SasuSaku fic terinspirasi dari salah satu seri Fear Street Sagas (lupa judul serinya). Dedicated for aya-na rifa'i, my sissy… Balasan untuk fic NejiSaku nan manis yang pernah ditulisnya buatku. Tapi maaf yang ini gak manis, Ay. Huhuhu… T.T
Btw, sedikit edit. Di sini nama Sakura yang asalnya Sakura Haruno, kuubah jadi Sakura Senjuu, supaya sesuai dengan Tsunade. Mudah-mudahan ga terlalu mengganggu J
Summary : Sasuke Uchiha tidak pernah takut pada apa pun kecuali satu hal yang pada akhirnya membuatnya salah melangkah. "Jika cinta sejatimu melihatmu dalam sosok serigala, jiwamu akan terperangkap selamanya di dalam tubuh binatang itu."/SasuSaku/AU/Threeshots/
Rate : T – semi-M
Genre : Supernatural/Tragedy/Romance/lil bit Western
Warning : Alternate Universe, OOC.
CRIMSON FALLS
Naruto © Kishimoto Masashi
Fear Street Sagas © RL Stine
.
.
Bagian 1
.
.
Konohashire, 1810
.
.
Jalanan Konohashire tampak sama seperti biasa pagi itu. Para penduduk desa yang akan memulai melakukan kegiatan harian mereka terlihat memenuhi jalan. Suara-suara sapaan ramah terdengar di sana sini, diselingi suara derap kereta-kereta kuda yang berlalu-lalang. Kegiatan yang biasa bagi para penduduk desa kecil makmur yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang itu.
Sekelompok gadis muda bergaun cerah tampak bergerombol di depan sebuah toko yang menjual pita. Perbincangan bernada riang penuh semangat tentang pesta dansa bulanan yang akan diadakan di Aula desa itu dua malam lagi terdengar dari arah mereka. Sesekali mereka terdengar cekikikan, menarik perhatian para pria-pria lajang yang kebetulan melintas. Namun keadaannya menjadi kebalikannya ketika dua orang itu datang.
Suara derap langkah kuda yang mendekat kontan membuat suara obrolan terhenti dan perhatian para gadis itu teralihkan. Senyum menghiasi wajah-wajah muda nan cantik itu ketika sesosok pria tampan berambut hitam kebiruan baru saja muncul di ujung jalan, memacu seekor kuda tampan berbulu cokelat keemasan. Di belakangnya, kawannya menyusul. Seorang pria sebayanya yang berambut pirang tegak, dengan kuda berbulu putih kesayangannya.
Kedua pria itu kemudian melambat, sebelum kemudian kuda-kuda mereka berhenti di depan sebuah bangunan tepat di sebelah toko pita tempat para gadis tadi berkumpul. Sama sekali tak mengindahkan perhatian yang tertuju padanya –seperti biasa—pria pertama turun dan menambatkan kudanya di tempat tambatan kuda yang tersedia di depannya. Kawannya menyusul, diiringi hela napas keras.
"Di sini lagi," keluhnya.
Pria pertama mengabaikan komentar itu, lalu melenggang memasuki bangunan yang ternyata adalah sebuah kedai makan.
"Sasuke, tunggu aku—Oh, hai, gadis-gadis!" sapa pria kedua sambil melempar senyumnya yang paling menawan ke arah para gadis yang langsung merona dan heboh mengikik.
Naruto Namikaze tersenyum puas. Ia memang tahu bagaimana memanfaatkan pesona yang dimilikinya. Dia memang memiliki paras yang rupawan. Disempurnakan oleh kulit kecokelatan terbakar matahari, rambut pirang terang acak-acakan dan sepasang bola mata sebiru langit musim semi. Belum lagi pemasukannya yang bagus dari hasil pertanian dan bisnis yang dijalani keluarganya, membuatnya menjadi salah satu pria lajang yang paling diidamkan para orangtua yang memiliki anak gadis di Konohashire.
Setelah puas menikmati pandangan gadis-gadis itu, Naruto kemudian menambatkan kudanya di sebelah kuda kawannya dan berjalan masuk. Tanpa menoleh-noleh lagi, Naruto langsung melenggang ke bangku yang biasa ditempatinya bersama Sasuke Uchiha, sahabat karibnya. Seorang gadis berambut cokelat berdiri di sebelahnya, siap dengan catatan pesanan di tangan –lengkap dengan senyum sopan tertempel di bibirnya.
"Seperti biasa."
"Aku juga. Porsi besar, ya!"
"Pesanan segera diantar, Tuan-Tuan," ucap sang pelayan, kemudian melenggang pergi untuk menyiapkan pesanan bagi dua pelanggannya itu.
