DISCLAIMER : death note milik TO kuadrat.

Warning: AU, OC, OOC, dan sebagainya…

Tolong jangan terlalu mempercayai informasi apapun yang anda baca, karena kebenaran cerita ini masih dipertanyakan.

Terima kasih buat :

Anoctnymous, Jeruk malay login lagi, Nachie-chan, uchiha za chan, Al-chan 456, Kirarin Ayasaki, Yoichidea mlzlogin.

.

Happy Reading

.

.

.

Chapter 13: Surat

.

.

I love you,

please say you love me too,

these three words

They could change our lives forever

And I promise you that we will always be together

Till the end of time

( Celine Dion, I Love You)

Mello's POV

.

Aku membuka mataku perlahan. Mengisi kegelapan yang tadi terisi di otakku dengan pemandangan yang samar-samar terasa familier bagiku.

Aku merentangkan kedua tanganku sambil tetap berbaring di atas ranjang.

"Matt…" Nama itu keluar begitu saja dari mulutku.

Entah, entah mengapa dan sudah berapa kali aku menggumamkan kata itu terus-menerus tanpa kusadari. Terus-menerus selama hampir dua tahun lamanya.

Ya.

Dua tahun sudah berlalu.

Kini aku bukan lagi bocah yang tinggal di Wammy's House yang selalu bertekad menjadi peringkat satu dan mengalahkan Near.

Aah... Near... bagaimana kabarnya ya?

Saat ini dia pasti sudah pergi dari tempat itu kan? Dia pasti telah melangkah keluar dan bebas melakukan apapun kini. Atau mungkin dia masih menyendiri di kamarnya dan terlupakan?

Apa dia... mengingatku? Seperti aku mengingatnya?

Dimana dia sekarang?

Aku menggeleng kepalaku seraya bangun dari tempat tidur. "Apa sih yang kupikirkan?"

Aku berjalan pelan menuju jendela dan membukanya. Harum pagi menyambutku, membuatku tenang dan anginnya yang berhembus terasa dingin di kulitku. Dari kejauhan, sinar mentari mulai terasa naik ke awan.

Sudah pagi. Itu artinya satu hari lagi telah terlewati.

Aku menghela nafas –yang sangat jarang kulakukan. Bukan berarti aku tak menyukai hal ini. Tapi terkadang aku merasa bosan.

Hidupku tak terlalu penuh seperti dahulu. Saat-saat bersama Matt atau bertengkar dengan Near, atau mungkin belajar semalaman di perpustakaan. Kuakui, aku sedikit merindukannya.

Rasanya lebih terasa bebas saat menjadi 'aku' yang dulu.

Aku menggeleng kepalaku lagi, berusaha menyingkirkan pikiran lemahku itu.

Ini pasti karena aku bangun terlalu pagi. Otakku tiba-tiba jadi kacau.

"Aku butuh cokelat," gumamku sendiri.

Aku beranjak pergi dari kamarku, dan sebelum aku benar-benar menutup pintu, nama itu meluncur keluar lagi dari mulutku. Tapi kali ini, nama itu tercipta dengan kesadaran penuh dari otakku.

"Matt..."

.

mmmoooonnn

.

"Pagi, Mello!"

Aku mendongak dan langsung membuat raut wajah yang kesal, "Tak bisakah kau mengetuk pintu dulu, Rien? Ini bukan rumahmu!"

Rien berjalan mendekat dan duduk di hadapanku yang sedang sarapan, "Maaf, aku lupa."

"Alasan. Kau selalu lupa," kataku kesal sementara dia tersenyum.

"Sudah dua tahun berlalu, kau masih saja bersikap seakan-akan aku ini orang asing. Aku kan selalu membantumu selama ini," katanya pura-pura kesal.

Itu memang benar. Selama ini, aku dan Rien memang bersama. Tapi sebagai pasien dan dokter. Walaupun tugasnya telah selesai, dia masih tetap menggangguku dengan selalu datang menemuiku.

"Aku tidak pernah butuh bantuanmu," ketusku.

"Ya, ya. Aku minta selainya dong," kata Rein sambil mengambil roti tawarnya. Sikapnya seolah-olah ini rumahnya saja.

"Ambil sendiri!"

