CRIMSON FALLS

Naruto © Kishimoto Masashi

Terinspirasi dari:

Fear Street Sagas © RL Stine

.

.

Bagian 6

.

.

Sakura Uchiha menatap ke luar jendela dengan perasaan gelisah. Saat itu hari sudah mulai sore, dan dari suara-suara samar yang terdengar dari bawah, tampaknya para tamu juga sudah mulai meninggalkan kediaman itu. Namun entah dengan Neji Hyuuga.

Sejak mereka kembali dari padang rumput beberapa waktu yang lalu, Sakura terus mengurung dirinya di kamar untuk menghindari Neji. Pernyataan cinta pria itu yang sama sekali tak pernah diduganya benar-benar membuatnya terguncang. Bagaimana dirinya tak terkejut, ketika mengetahui bahwa orang yang selama ini ia percaya sebagai seorang sahabat, bahkan pengganti kakak laki-laki yang tak pernah dimiliki, ternyata menyimpan perasaan yang tak seharusnya ada terhadapnya.

Neji mencintainya. Oh, Tuhan ...

Sakura memejamkan mata, menghela napas panjang untuk kesekian kalinya. Ia masih belum pasti dengan perasaannya sendiri mengenai hal ini. Awalnya ia merasa terkejut, lalu marah. Ia marah pada Neji yang berani-beraninya merasakan hal seperti itu terhadapnya—Sakura merasa dikhianati. Namun ketika akhirnya kemarahan itu sirna, ia menjadi sangat cemas dan bingung. Sakura tidak tahu harus berkata apa pada Neji. Ia sangat menyayangi pria itu, dan tak ingin membuatnya terluka.

Dan satu hal yang mengusiknya sejak tadi: bagaimana bisa—bagaimana bisa ia tak pernah menyadarinya selama ini?

"Sakura?" sebuah suara serta-merta membuyarkan lamunannya.

Sakura menoleh ke arah pintu dan mendapati ibunya berdiri di sana. "Ya, Ibu?"

"Tuan Hyuuga akan kembali ke Ame," kata ibunya memberitahu, "apa kau tidak ingin menemuinya sebelum dia pergi?"

Sakura tidak langsung menjawab. Alih-alih ia berpaling ke arah lain sambil menggigit bibir, bimbang. Wanita itu merasa masih belum siap menemui Neji sekarang. Sementara itu Tsunade mengawasinya dari ambang pintu, menunggu. Kekhawatiran jelas terpancar pada sepasang bola mata cokelat madu miliknya. Sebagai wanita yang telah melahirkan Sakura ke dunia dan paling memahami dirinya, Tsunade langsung tahu ada sesuatu yang mengganggu putri semata wayangnya tersebut. Dan apa pun itu, sepertinya ada hubungannya dengan Tuan Hyuuga.

"Kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Tsunade kemudian, tanpa menyembunyikan kekhawatiran dalam suaranya.

Pertanyaan ibunya membuat Sakura kembali tersadar. "Iya, Ibu. Aku baik-baik saja," sahutnya, diiringi seulas senyum yang sedikit dipaksakan. "Aku akan turun sebentar lagi."

"Kau yakin tidak apa-apa, Sakura? Wajahmu terlihat agak pucat."

"Hmm ..." Sakura mengangguk, "hanya sedikit lelah setelah berjalan-jalan tadi, tapi sekarang sudah tak apa."

Tsunade menatap putrinya selama beberapa saat lagi, tampak belum sepenuhnya diyakinkan oleh kata-kata Sakura. "Ibu akan memberitahu Tuan Hyuuga kalau kau masih merasa tidak sehat, Sayang."

"Tidak, Ibu," Sakura buru-buru menyahut, "aku akan turun menemuinya sebentar lagi. Aku mau bersiap-siap dulu."

"Baiklah, Nak," kata Tsunade akhirnya, setelah jeda beberapa saat. Ia kemudian berbalik pergi.

Setelah sosok ibunya menghilang di balik pintu, Sakura segera beranjak dari tempatnya di sisi jendela dan menghampiri cermin tinggi di sudut kamar, memandangi bayangan dirinya di sana. Ibunya benar, wajahnya memang terlihat pucat seperti kurang sehat. Sakura buru-buru menepuk-nepuk pipinya agar sedikit merona, meluruskan gaunnya, lalu bergegas meninggalkan kamar.

Cepat atau lambat, ia tetap harus menemui Neji. Sakura tak bisa menghindarinya terus.

.

.

Neji sudah mengenakan mantelnya dan tampak sudah bersiap pergi ketika Sakura tiba di ruang rekreasi tempat mereka berkumpul sebelumnya. Semua tamu sudah pulang, dan hanya tinggal pria itu di sana, tengah berbincang dengan Tuan Shiranui. Tampaknya pria itu memang sengaja menunggu Sakura, karena ketika ia melihatnya, senyumnya mengembang—kendati tampak sedikit kaku dan tak mencapai matanya yang seputih mutiara.

Tuan Shiranui kemudian meminta diri setelah sebelumnya mengucapkan selamat jalan pada Neji, seakan memberi waktu pada kedua orang tersebut untuk saling mengucapkan kata-kata perpisahan secara pribadi.

"Kau sudah mau pulang sekarang?" Sakura bertanya canggung setelah iparnya pergi, berusaha tidak menatap mata pria di depannya. "Akan sangat menyenangkan jika kautinggal untuk makan malam."

