"Lepaskan, sensei..." pinta Hinata, jengkel. Menahan suara marahnya agar tetap lembut.

Sasuke cuek saja, masih mengangkat Hinata dipundaknya. Ia menghisap rokoknya dalam, dan meniupkan asapnya perlahan.

"Kau ingat kan, ayahmu menyuruhku memberikan mu bimbingan...?" tanya Sasuke, mendelik kearah Hinata.

Hinata yang menggantung hopeless dipundak Sasuke hanya bisa menghela nafas kesal. Rencana bolosnya gagal total, karena ternyata sensei matematikanya ini tahu dimana saja tempat yang biasa digunakannya bersembunyi. 'well, school rooftop di coret dari list!' pikirnya.

Baju sailornya melambai seraya angin bertiup di koridor sekolah. Tangan Sasuke menahan tubuh mungil Hinata dibagian belakang pahanya. Sudah berulang kali Hinata berusaha memberontak, tapi nggak berpengaruh. Dia sadar, bahwa kekuatan gurunya jauh lebih kuat dari dirinya. Yang bisa dilakukannya lain kali adalah 'lari' dan bukan 'melawan'.

Sasuke menurunkan Hinata, mendudukannya dimeja dekat jendela yang ada di kelas, mengambil kursi dan duduk di hadapan Hinata sambil mengeluarkan beberapa kertas soal 'entah dari mana' yang diletakkannya begitu saja di meja.

"Kita punya 4 jam untuk bimbingan belajar, aku sudah membuat soal essai yang di prediksi akan keluar dalam tes ujian universitas mu, kerjakan dengan benar... Hei!" Sasuke menatap Hinata yang duduk diseberang mejanya.

"Yaa, Sensei..." jawab Hinata malas, menghindari tatapan tajam mata Sasuke. Ia meraih pulpen biru dari laci mejanya, mencari kertas soal dan mulai mengerjakannya tenang.

Sasuke melirik Hinata, menatapnya bingung sambil menghisap rokoknya dalam. Memperhatikan rambut hitam indigonya yang diikat ekor kuda tersibak, poninya yang dipotong rata tapi tampak acak karena 'struggle' nya di pundak Sasuke tadi, mata berwarna Lavender yang menatap soal essai dimeja dengan tampang bosan, bibir merah kecil yang mengerucut tanda kalau hinata sedang kesal, dan kulit putihnya yang terlihat mulus tanpa jerawat.

"Jadi... Kau masih mengejar bocah pirang itu, ha?" tanya Sasuke, menatapnya datar..

Hinata melotot seketika, wajahnya merona, mengalihkan pandangan dari kertas soal ke wajah gurunya.

"Maaf, sensei, tapi itu urusanku..." jawabnya, berusaha menahan emosi dan mengatakannya dengan bahasa sesopan mungkin.

Sasuke mendengus, lalu mengalihkan pandangannnya ke luar jendela. Hinata menatap Sasuke benci. Gurunya yang satu ini selalu menyebalkan dari pertamakali dia menjadi wali kelasnya. Sasuke menunjuknya menjadi pengurus kelas, Sasuke selalu menyuruhnya mengumpulkan tugas teman sekelas untuk diantar ke ruangannya, Sasuke yang menyarankan namanya kepada setiap guru untuk olimpiade pelajaran apapun, dan kali ini, Sasuke jugalah yang mengusulkan bimbingan belajar usai sekolah kepada ayah Hinata. Yang secara sepihak, disetujui oleh ayahnya, TANPA meminta pendapat darinya terlebih dahulu.

Sasuke membuat hidup nya yang sudah nggak menyenangkan, menjadi kutukan.

Itu yang ada di pikiran hinata.

"Kau terlalu baik untuknya Hina-hime, kau butuh lelaki yang lebih dewasa..." ucap Sasuke, menghisap kembali rokoknya dalam.

Hinata cuek saja, kembali menyibukkan diri dengan soal soal dihadapannya. Menahan rona merah diwajahnya muncul kembali karena Sasuke terus menerus menyinggung tentang Naruto, cowok yang disukainya saat ini.

"Dia terlalu bodoh untuk menyadari perasaan mu, dia..."

"SENSEI!" Hinata memotong ucapan Sasuke, tidak mau mendengar Sasuke menjelek jelekan Naruto lebih banyak lagi.

Ia bangkit dari kursi, menyerahkan lembaran soal yang diberikan sasuke kepadanya, meraih tas selempangnya, dan berjalan keluar. Meninggalkan Sasuke dengan rokoknya yang menatap Hinata sendu.