semakin menerima takdirnya sendiri karena tidak ada yang bisa ia rubah. Meskipun ia tidak menyukai bagaimana kehidupannya saat ini, Draco tidak bisa menyanggah kalau ia menyayangi ayah angkatnya. Memang Tom selalu dingin dan terlihat tidak peduli, namun entah kenapa Draco menyayangi laki-laki itu.
"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Draco?"
Draco membuyarkan lamunannya saat mendengar seseorang menanyainya, ia melihat seorang laki-laki bertubuh kekar berambut hitam pekat dengan sepasang mata violet tengah melihatnya dengan rasa khawatir yang terlihat jelas di bola matanya. Draco memberikan senyum tipis kepada ayah baptisnya, dia baru menyadari kalau hari telah berganti dengan malam dan dia masih duduk di bawah pohon besar di tempat latihan yang ada di Riddle Manor.
"Aku hanya berpikir saja." jawab Draco pelan. "Kau sudah pulang dari pertemuanmu?"
Laki-laki itu terdiam untuk sesaat sebelum memutuskan untuk duduk di samping anak baptisnya, bersama-sama mereka memandang langit malam yang semakin cemerlang karena bulan bersinar penuh di sana.
"Bagaimana misimu yang diberikan ayah padamu?" tanya Draco, membuyarkan ketenangan di antara mereka berdua.
"Baik. Kurasa berjalan dengan lancar bila melihat ayahmu begitu senang setelah menerima keputusan dari kepala vampire yang ada di Prancis."
"Tristan?" panggil Draco.
"Iya?"
"Bukankah kau adalah High Lord vampire yang ada di daerah Eropa?" tanya Draco, melihat Tristan mengangguk ia pun meneruskan lagi. "Bukankah ini sangat mudah kalau kau memutuskan keputusanmu sendiri daripada meminta persetujuan mereka untuk bergabung atau tidak."
"Tidak akan semudah itu, Draco. Aku harus menepati janjiku pada ayahmu untuk bergabung dengannya kalau aku diijinkan untuk menjadi ayah baptismu, meskipun begitu Tom tidak akan bisa menyentuh dan memerintahku seenaknya karena kesetiaanku selalu berpihak padamu Draco."
Sebuah senyum kecil tersungging di bibir Draco, ia senang mendengar pernyataan dari ayah baptisnya. Namun senyuman itu lenyap saat ia melihat Bellatrix berjalan menghampiri mereka, bibinya itu memberikan anggukan singkat kepada Tristan dan membungkuk di hadapan Draco seperti yang dilakukan pelayan kepada tuannya.
"Milord, Dark Lord meminta anda untuk segera menemuinya di ruang belajarnya." ujar Bellatrix, nadanya mengisyaratkan kalau ia begitu bangga dengan posisinya sebagai pengikut setia dari Voldemort dan bibi dari anak angkat sang pangeran kegelapan.
Draco mengangguk, "Aku akan segera ke sana, Bellatrix. Kau bisa pergi sekarang juga."
Wanita itu membungkuk sekali lagi, ia meneliti kedua orang yang ada di hadapannya sebelum pergi meninggalkan mereka di sana sendirian. Draco memejamkan kedua matanya secara perlahan, ia tidak ingin menemui ayahnya saat itu juga. Tubuhnya terlalu letih untuk menerima apa yang akan Tom berikan padanya, ia sama sekali tidak punya tenaga untuk menyaksikan penyiksaan pengkhianat atau orang-orang dari pihak lawan yang tertangkap oleh Tom. Draco memang orang yang dingin, namun ia bukanlah orang yang kejam.
"Malas untuk pergi?" tanya Tristan, membuat Draco tersenyum kecil sebelum menghela nafas pelan. Ia benar-benar kelelahan.
Draco hanya menjawab pertanyaan dari ayah baptisnya dengan mengangguk pelan, membuat Tristan dalam hati mengutuk orang yang bernama Tom Riddle dan Lucius Malfoy pada saat yang bersamaan. Laki-laki itu membelai rambut pirang platinum milik Draco, mencoba untuk membantu merilekskan tubuh tegang milik Draco.
