Disclaimer : Tite Kubo.
Warning : AU, OOC (maybe), Typo (s).
Don't like don't read.
Enjoy.
A Star and A Bee.
Chapter 11
Same.
Soifon menundukan kepala dan memperhatikan gerakan kakinya sendiri walau pikirannya tak berada di sana. Pikirannya melayang, me-reka ulang kejadian beberapa jam yang lalu.
Tak terhitung berapa banyak mobil yang telah melewati Soifon sore itu. Tapi, sama sekali tak terlihat gadis itu akan mempercepat langkahnya untuk pulang ke rumah. Rtime dari langkah kaki Soifon masih terdengar santai bahkan mendekati pelan.
Tidak peduli seberapa bisingnya jalanan sore itu. Pikiran Soifon tetap tidak bisa dialihkan dari surat Ggio. Sepasang kaki mungil itu telah membawa Soifon ke jalan yang lebih sepi.
Tinggal beberapa langkah lagi, maka ia akan tiba di rumahnya. Soifon membuka pintu rumahnya dan segera menuju ke kamarnya.
Blam.
Pintu itu Soifon tutup dengan sedikit hentakan dan suara tas terhempas menyusul bunyi debaman tadi. Soifon menarik kursi di depan meja belajarnya dan menyandarkan punggungnya di sana.
Lampu kamar itu sengaja dimatikan dan hanya satu sumber cahaya di kamar itu: lampu belajar di meja Soifon.
Soifon merogoh sakunya dan mengeluarkan surat lusuh yang mulai tak terbentuk. Soifon menatapnya cukup lama tanpa mengatupkan kelopak matanya. Pikirannya kembali terkontaminasi dengan perkataan Ggio tengah malam tadi.
Aku menyukaimu, Soifon.
Tiga kata itu terus terngiang di kepalanya. Bagaikan kaset rusak yang tak dapat mengganti kata itu dengan kata yang lainnya.
Kini kaset itu mulai bergerak perlahan, tapi bukan gerakan maju—yang diinginkan oleh Soifon—yang dilakukan oleh kaset itu. Melainkan sebuah gerak mundur akan adegan perpisahan Ggio di waktu yang sama saat menyatakan perasannya
Kini kelopak itu mengatup, enggan untuk mengingatnya atau mungkin ia ingin menikmati kenangan itu?
Soifon menggigit bibirnya. Jantungnya bergemuruh, dia kesal karena Ggio tidak memberitahunya tentang keberangkatan ini. Apakah itu sebuah alasan klise karena takut Soifon akan merengek dan tak mengizinkan pemuda itu pergi?
Pemuda itu menyukai Soifon, 'kan? Kenapa dia meninggalkan gadis itu dalam jangka waktu yang tidak sebentar—mungkin dapat mencapai sebuah kata selamanya.
Lalu, apa maksudnya dengan kecupan itu? Semua tindakannya selama ini? Hanya sebuah kata yang terukir dalam otak Soifon, kesimpulan akan keputusan kepergian Ggio tanpa mengatakannya pada Soifon: PEMBOHONG.
Sebuah surat tidak cukup untuk menjelaskan segalanya. Pada kenyataannya Ggio tetap pergi TANPA mengatakan sepatah kata pun kepada Soifon.
Padahal Soifon ingin memberikan jawabannya pada pemuda itu, hanya sebuah kalimat yang sederhana: 'aku juga menyukaimu.'
Air di pelupuk mata Soifon mulai menggenang, ia hanya perlu mengatupkan matanya sekali dan cairan bening yang mengisi pelupuk mata itu akan merinai bagaikan rintik air hujan.
Baunya obat-obatan menerobos masuk ke indera penciuman Ggio ketika pemuda berkepang itu menginjakan kakinya di lobby rumah sakit. Tubuhnya masih terasa lelah, karena ia sendiri baru tiba di kota cinta itu.
"Bonsoir, Monsieur," sapa seseorang yang berdiri di hadapan Ggio. "Anda, Ggio Vega, benar?" Sosok itu mengulurkan tangannya. Ggio menyambutnya dan memberi anggukan. "Silakan ikuti saya."
Perempuan berpakaian suster itu maju selangkah dan menunjukan jalan bagi Ggio. Keadaan rumah sakit masih begitu ramai walau bulan telah menggantikan posisi matahari.
Tok tok tok
Suster itu mengetuk pintu bercat putih dengan tulisan 40 di atasnya. Detik berikutnya tangannya menyentuh daun pintu dan membukanya. "Silakan." Suster itu mempersilahkan Ggio masuk dan segera keluar saat itu juga.
Indra-indra Ggio menyapu sekeliling ruangan bercat putih itu. Hening, hanya terdengar bunyi tetes-tetes air yang berjatuhan dari dalam kantung infus dan bunyi jarum jam yang bergerak beraturan.
Ggio menutup pintu kamar rawat itu dan meletakan tasnya di sofa yang disediakan. Kakinya mulai mengarah ke tempat satu-satunya orang di ruangan itu selain dirinya.
Sosok itu duduk di atas kursi roda dan iris lavendernya menatap khidmat pemandangan malam kota Paris.
"Sunsun," panggil Ggio, tangannya terjulur dan menyentuh bahu gadis di hadapannya.
Sunsun menggelindingkan bola mata lavendernya ke kanan dan kembali menatap lampu-lampu yang berkelap-kelip dari jendela besarnya. "Jadi, kau datang," ucapnya dengan suara serak.
Ggio bergerak menuju sisi kanan Sunsun dan berlutut untuk dapat melihat wajah gadis itu lebih jelas. Dan betapa terkejutnya dia, Sunsun yang duduk di depannya tidak seperti Sunsun yang biasanya.
Iris lavender yang selalu menunjukan kepercayan diri, dan keangkuhan kini redup dan sayu. Kulitnya yang putih kini cenderung pucat, tubuhnya yang biasanya terlapisi oleh pakaian modis kini hanya sepotong pakaian rumah sakit yang membosankan.