"Jadi …" Sepasang mata biru Naruto memandang kawannya yang kini tengah menatap ke arah jendela yang terbuka, "… kau memutuskan untuk menyia-nyiakan masakan lezat istri butler-mu dan memilih sarapan di sini lagi?"
Sasuke hanya menanggapi dengan gendikan bahu. Naruto yang sudah terbiasa dengan sikap sahabatnya itu kembali menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sasuke Uchiha memang bukan tipe orang yang suka berbicara panjang lebar. Pria itu memiliki masalah dengan bersosialisasi –setidaknya itu adalah pendapat Naruto. Padahal sama seperti dirinya, Sasuke berasal dari salah satu keluarga terpandang di desa itu. Keturunan terakhir dari keluarga Uchiha, yang kini telah habis akibat wabah penyakit mematikan yang melanda Konohashire bertahun-tahun silam. Ayah, ibu dan kakak lelakinya tak selamat dalam tragedi itu, meninggalkan Sasuke seorang diri mewarisi harta yang tidak akan habis dalam tujuh generasi.
Sasuke Uchiha tinggal sendirian bersama butler-nya di rumahnya yang besar, Uchiha Hall, yang letaknya agak jauh dari pusat desa, terpencil di sisi hutan belantara yang mengelilingi desa itu. Tidak mengherankan Sasuke menjadi sosok yang penyendiri. Ia tak banyak memiliki teman akrab kecuali Naruto, satu-satunya orang yang tahan berlama-lama menghadapi sikapnya yang angkuh dan arogan. Para gadis pun seakan enggan mendekat, meskipun kesempurnaan fisiknya acap kali memikat mereka. Dan Sasuke pun tampaknya tak menunjukkan ketertarikan apa pun pada mereka.
Kecuali pada satu orang. Dan orang itu adalah alasan Sasuke selalu mengunjungi tempat ini.
Gadis pelayan yang mencatatkan pesanan mereka kembali tak lama kemudian, meletakkan pesanan-pesanan itu di atas meja. "Ada yang lain, Tuan?"
"Tidak ada, Ayame. Terimakasih," ucap Naruto seraya melempar senyumnya yang paling memesona pada sang pelayan sebelum gadis itu pergi dengan wajah bersemu merah.
Naruto mulai menyantap makanannya sementara Sasuke masih sibuk menatap ke luar jendela. Kakinya bergerak-gerak gelisah di bawah meja dan jemarinya yang panjang mengetuk-ngetuk meja seolah tak sabar. Naruto yang berkonsentrasi penuh pada santapan paginya sama sekali tak memperhatikan, atau tepatnya, ia tidak ambil peduli. Sasuke selalu seperti itu. Sudah biasa.
Tubuh Sasuke menegang bersamaan dengan terhentinya ketukan jemarinya pada meja kayu. Mata kelamnya menatap tajam ketika sosok yang ditunggu akhirnya muncul di lapang pandangannya.
Seorang gadis muda bergaun biru tampak sedang berjalan menyusuri sisi jalanan di seberang bangunan itu. Rambut merah muda pucat digelung dan ditutup oleh sebuah topi berpita yang senada dengan gaunnya di atas kepalanya. Tangannya yang berbalut sarung tangan putih menenteng sebuah keranjang anyaman yang berlapis kain linen putih. Matanya yang sehijau permata emerald terlihat berbinar ketika gadis itu tersenyum, membalas sapaan orang-orang yang dilewatinya.
Gadis itu, Sakura Senjuu, putri tunggal satu-satunya dokter wanita di desa kecil itu, Tsunade Senjuu. Dan juga satu-satunya gadis yang berhasil memikat Sasuke sedemikian rupa sampai-sampai membuat Naruto khawatir akan kewarasan sahabatnya itu. Siapa yang menyangka, bahwa Sasuke Uchiha yang berhati dingin itu bisa sampai menjatuhkan hatinya pada gadis pendatang ini? Sejak pertemuan pertama mereka beberapa tahun yang lalu ketika Dokter Senjuu belum lama pindah ke desa itu, Sasuke sudah tergila-gila padanya. Tidak ada yang tahu kecuali Naruto.
Namun bahkan Naruto pun tidak tahu, bahwa obsesi Sasuke untuk memiliki gadis itu semakin lama semakin tak tertahankan.
Tatapannya terus mengikuti gadis itu sampai akhirnya Sakura melangkahi ambang pintu restoran dan melenggang anggun menuju meja konter di mana seorang pria paruh baya pemilik restoran segera menyambutnya dengan ramah. "Selamat pagi, Nona Sakura."