"Beristirahatlah sejenak sebelum kau pergi, Draco! Kita tidak tahu apa yang Riddle inginkan." ujar Tristan.
Draco membuka matanya, ia menggeleng pelan. "Aku tidak bisa beristirahat kalau tugasku belum selesai semua, Tristan! Tenang saja, kau tidak perlu khawatir apa yang akan ayah lakukan karena aku sangat mengenal siapa dia. Kalau dia tidak sedang mengadakan pertemuan bersama pelahap maut lainnya, pasti dia ingin menunjukkan sesuatu padaku. Aku harus pergi!" jawab Draco, ia berdiri dari posisi duduk semula dan merenggangkan otot-otot tubuhnya sebentar.
"Aku tidak khawatir mengenai apa yang akan Riddle lakukan, Draco. Aku hanya khawatir mengenai kesehatanmu, kau baru pulang dari Itali tujuh jam yang lalu kemudian bukannya beristirahat kau malah langsung pergi ke misi selanjutnya karena masalah terjadi di kementrian dan Tom menyuruhmu untuk menyelesaikan masalah itu, dari apa yang kudengar kau baru kembali 30 menit yang lalu! Jangan terlalu memaksakan dirimu!" tegur Tristan, ia memberikan aura seperti orangtua yang benar-benar peduli kepada putera mereka.
"Aku sama sekali tidak memaksakan diriku, Tristan. Aku tahu batas kemampuanku sendiri, kau tidak perlu mengingatkanku mengenai masalah itu." ujar Draco dengan dingin, ia memang menyayangi Tristan namun ia benci kalau ada orang yang bersikap Mother hen seperti itu padanya.
Mendengar nada yang dilontarkan Draco, Tristan berdiri dari tempat duduknya dan berhadapan langsung dengan Draco. Tentu saja tinggi tubuh mereka yang hampir sama membuat mereka berdua dapat melihat langsung ke satu sama lain.
"Apa ini karena kewajibanmu lagi, Draco?" tanya Tristan sedikit keras, "Katakan padaku Draco, apa yang membuatmu menjadi seperti ini?"
Remaja itu hanya memutar matanya, ia malas berhadapan dengan Tristan bila ayah baptisnya seperti ini. Ayahnya pasti menunggu dengan kesal saat ini, Draco tertawa kecil memikirkan hal itu, ia tahu benar kalau ayahnya sama sekali tidak suka dibuat untuk menunggu. Ia memperhatikan Tristan dengan seksama, ia tampan dengan persona usia 25 tahunan, kalau saja ia bukan ayah baptisnya mungkin saja Draco akan menciumnya habis-habisan sampai Tristan lupa akan siapa namanya, namun tentu saja takdir mengatakan lain dan terlebih lagi Tristan bukanlah tipenya.
Draco merasakan belaian angin malam yang menyapu wajahnya, kelihatannya ia benar-benar membutuhkan waktu santai dan tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pewaris dari Voldemort, cukup untuk menjadi seorang remaja laki-laki pada umumnya. Ia kembali melihat Tristan yang masih sabar menunggu jawaban dari Draco.
Remaja itu tersenyum pelan namun senyuman itu sama sekali tidak sampai pada kedua matanya, dengan dingin ia menjawab, "Waktu yang mengubahku menjadi sekarang." dan setelah mengatakan itu Draco meninggalkan Tristan berdiri di sana sendirian.
Di sepanjang perjalanan menuju ruang pertemuan, Draco banyak berpikir mengenai apa yang ia katakan pada Tristan. Draco tahu kalau ia terlalu berlebihan tadi, terlalu dingin kepada salah satu dari segelintir orang yang peduli padanya. Namun ia tidak bisa membantu kalau apa yang dilakukan oleh Tristan tadi membuatnya sedikit frustasi, dan Draco terkenal pada tempernya yang mudah meledak-ledak. Memang dia adalah ayah baptisnya, namun Tristan tidak mempunyai hal untuk mencampuri apa yang menjadi urusannya, jadi tidak akan mustahil bila Draco menggunakan nada-nada dingin kepada Tristan.