"Terima kasih banyak, Sakura," Neji menolak dengan sopan, "tetapi aku sudah berjanji pada adikku akan segera pulang setelah menyelesaikan urusanku. Aku tidak bisa meninggalkannya terlalu lama."

Sakura mengangguk kaku.

Tepat saat itu, dari arah halaman, terdengar suara ringkikan kuda. Rupanya Kotetsu sudah mengeluarkan kuda milik Neji dari tempatnya ditambatkan di bagian belakang rumah. Sakura menggigit bibirnya. Tiba-tiba saja hatinya terasa berat. Entah karena menyadari Neji akan segera pergi dan tak tahu kapan ia bisa bertemu lagi dengan sahabatnya itu, atau karena dirinya harus mengucapkan kata-kata yang akan menyakiti Neji.

"Kurasa sudah waktunya," kata Neji.

Sakura lalu mengikuti pria itu keluar menuju halaman, di mana kudanya sudah menunggu, siap untuk kembali ke Ame.

"Terima kasih, Hagane," ucap Neji setelah Kotetsu menyerahkan tali kekang kuda itu pada pemiliknya.

"Sayang sekali Anda harus pergi sekarang, Tuan Hyuuga," ujar salah seorang pelayan Tsunade itu, tampak menyesal.

Neji menyunggingkan senyum kecil padanya. "Apa boleh buat, Hagane. Sekarang rumahku bukan di Konohashire lagi, aku jadi tak bisa berlama-lama berkunjung."

"Kalau Izumo sedang tidak mengantar obat ke desa, dia pasti ingin mengucapkan salam perpisahan pada Anda."

"Sampaikan salamku pada Kamizuki yang baik, kalau begitu."

"Tapi lain waktu Anda harus berkunjung kemari jika sempat."

"Akan kuusahakan," sahut Neji.

Kotetsu masih berdiri di sana selama beberapa saat lagi. Dari caranya membuka mulut, tampaknya pemuda itu masih ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus berkata apa. Akhirnya ia hanya berkata, "selamat jalan kalau begitu, Tuan Hyuuga," seraya membungkukkan badannya.

"Ah. Terima kasih sekali lagi." Neji balas mengangguk, sebelum Kotetsu berbalik pergi.

"Mereka sangat menyukaimu—Kotetsu dan Izumo," ujar Sakura pelan, memandangi punggung Kotetsu yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang di pekarangan belakang rumah.

"Aku tahu," sahut Neji sambil mengulum senyum, kembali berpaling pada Sakura.

Sejenak pandangan mereka bertemu, tetapi Sakura buru-buru berpaling dan memusatkan perhatiannya pada kuda milik Neji, membelai leher kekar hewan itu. Suasana kembali canggung. Neji merasakan senyum memudar dari wajahnya. Ia baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika Sakura mendahuluinya.

"Neji," panggilnya lemah. Wanita berambut merah muda itu berhenti membelai leher kuda Neji, tetapi membiarkan tangannya tetap di sana, sementara matanya kembali pada pria di depannya. Ekspresinya terluka. "Tentang yang kaukatakan padaku saat di padang rumput tadi, aku ... benar-benar minta maaf."

"Sakura ..." Neji merasakan hatinya mencelos.

"Aku benar-benar minta maaf, Neji," kata Sakura sebelum pria itu sempat berkata apa-apa lagi. Cairan bening tertahan di pelupuk matanya, membuat sepasang bola mata hijau yang diam-diam selalu Neji kagumi itu tampak berkilauan. "Maafkan aku ... aku sangat menyesal."

Bertahun-tahun mengenal Sakura, memahami kelembutan perasaannya, seharusnya Neji bisa memperkirakan hal seperti ini akan terjadi jika ia menyatakan perasaannya yang sesungguhnya. Namun kerinduannya yang begitu besar terhadap wanita itu, juga keegoisannya telah membuatnya buta. Ia sama sekali tak memikirkan dampak perkataannya pada Sakura. Perasaan tidak enak, atau lebih buruk dari itu, Sakura mungkin akan membenci dirinya sendiri. Dan Neji baru menyadari kekeliruannya itu setelah semuanya terlambat.

"Jangan berbicara seperti itu, Sakura," pria itu memohon. Kali ini ia tak lagi sanggup berpura-pura bersikap tenang, sementara perasaan bersalah semakin mengiris-iris hatinya. "Akulah yang seharusnya meminta maaf—maafkan aku jika kata-kataku telah membuatmu merasa terbebani. Seharusnya aku tak pernah mengatakan hal seperti itu padamu."—Tuhan, mengapa aku bisa begitu bodoh? Mengapa?

Sakura kembali menunduk, sementara air mata mengalir tanpa suara di pipinya. "Aku tidak menyalahkanmu, Neji," ucapnya dengan suara tercekat, "yang kusesali adalah, bahwa selama ini aku telah membuatmu menderita tanpa pernah kusadari. Aku, yang selama ini menyebut diriku sebagai sahabatmu, ternyata adalah orang yang paling banyak melukaimu. Aku—" Sakura mendadak kehilangan kata-kata. Kepedihan karena rasa bersalah membuat ia tak mampu bicara lagi.

"Tidak—tidak. Kau salah," sergah Neji. "Persahabatan yang kau berikan padaku adalah hal yang paling kusyukuri di dunia ini, Sakura. Aku tidak menyesal sedikit pun, dan aku senang bisa membantumu menemukan kebahagiaan bersama pria yang kaucintai. Penderitaanku menjadi tak ada artinya jika dibandingkan suka citaku melihatmu bahagia. Jadi kumohon, Sakura, jangan menyalahkan dirimu karena ini." Neji lalu meraih kedua tangan wanita itu, menggenggamnya dengan lembut. "Melihatmu menitikkan air mata karena aku seperti ini, justru lebih menyakiti hatiku dibandingkan melihatmu bersama Tuan Uchiha."