"Selamat pagi, Tuan Teuchi!" balas suara bernada ceria itu. "Hari yang menyenangkan?"
Pria paruh baya itu terkekeh. "Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nona. Seperti biasa, kukira?"
"Roti gandumpaling enak di seluruh penjuru Konohashire," sahut Sakura sambil tersenyum cerah. Sasuke memperhatikan ketika gadis itu mengulurkan keranjang anyaman yang dibawanya pada Teuchi.
"Kau membuatku tersanjung," Tuan Teuchi sang pemilik kedai tertawa kecil, seraya mengambil keranjang yang diangsurkan padanya. "Bagaimana dengan tambahan sebotol selai nanas yang baru jadi? Gratis dariku," tawarnya.
"Tuan baik sekali!" Sakura berseru gembira. Manik hijaunya berbinar-binar seakan mendapatkan sebotol selai nanas gratis adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya. "Terimakasih banyak."
Kemudian Teuchi pergi ke bagian belakang restoran di mana dapur berada sambil membawa keranjang Sakura sementara gadis itu menunggu. Sejenak, Sakura hanya berdiri di depan meja bar, menyapa seorang wanita tua yang datang untuk membeli susu dan keju.
Sasuke mengangkat potongan roti panggangnya ke mulut tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ia makan. Atensinya benar-benar tersedot pada sosok berambut merah muda yang kini tengah tertawa di seberang ruangan. Telinganya terfokus pada suara tawanya yang merdu, pada setiap kata yang meluncur dari bibirnya, sampai-sampai ia tidak mendengarkan ketika Naruto mulai berbicara tentang harga gandum yang sedang naik di pasaran –topik bisnis mereka yang biasa.
Saat Sakura akhirnya menoleh ke arahnya, ia merasa seolah dunia menghilang. Ia tertawan dan terpesona saat mata emerald itu menembus matanya. Tidak ada apa pun –atau siapa pun di dunia ini yang lebih penting dari sosok itu. Hanya ada mereka berdua.
Sasuke berusaha tersenyum –sesuatu yang sangat sulit dilakukannya, atau lebih tepatnya, ia nyaris tak pernah melakukannya di depan orang lain kecuali keluarganya yang sekarang sudah tiada. Gadis itu sejenak tampak terkejut, tetapi segera menguasai diri dan membalas dengan anggukan sopan disertai senyum malu-malu. Wajahnya bersemu merah.
Baru setelah Naruto menyenggol lengannya agak keras seraya menyerukan namanya, Sasuke kembali ke alam nyata. Ia menengokkan wajah pada Naruto, memberinya tatapan tidak senang. "Apa?"
"Kau membiarkanku bicara sendiri," sungut Naruto, dengan berani membalas tatapan Sasuke sama galaknya.
Sasuke mendengus kasar, dan ketika ia kembali memandang ke arah Sakura, gadis itu sudah berpaling. Menyadari apa yang sedang diperhatikan kawan baiknya itu, Naruto menghela napas.
"Kalau kau belum berencana bicara padanya sampai pesta besok malam, sebaiknya kau lupakan saja Sakura Senjuu," ujarnya pelan. Namun nama Sakura yang tersebut menarik perhatian Sasuke.
"Apa maksudmu?" Sasuke berpaling dari Sakura dan menatap Naruto dengan dahi berkerut dalam.
Naruto terlihat ragu. Senejak ia mempertimbangkan apakah akan mengatakan apa yang diketahuinya tentang Sakura pada Sasuke atau tidak. Di satu sisi, Naruto yang memahami betul perasaan mendalam yang dirasakan sahabatnya pada gadis itu, merasa tidak akan tega mengatakannya. Namun di sisi lain, Konohashire adalah sebuah desa kecil. Berita sesepele apa pun pasti akan menyebar dengan cepat. Dan informasi yang didengarnya ini bukanlah termasuk berita sepele. Mengingat bagaimana perangai Sasuke, pasti akan sangat buruk jika ia mengetahuinya dari orang lain.
Naruto menarik napas panjang, meletakkan pisau dan garpunya di piring, kemudian menatap Sasuke lurus. "Maksudku adalah, kau tidak akan punya kesempatan lagi, Saudaraku," ujarnya berhati-hati, "Sebenarnya aku tidak ingin memberitahumu ini, tapi …" ia terhenti sejenak sementara keraguan itu menyergapnya lagi, "dari yang kudengar dari orang-orang di desa, Tuan Neji Hyuuga dari Hyuuga Hall akan melamarnya saat pesta nanti."
