Summary: Ada yang bersembunyi di sudut-sudut gelap kastil, ada yang merayap di koridor-koridor yang terlupakan, di ruangan-ruangan yang tak pernah dibuka, menyerang dan menarik orang-orang tak beruntung ke kesenyapan dan kegelapan. Harry dan Hermione, yang mendambakan sebuah tahun terakhir yang normal di Hogwarts, harus berpacu untuk menemukan siapa, atau apa, yang mengakibatkan serangkaian serangan yang terjadi tersebut.

Disclaimer: I own nothing here. All names and characters, places, all of them, belong to JK Rowling, Warner Bros company, Electronic Arts, and many others. I just own the plot. There's no money making here.


"All Was Well"

.

Dia tak menyadari dia sudah ada di perpustakaan sampai larut malam. Dalam hati, dia menyesal karena tidak mengerjakan PR Transfigurasinya sejak hari pertama diberikan. Namun apa boleh buat. Hari-harinya sebelumnya dipenuhi oleh berbagai kegiatan dan kesibukan. Tidak hanya Profesor McGonagall yang memberikan banyak tugas. Menjelang OWL, hampir seluruh guru menjadi gila. Hei, bahkan Ramalan pun menjadi gila.

Satu-satunya yang tidak berubah hanyalah Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, namun apa yang bisa kamu harapkan dari seorang guru yang bahkan tak mengizinkan murid-muridnya untuk mempelajari dan menggunakan mantra di dalam kelas? Yang dilakukannya, bersama teman-teman seangkatannya hanyalah membaca buku mengenai teori mengenai pertahanan.

Dia tidak berasal dari keluarga penyihir. Dia hanyalah seorang Kelahiran-Muggle biasa, namun bahkan dia bisa mengerti bahwa hampir semua yang ditulis di buku tersebut adalah tak berguna. Sama sekali.

Apalagi kalau yang dikatakan Potter benar... Mengenai apa yang menunggu mereka semua di dunia luar sana...

Dia berjalan cepat-cepat, tasnya terayun-ayun di bahunya, dan dua buku tebal di depannya mulai terasa membebaninya. Rambutnya setengah menutupi pandangannya, namun dia tak berhenti untuk menyibakkannya. Sudah sangat larut, Filch mungkin berkeliaran, dan dia masih harus bertemu dengan Lily, mengurusi... Beberapa hal yang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan tugas sekolah.

Kalau lancar, harusnya malam ini mereka bisa melakukannya, sesuatu yang sudah mereka rencanakan sejak lama.

Langkah kakinya bergema di koridor yang panjang dan gelap, absennya jendela membuat obor-obor menjadi satu-satunya sumber cahaya. Dia merasakan bulu kuduknya meremang sedikit karena kegelapan tersebut, dan dia menahan napasnya sembari berjalan.

Dia menenangkan dirinya. Dia sudah ada di Hogwarts selama lima tahun... dia tak akan memperlambat langkah kakinya hanya karena gelap...

Lagipula di ujung koridor, di belokan sudut tersebut, cahaya terang sudah tampak. Dia tahu dia akan segera melewati koridor dekat kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, koridor yang lumayan lebih terang karena jumlah obornya yang lebih banyak.

Dia berbelok, dan mendapati dirinya berada di koridor yang benar. Kelas Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam ada di sebelah kanannya, dan dia berjalan juga melewati pintu kantor guru yang bersangkutan. Dia mempercepat langkahnya, dia tak mau dekat-dekat di kantor muka kodok tersebut lama-lama...

Namun begitu dia berbelok lagi di sudut, dia menabrak sesuatu.

"Aduh!"

Dia terjatuh ke belakang karena tubrukan tersebut, dua buku yang sedang dipeluknya di dadanya terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi debam yang bergema. Tasnya terlepas dari bahunya, dan perkamen-perkamen berserakan keluar. Dia sendiri beruntung karena kepalanya tidak menghantam lantai, karena dia sempat menahan jatuhnya dengan tangannya.