"Oh, Neji ..."

Butuh waktu beberapa lama sampai akhirnya air mata Sakura berhenti mengalir dan ia menemukan kembali kendali dirinya. Dan selama itu pula Neji tetap berada di dekatnya, menggenggam tangannya seakan itu adalah hal terakhir yang bisa dilakukannya untuk sang sahabat.

"Tak perlu merisaukanku lagi, Sakura," ujar Neji, ketika Sakura menghapus jejak air mata di wajahnya. "Yang perlu kaulakukan sekarang adalah melanjutkan hidupmu dengan laki-laki yang kaucintai, seperti yang selama ini kauimpikan."

"Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini, Neji?" bisik Sakura parau, menatap sahabatnya dengan sorot mata sedih.

"Kurasa itu karena aku orang yang keras kepala," sahut Neji, berusaha terdengar ceria. "Dan orang keras kepala ini memohon dengan sangat pada Nyonya Uchiha yang baik hati untuk tetap memperlihatkan senyum cantiknya. Kalau kau masih saja memperlihatkan wajah keruh dan air mata yang jelek itu padaku di saat-saat terakhir seperti ini, kau sungguh tak punya hati."

Sakura mau tak mau tertawa. "Oh, Neji. Aku pasti akan sangat merindukanmu."

Neji membalas dengan senyum kecil. "Jangan sampai Tuan Uchiha mendengarmu bicara begitu." Keduanya saling bertukar senyum selama beberapa saat, sebelum Neji berkata lagi, "kurasa sekarang sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal."

"Ya," balas Sakura enggan.

Sekali lagi Neji meraih tangan Sakura dengan tangannya yang berbalut sarung tangan kulit, menggenggam jemarinya singkat. "Aku tak tahu kapan kita akan bertemu lagi, tapi kau harus tahu bahwa aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Sakura."

"Terima kasih," sahut Sakura. "Kau juga segeralah menemukan seorang gadis yang baik dan menikahlah. Aku juga akan selalu mendoakanmu dari sini."

Meskipun Neji tak sepenuhnya yakin akan bisa segera menemukan gadis yang mampu menggantikan posisi Sakura di hatinya, pria itu tetap memberikan janjinya. Juga janji untuk kembali di lain waktu, janji untuk tak melupakan. Ia lalu mengangguk singkat pada Sakura, sebelum naik ke pelana kudanya. Dengan satu entakan, kuda berbulu cokelat itu menderap meninggalkan pekarangan kediaman Senju.

Sakura masih berdiri di sana selama beberapa saat lagi, mengawasi punggung sahabatnya yang semakin menjauh, sampai akhirnya menghilang di ujung jalan. Hela napas terlontar dari bibirnya yang tak lagi dihiasi senyum. Entah mengapa, hatinya masih terasa berat.

.

.

Kakashi Hatake masih duduk di belakang meja besar berpelitur di ruang kerja Uchiha Hall ketika pintu ganda ruangan itu terbuka. Pria berambut keperakan itu mendongak dari atas tumpukan dokumen yang terhampar di meja dan mendapati seorang wanita berambut cokelat baru saja memasuki ruangan. Wanita itu membawa sebuah nampan perak berisi secangkir teh yang masih mengepulkan uap hangat dan sepiring biskuit dengan selai di tangannya.

"Kau melewatkan makan malam," ujar Rin seraya menghampiri meja, kemudian meletakkan nampannya di tempat kosong di samping wadah tinta.

"Terima kasih, Sayang. Tapi aku sedang tidak lapar," sahut Kakashi, sebelum kembali menunduk untuk menekuni dokumen lewat kacamata baca yang bertengger di hidungnya.

Rin memberinya tatapan tidak setuju. "Lapar atau tidak, tubuhmu tetap membutuhkan nutrisi, Tuan Hatake. Kalau kau sampai jatuh sakit, siapa yang akan membantu Tuan Sasuke mengurusi semua ini?" Wanita itu melayangkan pandangannya ke arah tumpukan arsip dan dokumen yang sedang dikerjakan sang suami, lalu menghela napas. "Setidaknya, makanlah biskuit ini."

Sang butler kembali mengangkat wajahnya menatap sang istri. Seulas senyum terulas di wajahnya yang sudah dihiasi kerut-merut tipis. "Baiklah. Nanti pasti akan kumakan," janjinya.

Jawaban itu tak lantas membuat Rin lega. Mengenal betul lelaki yang telah menjadi suaminya selama hampir dua dekade itu, Rin sama sekali tak tertipu oleh senyumannya. Wanita itu bisa merasakan kegelisahan yang tersembunyi di balik senyum itu. Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya, dan Rin memiliki dugaan.

"Jika kau ingin bicara sesuatu, kau tahu aku selalu ada untuk mendengarkanmu, Kakashi," ujar Rin lembut. "Aku tahu kau pasti sedang mencemaskan sesuatu. Apakah ini masalah perusahaan Tuan?"

Kakashi tidak menjawab. Mata kelabunya yang lelah menatap Rin yang kini telah menempatkan diri duduk di bangku berpunggung tinggi di seberang meja, menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa merahasiakan apa pun dari istrinya itu. Diiringi helaan napas berat, Kakashi meletakkan kembali dokumen yang tengah dibacanya dan melepas kacamatanya.