"Aku berubah karena waktu? Yang benar saja." gumamnya pelan, meskipun ada unsur kebenaran di dalamnya Draco tidak ingin mempercayainya. Ia berubah menjadi sekarang ini bukan hanya karena waktu, tapi karena orang-orang yang ada di sekitarnya dan yang tidak kalah penting adalah takdir yang mengubahnya.
Draco menyembunyikan pikiran itu jauh-jauh di belakang pikirannya dan memasang topeng esnya saat ia tiba di depan ruangan di mana ayahnya dan mungkin beberapa pelahap maut berada. Remaja itu mengenakan kerudung jubahnya sampai menutupi rambut dan wajahnya serta mengenakan topeng berwarna putih ivory sebelum mendorong pintu kokoh setinggi 8 kaki yang merupakan pintu masuk menuju ruangan pertemuan yang ada di dalam. Topeng yang Draco kenakan menutupi wajahnya untuk menghalangi wajahnya terlihat oleh para pelahap maut, hanya beberapa orang tertentu seperti keluarga Lestrange saja yang pernah melihat wajahnya kecuali ayah angkat dan baptisnya tentunya. Topeng itu berwarna putih dan plain dengan simbol dark mark berada di pipi kanannya dan air mata darah yang berada di bawah mata topeng.
Bunyi 'kriet' yang mulus terdengar di telinga Draco saat pintu itu terbuka. Remaja yang baru berusia 16 tahun itu masuk ke dalam ruangan pertemuan yang sangat luas itu, sesuai dengan dugaannya kalau di sana sedang ada pertemuan para pelahap maut. Berpuluh-puluh pasang mata yang entah itu terlihat begitu takut, iri, atau penuh rasa respect dan tertuju padanya, Draco hiraukan dengan mudah. Ia berjalan lurus menuju ke tempat di mana ayahnya tengah duduk di atas tahta yang ada di depan, tipikal seorang dark lord dan sangat mudah untuk di tebak (Draco mengatakannya dalam hati, sangat ironi).
"Selamat datang, Draconis. Aku sangat senang kau dapat bergabung dengan kami malam ini." ujar Tom Riddle, ia berdiri dari tempat duduknya. Tom memberikan senyum bangga ketika Draco memasuki ruangan itu, wajah tampannya kelihatan begitu bersinar.
Kalau dua tahun yang lalu saat kebangkitannya wajah Tom menyerupai seekor ular dan sangat jelek, maka saat ini hal itu sangat berebda dari dua tahun yang lalu. Setelah melakukan ritual terlarang yang melibatkan Necromancy yang Draco kuasai beberapa bulan yang lalu, Tom Riddle terlahir kembali dengan fisik yang sangat berbeda pada awalnya. Dia adalah versi tua dari Tom Riddle yang ada di salah satu Horcruxnya. Yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang laki-laki tinggi yang kelihatan berusia tidak lebih dari 30 tahun, dengan kulit pucat dan rambut ikal berwarna hitam. Aura yang ditimbulkan oleh ayah angkatnya itu masih saja sama, misterius dan mengatakan kalau ia adalah penyihir terkuat yang pernah ada, apalagi di tambah sepasang bola mata berwarna merah ruby. Tampan tapi berbahaya, di sinilah Draco sering mengatakan kalau semua itu adalah ironi dan permainan yang membuatnya ingin tersenyum.
Dengan anggukan singkat ke arah ayahnya Draco berjalan dan berdiri di sebelah kanan ayahnya itu, ia melihat beberapa pelahap maut berbisik-bisik mengenai keberadaannya namun Draco menghiraukan hal itu.
"Sekarang setelah penerusku berada di sini, aku ingin mendengar apa laporan yang kalian bawa kali ini!" ujar Tom. "Snape!"