Ggio menggenggam tangan gadis itu, dia belum mengucapkan balasan akan perkataan Sunsun tadi. Lebih tepatnya ia tidak mengerti apa yang harus ia katakan, Sunsun tidak suka dikasihani apapun yang terjadi padanya.
"Sakit, kah?" Sunsun melempar pandangannya ke iris emas Ggio. Kepalanya ia miringkan 45 derajat sambil memaksakan seulas senyum terukir di wajah pucatnya. Berusaha menenangkan tatapan cemas dari pemuda di bawahnya.
"Tidak sesakit saat melihatmu berpelukan dengan Soifon," ucapnya sedikit menyisipkan nada canda di suaranya walau hasilnya gagal total. "Kota Paris memang sangat indah," puji Sunsun kemudian.
Tangannya yang semakin kurus terjulur dan membuka laci di sebelahnya, lalu mengambil sebuah sisir. "Apa kau ingin menyisir rambutku?" pintanya sambil memberikan sisir itu ke tangan Ggio.
Tangan Ggio meraih sisir itu dan mulai berdiri dari tempatnya. Jemari Ggio mulai menyentuh rambut Sunsun dan mulai menyisirnya perlahan.
"Ggio," panggil Sunsun lirih.
Gerakan Ggio terhenti saat melihat satu persatu helai rambut Sunsun terjatuh begitu saja. Rambut hijaunya yang tebal kini tipis dan rapuh.
"Ggio?" panggil Sunsun lagi, Ggio tersentak dan kembali menyisir rambut Sunsun.
"Hnn?"
"Jangan penuhi permintaan ibuku," pinta Sunsun.
"Tidak mungkin."
"Jangan kasihani aku," bantah Sunsun, dirinya masih bersikeras untuk tidak dibantu oleh Ggio. Pegangannya pada lengan kursi mengencang dan wajahnya mulai menampakan sebuah ekspresi.
"Aku tidak mengasihanimu," jawab Ggio dengan penekanan pada setiap katanya.
"Jangan bohong!" bentak Sunsun sambil memejamkan matanya, paru-parunya bekerja ekstra untuk mengisi sebanyak mungkin oksigen ke dalam kantung udara miliknya. Sakit, ia merasa sakit di sekujur tubuhnya.
Hal ini selalu terjadi beberapa jam setelah ia meminum obat. Tangannya semakin mengepal untuk menahan rasa sakit yang dideritanya. Tiba-tiba tubuh yang sedari tadi bersandar kini limbung ke depan. "Sunsun?"
Napasnya mulai memburu, dengan bergantung pada kekuatan tangannya Sunsun berdiri dari kursinya. Sunsun menatap Ggio dengan tatapan menyakitkan dan ingin mendekati pemuda itu untuk mengucapkan permintaannya.
Tapi, baru akan mengangkat kakinya, tubuh Sunsun langsung terkulai dan hampir terjatuh jika Ggio tidak menahannya. Kelopak mata Sunsun mengatup rapat, Ggio langsung menggendong gadis itu.
Sunsun menggenggam erat jaket yang Ggio kenakan. "Sakit, Ggio, sakit," rintih Sunsun, hati Ggio terenyuh mendengarnya. Sunsun semakin menenggelamkan kepalanya ke dalam dada Ggio.
Ggio pun membaringkan Sunsun ke atas ranjang rumah sakit. Sunsun menarik Ggio untuk mendekati kepalanya dan membisikan sesuatu. "Aku ... tidak ingin kau mati, Ggio," ucapnya lirih.
Ggio diam, rahangnya mulai menegang. Perlahan genggaman pada jaket Ggio meregang—kemudian lepas. Tampaknya Sunsun telah tertidur, atau mungkin ... pingsan?
Ggio berbalik untuk segera menemui dokter yang bertanggung jawab atas Sunsun, tapi pergelangan tangannya langsung ditangkap oleh Sunsun. "Jangan ... donorkan sumsum-mu," bisik Sunsun.
Ggio kembali meletakan tangan Sunsun di atas tangan yang satunya dan merapatkan selimutnya. Bahkan dalam tidurnya Sunsun masih merintih kesakitan. Sesakit itukah? Separah itukah keadaannya?
"Oyasumi, Sunsun," Ggio menutup pintu kamar Sunsun dan berjalan menuju ruang dokter.
Beberapa hari berikutnya.
"Shihoin akan kembali menjadi anggota klub mulai hari ini."
Soifon membungkukan badannya dan berjalan menuju kursinya. Beberapa anggota langsung menyapanya dan bertanya alasan dia meninggalkan klub saat itu.
Dari para anggota yang mengerumuni Soifon tak terlihat Hitsugaya di antara mereka.
"Hitsugaya-kun," panggil Hinamori. Hitsugaya langsung menoleh dan Hinamori segera duduk di samping Hitsugaya.
"Aku senang jika dia baik-baik saja," ucap Hinamori. Hitsugaya menatap bingung Hinamori. "Shaolin-san." Hinamori menunjuk Soifon.
Refleks Hitsugaya mengikuti arah telunjuk Hinamori dan menghela napas. "Aku dengar, Ggio pindah ke Paris beberapa hari yang lalu," sambung Hinamori. Hitsugaya mengalihkan pandangannya dan kembali pada brosur lomba lari di mejanya.
Hinamori menyadari perubahan mimik wajah Hitsugaya dan langsung menepuk bahu pemuda itu. "Sehabis kegiatan klub, kita makan ramen dulu, ya? Bagaimana?" tawar Hinamori sambil tersenyum.
"Iya, baiklah," jawab Hitsugaya. Soifon menangkap interaksi mereka berdua. Dan kembali melirik teman-teman di hadapannya yang mulai kembali duduk di tempat mereka.
"Enam bulan lagi akan diadakan lomba lari tingkat nasional, kali ini kalian tidak membawa nama sekolah. Kalian akan berlomba dengan kemampuan masing-masing. Pemenangnya akan diikutsertakan dilomba tingkat internasional."