Naruto yang sudah siap menghadapi kemarahan Sasuke, terkejut mendapati reaksi sahabatnya itu tidak seperti yang dibayangkannya. Sasuke menerimanya dengan cukup tenang, yang dilihat Naruto sebagai sesuatu yang jauh lebih buruk dari kemarahan. Naruto mengenal betul sahabatnya. Dan sorot mata Sasuke sama sekali tidak membuatnya merasa tenang.
"Kuharap kau tidak sedang merencanakan sesuatu yang nekat, Sasuke."
Sasuke tidak mengatakan apa-apa.
Di seberang ruangan, Teuchi baru saja kembali dari dapur, membawa keranjang anyaman Sakura yang kini lapisan kain yang menutupinya tampak lebih menggembung. Sakura mengangsurkan sejumlah uang padanya, mengucapkan terima kasih dengan nada ceria, sebelum berjalan meninggalkan kedai itu. Seorang pria berambut cokelat panjang yang diikat rapi sudah menunggunya di depan pintu. Neji Hyuuga. Sakura bergegas menyongsongnya dengan senyum terkembang, lalu keduanya berjalan bersisian meninggalkan tempat itu sambil berbincang. Tangan pria itu diletakkan di pinggang Sakura.
Kejadiannya begitu mendadak, bahkan Naruto pun tidak sempat mengedipkan mata. Tiba-tiba saja suara gaduh pecah di ruangan itu, diselingi jeritan terkejut dari para pengunjung. Meja yang tadinya berdiri tegak di depan mereka kini sudah tidak ada di tempatnya semula, tergeletak miring dengan peralatan makan yang pecah dan sarapan mereka berhamburan di lantai.
"Sasuke!" Naruto tersentak. Ia berjengit ketika bertemu pandang dengan mata Sasuke.
Mata itu … Naruto tak pernah melihat sorot mata Sasuke yang seperti itu. Keras. Liar, nyaris seperti predator yang sedang marah. Tiba-tiba saja ia merasakan firasat yang tidak enak.
.
.
Malam menyelimuti langit Konohashire seperti beludru gelap, hanya berhiaskan cahaya bulan yang timbul tenggelam dari balik gumpalan awan. Angin malam yang membekukan kulit berhembus menggoyangkan deretan pepohonan di hutan yang memagari desa itu, ditingkahi suara binatang malam. Dan suara derap langkah kuda.
Sasuke Uchiha memacu kudanya lebih cepat menembus belantara hutan yang gelap, hanya dengan mengandalkan cahaya bulan yang samar-samar menerobos dari kanopi dedaunan di atasnya. Mantel panjang yang ia kenakan berkibar di belakang seperti sayap kelelawar raksasa.
Lolongan serigala tiba-tiba terdengar dari kejauhan, dan seketika itu pula kuda Sasuke berhenti mendadak. Binatang itu mengangkat dua kaki depannya dan meringkik gugup seakan bisa merasakan sesuatu yang ganjil semakin mendekat. Sasuke menepuk-nepuk lehernya, berusaha menenangkan tunggangannya. Namun kuda berbulu kecokelatan itu malah berputar-putar dengan gelisah, mencoba untuk berbalik arah.
Butuh usaha beberapa waktu bagi Sasuke sampai kuda itu kembali tenang.
Pria itu memandang berkeliling, tepat ketika lolongan serigala kembali terdengar, seolah meratap, menangis bagaikan jiwa yang tersiksa. Kabut misterius bergerak perlahan di sekeliling mereka. Bulu kuduknya meremang, tetapi Sasuke mengabaikannya. Seulas seringai tipis muncul di wajahnya yang tampak berkilau oleh peluh.
Sudah dekat. Sasuke bisa merasakannya. Aura kegelapan pekat yang menguar di udara ini… mereka sudah semakin mendekati wilayah terlarang itu. Mereka menyebutnya seperti itu karena tak ada seorang pun yang berani mendekati tempat itu. Tepatnya, siapa pun yang mendekati tempat itu tidak pernah kembali. Mereka menghilang begitu saja, seperti ditelan bumi.
Banyak desas-desus yang beredar di desa mengenai tempat itu. Ada yang bilang di sana tinggal seorang penyihir jahat yang suka memakan daging manusia, ada pula desas-desus tentang sarang raksasa. Tetapi Sasuke tahu jauh lebih banyak dari yang dipikirkan siapa pun tentang tempat itu. Sesuatu yang jauh lebih gelap dan jahat dan berbahaya, tetapi juga menyimpan sebuah harapan, setidaknya bagi dirinya. Dan itulah alasan mengapa pria itu nekat pergi ke sana malam ini.