"Tidak ada masalah dengan perusahaan, Sayang," Kakashi memulai, "tapi, ya, ini masih ada hubungannya."

Rin mengangguk, namun tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan suaminya melanjutkan penuturannya tentang permasalahan yang tengah mengganggu pikirannya. Ternyata dugaannya memang benar—ini masih ada hubungannya dengan kunjungan mendadak orang-orang yang dipercaya Kakashi untuk mengurusi bisnis Uchiha di luar Konohashiretadi siang ke Hall.

Keluarga Uchiha memiliki beberapa perusahaan yang tersebar di seluruh negeri. Pada umumnya mereka menggunakan nama lain sehingga tak banyak yang tahu bahwa perusahaan itu adalah milik Uchiha. Selama bertahun-tahun, Sasuke Uchiha, sebagai pewaris tunggal, selalu mengurus semuanya melalui surat-menyurat. Sifatnya yang sangat tertutup membuatnya enggan beriteraksi langsung dengan orang luar. Dan jika ada sesuatu yang memerlukan dirinya turun tangan, Sasuke akan memercayakan sepenuhnya pada Kakashi.

Kakashi Hatake bagi Sasuke Uchiha, bukan sekedar butler yang hanya mengurusi urusan domestik, tetapi lebih dari itu. Kakashi adalah tangan kanan, pelindung, mentor—seseorang yang loyalitasnya pada Sasuke tak perlu dipertanyakan lagi. Kakashilah yang mengurus dan membesarkan Sasuke sejak kecil. Ketika keluarga Uchiha jatuh akibat wabah penyakit aneh, Kakashi diberi kuasa penuh oleh kepala keluarga Uchiha saat itu untuk mewakili Sasuke bertanggung jawab atas semua aset Uchiha, termasuk perusahaan yang tersebar di mana-mana, sampai Sasuke cukup dewasa untuk mengambil alih.

Hanya saja beberapa bulan terakhir ini, alih-alih melakukan korespondensi sebagaimana yang biasa dilakukan, Sasuke Uchiha lebih memilih pergi sendiri untuk mengunjungi bisnisnya di luar desa. Pada awalnya Kakashi memang merasa ada yang aneh dengan perubahan yang begitu mendadak itu, ditambah Sang Tuan tidak pernah sekali pun mendiskusikan masalah ini dengannya. Tetapi Kakashi selalu menepis kecurigaannya dan mencoba berpikir bahwa mungkin sudah waktunya bagi Sasuke Uchiha untuk lebih bertanggung jawab, karena dirinya adalah seorang kepala keluarga sekarang.

Dan Kakashi pasti akan terus berpikiran seperti itu, jika saja bukan karena kedatangan mereka siang tadi, orang-orang yang merupakan kaki tangannya untuk menjalankan bisnis Uchiha di luar desa. Sebenarnya ini hanyalah sebuah kunjungan biasa untuk membicarakan masalah perusahaan, atau jika ada kontrak atau proyek baru. Hanya saja kabar yang mereka bawa sungguh mengejutkannya. Ketika ia menanyakan perihal kunjungan Sang Tuan, mereka terlihat bingung. Mereka mengaku tak pernah sekali pun Sasuke Uchiha mengunjungi mereka.

Tapi jika Sasuke tak pernah pergi ke tempat mereka, lantas ke mana perginya ia selama ini?

"Tuan tidak pernah berkata apa-apa tentang kepergiannya kecuali itu untuk urusan bisnis," Kakashi mengakhiri cerita dengan helaan napas berat. Jemarinya yang panjang memijat-mijat pelipisnya yang serasa berdenyut-denyut menyakitkan, sementara dirinya tak bisa berhenti memikirkan kemungkinan ke mana tuannya pergi, dan mengapa ia harus berbohong—dan itu membuatnya sangat cemas.

Rin menatap suaminya penuh simpati. Ia bisa memahami apa yang dirasakan suaminya. Bagi Kakashi, Sasuke Uchiha sudah seperti putranya sendiri, orang yang paling ia sayangi sepenuh hati selain keluarganya. Rin tak bisa melupakan bagaimana paniknya Kakashi muda ketika menerobos klinik kecil tempatnya bekerja sewaktu remaja, pucat pasi, dengan tubuh Sasuke yang masih kecil dalam gendongannya, sangat lemah. Ia ingat bagaimana ekspresi ketakutan tergambar jelas di wajah pria itu, bagaimana ia memohon-mohon supaya mereka menyembuhkan tuan mudanya yang sekarat, bersedia melakukan apa pun asalkan Sasuke bisa sembuh. Dan ekspresi yang tampak di wajah Kakashi sekarang, hampir sama seperti waktu itu.

"Kau ingin mendengarkan pendapatku, Sayang?" tanya Rin setelah beberapa saat sunyi.

"Katakanlah."

"Menurutku, Tuan Sasuke pasti memiliki alasan khusus mengapa dia tak memberitahumu masalah itu. Mungkin sesuatu untuk Nyonya Sakura—tapi itu hanya perkiraan—Lagipula, Tuan Sasuke bukan lagi anak laki-laki kecil yang membutuhkan perlindunganmu sepanjang waktu, Sayang. Dia adalah seorang pria dewasa sekarang, yang juga menginginkan ruang pribadi untuk dirinya sendiri."

Jeda sejenak, sementara Kakashi tampak memikirkan kata-kata istrinya.