Dia mendongak, dan melihat dia baru saja menubruk punggung seseorang. Seorang pria, sepertinya, jika melihat dari rambutnya yang pendek. Pria yang ditubruknya tersebut mengenakan jubah Hogwarts. Jubah sekolah... kenapa ada yang masih mengenakan jubah sekolah di luar jam pelajaran, di tengah malam begini?

"M-Maaf!" katanya buru-buru, memungut buku-buku dan perkamen-perkamen yang berserakan. "Maafkan aku, aku tak melihat-"

Ketika dia menjulurkan tangannya ke buku transfigurasinya, mendadak kaki orang tersebut menyapu, menendang buku tersebut hingga menabrak dinding dengan suara keras. Dia mendongak dengan kaget, menatap ke wajah orang tersebut.

Dia membelalak.

Dia mengenal wajah tersebut, tentu saja... Wajah yang sangat dikenalnya. Namun ekspresi yang ditatapnya sangat berbeda dengan ekspresi yang diingatnya dari orang tersebut...

"A-apa..."

Kata-katanya tidak sempat dia selesaikan, karena mendadak orang itu menginjak tangannya, yang masih terjulur, dengan keras sekali.

Beberapa suara berkeretak mengerikan terdengar.

Dia kaku selama sepersekian detik, sampai akhirnya saraf-sarafnya selesai menyalurkan impuls rasa sakit sepenuhnya pada otaknya, memberitahunya apa yang baru saja terjadi.

"Silencio!"

Mantra tersebut menghantamnya sesaat sebelum dia sempat menjerit. Dia membuka mulutnya, menjerit kesakitan, namun tidak ada suara yang keluar.

Orang itu mencengkeram lehernya, dan mengangkatnya bangun dengan kekuatan yang luar biasa, nyaris tak bisa dipercaya. Dia didorong hingga punggungnya menempel di dinding, kakinya meronta-ronta, berusaha melepaskan diri... Dia menjerit, menggapai-gapai tanpa suara.

Saat dia sudah merasa udara akan meninggalkannya sepenuhnya, dan saat titik-titik merah mulai bermunculan di depan matanya, dia dilempar ke dinding seberang.

Tubuhnya menghantam dinding dengan bunyi keras lagi, dia bisa mendengar beberapa suara berkeretak tambahan. Dia menggeliat kesakitan.

Orang itu terkekeh pelan.

Dia menatap mata orang tersebut, yang seolah bersinar di dalam kegelapan koridor. Rasa takut, sakit, dan ngeri bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Perasaan sangat mengerikan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya...

Berguling, dia mencoba merayap menuju ke pintu kantor yang baru saja dilewatinya. Dia berusaha berteriak meminta tolong, meminta ampun, namun tidak ada suara yang terdengar. Darah bisa dia rasakan mengucur dari tangannya yang mencuat dalam posisi ganjil dan kepalanya yang tadi terbentur. Dia menjulurkan tangannya yang masih sehat ke pintu kantor tersebut, berusaha menyentuh kayunya...

Namun mendadak kakinya terangkat, dia ditarik dari belakang. Masih tanpa suara, dia menjerit, diseret kembali menuju koridor yang gelap tempat dia datang sebelumnya.

Suara seretan tersebut semakin lama semakin teredam, hingga akhirnya senyap.

.

.

-XXXXXXXXX-

.

1 September 1998

.

Kereta api Hogwarts Express mengepulkan asap ke udara dalam jumlah besar, bersiap-siap untuk mengantar para murid-murid Hogwarts untuk berangkat. Keluarga-keluarga mengucapkan salam perpisahan pada anak-anak dan saudara mereka, melambaikan tangan, dan sebagainya. Suara peluit terdengar, koper-koper berat dimasukkan, dan binatang-binatang peliharaan saling bersahutan.

Di tengah-tengah itu semua, di dekat pintu masuk gerbong, Hermione memeluk Ron erat-erat selama beberapa detik, sebelum mereka saling melepas. Mereka saling tatap selama beberapa saat lagi, tersenyum kepada satu sama lain.

Mendadak, Hermione bertolak pinggang.

"Kamu masih bisa ikut bersama kami sekarang, tahu. Semua perlengkapanmu bisa dikirim lewat Floo, kan," kata Hermione dengan nada galak.