Sasuke sudah merasa sedemikian terdesak sehingga tidak bisa memikirkan cara lain lagi kecuali tempat itu.
Sasuke kembali menarik tali kekangnya, memaksa kudanya melangkah menembus kabut. Sampai akhirnya mereka keluar dari hutan dan memasuki daerah perbukitan yang terjal, dengan kabut yang semakin pekat menghalangi jalan mereka. Tetapi itu tidak cukup untuk menghentikannya. Sasuke terus maju, namun tidak dengan kudanya.
Kuda itu terus-menerus meringkik gelisah, menghentak-hentakkan kakinya di tanah yang lembab, menolak meneruskan perjalanan. Menggeram marah, Sasuke akhirnya menyerah dan turun dari pelana tunggangannya. Diikatkannya tali kekang kuda itu pada salah satu batang pohon.
"Kau tunggu di sini," Sasuke menepuk-nepuk leher kuda yang gelisah itu. "Aku akan segera kembali."
Sasuke meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan setapak yang terjal, menembus semak belukar. Hingga kemudian ia melihat seberkas cahaya temaram di depannya. Cahaya itu berasal dari sebuah ceruk gelap di balik naungan semak-semak tinggi. Aroma aneh yang sedari tadi tercium samar-samar, terasa semakin tajam seiring dengan langkahnya yang kian dekat dengan asal cahaya itu. Langkah Sasuke terhenti tatkala matanya menangkap sebuah bayangan gelap yang bergerak di dalam ceruk. Seakan dikomando, semua inderanya waspada. Sebelah tangannya bergerak ke gagang revolver di pinggangnya ketika pria itu kembali melangkah mendekat.
Ternyata itu adalah bayangan seorang pria –atau setidaknya itulah yang terlihat oleh Sasuke. Sosok itu duduk di depan sebuah api unggun kecil yang dikelilingi batu-batu yang sudah menghitam. Rambut hitamnya yang panjang terjurai menutupi sebagian wajahnya yang pucat seperti mayat. Ia mengenakan jubah panjang mencapai kaki yang sudah lusuh seakan sudah bertahun-tahun tidak dicuci. Samar-samar, Sasuke bisa mendengar suara desisan di antara aneh suara derik api yang melahap kayu bakar.
"Keberuntungan macam apa yang menghampiriku sehingga mendapatkan kunjungan kehormatan di tengah malam buta seperti ini, Tuan Sasuke Uchiha?" kata sosok itu dalam suara rendah seperti mendesis.
Sasuke melangkah keluar dari bayangan mulut ceruk yang menaunginya. "Dari mana kau tahu namaku?" Pria itu tak bisa menahan getaran dalam suaranya. Sasuke tidak pernah takut pada apa pun, tetapi sosok ini entah mengapa membuatnya sedikit gentar.
Sosok itu mengeluarkan suara tawa yang menggema di seisi ceruk batu itu. "Langit sudah meramalkan kedatanganmu, Anak Muda," geram sosok itu sambil berdiri.
Sasuke refleks mundur selangkah. Revolver-nya teracung lurus, namun sosok itu mengabaikan sikap tak bersahabat itu dan berjalan mendekat. Sasuke mengambil langkah mundur sekali lagi ketika tertangkap oleh pandangannya sepasang mata sosok di depannya. Kuning, dengan pupil vertikal seperti mata ular. Belum lagi kepala seekor ular putih yang menyembul dari balik tirai rambut yang menyembunyikan separuh wajahnya.
Seakan bisa mencium ketakutan dalam diri Sasuke, sosok itu menyeringai mengejek. "Dulu reaksi kakek buyutmu juga seperti itu saat pertama kali melihatku. Ah, Madara Uchiha… rasanya baru kemarin pria serakah itu berdiri di hadapanku…"
"Kakek buyutku pernah kemari?"
Seringai sosok itu semakin lebar. "Tentu saja. Menurutmu, dari mana asalnya kekuasaan besar yang didapatkannya dulu, hm?"
Sasuke menelan ludah. Ia sudah pernah mendengar bahwa beberapa dekade lalu keluarga Uchiha adalah keluarga yang berkuasa di Konohashire. Kekuasaan yang begitu besar sampai-sampai tersohor sampai ke luar desa, bahkan hingga ke luar negeri. Kekuasaan yang kini hanya tinggal sejarah, hancur begitu kakek buyutnya itu menghilang tanpa jejak. Orang-orang bilang beliau sudah mati, tetapi tidak ada yang pernah menemukan mayatnya.
"Jadi kau benar… Orochimaru?"