"Tenanglah, Kakashi." Wanita paruh baya itu mengulurkan tangan di atas tumpukan dokumen untuk meraih tangan suaminya, menggenggamnya lembut. "Tak perlu terlalu khawatir seperti ini. Aku percaya Tuan Sasuke pasti bisa menjaga dirinya sendiri—dia tahu apa yang dia lakukan. Tugas kita sekarang adalah percaya padanya dan menyokongnya semampu kita."

Keheningan menyusul. Kedua mata kelabu milik Kakashi menatap sang istri di seberang meja, sebelum kemudian menghela napas berat. "Kurasa kau benar, Rin," ujarnya dengan suara lelah. "Barangkali aku memang terlalu terbiasa melihatnya sebagai Tuan Muda yang harus kujaga."

"Karena kau menyayangi Tuan dengan tulus seperti anakmu sendiri, itulah sebabnya," Rin menyahut sambil tersenyum lembut.

Kakashi tak mengatakan apa-apa. Pria itu hanya membalas senyum istrinya dengan tulus, bersyukur dirinya memiliki seseorang seperti Rin yang selalu dapat ia andalkan untuk berbagi. Meskipun sejujurnya ia masih merasa agak cemas dengan keberadaan Sasuke saat ini.

"Jangan tidur terlalu larut," pesan Rin ketika ia sudah beranjak dari tempatnya.

"Aku tahu. Aku akan segera ke kamar setelah pekerjaanku selesai," janji Kakashi. "Anak-anak sudah tidur?"

"Hikari sudah pergi ke kamarnya, tapi Arashi masih membaca di dapur saat aku meninggalkannya tadi."

Kakashi mengangguk. "Sampaikan padanya untuk segera pergi tidur, karena besok pagi dia harus memulai lagi pelajarannya."

"Akan kusampaikan," kata Rin, tersenyum. Setelah memberi kecupan terakhir di pipi sang suami, ia pun bergegas meninggalkan ruangan.

Sepeninggal Rin, Kakashi mengenakan kembali kacamata baca miliknya dan berkutat dengan pekerjaannya sebelumnya sambil sesekali memakan biskuit buatan rumah yang disiapkan Rin untuknya. Malam sudah semakin larut ketika akhirnya semua dokumen selesai ia kerjakan. Yang butuhkan hanya tinggal beberapa tanda tangan Sang Tuan dan cap keluarga Uchiha, dan itu bisa ia minta saat Sasuke pulang nanti.

Kakashi baru saja hendak meninggalkan ruangan tersebut ketika suara derak keras membuatnya nyaris menjatuhkan nampan di tangannya. Dengan terkejut ia menoleh ke arah suara dan mendapati jendela terbuka lebar. Angin malam yang dingin berhembus kencang dari luar, melembungkan tirai-tirai jendela. Kerutan samar muncul di antara kedua alis Kakashi. Seingatnya jendela itu dalam keadaan tertutup saat ia masuk tadi.

Kakashi lantas meletakkan kembali nampannya di atas meja dan menghampiri jendela untuk menutupnya. Namun ia tak serta-merta melakukannya. Pandangannya sejenak menyapu taman Uchiha Hall yang luas dan gelap. Deretan topiari-topiaritinggi tampak bergoyang-goyang mengerikan tertiup angin. Permukaannya yang hijau bermandikan cahaya keperakan bulan purnama yang menggantung rendah di langit.

Dan saat itulah ia mendengarnya—suara lolongan serigala.

Terkesiap, Kakashi serta-merta menutup jendela sehingga suara itu terblokir, walaupun tak sepenuhnya. Pria itu bisa merasakan bulu kuduknya meremang, dan jantungnya bergedup kencang.

Aneh.

Hutan yang mengelilingi Konohashire, terutama wilayah yang dekat dengan kawasan Uchiha Hall memang terkenal dihuni oleh kawanan serigala. Seharusnya bukan hal aneh jika suara lolongan mereka seringkali terdengar. Tapi kali ini berbeda dengan suara yang biasa ia dengar. Ia merasakan kengerian menjalari sekujur tubuhnya hanya dengan mendengar suara itu.

... padahal suara itu terdengar jauh.

.

.

"Neji bilang dia mencintaiku, Ibu."

Tsunade, yang saat itu baru saja selesai berganti gaun tidur, menoleh untuk memandang sang putri yang duduk di atas ranjang. Sakura juga sudah mengganti gaun rumahnya dengan gaun tidur lama miliknya. Rambut merah mudanya yang panjang sudah diurai dari sanggulnya dan disampirkan ke bahunya. Cahaya lilin menari-nari di mata hijaunya, membuatnya tampak berkilauan, kendati saat itu tatapannya tengah kosong.

Menghela napas, Tsunade kembali berbalik untuk melipat gaunnya sebelum menyimpannya di keranjang pakaian kotor. Entah mengapa ia tak terkejut mendengar penuturan putrinya tersebut. Sejak awal ia sudah menduganya. Cepat atau lambat, Sakura akan mengetahui perasaan Tuan Hyuuga terhadapnya. Meskipun Tsunade tidak bisa memastikan bagaimana perasaannya mengenai hal ini sekarang. Yang jelas ia merasa bersimpati pada Tuan Hyuuga yang malang.

"Dia mengatakannya padamu, akhirnya," komentar Tsunade lembut.

Sakura menelengkan kepalanya, menatap sang ibu sementara Tsunade berjalan mengitari ranjang dan duduk di sisi lainnya. "Ibu sudah tahu?"

Tsunade memberinya senyum penuh arti. "Dia selalu menatapmu dulu, Sayangku, dan memperlakukanmu dengan istimewa. Semua orang bisa melihatnya."