Seorang pelahap maut yang Draco yakin adalah Severus Snape maju ke depan, laki-laki itu membungkuk sangat rendah sebelum menjatuhkan dirinya untuk mencium jubah bagian bawah milik ayah angkat Draco. Remaja itu sama sekali tidak mengerti mengapa ayahnya selalu memerintahkan pengikutnya melakukan hal yang begitu rendah, mencium ujung jubah bagian bawah? Itu adalah tanda seorang budak, tapi ketika Draco membawa hal itu kepada ayah angkatnya ia hanya menerima tatapan aneh dari Tom. Sejak itu Draco tidak pernah menanyakannya.
Draco kembali fokus pada Snape yang juga mata-mata dari ayah angkatnya. Laki-laki itu terlihat begitu dingin, Draco tidak akan terkejut dengan hal itu karena laki-laki yang bernama Severus Snape itu sangat sulit untuk diterka. Di tempat ini dia mengatakan kalau ia adalah mata-mata dari Voldemort, namun Draco lebih tahu dari itu kalau sebenarnya Snape adalah mata-mata dari Dumbledore. Double agent, julukan yang sangat tepat ditujukan kepada Snape.
"Apa yang Dumbledore lakukan mengenai penyerangan yang kulakukan di kementrian sihir, Severus?" tanya Tom dengan nada rendah namun sangat berbahaya.
"Milord, serangan yang anda lakukan benar-benar sangat mengejutkan dan tidak terduga. Para anggota Order menjadi kalang kabut mengenai itu, apalagi setelah salah seorang dari anggota Wizengamot terbunuh. Dumledore semakin meningkatkan penjagaan terhadap Potter untuk mengantisipasi serangan selanjutnya yang akan anda lakukan." kata Snape dengan nada yang monotone.
"Lalu apa rencana Dumbledore selanjutnya?"
"Saya sama sekali tidak tahu. Dumbledore tidak mendiskusikannya dengan kami." ujar Snape.
Tom menyipitkan matanya pada Snape, "Benarkah itu?" ia sedikit tidak percaya.
"Tentu, Milord."
Tom membelai tongkat sihirnya dengan perlahan, ia sangat menyukai sensasi sihir yang bergerak dari tongkat sihir itu menuju tangannya. Tentu saja ia sama sekali tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Snape, ia tahu kalau Snape adalah double agen atau mata-mata bagi pelahap maut dan Order, tapi Tom mencium kalau kesetiaan Snape berada di bawah Dumbledore. Hal ini tentu saja sangat disayangkan, Snape adalah potion master yang hebat dan tentu saja hal ini adalah aset yang sangat besar, tapi kesetiaan Snape sama sekali tidak jelas. Mata ruby milik Tom beralih dari pengikut-pengikutnya kepada remaja yang berdiri tidak jauh di belakangnya.
Putera angkatnya atau yang telah ia anggap sebagai putera kandungnya sendiri adalah penyihir yang sangat berbakat, ia dingin seperti robot dan begitu kejam namun mempunyai pemikiran yang begitu dinamis. Tom sangat menyukai Draco, ia sangat mengharapkan remaja itu dapat memimpin kerajaannya nanti kalau ia sudah tidak bisa memimpin. Selama Draco berada di bawah pengawasannya selama 16 tahun belakangan ini, belum pernah sekalipun ia mengecewakan Tom meskipun pada saat itu Tom masih berbentuk jiwa dan tidak mempunyai tubuh. Sebuah seringai licik muncul di bibir Tom, ia mempunyai rencana yang bagus tentang bagaimana mengakhiri perang yang berkepanjangan ini.
Serasa mendengar pemikirannya, Draco mengangguk perlahan dan kembali berkonsentrasi pada entah-apa yang ia pikirkan.
"Crucio!" ujar Tom, melemparkan mantra Cruciatus pada Snape. Membuat double agent itu merintih kesakitan di bawah altar. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, Severus... aku tidak akan tertipu dengan laporan palsu seperti itu! Katakan padaku, Severus, apa yang sebenarnya Dumbledore rencanakan!"