"Anak pintar," desis sosok bernama Orochimaru itu, disertai tawa dingin. Mata kuningnya menatap Sasuke dengan pandangan menilai. "Kau benar-benar mirip kakek buyutmu, Anak Muda. Kalian berdua sama-sama memiliki mata predator, seperti ular ini, tidak akan berhenti sampai kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan…" Orochimaru berjalan dengan kaki terseret mengelilingi Sasuke. Sesekali Sasuke merasakan Orochimaru mengendusnya. "Kakekmu menginginkan kekuasaan. Aku ingin tahu apakah kau akan meminta itu juga –kekuasaan?"
"Tidak," Sasuke menyahut tegas.
Orochimaru kembali berjalan ke depannya, menatapnya tertarik. "Tidak? Wah, aku terkejut."
"Aku tidak tertarik pada hal-hal seperti itu," kata Sasuke, menatap lurus mata kuning di depannya seakan ingin menegaskan apa yang ia inginkan. "Yang aku inginkan hanyalah satu orang. Aku ingin orang ini jatuh cinta padaku. Aku ingin dia hanya melihatku. Hanya aku dan tidak yang lain."
"Ah," Orochimaru menganggukkan kepalanya. Ia menyeringai lagi, sebelum berbalik menuju api unggunnya yang aneh. "Jadi kau menginginkan kekuasaan dalam bentuk yang lain, dan jika boleh kukatakan, bentuk kekuasaan yang tertua, paling kuat, bahkan melebihi sihir yang kuberikan pada kakekmu."
"Aku hanya menginginkan satu orang, bukannya seluruh negeri seperti Madara!" Sasuke menukas gusar. "Jika kau tidak bisa melakukannya, katakan saja dan aku akan segera enyah dari hadapanmu, Kakek Tua."
"Ck ck ck… Aku tidak pernah bilang aku tidak bisa melakukannya," kata Orochimaru dengan nada berbahaya yang membuat Sasuke sedikit berjengit, "Hanya saja cinta adalah hal yang rumit dan kuat. Menguasai hati seseorang dengan memanipulasi cinta…" sosok itu menatap Sasuke dari atas kobaran api yang mendadak membesar dan berubah warna menjadi keunguan, "Apa yang berani kau korbankan demi mendapatkannya?"
"Segalanya," ucap Sasuke mantap, "Kau bisa mengambil semua hartaku jika kau menginginkannya."
Orochimaru tertawa mencemooh. "Roh-roh hutan tidak menginginkan harta duniawi, Anak Muda. Kau benar-benar naïf."
"Lalu apa?" tanya Sasuke tak sabar.
"Sesuatu yang lebih besar, yang hanya kau miliki satu di dunia ini."
Sasuke menggeram. Kesabarannya kian menipis. "Sebutkan saja apa maumu, Orang Tua! Tidak usah berbelit-belit!"
"Jiwamu," jawab Orochimaru sederhana, seakan itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-orang seperti transaksi dagang di pasar-pasar. Seringai jahat menghiasi wajahnya sementara jemarinya yang pucat dan berkuku panjang membelai-belai kepala ular yang melingkari bahunya. "Kau bersedia menyerahkan jiwamu, dan kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan."
Keraguan menyelinap di hati Sasuke. Menyerahkan jiwa sepertinya bayaran yang terlampau besar. Namun pemikiran itu segera terhapus dari benaknya tatkala ia melihat bayangan Sakura dalam api yang berkobar di antara dirinya dan Orochimaru. Sakura yang sedang bercengkerama mesra dengan Neji Hyuuga.
Darahnya mendidih.
"Aku bersedia menyerahkan apa pun, termasuk jiwaku, asal Sakura Senjuu jatuh cinta padaku."
Sepasang mata kuning berpupil vertikal milik Orochimaru menatapnya dari balik api. Kegembiraan liar yang tak bisa dijelaskan terpancar dari sana. "Baiklah…" desisnya. Orochimaru mengeluarkan sebuah tabung berukuran kecil berisi cairan berwarna keemasan dari balik jubahnya. "Mendekat kemari, Sasuke Uchiha."
Tekad Sasuke sudah bulat. Ia lantas melakukan apa yang disuruh –berjalan mendekati Orochimaru, kemudian mengambil tabung yang diulurkan padanya. "Apa ini?"
"Ramuan kesehatan," jawab Orochimaru sambil menyeringai. Sasuke tidak tahu apakah pria itu sedang bergurau atau tidak, tetapi sebelum ia membuka mulutnya untuk bertanya lebih jauh, Orochimaru menyelanya, "Kau minum itu, dan wanita yang kau inginkan akan menjadi milikmu selamanya."
Sebelah alis Sasuke terangkat. "Hanya itu saja?"
