SAKURA'S LOVE STORY
© Masashi Kishimoto
This fic is mine.
.
.
.
Chapter 14: Beneath the water (1)
.
.
Lima hari. Ya, tepat lima hari.
Lima hari adalah waktu yang dibutuhkan oleh Kakashi, Naruto dan Ino untuk membujuk Sakura untuk membuka pintu apartemennya. Kunoichi itu memutuskan untuk mengunci rapat-rapat pintu apartemennya, menyegelnya dengan segel yang tidak memungkinkan apartemennya dimasuki dengan ninjutsu jenis apapun juga—bahkan doujutsu sekali pun—dan tidak pernah keluar rumah sekali pun, meski sekedar untuk menghirup udara segar.
Sakura patah hati untuk yang kesekian kalinya. Sasuke meninggalkan Konoha lagi dan Sai meninggalkan dunia, di saat ia belum bisa menetapkan pada siapa hatinya berlabuh. Takdir yang memberikan pilihan untuknya; ia tak dapat merengkuh yang mana pun.
Naruto sudah hampir mendobrak pintu apartemen Sakura di hari kedua, jika saja Ino tidak mengendalikan emosinya dengan shintenshin no Jutsu—membuat kunoichi berambut pirang itu mampu mengendalikan pikiran Naruto dan menenangkannya.
"Biarkan ia bersedih untuk sementara, Naruto."
"Tapi Ino…bagaimana kalau ia melukai dirinya sendiri?"
"Tidak akan, percayalah padaku."
"Ino…"
"Saat seorang gadis patah hati, ia butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya. Ia butuh waktu untuk sendiri."
Tahu ia tak akan menang berdebat dengan Ino yang juga sudah mengenal Sakura sejak ia masih kecil, Naruto mengalah. Ia meninggalkan apartemen Sakura, setelah sebelumnya meninggalkan sekotak udon di depan pintu apartemen Sakura.
Di hari kelima, giliran Ino yang bersiap mendobrak pintu apartemen Sakura dengan memanfaatkan tenaga Choji. Hampir saja tenaga raksasa pemuda klan Akimichi itu menghancurkan tidak hanya pintu apartemen Sakura, tapi juga seluruh dinding apartemen itu, jika Kakashi tidak tiba tepat waktu untuk menghentikannya.
"Kalian siap membayar semua kerusakan, heh?" tanya Kakashi dengan nada santai, namun secara meyakinkan juga mengancam.
Spontan kedua anak asuh almarhum Asuma itu menggeleng dengan cepat. Kedua bola mata Ino membulat, membuatnya terlihat seperti seekor anak anjing yang sedang memohon untuk mendapatkan sebuah tulang.
"Kakashi-sensei, aku cemas akan keadaan Sakura. Bisa saja ia tidak makan selama berhari-hari," katanya dengan suara terbata-bata.
Naruto yang kebetulan datang bersamaan dengan Kakashi, menunjuk ke satu titik kosong di depan pintu apartemen Sakura.
"Kotak udon yang kutinggalkan sudah tidak ada, Ino. Itu artinya… Sakura-chan mengambilnya, bukan?" Naruto menyeringai penuh kemenangan.
Ino menganggukkan kepalanya berkali-kali. " Kau benar, Naruto. Kemarin aku juga sengaja meletakkan kotak bento di depan pintu. Ia pasti sudah memakannya, yokatta…"
Choji yang sedari tadi terdiam, memandangi Ino dan Naruto secara bergantian. Ia tersenyum malu seraya menggaruki kepalanya.
"Anno…Ino, Naruto, sebenarnya…aku hanya ingin membantu. Aku juga peduli dengan keadaan Sakura setelah kepergian Sasuke dan Sai, jadi aku selalu mengunjunginya setiap malam. Siapa tahu aku bisa masuk ke dalam dan bicara dengannya…" ujar Choji dengan perlahan.
Wajah Ino langsung cerah mendengarnya.
"Choji, kau baik sekali…"
"…setiap aku kemari, pintunya selalu tertutup dan ada banyak kotak makanan di depan pintu. Sakura tidak mau keluar juga meski aku sudah mengatakan bahwa ada banyak makanan di depan pintunya. Jadi…" Chouji berhenti sesaat dan tersenyum malu.