Sakura berpaling, mendesah. Ekspresi penuh sesal tergambar di wajahnya. "Semua orang, kecuali aku. Aku tidak mengerti, bagaimana aku bisa tidak menyadarinya? Padahal dulu kami hampir selalu bersama-sama," bisiknya, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

"Mungkin karena saat itu hati dan pikiranmu terlalu tertuju pada yang jauh, sehingga tidak melihat apa yang ada di dekatmu," ujar Tsunade lembut, "tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri seperti itu. Lagipula, kadang kala memang ada sesuatu hal yang lebih baik kita tidak mengetahuinya daripada mengetahuinya."

Pandangan Sakura kembali pada ibunya.

"Ibu mengerti, kau pasti masih merasa bersalah setelah mengetahui perasaan Tuan Hyuuga yang sebenarnya padamu. Tetapi kau juga harus memahami situasi yang mungkin mendorongnya mengatakan semuanya padamu." Ia berhenti sejenak, menunggu Sakura mengatakan sesuatu. Tapi ketika sang putri tidak kunjung bersuara, ia melanjutkan, "dia sudah mencintaimu sejak lama, sama sekali tidak mudah baginya untuk menyembunyikan perasaan seperti yang selama ini dilakukannya, Sakura. Terlebih saat dia tahu kau mencintai orang lain. Mungkin dia sudah mencapai satu titik di mana dia sudah tak sanggup lagi memendamnya lebih lama—sama seperti dirimu, saat kau memutuskan untuk mengejar Tuan Uchiha."

Sakura menekuk lututnya ke dada sementara memikirkan kata-kata ibunya, menyandarkan kepalanya ke kepala tempat tidur yang terbuat dari kayu. Matanya menerawang. "Dia juga bilang tidak ingin terus-menerus hidup dalam penyesalan," bisiknya, diiringi helaan napas berat.

"Jika begitu adanya, anggap saja kau sudah membantunya lepas dari penyesalan. Anggap saja dengan mengetahui semuanya, kau sudah membebaskannya dari penderitaan."

Seulas senyum sedih mengambang di wajah Sakura. "Menurut Ibu begitu?"

Tsunade mengulurkan tangannya, membelai rambut sang putri dengan penuh kasih sayang. "Ya," ujarnya seraya tersenyum. "Memang tidak mudah menerimanya, tapi cobalah untuk tidak menjadikannya beban, Anakku. Ingatlah bahwa kau memiliki suami yang juga mencintaimu. Apa yang akan dikatakan oleh Tuan Uchiha jika ia tahu kau terlalu banyak memikirkan laki-laki lain?—bukan berarti Ibu ingin kau melupakan pertemananmu dengan Tuan Hyuuga."

Sakura menarik napas dalam-dalam. Memikirkan suaminya, tiba-tiba saja Sakura merasa agak bersalah. "Ibu benar," desahnya, "seharusnya aku lebih memikirkan apa yang nanti akan kulakukan saat Sasuke pulang."

Tsunade memberikan anggukan setuju sebelum menarik kembali tangannya. "Sekarang sebaiknya kita beristirahat. Malam sudah semakin larut."

"Hmm ..." Sakura mengangguk. Namun alih-alih merebahkan dirinya seperti yang dilakukan ibunya, Sakura malah beranjak dari tempat tidur dan mengenakan mantel kamar di atas gaun tidurnya yang berbahan tipis. "Aku mau ke dapur sebentar, Ibu. Kerongkonganku rasanya kering."

"Matikan lilinnya kalau kau sudah selesai."

"Aku tahu," sahut Sakura, mengambil wadah lilin dari atas meja nakas, lalu keluar menuju bordes di depan kamar.

Setelah beberapa bulan tinggal dan terbiasa dengan Uchiha Hall, Sakura baru menyadari betapa sederhananya rumah yang sudah didiaminya selama bertahun-tahun tersebut. Tidak seperti Uchiha Hall yang memiliki lorong luas berpanel kayu berukir dan dihiasi ornamen dan lukisan-lukisan berharga, tempat itu begitu sempit dan polos. Dindingnya hanya berhias tempat-tempat lilin sederhana, sementara lukisan anggota keluarga yang dibuat oleh seniman berbayaran murah hanya menghiasi ruang rekreasi. Namun demikian memiliki kehangatan yang membuat Sakura selalu merindukan tempat itu.

Lamat-lamat ia bisa mendengar suara sepupunya, Shizune, yang tengah membacakan dongeng pengantar tidur untuk anak-anaknya di balik pintu kamar yang dulunya adalah kamarnya. Juga suara nyanyian Sasame yang terdengar lembut dari arah kamarnya di loteng. Pelayannya itu memang suka sekali bersenandung, dan karena suaranya yang merdu, Tsunade selalu senang mendengarkannya.

Ah, rasanya sangat berbeda dengan Uchiha Hall yang walaupun begitu megah bak istana, namun begitu sunyi dan dingin.

Tersenyum pada dirinya sendiri, Sakura turun menuju dapur. Semua lilin sudah dimatikan di ruangan itu. Pencahayaan hanya berasal dari bara api yang masih menyala di perapian. Sakura meletakkan wadah lilinnya di atas meja, lalu mengambil gelas dan cerat berisi air.

Trak!

Sakura tersentak. Ia baru saja hendak mengisi gelas dengan air ketika permukaan benda kaca yang dipegangnya mendadak retak. Sakura tidak mengerti. Itu hanyalah sebuah retakan kecil, namun entah mengapa membuat perasaannya menjadi sangat tidak enak. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Dadanya terasa sesak.