Aku melirik Rien, dia benar-benar telah berubah. Rien yang sekarang bukanlah lagi gadis kecil yang membuntutiku terus. Tapi seorang remaja usil yang selalu menggangguku.

Rambutnya dipotong pendek hingga sekarang aku bisa melihat telinga kanannya yang bertindik bermata hitam. Gaya berpakaiannya sama seperti dulu. Gothic tanpa rok ataupun gaun. Dia selalu memakai kemeja hitam dan celana panjang.

Dia benar-benar terlihat seperti seorang laki-laki.

"Oh iya, ngomong-ngomong, apa kau tahu kalau Near sudah keluar dari Wammy's House?" tanya Rein sambil mengoleskan selai strawbery ke rotinya.

"Aku tak peduli soal itu."

"Oh, begitu…"

"Ada apa memangnya?"

Rien tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Yah," Reina mengangkat bahunya, "William berkata kalau Bocah Putih itu sedang mencarimu."

"Apaaa?" seruku terkejut. "Untuk apa dia mencariku?"

"Entahlah. Aku tak tahu, tapi tenang saja, William sudah memblokir semua informasi tentangmu. Lagi pula aku rasa kecil kemungkinan Near tahu keberadaanmu sekarang, apalagi semenjak kau jadi ketua Mafia," jelas Rien.

"Che! Mau apa lagi Albino itu," kataku penasaran.

Kenapa dia mencariku? Apa sih yang ada dipikiran anak itu?

"Mungkin dia merindukanmu," celetuk Rien.

"Tutup mulutmu, Rien!" semburku kesal.

Dadaku mulai tak terkendali lagi. Sebelum semuanya semakin kacau, aku beranjak pergi meninggalkan Rien.

"Kau mau kemana?"

"Bukan urusannmu," kataku meninggalkan Rien sendirian.

"Yah, dia benar-benar pergi. Padahal aku ingin memberitahunya sesuatu. Tentang satu orang lagi yang berusaha mencarinya selama hampir dua tahun ini. Yah, toh tak ada ruginya bagiku jika Mello tak tahu tentang hal ini," katanya sambil tersenyum.

Aku berjalan pelan ke arah ruang tamu, bergegas mencari pintu masuk rumahku itu.

Aku membuka pintu dan keluar seraya mengendalikan diriku. Karena... entah mengapa sulit sekali menahan senyum yang mulai tercipta di wajahku.

Aku menutup wajahku. Frustasi akan perasaan aneh yang melandaku ini.

Sudah dua tahun berlalu, tapi tetap saja, setiap mengingat Near, perasaan ini tidak pernah berubah. Tetap menyesakkan dan mengganggu.

"Bukannya... aku tidak suka perasaan ini... tapi..."

Denyut aneh lainnya di sisi hatiku juga turut memberontak, berusaha memenangkan debaran yang tercipta karena Near.

Perasaan apa sih ini?

"Che... menyebalkan sekali rasanya jika tidak tahu apa-apa," gumamku kecil. "Aku butuh cokelat."

Aku pun pergi dan menuju pertokoan untuk membeli cokelat. Setidaknya itu bisa menenangkanku dari pikiran-pikiran aneh yang melandaku saat ini.

.

mmmoooonnn

.

Tidak pernah terpikir bagiku jika aku bisa secepat itu terbiasa untuk berjalan sendirian seperti ini. Dulu... dulu sekali... kebebasan seperti ini terasa seperti impian.

Bebas tanpa kekangan, tanpa prinsip orang yang terjejali di kepala, atau perasaan yang mengikat.

Aku menoleh ke sebuah etalase toko. Walaupun tak jelas, aku bisa melihat pantulan diriku di kaca itu. Tidak ada yang berubah dariku. Mungkin hanya raut wajahku yang semakin dewasa.

Ini tidak semenyenangkan yang kurasakan dulu.

Hatiku terasa hampa, dan benakku terasa penuh dengan pemikiran yang membingungkan. Aku pikir, jika aku pergi dari tempat itu, aku akan terbebas dari semua perasaan ini. Nyata, semakin lama perasaan ini malah semakin mengikat.

Aku tidak suka.

Aku benci.

Aku benci karena semua perasaan itu membuatku lemah dan... kesepian.