Naruto dan Ino berpandangan—merasa ada yang tak beres dengan nada bicara Chouji.
"Jadi apa, Choji?" tanya Ino dingin—kontras sekali dengan nada bicara sebelumnya.
"…jadi aku bawa saja semua makanannya pulang dan kumakan habis. Sayang kalau basi, kan?" Choji menyeringai dan memandangi kedua temannya dengan mata membulat.
Detik berikutnya, Ino sudah menghujani pemuda bertubuh gemuk itu dengan tinjunya—membuat Choji meringis berkali-kali—bukan karena kesakitan, melainkan karena kegelian.
"Tega sekali kau, Choji! Bagaimana kalau Sakura-chan keluar dari kamarnya tengah malam," tukas Naruto dengan wajah sebal. " Ia pasti kelaparan dan kau sudah menghabiskan semua makanan yang kami kirim."
"Tak heran badanmu sebesar itu, Choji!" seru Ino, masih kesal.
Kakashi menggelengkan kepalanya berkali-kali, malas terprovokasi anak-anak asuhannya itu. Ia memandangi pintu yang tertutup rapat itu dengan seksama. Apa tiap kali Sakura patah hati, ia harus mengunci diri di apartemennya, ia bertanggung jawab untuk membujuknya? Jika ia masih akan patah hati lagi di masa depan, apa sebagai sensei ia akan bosan membujuk gadis ini?
Mendadak bayangan yang susah payah ia keluarkan dari kepalanya—baju tidur nan tipis, melayang dihembus angin dari jendela dan menyingkap sesuatu yang membuat tubuhnya merinding—kembali tergambar samar-samar benaknya. Copy-nin itu menggelengkan kepalanya berkali-kali, mengusir bayangan Sakura saat ia coba membujuknya sesaat setelah Sai pergi meninggalkan Konoha, menuju Negeri Angin.
Tidak, sudah cukup ia terlibat masalah dengan dirinya sendiri karena mengikuti permintaan semua orang untuk membujuk Sakura yang sedih. Cukup sekali itu saja. Ia tak akan mampu menyingkirkan koleksi Icha-Icha Paradise kesayangannya selama tiga bulan seperti waktu itu.
Tak sadar, pria berambut perak itu terus saja menggelengkan kepalanya, membuat tiga orang anak didiknya memandanginya dengan keheranan.
"Kakashi-sensei, ada masalah?" tanya Ino, penasaran.
"Apa?"
"Kau terlihat ketakutan, Sensei," tukas Naruto.
Kakashi langsung terkekeh geli, menggaruki kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, lalu berjalan mundur beberapa langkah—berusaha kabur dari tempat itu, karena enggan disuruh membujuk Sakura di kamarnya lagi.
"Tidak—tidak ada apa-apa, aku tidak ketakutan hehehehe…" jawab Kakashi dengan suara yang sedikit bergetar.
"Lalu kenapa kau malah menjauh dari kami, Sensei?" tanya Choji yang menatap dengan keheranan.
"Aku—aku ingat sepertinya ada sesuatu yang harus aku lakukan di suatu tempat," jawab Kakashi asal.
Ino tak membiarkan guru Sakura dan Naruto itu pergi begitu saja. Ia langsung berjalan mendekati Kakashi dan berhenti tepat di depan wajah bujangan itu. ia mendongak, memperhatikan wajah Kakashi dengan seksama. Matanya yang biru menghunjam tepat ke arah mata shinobi andalan Konoha itu, membuat yang ditatap salah tingkah.
Ino tidak jelek dan ditatap seperti itu oleh gadis muda itu membuat Kakashi merasa jengah. Bagaimana pun juga, ia kan pria normal.
Wajah Ino dari Kakashi berjarak hanya kira-kira beberapa belas centi. Pria itu bahkan bisa merasakan hawa hangat tubuh Ino yang menguar dari dirinya—membuat ia lagi-lagi merinding karenanya.
Ada apa dengan gadis-gadis ini? Mengapa berdekatan dengan mereka jadi membuatku panas dingin begini, padahal dulu saat mereka masih kecil tidak pernah ada perasaan aneh tiap kali mereka berada sangat dekat denganku? Kakashi membatin.