"Hm? Apa kau mengharapkan ritual yang lebih menyakitkan?"
"Tidak," sahut Sasuke otomatis. Dan tanpa berpikir dua kali, ia membuka sumbat tabung itu dan menandaskan isinya dalam sekali teguk. Ramuan itu sama sekali tidak berasa, seperti air tawar. Hanya saja pada saat melewati kerongkongannya, cairan itu seakan membakarnya dari dalam, membuatnya tercekik. Sasuke terbatuk. Tabung kosong di tangannya meluncur jatuh, menggelinding ke sudut ceruk.
Selama beberapa saat Sasuke mencengkeram lehernya yang terasa terbakar dari dalam, terbatuk-batuk hebat. Pandangannya mengabur dan kepalanya terasa seperti berputar. Sampai akhirnya semuanya berhenti tiba-tiba. Rasa panas itu lenyap, begitu pula dengan rasa pusing yang menyerang kepalanya. Sasuke mengerjapkan matanya dan memandang berkeliling. Aneh. Ia merasa pandangannya menjadi jauh lebih tajam, begitu pula dengan pendengaran dan penciumannya. Ia bahkan bisa mendengar cicitan binatang pengerat di bawah tanah dan bau mereka yang menjijikkan
"Apa yang kau berikan padaku?" tanya Sasuke dengan suara yang terdengar aneh, seperti menggeram.
"Hanya sebuah simbol bahwa kau menerima perjanjian dengan roh serigala," kata Orochimaru.
Sasuke merasakan sekujur tubuhnya mendadak membeku. Di langit, awan hitam perlahan berarak menjauh, sehingga bulan yang bulat sempurna kini terlihat dengan jelas. Cahayanya yang pucat dan dingin masuk menerangi tempat di mana Sasuke berdiri, menyirami tubuh pria itu.
"Bahwa kau bersedia menyerahkan jiwamu sebagai gantinya…"
Sasuke merasakan panas mulai menjalari sekujur tubuhnya. Kulitnya terasa gatal, yang tak hilang saat ia menggaruknya. Malah perlahan menjadi sangat menyakitkan. Panas, seperti terbakar. Lehernya seperti tercekik.
"Aakh—" Sasuke memegangi lehernya, terbatuk-batuk. Perlahan ia mulai merasakan perubahan.
Pria itu terbelalak ngeri ketika ia menyaksikan bulu-bulu kelabu kasar mulai menumbuhi punggung tangannya –tidak. Tidak hanya di sana. Bulu-bulu itu tengah bertumbuh di seluruh tubuhnya, di lehernya, punggungnya, wajahnya. Ia berteriak tatkala rasa sakit yang luar biasa itu menyerangnya sekali lagi.
"Aaargh!"
"Purnama akan mengubahmu menjadi abdi Sang Roh setiap bulan…"
Tubuh pria itu limbung ke tanah sementara ia berteriak dengan suara serak serupa geraman binatang. Tangannya mencakar-cakar tanah, putus asa mencari pegangan. Hanya saja tangan itu bentuknya tidak lagi tangan manusia. Kuku-kukunya kini memajang dan melengkung, membentuk cakar tajam. Tulang-tulang dalam tubuhnya berderak menyakitkan, membentuk postur hewan berkaki empat. Bahunya melengkung, tungkainya memanjang, tengkoraknya berubah membentuk moncong dengan gigi-gigi tajam. Telinganya yang ditumbuhi bulu kasar tertarik ke atas. Bibirnya menebal dan tertarik ke belakang, membentuk seringai mengerikan.
Seringai serigala.
Suara geraman rendah keluar dari tenggorokan binatang itu. Napasnya panas menderu. Liur menetes-netes dari moncongnya yang terbuka. Matanya yang kini sewarna darah menatap liar ke arah Orochimaru yang menyeringai puas ke arahnya.
"Tidak perlu khawatir, Anak Muda. Kau masih bisa kembali ke bentuk asalmu setiap kali purnama memudar…"
Sang serigala menggeram-geram marah, memberontak dari pakaian manusia yang membelenggunya.
"Selama cinta sejatimu tidak melihatmu dalam sosok serigala, kau akan selalu kembali ke wujud asalmu. Jika tidak, jiwamu akan terperangkap selamanya di dalam tubuh binatang itu. Selamanya, tidak akan kembali ke bentuk manusia."
Serigala itu melolong pilu ke arah bulan, sebelum berlari dengan keempat kakinya meninggalkan ceruk, menerobos semak belukar. Dengan suara tawa melengking yang jahat Orochimaru mengikutinya di belakang. Yang ada dalam pikiran binatang itu saat itu hanyalah kabur dari tempat itu.