Tom menambahkan sihir pada mantranya itu, membuat Snape semakin tersungkur di atas lantai. Draco yang melihat penyiksaan itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, Snape memang pintar dan master Occlumency namun ia lupa kalau ayahnya adalah master Legilimency yang sangat kuat, mampu menembus pertahanan pikiran dari siapa saja. Draco perlu waktu berbulan-bulan dalam Occlumency sampai ayahnya tidak bisa membaca pikirannya. Remaja itu merasakan residu sihir yang begitu kuat dari ayahnya, sangat menyenangkan bisa merasakan kekuatan yang begitu besar seperti yang dimiliki oleh seorang dark Lord.
"Katakan padaku sekarang juga sebelum kesabaranku habis, Severus! Kau tidak ingin tahu apa yang akan terjadi padamu kalau kau membuatku marah lagi, bukan?"
Tom mengakhiri sihir Crucio-nya yang ia lemparkan kepada Snape, ia berjalan kembali menuju tahtanya dan duduk di atasnya. Ia memperhatikan Draco sedikit tertarik dengan apa yang ia lakukan kali ini, Tom tahu kalau Draco itu sangat kejam bila ia mau namun yang menjadi kekecewaan baginya adalah sifat yang satu itu sulit untuk Draco tunjukkan bila tidak dalam misi yang tengah ia emban. Melepaskan anak seperti Draco Malfoy adalah sebuah kesalahan besar bagi keluarga Malfoy, dia lebih berbakat dari kakak kembarnya yang bernama Alexander Malfoy itu.
"Tuanku, Dumbledore menyuruh beberapa anggota Order-nya untuk mencari tahu identitas Assasin yang membunuh bebrapa orang penting di kementrian. Ia akan melakukan serangan tidak lama setelah kejadian itu terjadi." ujar Snape, saat mengatakan ini ia menatap lekat sosok remaja misterius yang berdiri di sebelah kanan Voldemort.
Tom mengangguk mengerti, "Kapan itu akan terjadi, Severus?" tanyanya pelan.
"Malam ini, Milord." ujar Snape lemah sebelum ia pingsan karena kehabisan tenaga.
"Rodolphus, bawa Severus pergi dari sini. Aku akan melihat apakah yang dikatakan oleh mata-mata ini adalah benar. Kalian semua bisa pergi dari sini sekarang juga!" sesaat setelah mengatakan itu semua pelahap maut kecuali Rabastan, Bellatrix dan Lucius Malfoy keluar dari ruangan.
Setelah memastikan tidak ada yang memata-matai lagi, Draco melepas jubah dan topengnya, memperlihatkan sepasang mata silver kebiruan yang begitu tajam namun dingin pada saat yang sama, seperti pisau tajam yang siap menyerang siapapun. Remaja berusia 16 tahun itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, ia tahu kalau pertemuan yang sesungguhnya akan segera dilaksanakan.
"Jadi, apa pendapatmu mengenai ini semua, Draco?" tanya Tom dengan nada lembut.
"Mengenai apa? Snape apa rencana dari Dumbledore?" ujar Draco, ia beranjak dari tempatnya berdiri tadi menuju ke ambang jendela besar yang tertutup di sana.
"Bagaimana kalau keduanya." kata Tom datar.
"Snape adalah double agent, sama sekali tidak bisa dipercaya untuk urusan besar mengenai hal ini. Kita tidak akan tahu apakah Snape akan membocorkan rahasia kita atau tidak, meskipun Snape memilih tidak tapi Dumbledore tidaklah bodoh. Dia adalah pemain yang sesungguhnya, dan ia juga Master Legilimency yang sama kuatnya denganmu." kata Draco pelan, "Dengan artian lain, kita tidak bisa mempercayai Snape sepenuhnya."
"Aku mengerti, kita harus lebih berhati-hati dengan Snape. Dia lebih licin dari seekor belut." kata Tom pelan.