"Sasuke ..."

.

.

Neji Hyuuga memacu kudanya lebih cepat menyusuri jalanan lengang yang dipagari belantara hutan menuju perbatasan Konohashire. Matahari sudah menghilang sejak tadi, dan kini kegelapan menyelimuti langit Konohashire seperti beledu gelap. Jika bukan karena sinar bulan yang bersinar terang menerangi jalanan itu, barangkali ia tak bisa melihat apa-apa.

Ini di luar perkiraannya. Seharusnya ia sudah tiba di perbatasan sebelum gelap dan mencari penginapan untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke Ame. Tetapi rupanya urusannya tak bisa diselesaikan secepat yang ia kira. Ia tertahan di Konohashire lebih lama dari yang direncanakan. Ah, tiba-tiba saja Neji menyesali keputusannya menolak saran Genma Shiranui untuk bermalam di desa.

Tapi sekarang bukan saatnya untuk menyesali keadaan. Ia harus segera sampai di perbatasan. Hutan ini membuatnya gugup. Entah mengapa, sejak tadi ia dihantui perasaan seseorang—atau sesuatu—tengah mengintainya dari kegelapan di balik pepohonan itu. Mendadak ia teringat pembicaraan dengan Nyonya Mitarashi beberapa jam lalu, tentang monster serigala yang meneror desa, monster yang muncul pada setiap malam puncak purnama.

Neji merutuki dirinya sendiri. Mengapa di saat seperti ini dirinya malah teringat pembicaraan tak masuk akal seperti itu? Tidak ada yang namanya monster serigala. Itu semua hanya mitos.

Tapi benarkah hanya mitos?

Dengan perasaan was-was, Neji meyapukan pandangannya ke arah langit. Bulan purnama penuh menggantung tepat di atas kepalanya.

Menggeleng kuat-kuat, Neji berusaha menepis semua pikiran itu dari dalam kepalanya. Tak ada gunanya. Yang terpenting sekarang adalah segera tiba di perbatasan.

Tepat saat itu tiba-tiba suara lolongan serigala merobek kesunyian malam. Neji nyaris terlempar dari punggung kudanya ketika hewan itu meringkik keras dan mendompakkan dua kaki depannya ke udara. Sembari mati-matian berusaha menenangkan kudanya yang gelisah, Neji menatap liar ke kegelapan di kedalaman hutan dan merasakan gelombang perasaan dingin menjalari tulang belakangnya. Suara tadi terdengar sangat dekat, begitu jelas seakan pemilik suara itu berada tepat di sampingnya. Tapi Neji tak bisa melihat apa pun. Hanya kegelapan.

"Sebaiknya kita segera pergi dari sini," Neji mendesis pada kudanya, sebelum memecutkan tali kekang dan hewan itu kembali melesat menembus udara malam yang dingin. Lebih cepat dari sebelumnya.

Jantungnya berpacu semakin cepat seiring dengan semakin cepatnya derap langkah kudanya berlari menembus kegelapan malam. Sekilas tadi ia mendengar suara geraman binatang yang jelas-jelas bukan berasal dari kudanya. Sekelebat bayangan gelap melesat secepat angin di antara pepohonan.

Kejadiannya berlangsung begitu cepat.

Seekor binatang besar berbulu menyerbu mereka dari arah samping. Neji bisa mendengar ringkikan panik kudanya, sesaat sebelum mereka terhempas ke tanah.

"Aaargh!" erangan sontak terlepas dari tenggorokkan pria itu ketika tubuhnya berbenturan keras dengan permukaan tanah yang kasar dan keras. Sebelah kakinya yang tertimpa tubuh kudanya terasa sakit—teramat sakit. Pandangannya berkunang, meski begitu Neji berusaha keras untuk tetap tersadar.

Terengah, Neji mencoba mengangkat dirinya dari tanah. Namun usahanya gagal. Sebelah kakinya tersangkut sadel dan terjebak di bawah tubuh kudanya yang tak lagi bergerak—mati. Pria itu terbelalak ngeri saat mendapati luka mengerikan di leher tunggangannya yang nyaris putus. Cairan merah pekat dan berbau anyir membanjir di tanah yang berselimut dedaunan mati.

Namun ia tak punya waktu untuk merasa mual. Suara geraman itu terdengar lagi, mengalihkan perhatian Neji dari si kuda malang. Tak jauh dari tempatnya terjatuh, sesosok makhluk besar tengah menatap ke arahnya. Neji terkesiap. Tubuhnya seakan membeku, dijalari kengerian luar biasa saat melihat penyerangnya dengan jelas untuk pertama kali.

Cahaya bulan yang putih dan dingin menerangi sosoknya—besar, dengan bulu kelabu kasar. Air liur yang bercampur darah dari korban pertamanya menetes-netes dari moncongnya terbuka, memperlihatkan taring mematikan. Sepasang mata semerah darah menatapnya lapar.

Makhluk itu beringsut perlahan ke arahnya, menggeram buas, memamerkan kuku-kukunya yang panjang, melengkung membentuk cakar yang tajam. Cakar yang siap mengoyak dan mencabik-cabik.

Serigala?

Manusia serigala?

"... tidak ada seorang pun yang pernah melihat monster semacam itu."

"Tidak ada yang pernah melihat, karena semua orang yang pernah melihatnya sudah mati semuanya ..."