Agaknya Kakashi lupa bahwa Ino sekarang adalah seorang gadis muda yang beranjak dewasa dengan tubuh dan paras yang aduhai.
Secara tak disangka-sangka, Ino meraih pergelangan tangannya. Sialnya, kali ini gadis itu tidak memakai sarung tangan, sehingga kulit halusnya langsung bersentuhan dengan kulit lengan Kakashi—membuatnya setengah melompat karena kaget. Ia merasa ada listrik yang memercik dari kulit gadis Yamanaka itu, yang langsung membuat tubuhnya merasa geli.
"Kau!" pekik Ino.
"Ada apa, Ino?" tanya Kakashi, seraya berusaha menenagkan diri karena listrik-listrik kecil yang menyengat dirinya.
"Kau pasti bohong, Sensei!"
"Apanya yang bohong? "
"Kau pasti hanya ingin membaca buku Icha-Icha Paradise atau Icha-Icha Tactics, di suatu tempat yang tenang, tanpa ada gangguan dan meninggalkan kami yang pusing karena Sakura. Benar begitu, Sensei?" tuduh Ino dengan mata memicing tajam.
Naruto dan Choji langsung tergelak, sementara Kakashi sendiri langsung lemas lututnya.
Bagaimana mungkin Ino bisa tahu apa yang ia rencanakan? Kakashi sungguh tak percaya.
"Kau sepertinya sangat kenal kebiasaan Kakashi-sensei, Ino," Choji menyeringai.
"Tentu saja, aku tahu. Aku selalu memperhatikannya! Saat latihan, baca Icha-Icha. Saat makan, baca Icha-Icha. Sedang dalam misi, Icha-Icha tak pernah ketinggalan. Di kamar, juga masih baca Icha-Icha!" Ino menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Aih, aih Ino…apa itu artinya kau barusan mengaku bahwa kau selalu memperhatikan Kakashi-sensei?" gantian Naruto yang menyeringai nakal. Ia dan Choji berpandangan penuh arti.
"Kau bahkan tahu apa saja yang Kakashi-sensei lakukan," Choji menambahkan.
"Bahkan di dalam kamarnya."
"Kau memata-matai Kakashi-sensei ya?" Choji terkikik.
Ino tersentak, menyadari bahwa ia salah bicara. Atau malah baru saja mengemukakan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Apa ia baru saja mengakui bahwa ia selalu memperhatikan Kakashi, tepat di depan hidung Kakashi sendiri?
Bodoh, ia bahkan mengatakan di dalam kamarnya Kakashi juga membaca Icha-Icha Paradise.
Itu seakan menegaskan bahwa ia pernah berada di dalam kamar Kakashi dan melihat pria itu melakukan hal tersebut.
Wajahnya kontan memerah.
"Bukan begitu! Ini tidak seperti yang kalian kira! Kalian juga tahu bahwa Kakashi-sensei selalu membaca Icha-Icha kemana saja, bukan?" gadis pirang itu berusaha membela diri.
"Dan itu salah?" tanya Kakashi dengan pelan.
"Tentu saja salah! Itu akan membuat gadis-gadis takut mendekatimu, karena berpikir kau sangat mesum, padahal mungkin mereka sangat ingin mengenalmu lebih dekat, Sensei!" jawab Ino dengan berapi-api.
"Gadis sepertimu, Ino?" tanya Naruto dengan cepat.
"Ya!" Ino menjawab dengan spontan, tanpa berpikir panjang.
Selesai mengatakannya, ia langsung tersentak dan menutup mulutnya dengaqn tangan kanannya yang bebas. Wajahnya terasa panas membara dan ia yakin sekali wajahnya sudah tidak sewarna kulitnya lagi, entah pucat entah memerah.
Naruto dan Choji tertawa puas, sementara Kakashi hanya mampu memandangi Ino dengan wajah yang juga merona. Ia sungguh tak menyangka, Ino akan mengatakan hal-hal seperti itu…tentang dirinya.
Ino menyadari bahwa ia sudah semakin salah bicara, terpancing kedua temannya yang menyebalkan itu dan secara tak langsung membuka sesuatu yang ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya, tentang pria yang berdiri tak jauh dari dirinya itu—malah cukup dekat saat ini.
"Bukan itu maksudku!" pekik Ino.