Ron terkekeh, dan mengangkat tangannya menyerah. Dia berkata, "Ampun. Ampuni aku, Hermione. Aku sudah cukup mengalami penyiksaan enam tahun di sana, dan aku tak akan mau kembali ke sana lagi. Terima kasih untuk tawarannya, omong-omong."

Hermione memutar bola matanya, sembari bergumam, "Dasar..."

Ron tertawa, dan merangkulnya dengan sebelah tangan, membawa Hermione ke pintu Hogwarts Express. Dia berkata jail, "Tapi kamu tetap menyukaiku, kan?"

Hermione mengernyit sedikit, matanya memandang ke langit-langit, dia berkata, "Hmm... Tergantung... Ada cowok lain yang cukup menarik juga..."

"Siapa?" tanya Ron panik.

"Hmm... Bagaimana kalau Harry?" tawar Hermione.

Ekspresi wajah Ron berubah menjadi horor, dan Hermione menunggu dua detik sampai wajahnya memerah ngeri, sebelum dia nyengir.

"Tenanglah, Ron. Kamu tahu mengenai kami," kata Hermione.

Ron memandanginya, kemudian menghela napas panjang dan menggeleng-geleng. "Merlin, jangan gunakan dia untuk seperti itu lagi, Hermione."

Hermione mendengus. Dia tahu bahwa Ron sangat sensitif jika diingatkan akan prospek tersebut. Mereka mencapai pintu gerbong, dan Ron menjulurkan kepalanya di atas kepala Hermione, memandang ke kerumunan orang-orang di peron.

"Omong-omong mengenai Harry..." kata Ron, berjingkat sekarang, "Dimana dia?"

"Terakhir kulihat, dia sedang menarik Ginny ke dalam kereta, tertawa-tawa," jawab Hermione.

"Oh si sialan itu..." keluh Ron, menggeleng-geleng. Dia menoleh ke Hermione lagi, dan berkata, "Hermione, tolong aku di sini!"

"Ayolah, Ron. Ginny sudah besar, dan sudah dewasa. Kupikir wajar jika dia dan Harry mau menghabiskan waktu mereka untuk bersama," kata Hermione memperingatkan.

"Yeah, well, kamu masa lupa sih saat aku memergoki mereka sudah mau..."

Wajah Ron berubah keunguan, dan Hermione nyaris saja mendengus. Dia tetap memasang wajah netralnya, bertanya, "Mau apa, Ron?"

Ron meringis, dan berkata, "Ugh. Lupakan. Yang jelas tolong batasi mereka berdua."

"Mereka sudah akil baliq kan," kata Hermione, mengangkat bahunya. "Bukan hak kita melarang-larang mereka. Asal mereka tak melakukannya dengan sembarangan.."

"Yeah, akil baliq kepalaku-"

Kata-kata Ron ditelan oleh suara peluit panjang yang berbunyi, dan suara raungan dari Hogwarts Express yang sangat khas. Hermione buru-buru masuk ke dalam gerbong, berdiri di ambang pintu, dan berkata, "Oke... Sepertinya cukup di sini dulu, Ron."

"Yeah, yeah," kata Ron, mengangguk.

Mereka berpandangan selama beberapa menit, sampai wajah mereka memerah. Hermione tahu apa yang mereka inginkan sebenarnya sekarang: mereka tidak ingin berpisah begini, namun keputusan mereka sudah diambil masing-masing. Jadi, yang tersisa untuk dilakukan hanyalah...

"Boleh aku... Menciummu? Sekali lagi?" tanya Ron dengan wajah merahnya.

Hermione nyengir, dan melihat cengiran tersebut, Ron tersenyum juga. Mereka berciuman singkat, sebelum kereta akhirnya mulai bergerak, dan pintu-pintu menutup. Hermione membuka jendela pintu, dan melambai pada Ron.

"Bye, Hermione," seru Ron, mengatasi suara deru kereta. "Aku menyayangimu!"