Seharusnya aku sudah terbiasa dengan semua ini. Tapi mengapa tetap terasa menyesakkan?

Dan yang paling membuatku bingung adalah karena siapa dan untuk siapa denyut ini berdetak?

.

mmmoooonnn

.

Denyut aneh itu kembali menerpaku.

Mataku tak bisa kualihkan, seketika genggaman tanganku semakin kuat, sementara kakiku terasa mulai tak bertulang.

Mata hitam itu menangkapku dan anehnya, aku malah terdiam, tak bisa berpaling.

"Near..." kataku pelan dan lirih. Kerongkonganku terasa tercekat saat itu juga saat dia mendekat ke arahku.

Saat kami sudah saling berdekatan. Aku bisa melihat bocah itu dengan jelas. Ah, bukan bocah. Dia sudah semakin tinggi sehingga kami sejajar sekarang.

Aku menelan ludahku dengan susah payah, di sisi lain, jantungku berdebar tak terkendali. Ada apa ini sebenarnya?

Alisku berkerut. Aku bingung, dan ingin lari dari tempat ini. Menjauh dari Near, mengenyahkan perasaaan yang membelenggu ini. Aku ingin pergi dan pergi, berlari dan terus berlari, sampai pada akhirnya aku tak perlu melihatnya lagi, tak perlu menatap matanya lagi.

Dan pemikiran itu semakin melemah kala dia bersuara. Suaranya kecil, tapi aku bisa mendengarnya. Dia mengucapkan namaku. Nama asliku.

"Mihael Keehl... akhirnya saya menemukanmu..." katanya dengan raut wajah yang tak berubah. Tapi bisa kulihat sorot lega di matanya. Dan juga...

"Mungkin dia merindukanmu,"

Tiba-tiba aku teringat dengan ucapan Rien. Konyol! Mana mungkin dia merindukanku?

"Apa yang kau inginkan, Albino?" kataku sambil berusaha menenangkan diri.

"Tidak ada," jawabnya datar.

Kami berdua langsung terdiam. Ini membuatku gerah. "Aku mau pulang!"

Aku berjalan menjauhinya, dan tanpa kuduga, Near mengikutiku dan berjalan di sampingku. Keberadaannya di sampingku sungguh membuatku jengah.

"Geezz! Kenapa kau mengikutiku, hah?"

"Memangnya saya tidak boleh mampir ke rumah Mello?"

"Tidak!" jawabku cepat dan keras. Aliran darahku langsung naik ke pipinya.

"Kenapa?" tanya Near sambil menatap mataku tajam.

"Ukh..." Aku tiba-tiba merasa tak berdaya saat dia menatapku seperti itu. Sungguh, itu... membuatku sulit bicara.

Tapi pada akhirnya aku pun menerima kembali keberanianku, "Pokoknya tidak boleh!"

Aku lantas berjalan cepat meninggalkan Near. Tapi yang menyebalkannya di sini adalah kalau Near tetap mengikutiku. Che! Dia benar-benar keras kepala.

Aku mendengus kesal. Biarlah, toh aku tidak akan membiarkannya masuk ke rumahku. Aku akan menutup pintu di depan wajahnya nanti agar dia tidak mengikutiku lagi. Atau aku bisa menyuruh anak buahku untuk menyeretnya pergi.

Hng? Kenapa tiba-tiba aku tidak menyukai pemikiran terakhir itu ya?

"Mello..." panggil Near.

Aku diam dan bersikap keberadaan Near hanyalah angin lalu.

"Mello..."

Aku tetap diam dan genggaman tanganku semakin menguat.

"Mell-"

"APA?" seruku kesal.

Near berhenti sejenak, mungkin menunggu amarahku reda. Aku menghela nafas lalu menunggunya berbicara.

"Apa... saya tidak mendapat pelukan?" tanya dengan wajah datar.

Aku yakin pipiku merona merah sekarang, "Ap...apa yang kau kaTAKAN, HAH?"

"Jadi Mello lupa dengan sumpah Mello sendiri?"

Tentu saja aku ingat, tapi aku mana mau mengakui hal itu. Bayangan tentang obrolan kami dua tahun yang lalu berputar pelan di otakku.