"Begitu juga tidak apa-apa, toh kau dan Kakashi-sensei sama-sama single," goda Choji.
"Choji gendutttt! Jangan bicara yang tidak-tidak!" Ino sudah bersiap melompat ke arah Choji dan berniat akan menendang pantat temannya itu dengan sekuat tenaga, ketika langkahnya terhenti dan ia tersadar…
Ia masih memegangi lengan Kakashi.
Gadis itu menoleh dan mendapati pria itu menatapnya dengan mata yang terkesima. Pandangan mereka bersirobok dan spontan saja hati gadis itu berdesir.
Tak perlu tahu bagaimana ekspresi wajah Kakashi di balik maskernya yang menutupi setengah wajahnya. Mata kanannya yang tidak tertutup hitai-ate sudah berbicara padanya, meski mungkin tidak banyak.
Sudah berapa lama ia membutakan matanya pada fakta bahwa anak-anak didik Rookie 9 yang pertama kali menginjakkan kaki di Akademi Ninja Konoha saat mereka berusia 7 tahun, sekarang sudah menjelma menjadi wanita muda awal 20an yang cantik? pikir Kakashi.
Ino menahan napasnya sesaat. Sudah berapa lama ia mewanti-wanti dirinya bahwa ia harus hati-hati pada pria yang lebih tua dari dirinya, karena sesungguhnya ia punya kecenderungan untuk tertarik pada pria yang lebih dewasa, yang ia percaya akan lebih memanjakan dirinya daripada pemuda yang seumuran?
"Kau bisa melepas tanganku, Ino."
"Heh?" Ino masih terpaku dengan mata Kakashi yang tidak tertutup.
"Kalau kau tidak ingin aku membaca Icha-Icha Paradise di depanmu, aku akan usahakan, tapi kau bisa lepaskan tanganku. Aku tidak akan pergi kemana-mana," ujar Kakashi dengan gaya kalem.
Ino langsung melempar tangan Kakashi yang tak sadar sudah ia gamit sekian lama, lalu melompat menjauhi pria itu dan berdiri sejauh mungkin dari pria itu. Naruto dan Choji hanya tersenyum geli melihat keduanya. Sudah lama rasanya tidak ada gosip seru yang berkembang di antara mereka.
Ino berusaha meredakan deru jantungnya yang tak teratur, sementara Kakashi mengatur aliran chakra di tubuhnya yang rasa-rasanya menjadi kacau, setelah bersentuhan dengan listrik Ino selama beberapa waktu.
Tiba-tiba pintu apartemen Sakura terkuak, membuat keempatnya terkejut dan pandangan mereka tertuju ke satu hal yang sama.
Seorang gadis muda yang berdiri dengan tegap di ambang pintu apartemennya. Matanya yang hijau terlihat lelah, mungkin karena terlalu lama menangis. Tubuhnya mengurus, akan tetapi secara keseluruhan ia tidak terlihat terlalu buruk untuk ukuran gadis yang patah hati dua kali dalam waktu yang bersamaan.
"Kalian ribut sekali," ujar Sakura dengan nada terganggu.
"Sakura-chan!" panggil Naruto seraya melompat ke hadapan gadis itu. Ia menyentuh bahu gadis itu dengan kedua tangannya dan mengguncang-guncangkannya, seraya memandanginya dengan lega.
Ino, mengabaikan rasa malunya pada Kakashi, berjalan mendekati Sakura dan terlihat lega melihat Sakura keluar dari apartemennya untuk menemui mereka semua.
"Sakura! Syukurlah, kau akhirnya mau keluar!" pekik Ino.
"Pastinya. Suaramu terdengar berisik dari dalam kamarku, Ino," sindir Sakura.
Ino tak mempedulikan perkataan Sakura barusan, memeluk gadis itu serta-merta. Ia merasakan perasaan haru yang menyelinap ke relung hatinya, mendapati sahabatnya sekaligus rivalnya sejak kecil itu, yang baru saja mengalami kekecewaan dalam percintaan, masih sanggup berdiri dengan kedua kakinya, meski mungkin hatinya sudah hancur lebur di dalam sana.
"Jangan lakukan hal ini lagi pada kami, Sakura," bisiknya di telinga kiri gadis berambut merah muda itu.