Baik Lucius maupun Bellatrix dan Rabastan sama-sama menganggukkan kepalanya. Pintu masuk terbuka untuk sekali lagi, memperlihatkan Rodolphus yang kelihatannya telah selesai melaksanakan tugasnya. Laki-laki itu berjalan dan berhenti di samping istrinya, mencoba mendengarkan rencana selanjutnya.
"Lalu apa rencana kita selanjutnya, Milord?" tanya Lucius Malfoy untuk pertama kalinya setelah pertemuan berakhir.
"Hmm... mengenai masalah penyerangan yang akan dilakukan nanti malam, aku ingin Dollohov dan Bellatrix memimpin beberapa pelahap maut untuk mengantisipasi hal ini. Aku tidak ingin kita kecurian di mana kita hampir mendekati kemenangan. Lucius, persiapkan semuanya!" Perintah Tom, "Yang lainnya, aku ingin kalian berjaga!"
"Baik, Milord."
Tom mengangguk dengan puas, sebuah seringai muncul di bibirnya saat ia menatap ke ruangan kosong yang ada di sana. "Kalian bisa pergi dari sini sekarang juga, pertemuan telah berakhir."
Saat semuanya telah keluar, Tom kembali menatap ruangan kosong itu. Ia beralih kepada Draco, "Kau merasakannya juga?"
Draco mengangguk pelan, "Tentu saja, hanya orang bodoh yang tidak merasakan ia ada di sini. Kupikir Lucius akan menghabisi tikus itu sesaat setelah ia merasakan aura sihir keberadaannya, ternyata aku salah."
"Apa yang akan kita lakukan mengenai penyusup ini?"
Sebuah seringai muncul di bibir Draco, "Meskipun aku tidak menyukai caramu menyelesaikannya, tapi aku tidak suka ada tamu tidak diundang mendengarkan pembicaraan kita saat ini. Mau tidak mau aku akan membunuhnya."
"Lakukan sesukamu, Draco."
"Dengan senang hati." jawab Draco singkat, ia mendengar degup jantung milik seseorang mulai panik.
Remaja itu melambaikan tangan kanannya dan berkata, "Regmonds." dengan sangat pelan. Tiba-tiba terdengar suara teriakan kesakitan di ruangan itu, dengan sangat cepat Draco beranjak dari tempatnya dan meraih sesuatu yang ada di udara kosong sebelum menariknya dengan paksa, rupanya yang ia tarik adalah jubah-tak-terlihat yang menyembunyikan seorang laki-laki bersembunyi di bawahnya. Laki-laki itu serasa tidak bisa mengendalikan tubuhnya, terus membuka mulutnya untuk membiarkan udara masuk ke dalam tubuhnya. Ia kesulitan bernafas dan terasa tercekik, baik Draco maupun Tom hanya melihat laki-laki itu dengan dingin. Tidak salah lagi kalau dia adalah salah satu dari mata-mata Dumbledore, orang tua yang sangat bodoh untuk mengirimkan mata-matanya ke tempat singa seperti ini.
Draco menarik jubah laki-laki itu dan melempar tubuh yang lebih besar darinya ke hadapan Tom, membuat Tom memutar bola matanya karena heran dengan sifat putra angkatnya yang sering menggunakan kontak fisik dalam menghukum tawanannya.
"Tidak salah lagi dia adalah anggota Order. Apa Dumbledore begitu frustasi sampai mengirimkan mata-matanya tepat menghadiri pertemuan seperti ini?" tanya Draco pelan, ia menghiraukan rintihan laki-laki itu.
"Entahlah, Draco. Kenapa kau tidak menginterogasinya saat ini juga?" usul Tom, ia melihat laki-laki itu dengan ekspresi jijik di wajahnya.
"Baiklah kalau kau memaksa." jawab Draco, ia kembali fokus pada tawanannya, "Aku tidak tahu apakah orangtua itu bodoh atau gila, mengirim orang yang tidak bersalah ke tempat seperti ini untuk mencari informasi. Sebenarnya apa yang ia inginkan?"