Jantungnya berdentum-dentum kencang sementara ia berlari ke rimbunan hutan. Keempat kakinya dengan lincah membawanya menyelap-nyelip di antara pepohonan, melompati dahan-dahan yang menghalangi jalannya. Sampai kemudian ia merasakan sesuatu yang membuatnya berhenti bergerak. Telinganya menegak, hidungnya mengendus-endus.
Bau lezat yang diciumnya di udara membuatnya lapar. Instingnya memberitahunya ada makanan tak jauh dari sana!
Sang serigala menyelinap tanpa suara, ketika ia merasakan kehadiran seekor rusa di dekat sungai. Ia bisa mendengarkan degup jantung binatang bertanduk yang sedang minum di tepi sungai itu. Teratur, sama sekali tak menyadari bahaya yang sedang mengincarnya di balik semak.
Hingga sebuah gerakan tiba-tiba membuatnya waspada. Kepalanya menegak, dan tepat ketika sang serigala menyerang, rusa itu melompat menghindar dan berlari sekencang keempat kakinya yang langsing bisa membawanya.
Tetapi serigala itu bukan predator biasa. Jauh lebih kuat, lebih cepat dan lebih pintar. Dalam sekejap ia melompat, menyambar tengkuk buruannya dengan cakarnya yang berat dan tajam, membuat rusa itu roboh ke tanah lembab. Hewan malang itu mengeluarkan suara tercekik ketika moncong sang predator mengincar lehernya, merobek nadinya dalam sekali gigit. Segera mengakhiri hidupnya tanpa kesakitan yang lebih lama.
Perburuan pertama Sasuke berakhir malam itu.
.
.
Suara kicau burung yang memenuhi udara membangunkan sosok yang kini terbaring tertelungkup di lantai hutan. Sinar matahari yang merasuk melalui celah-celah dedaunan yang menaungi hutan menyinari tubuh pria itu yang kotor oleh tanah dan darah yang mengering. Pakaiannya nyaris hancur tercabik-cabik.
Sasuke mengerang bangun. Ia mengerjapkan matanya yang sudah kembali berwarna hitam, berusaha menyesuaikan diri dengan terang di sekelilingnya. Kepalanya terasa pusing. Otot-ototnya sakit bukan main seakan ia baru saja lari marathon tanpa henti mengelilingi Konohashire seharian.
"Aargh …" Ia mencengkeram kepalanya ketika menarik dirinya bangun dari tanah, dan tersentak kaget ketika melihat tangannya berlumur darah kering. Kuku-kukunya kotor dan ia melihat bulu binatang tersangkut di sana.
Dan ingatan tentang apa yang terjadi semalam menghantamnya. Orochimaru. Ramuan aneh. Sinar bulan. Kemudian … rasa sakit yang tak tertahankan ketika tubuhnya mulai berubah …
"Tidak –tidak mungkin…" Sasuke menggelengkan kepala tak percaya. Pandangannya masih tertuju pada kedua belah tangannya yang kasar dan kotor. Tangan yang semalam disaksikannya berubah menjadi sepasang cakar serigala. Dengan panik ia mengedarkan pandangannya berkeliling hutan. Rasa mual langsung menyerangnya tatkala tatapannya terjatuh pada seogok bangkai rusa tak jauh dari tempatnya. Tubuh hewan malang itu telah tercabik-cabik dengan kejam. Isi perutnya terjurai kemana-mana dan sebagian dagingnya telah habis.
Mendadak Sasuke merasa mual.
Dengan sebelah tangan menangkup ke depan mulut untuk menahan mual, Sasuke merangkak dengan susah payah menuju bibir sungai tak jauh dari tempatnya. Sejenak ia terpaku melihat bayangannya dalam air sungai yang jernih. Ia nyaris tak bisa mengenali dirinya dengan wajah menggelap berlumur darah kering dan rambut kusut masai. Mencoba mengabaikan penampilannya yang berantakan, Sasuke meraup air dengan tangannya dan mulai membersihkan diri.
Keterkejutan yang dirasakannya semenjak ia terbangun pagi itu telah bertransformasi menjadi kemarahan. Ia merasa Orochimaru telah menipu dan menjebaknya. Dan Sasuke bersumpah akan melenyapkan pria itu dengan tangannya sendiri. Namun itu tak ada artinya, karena ketika Sasuke kembali ke ceruk tempat ia menemui Orochimaru semalam, tempat itu kosong. Hanya rerumputan tinggi dan tanaman menjalar yang tampak, seakan tidak ada yang pernah menginjakkan kaki di sana sebelumnya.
.
.