"Heh?"
"Mengunci diri dan membuat kami semua setengah mati khawatir padamu."
"Tak perlu mengkhawatirkan diriku."
"Kau sahabat kami, Sakura-chan…tentu kami mengkhawatirkanmu," ujar Naruto dengan nada membujuk.
Ino melepaskan pelukannya pada bahu Sakura, menatap gadis itu dengan mata sayu dan mendapati gadis itu tertunduk. Hanya helai rambut kemerah mudaannya yang terlihat.
"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatirkan aku," suara Sakura terdengar lirih.
"Jangan bilang begitu, Sakura. Apa yang terjadi antara kau dan Sai... dan Sasuke…"
"Tolong Ino, jangan ungkit lagi masalah itu…aku sudah tidak apa-apa."
"Sakura-chan…"
"Aku tidak apa-apa, Naruto."
Ino, Naruto, Kakashi, bahkan Choji tahu gadis itu berbohong. Ia tidak mungkin tidak apa-apa. Tidak mungkin seseorang merasa tidak apa-apa, setelah mengalami patah hati yang bertubi-tubi. Setelah ditinggalkan dua orang pemuda dalam waktu yang bersamaan.
Sakura melirik ke arah Kakashi yang sedari tadi hanya diam. Ia tersenyum tipis melihat guru yang sudah mendidiknya sejak kecil itu memandanginya dengan mata penuh pengertian.
"Temani aku menemani shishou, Sensei," ujarnya pelan. " Aku ingin dikirim ke suatu misi."
"Misi?"
"Ya. Aku ingin sibuk, Sensei."
Semuanya paham bahwa Sakura butuh pelarian untuk melupakan hal yang menderanya. Ia harus menyibukkan diri dengan bekerja dan beraktivitas, dengan begitu ia tidak akan meratap lebih lama lagi.
Tanpa bertanya lebih jauh, Kakashi meninggalkan tempat itu bersisian dengan anak didiknya itu.
.
.
.
Tim yang terdiri dari empat orang itu melompati satu dahan ke dahan lainnya dengan langkah ringan. Dari kejauhan hanya terdengar desau angin yang menghantam tubuh mereka dan kilatan cahaya matahari yang mengintip dari balik tubuh mereka yang berlompatan dengan cepat.
Warna merah muda yang cerah, kuning emas, coklat dan perak terlihat bergantian hinggap dari satu dahan ke dahan lainnya. Langkah mereka terlihat pasti meninggalkan Konoha. Menerobos hutan Konoha yang lebat, mereka melambatkan laju mereka.
"Kita berhenti dahulu di sini!" seru pemimpin Tim itu, Kakashi.
Tempat mereka beristirahat adalah sebuah sungai kecil yang airnya terlihat bersih. Sungai tersebut kelihatan tidak terlalu dalam, asumsi Kakashi. Dasar sungai memang tidak terlihat, akan tetapi ikan-ikan yang berenang dengan leluasa terlihat dengan cukup jelas dari pinggir sungai tempat mereka duduk untuk melemaskan otot-otot kaki mereka. Tak salah jika ia berpikir bahwa sungai tersebut pasti tidak dalam dan berbahaya.
Sakura duduk termenung memandangi air sungai yang jernih. Ino dan Choji terlihat sedang membicarakan sesuatu di bawah pohon rindang, tak jauh dari tepi sungai. Sementara itu Kakashi yang duduk menjauhi sungai, sudah tenggelam dalam buku kesayangannya sambil bersandar ke batang sebuah pohon yang besar.
Ino merengut saat ia melirik sekilas ke arah guru Sakura itu.
"Tak heran ia jadi bujang lapuk," ujar Ino dengan suara tertahan.
Choji yang sedang membuka kotak makannya mengerutkan dahinya dan menyorotkan pertanyaan siapa yang kau maksud ke arah rekan setimnya itu.
"Bagaimana mungkin akan ada wanita yang mau mendekatinya, jika mereka melihat bahwa hobinya adalah membaca buku…vulgar seperti itu," gerutu Ino lagi.
Dengan sepotong sushi di mulutnya, Choji mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Ino sedang membicarakan Kakashi.
"Bagaimana—kau tahu isinya vulgar?" tanya Choji sambil terus mengunyah sushinya.