Laki-laki tadi memberikan glare pada Draco, ia terbatuk-batuk karena sulit bernafas, "Dumbledore akan mengalahkan kalian! Uhuk.. uhuk... sebentar lagi, Harry Potter akan memusnahkan kalian... ukh..." ia merintih kesakitan saat Draco memberikan Crucio padanya, "Hentikan... hentikan... sakit sekali!"
"Aku akan menyuruh putraku untuk menghentikan penyiksaan ini kalau kau mau memberitahu kami mengenai organisasi yang bernama Order ini." kata Tom,
"Tidak akan pernah... AKH...!" laki-laki itu tetap keras kepala, dengan pelan Draco melambaikan tangannya dan menggumamkan Crucio dengan pelan.
Tiga menit berlalu, Draco menghentikan serangannya dan melihat mata-mata itu. Tubuh laki-laki itu penuh luka dan berdarah di mana-mana, kalau ia tidak segera ditolong maka dapat dipastikan ia akan tewas. Meskipun Draco kejam dan satu-satunya orang yang menggunakan Crucio kepada mata-mata Order itu, tapi ia tidak ingin ia mati. Draco hanya berharap ia tidak keras kepala dan segera memberitahukan mereka sehingga ia bisa melepaskan orang itu setelah menghapus ingatannya mengenai pertemuan mereka tadi.
Karena tidak tahan pada rasa sakit yang terus berkepanjangan, maka akhirnya laki-laki itu membuka mulutnya untuk membeberkan apa yang ia ketahui. Draco tersenyum puas, setelah laki-laki itu selesai bercerita Tom meminta salah satu dari peri rumah untuk mengeluarkan tawanannya Riddle Manor, tentunya setelah ia menggunakan sihir penghapus ingatan permanen pada laki-laki tadi dan mantra penyembuh luka.
"Jadi, masalah ramalan itu sama sekali tidak benar dan Harry Potter benar-benar tidak bersalah pada hal ini. Dumbledore benar-benar pintar memikirkan hal itu, membuat dua keturunan dari Salazar Slytherin saling menyerang." kata Tom, "Menempatkan Potter di tempat saudara Lily yang terkenal benci pada penyihir itu, aku tidak akan heran kalau Potter mengalami penyiksaan di sana."
Draco tidak mengatakan apa-apa, ia juga sedikit marah kepada Dumbledore. Kepala sekolah dari Hogwarts itu memperalat hampir semua orang untuk keinginannya, bahkan ia berniat untuk mengorbankan Harry agar peperangan berakhir. Sungguh rencana yang sangat licik. Dari semua yang ada, yang paling Draco tidak bisa maafkan adalah Penyiksaan yang Harry terima di rumah bibi dan pamannya, tidak ada seorang penyihir yang pantas menerima perlakuan seperti itu. Semakin memikirkan hal itu saja membuat Draco marah.
"Draco." Panggil Tom. "Aku punya misi untukmu."
"Apa itu?"
Tom menatap putra angkatnya dengan serius, "Misimu kali ini adalah kau harus membunuh Dumbledore dan bawa Horcrux terakhirku dari Hogwarts, aku ingin kau menjadi murid Hogwarts untuk melakukan misi ini. Menyamar menjadi murid baru dan melaksanakan misi ini dengan sebaik mungkin."
Bagaimana pendapat kalian? apakah harus kulanjutkan apa berhenti di sini?
Kamus sihir :
Crucio : Salah satu dari tiga sihit tak termaafkan, merupakan mantra penyiksa yang menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan. Bisa membuat pikiran orang hilang dan koma pada waktu yang sangat lama. Pernah terjadi pada Frank dan Alice Longbottom
Regmonds : salah satu sihir gelap yang juga tipe penyiksa, membuat korban tidak bisa bernafas sebelum akhirnya ia mengeluarkan darah dan akhirnya mati
AN : Thanks sudah membaca dan sorry kalau mengecewakan.
Author : Sky