"Kita akan bertemu lagi nanti, saat saya juga sudah keluar dari sana," kata Near yakin.

"Jangan terlalu berharap!" Semoga pipiku tidak memerah. Semoga saja tidak.

"Ini bukan harapan, tapi keyakinan. Keyakinan bahwa kita pasti akan bertemu lagi," kata Near.

Kalimat konyol!

"Itu tak mungkin terjadi!" kataku yakin. Untuk apa juga, aku bertemu dengan Near? "Kalau itu terjadi, aku bersumpah akan memelukmu!"

"Saya pegang sumpah Mello, kalau begitu."

Aku menggeleng kepalaku keras, mengenyahkan pikiran yang mengganggu itu. Memeluknya? What the hell? ..

"Dalam mimpimu pun tidak Near," kataku sambil berjalan lagi.

"Oh, kalau begitu Mello masih berhutang satu pelukan pada saya," kata Near pelan namun terdengar olehku.

Aku memutar bola mataku, wajahku masih bersemu merah. Untungnya aku membelakangi Near, jadi dia tidak melihat wajahku yang merona ini. "Omong kosong," jawabku pendek.

Aku melirik canggung ke belakang melalui ekor mataku, dapat kulihat Near yang berjalan di belakangku dengan mata menerawang ke langit. Jalanan di sini memang sepi, mungkin hanya ada aku dan dia di sini, dan mungkin itu membuat Near nyaman. Dia memang tidak terlalu suka keramaian.

Hatiku menghangat kala mengingat Near mencariku. Dia bahkan keluar untuk menemuiku. Keluar ke dunia yang tak suka dia hinggapi, di mana bukan hanya ada dia dan aku di dunia ini.

Aku tersenyum kecil seraya berpikir, berdua seperti ini bukanlah ide yang buruk. Tapi entah mengapa sekelumit hatiku merasa bersalah karena sudah berkhianat pada seseorang dan benakku memberitahuku bahwa orang itu adalah bocah merah yang dulu sering mengikutiku.

Entahlah. Sekali lagi aku merasa bingung akan ketidaktahuanku ini.

.

mmmoooonnn

.

Bangunan tua itu semakin terasa dekat, aku berjalan semakin pelan ke arah bangunan itu. Memang, aku tinggal di tempat yang terpisah dari markasku. Terkadang aku melakukannya karena aku butuh waktu sendiri. Ya, sendiri, menjauh dari orang-orang yang terasa asing bagiku.

Aku suka di sini, selain tempatnya terpencil, struktur bangunan yang terasa tua namun kokoh, dan kenyataan bahwa rumah ini milikku membuatku nyaman.

Aku menoleh ke belakang dan masih melihat Near sedang memelintir rambutnya. Che! Dua tahun berlalu, dia sama sekali tidak berubah ya?

Aku berbalik dan memandangnya, "Aku peringatkan Near, aku tidak akan-"

"Kalau begitu, saya pergi dulu," sela Near.

Aku melongo dalam diam. Pergi? Dia mau pergi begitu saja? "Gez! Kalau begitu kenapa tidak dari tadi kau enyah dari hadapanku, hah?"

Near hanya diam dan itu membuatku semakin marah. Aku tidak suka diperlakukan seperti itu. "Kenapa kau diam saja, hah?"

"Saya hanya ingin mengantar Mello saja. Sudah lama kita tidak bertemu, jadi saya ingin bersama Mello lebih lama lagi. Tidak boleh?"

Aku sontak gelagapan, "Ka-kau... ap-apa yang-" wajahku kian merona merah. Saking gugupnya, aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa.

Sial! Kenapa dia bisa semudah itu mengatakan hal yang memalukan seperti itu?

Near mendekat, mata kami saling bertatapan. Dia meraih rambutku yang panjang, yang selama dua tahun ini tak pernah kupotong. Tinggi kami yang sepadan membuatku leluasa memandangi wajahnya. Aku terpaku sekali lagi karena sorot mata itu, tak bisa bergerak ataupun berpaling.

"Mello semakin cantik saja..." Kali ini Near tersenyum, dan sungguh, hal itu jelas membuatku tambah gugup dan gugup. Suaraku terasa menghilang dan lidahku terasa kaku. Aliran darahku semakin terpompa ke atas, dan aku berdoa semoga Near tidak mendengar detak jantungku yang terasa bertalu-talu ini.