"Aku sudah pernah baca! Itu sebabnya aku tahu!" seru Ino dengan spontan. "Tehnik merayu wanita. Bagaimana mendapatkan wanita yang kausukai dengan tepat. Bagaimana menyenangkan wanita…" Ino mengepalkan tangannya ke udara, " Dan bahkan yang lebih…dalam lagi."
"Hah? Begitu?"
"Iya Choji! Menakutkan bukan?"
"Tidak juga," Choji mengambil sepotong sushi lagi dari dalam kotak makannya dan mengunyahnya dengan lahap. " Mungkin itu buku yang sebaiknya kubaca agar mendapatkan pacar."
"Choji! Dasar kau!"
"Lho kenapa kau marah?"
"Kau seperti mendukung Kakashi-sensei, Gendut!"
"Tapi kau juga membaca Icha-icha, Ino!"
"Hanya karena aku ingin tahu kenapa Kakashi suka, Choji!"
Keduanya lalu bertatapan dengan sengit. Dahi keduanya saling beradu dan aura kesal menguar dari ubun-ubun Ino yang keemasan ditimpa sinar matahari yang menembus pepohonan.
Sakura, sedang tenggelam dalam ingatannya tentang saat-saat terakhir Sai dan kalimat perpisahan Sasuke, terusik oleh suara Ino yang tak bisa disebut berbisik. Ia menghela napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangan ke arah kedua temannya yang terlihat bersitegang itu.
"Kenapa kau jadi mau tahu banyak tentang Kakashi-sensei?"
"Itu urusanku. Yang pasti kukatakan padamu, jangan pernah coba membaca buku semacam itu jika kau tak ingin jadi bujangan abadi seperti Kakashi-sensei."
"Dan mengapa kau mempersoalkan hobinya dan ia jadi bujang lapuk terus-menerus, Ino? Apa kau tak punya hal lain untuk kau gosipkan?"
"Gosip? Kau bilang aku gosip? Maksudmu…kau bilang aku tukang gosip?" tanya Ino sengit.
"Lho apa sebutan yang pas untuk orang yang selalu mau campur urusan orang, kalau bukan tukang gosip?"
Wajah Ino memerah karena emosi. Dahinya yang beradu dengan dahi Choji terlihat naik turun seiring dengan napasnya yang memburu.
"Kau…kau…keterlaluan. Kau temanku dan teganya kau bilang aku tukang gosip!" semprot Ino.
"Aku hanya bingung kenapa kau terlalu mengurusi Kakashi-sensei, itu saja."
"Tukang gosip? Kau bilang aku tukang gosip? Beraninya kau katakan itu pada Yamanaka Ino, Choji."
"Kau juga bilang Kakashi-sensei bujang lapuk," kilah Choji, tak mau disalahkan begitu saja oleh Ino.
"Ia memang bujang lapuk, Gendut!"
"Dengar sendiri? kau tak hanya menyebut Kakashi-sensei bujang lapuk, kau bahkan terus-menerus menyebutku gendut!"
"Kau memang gendut!"
"Dan kau memang tukang gosip!"
"Kubunuh kau, Akamichi Choji!"
Tinju Ino melayang dengan cepat dan hanya sepersekian detik lagi mendarat di wajah tembem Choji, jika saja Kakashi tidak dengan segera muncul di antara mereka berdua, menahan tinju Ino dengan kepalan tangannya, setelah sebelumnya mendorong Choji ke belakang.
Saat seseorang sedang dalam emosi, ia cenderung tak bisa berpikir jernih. Apalagi jika seseorang itu adalah seorang wanita, seperti halnya Yamanaka Ino. Bisa jadi ia lupa mengurangi tenaga dalam tinjunya itu dan terlanjur menghajar teman baiknya itu hingga babak belur. Mengerikan bukan?
Mata Ino membulat lebar saat menyadari tangannya sudah berada dalam genggaman Kakashi. Bola matanya yang biru menatap dengan tajam ke arah pria tinggi dengan masker di wajahnya itu. Ia lalu memandangi Choji dengan kesal.
"Lepaskan aku, Sensei! Biarkan aku menghajar anak gendut itu!"
"Ino, kendalikan emosimu."