Soifon menatap Byakuya yang masih memegang kertas brosur di tangannya. "Ada yang tertarik untuk mengikutinya?" Byakuya menatap murid-muridnya.
"Saya, Sensei," ucap Soifon sambil mengangkat tangannya. Byakuya langsung menatap Soifon.
'Iya, sesuai permintaanmu, Ggio. Aku akan terus berlari, aku akan buktikan bahwa kau tidak berarti apa-apa bagiku,' batin Soifon.
"Ada lagi?" mata Byakuya menyapu sekeliling ruangan. Tapi, tampaknya tidak ada yang mengangkat tangan selain Soifon.
Tiba-tiba Ulquiorra mengangkat tangannya. "Sensei," panggilnya dingin. Byakuya mengangguk dan langsung menuliskan nama Ulquiorra dan Soifon di sebuah kertas putih.
"Baiklah, yang akan ikut perlombaan akan mulai dilatih dari sekarang, sisanya akan berlatih seperti biasa," jelas Byakuya.
Hitsugaya melihat ekspresi keseriusan Soifon, dan mengatupkan kelopak matanya sejenak.
Trap trap trap
Tok tok tok
Pintu ruangan itu terbuka. "Sunsun?" Ggio mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Setelah itu, pintu kembali tertutup.
Ggio berjalan menuju taman rumah sakit dan segera melangkah menuju seseorang yang duduk di bangku taman sambil memberi makan burung-burung yang mengelilinginya.
"Sunsun," panggil Ggio. Sunsun menggelindingkan bola matanya ke kanan dan kembali menatap burung kecil yang bertengger di jarinya, lalu membiarkan burung itu terbang.
Seperti halnya Jepang, di Paris juga masih diselimuti oleh musim dingin. Angin-angin bertiup sedikit kencang dan menimbulkan bunyi gemerisik dari ranting pohon yang saling bersentuhan.
Rambut Ggio dan Sunsun pun tak luput dari tarian benda tak kasat mata itu. "Apa yang sedang kau lakukan? Kau bisa semakin sakit." Ggio mempercepat langkahnya, lalu melepaskan mantel yang ia kenakan dan memberikannya pada Sunsun.
"Aku bosan di kamar." Sunsun menebarkan beberapa biji-bijian lagi kepada burung-burung itu. Ggio mendesah dan duduk di samping Sunsun. Ggio menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata.
Sesekali kicauan burung-burung itu tertangkap indera pendengarannya. Tak lama kicauan itu semakin teratur hingga menghasilkan sebuah lullaby bagi Ggio. Sunsun melirik Ggio yang mulai tertidur dan kembali menatap burung-burung yang masih berkicau sebagai tanda terima kasih di pangkuannya.
Satu persatu burung-burung itu terbang menjauhi Sunsun, mereka semua kembali ke sarangnya. Sunsun mendesah dan melirik Ggio yang belum terbangun dari tidurnya.
Tangannya terulur untuk menyentuh wajah Ggio, seolah sensitif dengan sentuhan dingin Sunsun—kelopak mata Ggio langsung terbuka. Dengan segera Sunsun menarik kembali tangannya.
"Sudah sore," Ggio menggosok matanya dan melirik langit yang sudah mulai berganti warna. "Ayo pulang," ajak Ggio.
Ggio mengangkat Sunsun dan kembali mendudukkannya di kursi roda dekat mereka, lalu membawanya kembali ke dalam kamar rawat.
"Percuma memintamu menghentikan operasi, bukan?"
Ggio menundukkan kepalanya dan tidak menjawab pertanyaan Sunsun.
"Bagaimana jika operasi itu gagal? Kau bisa mati, Ggio."
Ggio hanya tersenyum dan membukakan pintu kamar Sunsun.
"Kau memang keras kepala," Sunsun sedikit terkekeh. Ggio mengangkat Sunsun dan membaringkannya di kasur.
"Tidurlah, saat operasinya berhasil aku ajak kau pergi ke Avenue des Champs-Elysées," tawar Ggio. Sunsun menyunggingkan sebuah senyum dan mulai memejamkan mata.
Keesokan harinya.
"Terima kasih, Ggio," ucap ibu Sunsun untuk yang kesekian kalinya. Ggio hanya tersenyum dan para perawat mulai mendorong brankar menuju ruang operasi.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di ruang operasi, saat ia tiba di sana suasana menjadi remang. Sunsun telah lebih dulu di sana, gadis itu sedikit gugup untuk menjalani operasi ini.
Ggio mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Sunsun.
"Ggio, ayo genggam tanganku!" pinta Sunsun kecil saat ia berbaring di rerumputan luas. Ggio kecil masih berdiri di tempatnya dan enggan menggenggam tangan gadis itu.
"Tidak mau," tolak Ggio, setelah itu ia langsung berbalik meninggalkan Sunsun. Sunsun kecil langsung berdiri, lalu menyusul Ggio dan mendorongnya hingga bocah kecil itu terguling.
Ggio hampir terjatuh dari tebing itu, jika dia tidak memegang ranting pohon di dekatnya, tapi hal itu tidak merubah keadaan bahwa Ggio dapat jatuh kapan saja jika ranting itu patah.
Sunsun langsung berlari menghampiri Ggio. Gadis kecil itu tersenyum sinis dan mengulurkan tangannya. "Raih tanganku!" perintah Sunsun lagi. Ggio berdecak dan menyambut uluran tangan itu.
Sambil bertumpu pada ranting pohon di belakangnya, Sunsun menarik Ggio ke atas. Napas mereka bersahut-sahutan satu sama lain. Ggio mulai membersihkan bajunya yang kotor karena tanah.
Sunsun punberdiri dan menyibakan rambutnya. "Kau berhutang nyawa padaku, kelak kau harus menggenggam tanganku saat aku dalam keadaan kritis," pinta Sunsun. "Seperti halnya Mashiro-neesama yang meninggal sambil menggenggam tangan Kensei-san." Kedua iris lavender itu berbinar.
Ggio berdecak dan langsung berlari menuju rumahnya.
'Sunsun sekarang aku menggenggam tanganmu, jadi, jangan mati,' batin Ggio.