Aku... aku...

"Near..." Hanya namanya yang terucap di bibirku kala itu. Hanya satu kali aku menyebut namanya. Aku tidak mengatakan apapun lagi sampai dia menghilang di kejauhan, meninggalkanku dengan perasaan tak menentu dan rindu yang terluapkan.

Setelah beberapa saat mematung dalam diam, aku mendapatkan kembali kesadaranku. Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi aku merasa dilema.

Perasaan senang, bingung, dan bersalah menyeruak bersama-sama dan berusaha saling mendominasi. Tunggu! Perasaan bersalah?

Aku menutup wajahku dengan sebelah tanganku seraya berucap pelan, "Aku benci kau, Near..."

.

mmmoooonnn

.

Orang yang menyambutku di rumah tak lain tak bukan adalah Rien. Huh! Ternyata dia masih berada di sini, membuatku tambah kesal saja.

"Kau masih di sini?"

Rien menoleh ke belakang yang tadinya dia sedang menonton acara di televisi, "Kau sudah pulang?" dia melirik saku celanaku. "Kau tadi beli cokelat ya?"

"Memangnya kenapa?"

"Tidak, hanya heran."

Aku duduk di sofa lainnya, "Hn?"

"Yah... kau kan punya banyak anak buah, tapi kenapa kau tidak pernah menyuruh orang untuk membelikanmu cokelat? Aku bisa kok membelikan seberapapun kau mau," kata Rien.

"Tidak, terima kasih," jawabku sinis.

"Itu kan cuma cokelat," celetuk Rien sambil mengerucutkan bibirnya.

Aku membuka bungkus cokelatku dan melirik Rien, "Tutup mulutmu!"

"Oh, iya, tadi aku ke kamarmu-"

"Sudah berapa kali kubilang jangan seenaknya masuk ke kamarku!" semburku marah.

"Habis, aku kan bosan tadi sendirian."

"Kalau begitu kenapa kau tidak pergi saja dari sini? Sekali lagi kau masuk ke kamarku, kubunuh kau!" ancamku sambil menunjuknya dengan batangan coklat yang sudah kugigit.

Rien hanya tersenyum menanggapinya dan kurasa dia pasti akan tetap pergi ke kamarku,"Oh iya, aku menemukan tas lusuh di kamarmu."

"Tas lusuh?"

"Iya," Rien mengangguk, "di bawah kolong meja. Kau mau aku membuangnya?"

Aku mengingat kembali tas itu. Kalau tidak salah itu adalah tas yang kubawa saat aku pergi dari Wammy's House. Aku menaruhnya di sana dan sampai sekarang tidak pernah kubuka karena memang hanya ada barang tak penting di sana. Hanya ada pakaian dan... ehm... surat.

Surat dari Matt.

Kenapa aku bisa lupa?

"Kau membuang tas itu?" tanyaku cepat.

"Tidak, aku menaruhnya di samping lemarimu kok! Apa kau-"

Aku tidak mendengar kelanjutan perkataannya dan langsung melesat ke kamarku dan mencari tas itu.

Ketemu!

Aku membuka tas yang sudah berdebu itu. Hal pertama yang kulihat adalah surat berwarna putih yang mulai terlihat kusam dan lecek. Aku mengambilnya lalu menutup dan mengunci pintu kamarku agar Rien tidak seenaknya masuk lagi.

Kemudian aku duduk di tepi ranjang dan membuka surat itu. Kira-kira apa isinya ya?

.

mmmoooonnn

.

Dear Mello...

Hai... ehm... hai... ehm...

Oke, aku bingung bagaimana harus menjelaskan alasan mengapa aku menulis surat ini.

Dan aku tahu bahwa kau bukanlah orang yang suka dengan penjelasan yang bertele-tele.

Jadi, aku langsung saja.

Aku... ingin mengatakan sesuatu padamu, tapi karena aku tidak sanggup dan takut, aku pun menulis surat ini. Aku tahu kau pasti tertawa saat ini, tapi hey! Sangat sulit bagiku untuk mengatakannya. Bahkan selama bertahun-tahun aku mencoba untuk mengatakannya padamu, itu semua selalu gagal.