"Tidak! Jangan halangi aku untuk memberi pelajaran mulutnya yang sok tahu itu! Lepaskan aku, Sensei!"
"Kendalikan dirimu. Ini hanya masalah sepele. Kau tidak seharusnya menganggap omongan Choji serius."
"Ia bilang aku tukang gosip, sungguh terlalu! Akan kuhajar mulutnya yang sembarangan itu! Bisa-bisanya ia menghinaku!" pekik Ino seraya meronta-ronta, mencoba menarik lepas tangannya dari dalam genggaman Kakashi.
"Dan bagaimana dengan kau yang mengatakanku bujangan lapuk? Itu tidak dihitung menghina?" tanya Kakashi dengan tenang.
Ino terperangah. Matanya yang sebelumnya bergantian menatap Kakashi dan Choji yang masih terduduk di tanah dengan cemberut, langsung terpaku pada wajah Kakashi di hadapannya.
"Sen—sei! Kau mendengarnya?" Ino tak dapat menyembunyikan keterkejutannya sama sekali.
"Ya ampun Ino, siapa yang tidak dengar jika tiap kali kau bicara, suaramu selalu sekeras itu?" timpal Sakura yang sudah berdiri di samping Choji. Ada seringai menghias di wajah cantiknya. Ia merasa geli.
Kakashi mengangguk lemah.
"Aku tidak bermaksud mengatakan itu, Sensei!" Ino membela diri. " Si gendut itu yang membuatku mengatakannya."
"Oh ya? Coba kuingat lagi. Bujang lapuk, bagaimana mungkin ada wanita yang mau dengannya, buku vulgar dan jangan pernah kau baca buku itu, karena aku sudah pernah membacanya. Hmmm…aku rasa aku tidak salah dengar saat suaramu yang mengatakan hal tersebut, Ino," ujar Kakashi dengan nada santai.
Wajah Ino memerah. Ia tahu, lagi-lagi ia menelanjangi dirinya sendiri. Diam-diam ia mengutuk suaranya yang memang sudah lantang dari sananya itu.
"Sensei…" ia tertunduk sesaat, akan tetapi saat ia mengangkat wajahnya, Kakashi melihat mata biru Ino berkilat karena kekesalan yang malah semakin memuncak.
Anehnya, gadis Yamanaka ini malah terlihat bersinar dan… cantik.
"Kau yang bilang bahwa kau tak akan pernah membaca buku itu di hadapanku! Buktinya, begitu kita istirahat kau malah membaca buku menyebalkan itu! Kau pembohong, Sensei!" semprot Ino.
Kakashi tersentak. Jika ia tidak mengenakan masker di wajahnya, mungkin akan terlihat dengan jelas rahangnya yang jatuh ke bawah karena kaget. Ia tidak ingat pernah membuat janji seberat itu.
"Kapan aku mengatakan itu?" tanya Kakashi dengan bingung.
"Saat kita bertemu di depan apartemen Sakura tempo hari!"
"Apa iya aku mengatakan itu? Sepertinya tidak pernah."
Choji yang sekarang sudah terlihat lebih tenang, melanjutkan santapan sushinya dan menyeringai lebar saat mendengar perkataan Kakashi barusan.
"Nggg, Sensei—sebenarnya kau memang mengatakannya. Aku mendengar dengan jelas," sela Choji dengan suara seperti orang yang sudah berkumur-kumur.
Sakura mengangguk. " Meski aku berada dalam apartemenku, aku juga mendengarnya, Kakashi-sensei."
Ino menyeringai penuh kemenangan. Kakashi menelan ludahnya dengan susah payah. Sakura tersenyum geli. Choji kembali mengunyah sushi bekalnya dengan lahap.
Bagaimana mungkin ia harus menghapus kebiasaannya selama bertahun-tahun, hanya karena ia sembarang mengucap janji pada Ino? keluh Kakashi dalam hatinya. Tidak akan mudah menahan keinginan untuk membaca Icha-Icha. Ia tidak punya kekasih dan buku itu satu-satunya pelampiasan terhadap hal-hal yang ia pikirkan sebagai laki-laki!
"Itu sebabnya kau bertengkar dengan Choji? Karena buku itu?"
"Ya. Apa lagi? Ia membelamu!"
"Dan kenapa kau begitu benci pada buku itu?" tanya Kakashi.