Setelah itu lampu operasi telah dinyalakan dan semuanya menjadi gelap bagi mereka berdua.
6 bulan berikutnya.
"Soifon, tunggu dulu!" teriak Orihime di sepanjang koridor lantai empat. Soifon menoleh, namun dia tidak menghentikan langkahnya.
"Ada latihan klub, Orihime! Sampai jumpa besok!" Orihime mendengus dan tersenyum simpul melihat Soifon yang begitu bersemangat latihan.
Soifon berlari secepat mungkin menuju klub lari. Ya, sudah enam bulan semenjak kepergian Ggio, semuanya baik-baik saja, bahkan amat sangat baik. Sekarang Soifon telah duduk di kelas tiga SMA Karakura, dan kemampuan berlarinya meningkat pesat.
"Maaf terlambat, hosh ... hosh ..." ucap Soifon saat membuka pintu ruang klub. Hinamori langsung berdiri dan membantu Soifon duduk di kursinya.
"Terlambat seperti biasa, Shaolin-san," sindir Hinamori dengan seulas senyum di wajahnya. Sindiran itu langsung disambut tawa oleh anggota lain.
"Ini latihan terakhir, lakukan dengan baik," ucap Byakuya.
"Baik, Sensei," jawab para anggota serentak.
1 Hari sebelum perlombaan.
Di Paris.
"Kaien, ke ruanganku," perintah Ggio dan menit berikutnya seseorang pemuda berambut raven memasuki ruangan itu.
"Pesankan aku tiket ke Jepang, sekarang," perintah Ggio lagi sambil menandatangani sebuah dokumen dan menyerahkannya pada Kaien.
"Jepang?"
Ggio mengangkat kepalanya dan bertopang dagu, seulas senyum terukir di wajahnya. "Untuk menagih sebuah jawaban," jawabnya kemudian. Kaien mengangguk dan langsung keluar dari ruangan. Tiba-tiba ponsel Ggio bergetar.
"Ggio, aku dijodohkan lagi!" rengekan Sunsun membuat Ggio tertawa. "Jangan tertawa, kau sendiri tidak mau menikah denganku!" tambahnya.
"Apa kau ingin aku memanggil Tesla kemari dan menjodohkannya denganmu?" canda Ggio. Dari seberang sana Ggio dapat mendengar suara tersedak dari Sunsun.
"Aku ingin makan, aku ada di Avenue des Champs-Elysées, cepat kemari!"
Setelah itu sambungan telepon langsung terputus. Ggio berdecak dan langsung mengambil kunci mobilnya.
Operasi yang dilakukan delapan bulan lalu sukses, kini Sunsun bisa hidup layaknya orang normal, namun setelah tiga bulan menjalani therapy. Sedangkan Ggio, ia diangkat menjadi pimpinan perusahaan Vega tiga bulan yang lalu, dan semua pendidikannya dipindah menjadi homeschooling.
"Sunsun!" Ggio menghampiri Sunsun yang duduk di bangku taman sambil bermain dengan burung-burung di sekitar. Saat menyadari kedatangan Ggio, Sunsun pun berdiri dan burung-burung itu langsung berterbangan.
"Aku tidak suka melihatmu mengenakan pita putih itu," Ggio melirik kepangannya yang kini dibaluri pita putih milik Soifon, lalu dia tersenyum. Sunsun langsung berbalik dan berjalan menuju sebuah cafe di dekat taman itu.
"Sunsun," Ggio menangkap pergelangan Sunsun hingga membuat langkah gadis itu terhenti. "Aku ... akan pergi ke Jepang dalam beberapa hari."
Sunsun melirik Ggio dan menarik tangannya.
"Apa karena hal itu, lalu aku tidak boleh mengajakmu makan?" Ggio terkekeh dan mengikuti Sunsun yang sudah berjalan kembali.
Hari perlombaan.
"Seperti biasa, kita akan menentukan posisi lari terlebih dahulu. Ulquiorra kau yang pertama," ucap Byakuya. Ulquiorra mengangguk dan mulai melakukan pemanasan.
Soifon duduk di bangkunya, sepasang bola matanya bergerak lincah mencari keluarganya. Kegugupan gadis itu bertambah saat menyadari keluarganya telah datang dan duduk di bangku penonton.
Berkali-kali Soifon menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya hanya untuk mengurangi kegugupan. Konsentrasinya terpecah, dia takut kalah seperti saat itu. Soifon memejamkan matanya dan menggenggam kedua tangannya erat-erat.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Soifon. Gadis berkepang dua itu mengangkat kepalanya dan menemukan Hitsugaya di sampingnya. "Shinpai shinaide, kau hanya perlu berkonsentrasi," ucap Hitsugaya menenangkan.
Soifon memejamkan matanya sejenak dan menarik napasnya dalam-dalam kembali, lalu menghembuskannya. "Shihoin, giliranmu," panggil Byakuya. Soifon langsung membuka matanya dan bangkit dari bangku peserta.
"Iya, Sensei," jawab Soifon tegas.
"Ggio!" jerit Lilynette dan langsung menabrak tubuh Ggio. Tesla berjalan santai menghampiri kedua orang itu. Ggio menyadari kehadiran Tesla dan melepaskan pelukan Lilynette.
"Yo," Tesla mengangkat tangannya, Ggio menggertakan giginya namun setelah itu tangannya terangkat dan ber-highfive dengan Tesla. "Hari ini, Soifon sedang berlomba," ucap Tesla dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Lilynette.
"Iya, aku tahu itu," jawab Ggio. Pemuda berkepang itu segera berjalan dan menarik kopernya, Lilynette langsung menyusul Ggio.
"Ggio, ke rumahku dulu, ya?" Ggio melirik Lilynette dan menyunggingkan seringainya.
"Tidak, aku akan ke stadion lebih dulu," jawab Ggio. Lilynette mematung di tempat dan menundukan kepalanya. Ggio menoleh saat merasakan Lilynette tidak mengikuti langkahnya.