Kau tahu kenapa?

Karena aku bingung bagaimana cara mengungkapkannya dengan baik agar nantinya kau tidak menjauh dariku. Karena itu akan sangat menyakitkan bagiku.

Ehm... Mello... apa kau tahu seberapa pentingnya kau bagiku? Yang jelas lebih dan lebih penting dari pada arti seorang sahabat bagimu.

Aku tahu ini mungkin terdengar aneh atau lucu bagimu, tapi aku sudah tidak sanggup mendekap perasaan ini sendirian.

Karena aku ingin kau melihatku, bukan sebagai sahabat, tapi sebagai 'aku'.

Sebagai seseorang yang mencintaimu.

Ya, Mello... aku mencintaimu lebih dari pada yang kau tahu.

Kau mungkin marah jika membaca ungkapan perasaanku ini, tapi aku mohon jangan menjauh dariku.

Kau boleh memarahiku, memakiku, membenciku, bahkan memukulku jika kau mau, tapi jangan tinggalkan aku.

Karena perasaanku begitu mengikatku. Begitu mengikatku padamu.

Mello... aku mencintaimu... selama hampir lima tahun aku mengenalmu. Tidak pernah ada kata sahabat di hatiku, yang ada hanya namamu.

Aku sangat mencintaimu, sampai terasa begitu melambungkan hatiku, dan di saat bersamaan begitu menyakitkan dan menyesakkan bagiku. Mungkin ini terdengar menyedihkan, tapi ini memang benar adanya.

Dan aku sangat yakin satu hal, bahwa beberapa tahun kemudian, tiga tahun atau lima tahun ke depan, perasaan ini tidak akan berubah. Karena walau menyakitkan, aku bersyukur karena orang yang kucintai adalah kau Mello. Aku tidak akan pernah menyesal, Mello. Tidak akan pernah, percayalah...

Aku mencintaimu, Mello.

Mello yang pemarah, ambisius, egois, dan sangat menyukai cokelat.

Dan Mello yang mencintai Near dengan cara membencinya.

Kau harus mengakui hal itu, Mello.

.

mmmoooonnn

.

Dadaku terasa ngilu saat membacanya, dan tanpa kusadari, bulir-bulir air mataku menetes satu persatu.

Matt... mencintaiku?

Matt yang cengeng dan selalu mengikutiku itu... mempunyai perasaan lebih padaku?

Seketika perasaan bersalah membludak di hatiku, membuatku berhenti membaca surat itu.

Matt...

Matt...

Matt...

Bodoh sekali kau... kenapa kau memiliki perasaan seperti itu padaku? Kenapa kau bisa begitu bodohnya tetap mempertahankan perasaanmu padaku padahal aku selalu menyakitimu?

Hatiku tersentuh kala itu juga. Setelah hampir delapan tahun, aku menutup hatiku, mengeraskannya, dan tidak pernah menangisi seseorang selain ayahku, tahukah dia bahwa dia telah berhasil membuatku yang egois ini menangis?

.

mmmoooonnn

.

Tapi ketahuilah Mello, aku menulis surat ini bukanlah untuk membebanimu.

Sungguh, aku tidak akan memaafkan diriku jika aku hanya menjadi beban bagimu.

Aku menulis surat ini hanya karena aku tidak tahu apa lagi yang harus kuperbuat akan perasaanku ini.

Aku tahu... bahwa mungkin... tidak, tapi pasti kau tidak dapat membalas perasaanku.

Aku sudah tahu sejak awal, bahwa perasaan ini hanya akan berakhir sepihak. Sejak aku melihat bagaimana pandanganmu pada Near, sejak aku mendengar kata benci keluar dari mulutmu untuknya, aku sudah tahu. Aku sudah tahu kalau aku telah kalah saat itu juga.

Tapi nyatanya, perasaan ini terkadang sungguh egois dan tak terkendali. Tak terkendali untuk memilikimu.

Namun pada akhirnya aku menyadari satu hal.

Bahwa bagiku tak masalah kau tak membalas perasaanku asalkan aku bisa selalu melihatmu ke manapun mataku memandang.