Dengan tangan yang bergetar hebat, Neji dengan susah-payah mencoba meraih gagang pistol dari balik mantelnya, lalu mulai menembaki monster di hadapannya itu. Namun sekali lagi usahanya sia-sia belaka. Neji mengatap ngeri ketika ia melihat peluru-peluru yang ditembakkannya terdorong keluar dari balik bulu-bulu kelabu itu, sebelum berjatuhan ke tanah. Mereka sama sekali tak melukainya, justru membuat serigala itu semakin marah.

Menggeram buas, sang monster menyerbu ke arahnya.

"Oh, Tuhan ... tolong aku ..."

.

.

.

.

.

.

"Kau yakin mau pulang hari ini, Nak?"

Sakura tersentak dari lamunannya dan memandang ibunya yang duduk di seberang meja makan. Tsunade balas menatapnya dengan raut khawatir.

"Y-ya, Ibu," sahutnya dengan seulas senyum yang dipaksakan, seraya buru-buru melanjutkan acara makan siangnya yang tertunda karena sibuk melamun. "Aku sudah bilang pada Kakashi akan pulang setelah makan siang."

"Tapi sejak pagi kau kelihatan kurang sehat, Sayang. Tidakkah sebaiknya kau menunda kepulanganmu untuk sementara waktu? Tuan Hatake pasti bisa memahami. Lagipula, bukankah suamimu tak akan pulang ke Konohashire dalam beberapa hari?"

"Aku baik-baik saja, Ibu," sahut Sakura pelan tanpa memandang ibunya, dan tak mengatakan apa-apa lagi setelahnya.

Sebenarnya ia bisa saja mengikuti saran Tsunade untuk menunda kepulangannya dan menghabiskan beberapa hari lagi bersama keluarganya, tak peduli ia sehat atau tidak. Akan tetapi kegelisahan yang dirasakannya sejak semalam membuatnya merasa ingin kembali secepatnya ke Uchiha Hall. Padahal ia sendiri tak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya membuat hatinya begitu gundah. Rasanya memang tak masuk akal, tetapi ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Entah apa itu.

Suara derap kaki dan ringkikan kuda terdengar dari arah halaman, mengalihkan perhatian semua orang di ruang makan.

"Sepertinya ada yang datang," kata Shizune.

Dari jendela yang terbuka, mereka bisa melihat Izumo Kamizuki, salah seorang pelayan Tsunade, berlari ke arah halaman.

"Sepertinya ada seseorang yang sakit di desa." Tsunade meletakkan garpu dan serbetnya, lalu beranjak dari bangkunya di ujung meja untuk memeriksa siapa yang datang.

Akan tetapi belum sempat ia mencapai pintu, Izumo menghambur masuk dengan napas terengah. Wajahnya pucat pasi.

"Dokter Senju!"

"Ada apa?" Tsunade terkaget-kaget melihat Izumo yang tampak panik. "Apa yang terjadi? Siapa yang datang?"

Butuh beberapa saat sampai pemuda itu menguasai diri. "T-Tuan Nara."

Ekspresi di wajah Tsunade berubah. "Ada penyerangan lagi?"

Izumo mengangguk. Shizune menahan napas, memekapkan tangan ke mulutnya yang terbuka.

"Ya, Tuhan ..."

Sakura menatap Izumo dan ibunya bergantian, tampak bingung. Ada apa? Penyerangan apa?

"Mereka meminta Anda segera pergi untuk memeriksa—"

Tepat saat itu, seorang pria muda berambut berkucir tinggi melangkah memasuki ruangan. Sakura langsung mengenalinya sebagai putra dari kepala polisi di desa yang juga salah satu teman dekat Neji, Shikamaru Nara. Topi tergenggam di tangannya, dan ia membungkuk kecil pada Tsunade.

"Tuan Nara," Tsunade membalas sopan. "Benarkah ada penyerangan lagi semalam?"

"Benar," sahut Shikamaru tenang, "seorang pendatang dari luar desa menemukan tubuhnya di parit di dekat perbatasan pagi ini."

"Perbatasan?" Sakura merasakan hatinya mencelos. Neji baru meninggalkan Konohashire sore hari sebelumnya.

"Dokter Senju, kalau Anda tidak keberatan—"

"Tentu. Aku akan bersiap-siap." Dengan sigap, Tsunade bergegas meninggalkan ruangan untuk menyiapkan keperluannya.

"Tubuh siapa yang ditemukan?" tanya Sakura lemah.

Shikamaru menoleh padanya. Matanya membulat, seolah baru menyadari keberadaan Sakura di sana. "Nyonya Uchiha. A-anda di sini?"

"Seseorang terbunuh di perbatasan, apakah benar?"

Shikamaru tak menjawab. Tapi dari cara pria itu menghindari tatapannya, perasaan Sakura semakin tak enak. Ditambah, ia melihat air mata bercucuran di wajah Izumo.

"Siapa?"

"Nyonya Uchiha—" Shikamaru menampakkan ekspresi tersiksa, seakan jika bisa, ia tak ingin menyampaikan berita ini pada Sakura. "Kami belum sepenuhnya yakin, tapi kami punya perkiraan—"

"SIAPA?" tuntut Sakura, mulai takut.

"Sakura ..." Shizune bergegas menghampiri sepupunya, berusaha menenangkannya. Namun Sakura tak menggubrisnya. Perhatiannya terpacang sepenuhnya pada salah satu kawan Neji itu.

Shikamaru mengeluh pelan, dan dengan nada penuh penyesalan ia berkata, "Neji ... Neji Hyuuga."

.

.

Bersambung ...

.

.