"Ada apa denganmu? Apa kau akan menangis lagi, eh?" ledek Ggio. Tesla terkekeh, lalu menepuk kepala Lilynette sekilas dan langsung menghampiri Ggio. Lilynette terkejut saat menerima tepukan itu.
Kepalanya terangkat dan dia langsung bertemu pandang dengan Tesla yang menyunggingkan seringainya sambil berlalu bersama Ggio. "Hei!" teriak Lilynette hingga mengagetkan Ggio.
"Tunggu aku!" Lilynette langsung berlari dan menggeser posisi Tesla begitu saja. Ggio hanya menatap bingung Lilynette dan kembali berjalan menuju mobil yang sudah menunggu mereka.
"Bersiap di posisi masing-masing, siap ... MULAI!" teriak wasit di pinggir lapangan berbarengan dengan terdengarnya bunyi tembakan. Saat mendengar aba-aba itu stadion langsung bergemuruh, tepat ketika para peserta mulai berlari menjauhi garis start.
Ggio menatap pemandangan dari kaca jendelanya. Berbeda ketika saat dia pergi di mana desiran-desiran angin musim dingin menjadi melodi pengantar kepergiannya, kini nyanyian jangkriklah yang menjadi melodi penyambutnya.
Beberapa poster tentang Festival Tanabata yang akan dilaksanakan malam ini ikut menghiasi jalan-jalan itu.
"Pak, berhenti," perintah Lilynette dan mobil itu pun langsung berhenti. Tesla dan Ggio pun melirik Lilyntte yang tengah membuka pintu mobil itu.
"Tunggu, Lilynette!" seru Ggio dan ikut keluar dari mobil itu. Lilynette berjalan cepat menuju bangku taman dan duduk di sana. Ggio menutup kepalanya dengan telapak tangan, berusaha menghalau sinar matahari yang memang sangat panas pada musim ini.
"Lilynette, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Ggio—sedikit meninggikan suaranya. Lilynette bungkam dan masih menggoyangkan kakinya yang tak menginjak tanah. Ggio langsung menarik tangan Lilynette untuk kembali ke mobil.
Lilynette berdiri dan berbalik menahan tangan Ggio. "Ggio, atashi wa ... anata ga suki," ucap Lilynette. Ggio berbalik dan menatap wajah Lilynette yang penuh keyakinan.
"Kau tak percaya, 'kan?" Lilynette menepis tangan Ggio dan mundur beberapa langkah. Namun dengan mudah Ggio dapat kembali menangkap kedua tangan kurus itu.
"Aku mengerti," bisik Ggio dan menyentuh bahu Lilynette. Gadis berambut hijau terang itu menatap iris keemasan Ggio. Perlahan tangan Ggio menyentuh pipi Lilynette dan mendekatkan wajah mereka.
Ggio menelengkan kepalanya dan bersiap mencium Lilynette.
''Na-nani? Ggio ...' batin Lilynette dan mulai memejamkan matanya.
Saat jarak mereka semakin dekat, bibir Lilynette bergetar dan tangannya mulai bergerak untuk mendorong tubuh Ggio.
"Tidak," ucap Lilynette spontan dan mendorong Ggio menjauh. Pemuda itu menyunggingkan senyumnya dan kembali mendekati Lilynette yang masih memejamkan mata.
PLUK.
Lilynette membuka matanya saat menerima tepukan itu dan menatap Ggio. "Kau sepupuku, Lilynette."
Lilynette terkejut mendengar ucapan Ggio dan menundukan kepalanya.
"Terima kasih atas perhatianmu padaku." Ggio kembali menggenggam tangan Lilynette.
Tapi, Lilynette langsung menepisnya dan menatap air mancur di sampingnya. "Kau pergilah, aku tidak tertarik menyaksikan perlombaan lari," Lilynette menyibakkan rambut hijau pendeknya dan memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan air mancur itu secara sempurna.
Ggio menghela napasnya dan kembali ke dalam mobil. Tesla keluar saat melihat Ggio hanya kembali sendiri. "Dia tidak ingin ikut," ucap Ggio saat bertemu pandang dengan Tesla.
Tesla langsung berlari dan menghampiri Lilynette. "Pak, jalan," perintah Ggio dan meninggalkan mereka berdua di taman itu.
Tinggal dua putaran lagi, maka Soifon akan mencapai garis finish. Tapi, hal itu belum cukup, dia masih harus melewati Ulquiorra dan satu orang lain yang masih berlari di depannya.
Soifon mengumpulkan kekuatannya dan langsung berlari menyusul seseorang perempuan berambut ungu yang memiliki posisi terdekat dengannya. Stadion kembali bergemuruh saat Soifon berhasil menyusulnya.
Tinggal satu orang lagi: Ulquiorra.
Trap trap trap
Suara langkah kaki menggema di koridor panjang stadion menuju bangku penonton. Rambut kepang pemuda itu berkibar pelan karena tertiup angin. Teriknya sinar matahari langsung menyambutnya saat ia mencondongkan tubuhnya keluar untuk melihat situasi perlombaan.
Tinggal satu putaran lagi, Soifon masih berusaha mengejar Ulquiorra, keringat mulai mengucur turun dari pelipisnya karena tingginya suhu hari ini. Beberapa kali Soifon mengelap peluh itu dan menggelengkan kepalanya untuk mengeluarkan keringat dari kepalanya.
"Ggio!" Orihime melambaikan tangannya. Daun telinga Soifon bergerak sensitif saat mendengar nama itu. Kepalanya tidak berputar untuk memastikan apakah pemuda itu Ggio Vega atau bukan, yang ia lakukan hanya menggelindingkan bola mata abunya ke bangku penonton.
Soifon terkejut saat melihat siluet itu, dia tak mungkin salah: seringai khasnya, iris keemasannya, dan tangan yang terlipat di depan dada. Tak lama, Soifon berseringai.
'Bagus, kau datang, Ggio! Lihat, akulah yang akan memenangkan perlombaan ini!' batin Soifon.