"Aku menyayangimu juga," seru Hermione, melambai. Ron melambai terus, berjalan dan tertawa. Kereta terus bergerak, dan Ron berhenti berjalan mengikuti, hanya melambai di tempat. Dengan satu belokan, peron tak terlihat lagi, membawa Ron bersamanya.

Hermione memandangi titik belokan tersebut untuk terakhir kalinya, masih tersenyum kecil. Kemudian dia berbalik badan, memperbaiki posisi lencana Ketua Murid -nya, dan berjalan menuju kompartemen yang dia bagi bersama Harry.

.

Hermione Granger senang menganggap dirinya sebagai orang yang penuh kalkulasi. Tenang, perhitungan, dan bertindak berdasarkan rasionalitas serta akal sehat. Dia sudah memperhitungkan segala untung ruginya yang akan terjadi jika dia memilih untuk menerima tawaran dari Profesor McGonagall, yang sekarang menjabat sebagai Kepala Sekolah Hogwarts, untuk kembali ke Hogwarts demi menuntaskan pendidikannya dan mengambil mata pelajaran NEWT.

Dia bahkan menerima jabatan Ketua Murid dengan memperhitungkan terlebih dahulu, memastikan apa-apa saja kewajibannya (dengan bertanya kepada Bill dan Percy), dan memastikan bahwa semua kewajiban tambahannya tersebut tak akan bertubrukan dengan kegiatan belajarnya.

Dan dia membiasakan diri hidup teratur, rajin, rapi, dan sesuai aturan. Satu-satunya masa dimana dia berkali-kali melanggar peraturan hanyalah di tahun keenamnya, dan dia bahkan sudah memaklumi dirinya sendiri yang itu. Dia baru saja memasuki masa-masa peralihannya, masa-masa dimana dirinya sangat labil, dipermainkan oleh perasaan-perasaan baru dan asing yang menyelubunginya.

Singkat kata: Dia adalah orangnya untuk Rule-Strict.

Karena itu, dia sangat tidak siap untuk menyaksikan pemandangan yang menyambutnya di kompartemen Ketua Murid.

"Oh Tuhan!" serunya, membanting pintu menutup dengan keras.

"H-H-Hermione?" tanya Ginny dari dalam.

"Apa yang kalian lakukan?" tuntut Hermione keras-keras, berbalik badan menghadap dinding gerbong, memunggungi pintu kompartemen.

"M-Maaf," seru Harry, dari dalam juga. Hermione mendengar suara debum, dan pekikan pelan. Dia meringis.

Tenangkan diri... Tenangkan diri... Ini bukan pertama kalinya... Tenangkan diri... Batin Hermione, mencoba menerapkan metode Heimlich pada mentalnya yang terguncang. Dia mengeluh. Dia harus memberi ceramah panjang lebar pada mereka berdua mengenai banyak hal nanti.

Dia mendengar pintu kompartemen bergeser membuka, dan dia langsung berbalik badan. Di ambang pintu berdiri Harry, wajahnya masih merah, kacamatanya agak miring, dan jubahnya baru setengah terpakai. Harry tampak sangat malu, dia menggaruk belakang kepalanya dalam gestur yang sangat khas. Hermione mengangkat sebelah alisnya, dan melongok ke dalam kompartemen. Dia melihat Ginny di dalam sana, berdiri nyengir bersalah, dalam kondisi juga sama acak-acakannya dengan Harry.

"M-maaf," kata Harry buru-buru, sebelum Hermione bisa memulai ceramahnya. "Kami tadi hanya mau..."

"-bermesraan," kata Ginny, menyuplai jawaban.

"Y-Ya, bermesraan," kata Harry buru-buru. "D-dan kami... Agak..."

"-er.. terbawa..."

"Terbawa suasana?" saran Hermione dengan sinis.

Harry dan Ginny berusaha berbicara, namun mengkeret di bawah tatapan tajam Hermione. Akhirnya, mereka mengerling satu sama lain, dan mengangguk kecil.

Lama sekali Hermione menatap mereka, hingga akhirnya dia berkata dengan nada datar, "Aku bisa mengerti apa yang kalian inginkan, namun jangan lakukan itu di kompartemen Ketua Murid, kumohon?"