Karena itu kumohon, biarkan aku berada di sisimu dan tetap mencintaimu.

Kau boleh memandangku sebagai apapun yang kau inginkan, tapi jangan tinggalkan aku.

Keberadaanmu lebih dari cukup bagiku.

Terakhir kali, biarkan hatiku yang sedikit egois ini mengucapkan kalimat itu sekali lagi.

Aku mencintaimu, Mello. Sangat dan teramat dalam.

-Mail Jeevas-

.

mmmoooonnn

.

Tanpa sadar tanganku sudah bergetar hebat saat mataku menangkap dua baris terakhir surat itu.

Ini menyulitkan dan menyesakkan.

Kenapa aku baru tahu? Kenapa aku baru membaca surat ini? Kenapa harus sekarang? Kenapa saat aku sudah bertemu Near?

Namun... apakah ada perubahan jika bukan sekarang? Apakah ada yang berubah dari diriku jika aku membacanya dua tahun yang lalu, sebelum aku pergi tanpa mengucapkan apapun pada Matt?

Aku memikirkan Matt selama sisa hari itu berlangsung. Entah berapa lama waktu bergulir, aku tetap terdiam di kamar itu.

Matt... apa kau marah padaku? Bagaimana perasaanmu saat aku meninggalkanmu?

Aku menunduk dan tergugu, "Ma-maaf, Matt..."

Mungkin akulah yang bodoh selama ini. Mungkin hanya aku yang tidak tahu selama ini. Mungkin akulah yang selalu menyakitimu dan aku tidak pernah meminta maaf padamu, dan kau selalu kembali padaku.

Kau selalu di sisiku.

Kusadari saat itu juga, bahwa aku memang merindukan Matt.

Merindukan senyumnya, matanya yang tersembunyi di balik google, suara game-nya yang berisik, dan bahunya yang terasa begitu nyaman, tempat di mana aku selalu tertidur.

Dan semua perhatiannya yang tertuju untukku.

"Matt..."

Kuremas surat itu dengan perasaan yang lebih berat dan sesak dibandingkan sebelumnya. Hanya ada namanya kali ini di benak dan mungkin di hatiku.

Aku menangis lagi dan lagi.

Aku bodoh. Kenapa aku begitu tak peka sehingga baru menyadari perasaan yang selama dua tahun terakhir ini kutahan sedemikian rupa?

Kenapa aku begitu bodoh untuk menyadari perasaan apa ini?

Aku terbiasa melihatnya, terbiasa berbincang dengannya, terbiasa bersamanya, sehingga aku tak menyadari bahwa mungkin aku sudah mencintainya jauh sebelum aku terbiasa dengannya.

Matt... dia selalu dan selalu ada untukku. Dan aku selalu dan selalu menyangkal kenyataan bahwa aku membutuhkannya.

Dan kini, aku malah meninggalkannya.

Aku tidak tahu lagi, mana yang lebih terluka, aku atau dia?

.

mmmoooonnn

.

Jika kami masih bisa bertemu lagi, akankah ada suatu kepastian akan perasaan dan hubungan kami yang mulai menjauh dan menjauh ini?

Nama itu terucap lagi, lagi, dan lagi, bergema pelan di kamarku. Nama itu membuatku rindu sekaligus sedih.

Rasa duka itu membuatku lemah, dan kali ini aku membiarkan diriku menjadi lemah.

Itu karenamu...

"Matt..."

.

.

T*B*C

.

.

a/n

benar-benar menguras energi. Huh, susah banget bikin chap ini. Karena secara pribadi luna suka banget ama pair NearMello dan luna suka banget ngeliat si Matt menderita*plak

Tapi... buat Mello untuk mengakui perasaannya pada Matt, susuah bangettt! Abis disini dia kan gak peka BANGET!

Nah, yang pertama ketemu ama Mello, adalah Rien, karena dia adalah orang yang paling bebas untuk mencari Mello. Selamat untuk Nachie-chan.

Menurut kalian, pilihan apa yang dipilih Mello? Cewe, banci, cowo?

Chap depan bakalan ada side story lagi. Tapi luna bingung, apa side story-nya dimasukin di sini atau dibuat one shot aja?

Menurut minna gimana?

Terakhir, Luna mohon reviewnya ya...