Seketika Soifon kembali menatap punggung Ulquiorra, gadis itu mengatupkan kelopak matanya sejenak dan langsung berlari menyusul Ulquiorra dengan kemampuan yang ia miliki.
Garis finish sudah di depan mata dan Soifon semakin menambah kecepatannya saat sedikit lagi Ulquiorra menyentuh garis finish, Soifon langsung mencondongkan tubuhnya dan mengenai pita putih itu terlebih dahulu.
Hening, stadion itu hening karena dalam beberapa detik lalu, pertarungan Soifon dan Ulquiorra masih begitu sengit. "Hosh ... hosh ..." dada Soifon naik turun untuk mengatur napasnya, dan setelah itu dia langsung mengangkat pita putih di genggaman tangannya.
Melihat itu, seisi stadion langsung bersorak dan bertepuk tangan. Soifon tersenyum dan memejamkan matanya, merasakan atmosphere kemenangan yang baru dia terima dan seluruh tepuk tangan yang dihujamkan kepadanya.
Ggio menyunggingkan senyum dan memejamkan matanya. Orihime langsung berjalan menghampiri pemuda itu. "Kau benar-benar pulang," ucapnya. Ggio hanya menganguk.
"Lalu, kau akan menyapanya?" Mereka berdua melirik Soifon yang sedang mendapat ucapan selamat dari para anggota klub lari.
"Tidak, biarkan saja dia," jawab Ggio. Setelah itu acara pemberian piala dimulai, Soifon menerima piala itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi—membuat stadion kembali riuh dengan tepuk tangan.
Orihime memutar kepalanya ke kiri untuk menatap Ggio, tapi pemuda itu telah berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. "Jangan beritahu padanya," pesan Ggio.
Orihime tersenyum saat melihat pita putih itu. "Ggio!" panggil Orihime saat Ggio akan berbelok. Pemuda itu menghentikan langkahnya dan melirik Orihime. "Aku suka pita itu," ucapnya sambil tersenyum.
Ggio hanya mengangguk dan langsung menghilang dari koridor itu.
Malam harinya, pukul 19.00.
Festival Tanabata.
Di kediaman Soifon.
"Soifon, ayo turun!" teriak Yoruichi dari bawah. Soifon masih berdiri di depan cermin dan mematut dirinya sendiri.
"Iya, iya," sahut Soifon dan segera membuka pintu kamarnya. Selang beberapa jam setelah perlombaan yang panas tadi siang, malam ini akan diselenggarakan Festival Tanabata.
Soifon berjalan pelan menuju ruang keluarga, langkahnya sangat terbatas karena menggunakan yukata untuk pergi ke festival itu. "Soifon," panggil ayahnya dan menghentikan langkah Soifon yang ingin berbelok.
"Ke ruanganku sebentar," perintahnya. Soifon mengangguk dan mengikuti langkah ayahnya.
Soifon duduk berhadapan dengan ayahnya di ruang kerja yang cukup luas itu. Soifon diam dan menunggu ayahnya memulai percakapan.
Tak lama ayahnya membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi panjang, kemudian ia berdiri dari tempatnya. Langkahnya terhenti dan mengangkat benda persegi panjang itu.
Soifon sendiri menundukan kepalanya—tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Ayahnya menggantungkan benda persegi panjang itu dan kembali berjalan mendekati Soifon, setelah itu ia melipat kakinya dan menepuk kepala Soifon.
"Ayah bangga padamu, maaf jika ayah terlalu keras," ucapnya lembut. Soifon mengangkat kepalanya dan menatap ayahnya yang menggulirkan bola matanya ke kiri. Soifon mengikuti arah bola mata ayahnya dan tersenyum saat melihat benda persegi panjang yang dibawa ayahnya tadi: sebuah foto yang diambil ketika Soifon mengangkat pialanya.
"Tidak, jangan meminta maaf, Ayah," balas Soifon. Setelah itu ayahnya langsung memeluk tubuh ramping Soifon. Soifon memejamkan matanya, rasanya sudah lama sekali dia tidak merasakan kehangatan pelukan seorang ayah.
Tanabata Festival, pukul 20.00
"Soifon, kau cantik sekali," puji Orihime saat melihat Soifon dengan yukata merah dan motif kupu-kupu hitamnya, kepangan yang biasanya terbaluri pita putih kini hanya dijepit pada ujung kepangannya.
Orihime langsung menggamit tangan Soifon dan berjalan mengelilingi stand-stand festival itu. "Tu-tunggu, Orihime! Jangan cepat-cepat," pinta Soifon sedikit berteriak karena ramainya pengunjung tempat itu.
Orihime melambatkan langkahnya dan tersenyum. "Maaf, maaf," ucapnya. Kemudian, mereka kembali berjalan untuk membeli gulali dan bersiap menunggu pertunjukan kembang api.
Mereka memilih untuk duduk di jembatan yang sepi, namun mereka dapat melihat bulan dan sungai dengan sangat sempurna. Orihime duduk di atas pembatas jembatan itu dan menggoyangkan kakinya, sedangkan Soifon mengistirahatkan kedua tangannya di atas pembatas jembatan. Mereka berdua diam, Orihime masih sibuk menghabiskan gulalinya, sementara Soifon sibuk menatap refleksinya di permukaan air itu.
Sejujurnya, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Soifon sekarang, tak lain tentang Ggio di stadion tadi siang, dia belum sempat menanyakannya karena dia langsung pulang saat itu.
"Orihime," panggil Soifon. Orihime menghentikan kunyahannya dan menatap Soifon di sampingnya. "Saat di stadion tadi, Ggio ada di sana, 'kan?" Orihime menelan sejumput gulali di mulutnya.
"Aku ... tidak tahu," jawab Orihime. Soifon tersenyum getir dan melirik gadis di sampingnya.
"Kalian kompak, ya," ujar Soifon. "Orihime sama dengan Vega, pantas kalian kompak berbohong padaku," lanjut Soifon. Orihime mendesah dan tersenyum saat menyadari seseorang berjalan menghampiri mereka. Orihime langsung melompat turun dan berdiri di samping Soifon.