Harry mendongak dengan cepat, tak menyangka Hermione akan menunda ceramahnya yang biasa. Dia buru-buru mengangguk, dan berkata, "Y-y-ya, Hermione. Kami janji tak akan mengulanginya lagi."

"Ya, janji," kata Ginny, ikut menjawab dengan cepat.

Hermione menatap Ginny selama beberapa detik, kemudian dia menghela napas panjang-panjang. Dia berkata, "Kita perlu bicara nanti di Hogwarts, Ginny..."

Ginny tampak mau mengeluh, namun satu alis yang terangkat dari Hermione dengan jelas memberitahunya bahwa mengeluh ataupun memprotes bukanlah tindakan bijaksana. Ginny memang mengetahui banyak kutukan dan memiliki senjata andalan Kutukan-Kepak-Kelelawar, namun Hermione adalah orang yang pernah membantu seekor naga untuk memperbesar terowongan di dalam Gringotts dan membawa Harry menyelamatkan diri dari Nagini dan Voldemort sendiri. Tidaklah bijak untuk mencoba peruntungan.

Jadi, Ginny hanya mengangguk, dan menoleh kembali pada Harry, dia berkata, "Er.. Sori atas tadi. Aku agak, yah, well..." dia mengangkat bahunya, dan menoleh pada Hermione.

"Sori... Hermione."

"Ya..." kata Hermione, menghela napasnya lagi.

Ginny nyengir, dan berjalan keluar dari kompartemen. Dia menoleh sebelum keluar, dan berkata dengan nada jail, "Sampai nanti, Harry. Hermione, tolong jaga dia ya."

Pintu kompartemen menutup.

Hermione mengalihkan pandangannya ke Harry, mengangkat kedua alisnya sekarang.

.

Sial...

Ini benar-benar sial...

Harry duduk terpuruk di kursinya, sementara Hermione berceramah panjang lebar mengenai etika, tanggung jawab, dan kelayakan di depannya. Setiap kata terasa menusuk, dan dia meringis setiap beberapa kalimat. Serahkan pada Hermione untuk mencari dan menemukan kalimat-kalimat yang cocok digunakan untuk hal-hal seperti ini.

Namun, melihat keluar jendela, menyaksikan pohon-pohon dan pemandangan bergerak cepat melampauinya, dia merasakan satu hal yang sangat berbeda tahun ini: Tidak ada lagi perasaan aneh, tidak ada lagi firasat buruk dan juga kewaspadaan yang biasa menumpuk di dalam dirinya, yang biasanya membangun di setiap awal tahun ajaran.

Tidak ada lagi Voldemort.

Tidak ada.

Harry melihat beberapa burung terbang di langit yang luas, dan mau tidak mau dia tersenyum.

Luka-luka dan kesedihan akan gugurnya orang-orang yang dikenalnya saat Pertempuran Hogwarts sudah mulai menipis, dan dia tahu waktu akan menyembuhkannya sepenuhnya.

Dia merasa sangat lepas, bebas... Perasaan yang sangat ingin dia rasakan sejak pertama kali datang ke Hogwarts.

Itulah alasannya untuk memilih kembali ke Hogwarts, tidak ikut bersama Ron untuk langsung menerima tawaran Kingsley mengikuti Pelatihan Auror. Dia ingin merasakan tahun yang menyenangkan di Hogwarts.

Tahun inilah saatnya.

"Apa yang lucu?" tanya Hermione.

Harry menoleh memandangnya. Hermione masih agak melotot karena baru saja selesai menceramahinya.

"Tidak, Hermione. Aku hanya berpikir... Mungkin akhirnya kita bisa mendapatkan tahun yang menyenangkan..."

Dan setelah beberapa saat, Hermione menjadi rileks kembali, dan ikut serta dalam obrolan. Tak lama, mereka akan berdiri, memberi pengarahan untuk patroli pada para Prefek. Tak lama, mereka akan berjalan sepanjang kereta, bertemu dengan Neville, Luna, Ginny, dan beberapa teman mereka lainnya.

Tak lama, mereka akan mencapai Hogwarts.

.