Soifon kembali menundukan wajahnya dan melihat refleksi dirinya sendiri. "Bukan seperti itu, ak—kyaaaa!" jerit Orihime.
Soifon langsung memutar kepalanya dan matanya terbelalak saat merasakan bibir yang familiar melekat di bibirnya. Sosok itu berdiri di belakang Soifon dan meletakan tangannya di atas tangan Soifon, seolah mengunci Soifon.
Sedetik berikutnya, Soifon langsung mendorong sosok itu menjauh dan menamparnya.
PLAK!
DUAR!
Sinar yang dihasilkan dari kembang api barusan membuat Soifon dapat melihat dengan jelas sosok yang menciumnya—walau ia yakin siapa pemilik bibir lembut itu.
"Tadaima, Soifon," sapa Ggio dengan seringai khasnya. Soifon menggelengkan kepalanya dan langsung mengambil langkah mundur. Sepasang kaki mungil Soifon bersiap untuk berlari dan menjauh dari pemuda di hadapannya.
Ggio langsung melangkah cepat untuk menyergap Soifon sebelum gadis itu berlari dan meninggalkannya. "Lepas!" jerit Soifon dan menarik tangannya menjauh. Dia harus lari, menjauh dari pemuda itu. Pelupuk matanya mulai menggenang dan terasa berat. Soifon berusaha untuk tidak mengatupkan kelopak matanya demi menghalangi cairan bening itu meluncur turun.
Soifon langsung berbalik dan berlari, tapi baru beberapa langkah lengan Ggio sudah melingkar di perutnya. "Jangan lari, dengarkan penjelasanku dulu," bisik Ggio. Soifon langsung berontak dan mendorong Ggio lagi.
"Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu, kau pembohong!" bentak Soifon penuh emosi. Ggio kembali maju selangkah dan Soifon kembali mundur selangkah.
"Saat itu, ibu Sunsun menelp—"
"Tidak!" Soifon menutup kedua daun telinganya dengan telapak tangannya—yang mengisyaratkan dia benar-benar tidak ingin mendengar penjelasan Ggio.
"Dia mengatakan, bahwa Sunsun—"
"Aku tidak ingin mendengarnya lagi, kau pembohong besar, Ggio Vega," hardik Soifon, sorot matanya menajam, semua kekecewaannya tumpah di sorot mata itu. Ggio terkejut saat melihat cairan bening yang sedari tadi menggenang kini membasahi pipi Soifon.
Ggio memejamkan mata. "Sunsun menderita ... leukimia."
DUAR!
Kembang api kembali diluncurkan. Soifon membelalakkan matanya, bibirnya yang tadi terbuka untuk kembali membentak Ggio, kini bungkam. Cairan bening yang tadi ia cegah, kini ia biarkan mengalir begitu saja.
"A-apa?" tanya Soifon sedikit tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar.
Ggio mengalihkan pandangannya. "Ya, Sunsun mengidap leukimia dan aku diminta mendonorkan sumsum-ku," jelas Ggio.
Soifon seolah membatu di tempat. Sunsun yang saat itu selalu melibatkannya dalam masalah, mengidap penyakit seperti itu? Ggio mengambil langkah maju, tidak ada reaksi dari Soifon, gadis itu masih diam di tempatnya.
Saat merasa cukup dekat, Ggio menghentikan langkahnya dan menyentuh bahu Ggio. "Oleh karena itu, aku harus pergi," bisiknya pelan. Soifon langsung menepis tangan Ggio dan kembali mundur.
"Itu bukan alasan, kau tetap tidak mengatakannya padaku. Kau pergi, dan kau membohongiku tentang ucapan saat itu," ucap Soifon.
"Dan sekarang kau kembali muncul di hadapanku, apa maksudmu?" bentak Soifon. Ggio hanya tersenyum dan menarik Soifon ke dalam pelukannya. "Lepas!" berkali-kali Soifon memukul dada Ggio, agar dia melepaskan pelukannya. Tapi, Ggio tetap bergeming dan memeluk tubuh ramping itu.
"Aku datang, hanya untuk menagih jawabanku pada saat itu," bisik Ggio. Soifon terkejut.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, dan aku tidak akan tertipu lagi," balas Soifon. Ggio melepaskan pelukannya dan memandang lurus iris abu Soifon.
"Baiklah, aku ingatkan kembali. Shaolin Fon, ore wa anata o aishite," ucap Ggio. Soifon mengalihkan pandangannya, tapi Ggio langsung menyentuh dagu Soifon dan membuat mereka kembali bertemu pandang. "Lalu, apa jawabanmu, Shaolin Fon?"
"Aku tidak percaya pada kata-katamu!" bentak Soifon lagi. Ggio menyeringai saat mendengar balasan Soifon.
"Kenapa? Kenapa kau begitu marah? Jika kau tidak memiliki perasaan padaku, tidak ada alasan bagimu untuk marah kepadaku," ucap Ggio. Soifon menggigit bibir bawahnya. "Jawab aku, Soifon," tuntut Ggio.
"Karena kita, te—"
"Teman? Itu terlalu klise Soifon," Ggio tertawa getir lalu dia mendesah. "Mou i, tolak aku," ucap Ggio. Soifon kembali mengalihkan wajahnya dan Ggio kembali menarik wajah itu hingga mereka bertatapan.
Bibir Soifon terbuka, tapi belum mengeluarkan sepatah kata pun. "Aku ..." Soifon ragu untuk mengucapkannya. Ayolah, Soifon, bukankah kau bilang kau membencinya?
"Kau tidak menyukaiku, 'kan?" ucap Ggio lagi—yang semakin menyudutkan Soifon. "Tolak aku, dan aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu."
Soifon membulatkan matanya saat mendengar kalimat Ggio.
'Aku tidak akan bertemu Ggio lagi?' batinnya. Ggio menurunkan tangannya dan menyimpannya di saku. Tiba-tiba Soifon menundukan kepalanya dan Ggio langsung berseringai.
"Kenapa ... kenapa kau selalu mempermainkanku?" Cairan bening dari bola mata Soifon turun begitu saja. Tangannya mulai bergerak untuk menghapus air mata itu. Tapi, dia tak bisa menghentikannya.
"Bahkan kau masih menanyakan suatu hal yang kau tahu pasti jawabannya. Apa ... apa sebegitu menariknya mempermainkanku?" isaknya pelan
Ggio menjulurkan tangannya dan menggenggam kedua tangan itu, lalu menghapus sisa-sisa air mata Soifon. Dengan sedikit gerakan, ia menarik Soifon mendekat.
CUP
Ggio mengecup pucuk rambut gadis itu. "Harusnya kau lebih jujur dari awal," bisik Ggio dan membenamkan kepalanya di rambut Soifon. Setelah itu ia menggenggam tangan Soifon dan membawanya ke pohon permohonan.
"Kau tahu tentang legenda Tanabata?" tanya Ggio tiba-tiba. Soifon mengalihkan pandangannya dan menatap beberapa pasangan yang tengah menempelkan kertas di pohon permohonan itu. Lalu, Ggio mengambil dua buah kertas dan memberikannya satu ke Soifon.
"Ya, ya, legenda yang mengisahkan Hikoboshi dan Orihime yang hanya bisa bertemu pada hari ini. Lalu, apa maksudmu? Menunjukan kesamaan antara Vega dan Orihime?" tanya Soifon sarkatis, dan mereka berdua mulai menuliskan sesuatu di kertas itu.
"Tidak, Orihime ya Orihime, Vega ya Vega. Kau tahu, kenapa Vega akan sangat terang pada hari ini?" tanya Ggio. Soifon menghentikan gerakannya dan melirik Ggio, lalu menggeleng. Ggio menyeringai. "Seperti halnya Orihime yang ingin bertemu dengan Hikoboshi, Vega pun ingin bertemu dengan Fon."
Ggio melipat kertasnya. "Jadi, Festival Tanabata itu bukan hanya tentang Orihime dan Hikoboshi, tapi tentang Vega dan Fon—bintang dan lebah." Soifon menatap Ggio, dia bahkan tak pernah memikirkan hal itu. Lalu dia tersenyum.
"Dan hari ini, bintang itu telah bertemu dengan lebah-nya," lanjut Ggio sambil menatap Soifon lekat-lekat.
Ggio meminta kertas Soifon, dan menggenggam tangan gadis itu. Tiba-tiba Ggio tersenyum dan mendekatkan kepalanya, Soifon hanya memejamkan matanya dan bibir itu kembali bertemu.
Ggio membimbing tangan Soifon untuk menempelkan kertas itu ke pohon bambu di samping mereka.
Duar!
Ggio menjauhkan tubuhnya saat mendengar bunyi kembang api itu. Lalu, mereka berdua sama-sama tertawa. Dan Ggio menggenggam tangan Soifon sambil mengamati kembang api dari tempat mereka berdiri.
DUAR!
Owari
Omake
"Lihat, lihat!" seru Orihime antusias. Ya, inilah penyebab dia berteriak tadi karena Ulquiorra menarik Orihime menjauh dari Soifon. Orihime melirik Ulquiorra dengan wajah bersemu.
"Apa? Kau mau?"
Sontak wajah gadis itu semakin memerah. Ulquiorra mendekatkan wajahnya dengan wajah Orihime. Gadis itu memejamkan matanya, namun detik berikutnya dia merasakan sesuatu yang selembut kapas menyentuh bibirnya. Sebelah matanya terbuka.
"Gu-gulali?" Orihime melirik Ulquiorra di sampingnya. Pemuda itu menggelindingkan bola matanya ke arah gadis itu.
"Yang kau mau itu, 'kan?" Orihime langsung terdiam dan mengunyah gulali pemberian Ulquiorra dengan wajah sedikit kecewa.
A Star and A Bee
completed
12 Desember 2010—08 Februari 2011
A/N : Aku ucapkan terima kasih buat YumitoClover, MikaShimo, Jeger, Shiori Yoshimitsu, relya Schiffer, marianne de Marionettenspieler, Shabrina Liem, Divinne Oxalyth, Elly Yanagi Hime, RiiChanDestroyeR, Rufus Sinclair, Momoka and Rukina.
Nummyyumy123, RikurohiYuki03, Shiroyue,Lenalee Shihouin, TaNia VampGoth, pecinta fic, Galathea Dertov Reffertlark, Suzuka Daidouji, NaMIKAze Nara, Victorique Phantomhive, Neary Lan.
Dan para silent reader (jika ada) yang telah membaca fic ini.
And of course my beta reader aRaRaNcHa thank you so much. Makasih udah mau bantu aku dalam beberapa chapter kemarin, makasih udah mau sabar sama author yang banyak tanya ini, maaf kalo membuat cha lelah dengan memberikan fic panjang kali lebar ini heheh. Aku sangat terbantu cha, sekali lagi makasih *hug*
Terima kasih banget buat dukungan kalian selama ini. Walau karya ini abal dan makin gak jelas semakin ke sini-sininya kalian masih berkenan review dan memberikan semangat kepada saya.
Arigatou Gozaimasu.
Lalu, sebelum itu, aku mau beriklan sejenak
Teman-teman, berminatkah kalian mengikuti Bleach Vivariaton Festival? Sebuah event yang menyenangkan, dengan tema yang berbeda-beda tiap bulannya, dan dapat membantu mengembangkan kreatifitas para author sekalian.
Merasa tertantang?
Jika berminat, bergabung dulu di FB: Bleach Vivariation Festival dan ikuti pendaftarannya. Bagi yang tidak punya FB silakan hubungi panitianya: YumitoClover, MikaShimo, aRaRaNcHa, Kuroliv dan DeBeilschmidt.
Ditunggu partisipasinya.
Apakah kalian masih berkenan review di chapter terakhir ini?
Tidak ada yang lebih membahagiakan selain merasakan kebahagiaan reader saat membaca karya saya ^^
Sekali lagi terima kasih.