"Ini bukan masalah benci atau tidak, Sensei. Hanya saja rasanya memalukan membaca buku itu di depan publik," suara Ino mulai merendah. Emosinya sudah menurun.
"Aku tidak malu membacanya…"
"Aku yang malu melihat kau membacanya, Sensei," potong Ino. " Kau yang baik dan selalu bersikap manis, rasanya tidak pantas membaca buku seperti itu. Kau jadi terlihat genit, Sensei…padahal aku yakin, kau tidak begitu. Kau bahkan tidak pernah membawa seorang wanita pun masuk ke dalam apartemenmu."
Kakashi mengernyitkan alisnya yang keperakan mendengar kalimat terakhir yang Ino ucapkan.
Kau bahkan tidak pernah membawa seorang wanita pun masuk ke dalam apartemenmu.
Darimana Ino tahu hal itu?
"Bagaimana kau tahu aku tidak membawa wanita ke apartemenku?"
"Karena aku…" Ino tertunduk tak sanggup melanjutkan perkataannya. Ia merasa pegangan tangan Kakashi di kepalan tangannya mengendur, ia langsung menarik tangannya dan lalu berjalan mundur beberapa langkah.
"Aku—aku…" Ino memandangi Kakashi, Sakura dan Choji dengan perasaan tak nyaman. Rasa malu menjalar di sekujur tubuhnya dengan cepat. Ia tak tahu harus bilang apa.
Sakura berusaha menyembunyikan senyuman yang hampir terkembang di bibirnya yang merah. Ia mendadak paham segalanya. Segalanya. Ajakan Ino agar Sakura mengencani pria yang lebih tua dari mereka karena pria dewasa lebih menarik, pertanyaan-pertanyaan aneh Ino tentang makanan apa yang Kakashi sering makan, buah apa yang sering ia beli, bagaimana Kakashi jika sedang dalam misi dan berbagai macam pertanyaan yang ditanyakan Ino dengan sambil lalu, membuat ia tidak menyadari bahwa Ino sebenarnya sedang mengumpulkan informasi tentang Kakashi.
Bodohnya ia tidak menyadari ini dari awal!
Sakura hanya menganggap bahwa Ino hanya iseng, hanya ingin tahu saja tentang Kakashi untuk bahan gosipnya dengan gadis-gadis lain. Ia berpikir bahwa selama ini Ino menayakan perihal Kakashi, sebagaimana ia bertanya tentang Neji, Naruto, Kiba, Sasuke dan teman-teman mereka lainnya. Ia tak menyadari bahwa Ino selalu bertanya tentang Kakashi, lebih intens daripada pertanyaan tentang teman-teman pria mereka lainnya.
Ino menyukai Kakashi!
"Itu sebabnya hampir tiap hari kau jalan memutar melewati kompleks apartemen Kakashi-sensei tiap pulang latihan, dengan alasan kau ingin membakar kalori lebih banyak ya, Ino? Padahal rumahmu tinggal lurus saja dari tempat latihan," suara Choji memecahkan keheningan sesaat di antara mereka berempat.
Ino tersentak dan menatap Choji dengan campuran emosi antara malu dan kesal. Ia lalu melirik ke tempat Kakashi berdiri, tak sampai sepuluh langkah dari dirinya. Kakashi menatapnya dengan seksama.
"Kau mengintaiku, Ino?" tanya Kakashi dengan nada suara penasaran.
"Aku…aku…" ia melirik Sakura—seakan meminta tolong agar bisa keluar dari situasi yang tidak menyenangkan ini. Akan tetapi, Sakura hanya tersenyum dan mengangguk senang.
"Kenapa kau mengintaiku, Yamanaka Ino?" tanya Kakashi lagi—kali ini ada sedikit tekanan di suaranya yang sebenarnya masih terdengar santai.
"Aku—tidak mengintaimu, Sensei."
"Lalu?"
"Aku hanya ingin tahu—apakah ada wanita yang bersamamu atau tidak," suara Ino terdengar sangat lirih, hampir menyerupai bisikan.
Kakashi lagi-lagi mengerutkan alisnya. Ia tak menduga Ino akan menjawab seperti itu. Lagi pula, kenapa juga Ino harus melakukan hal sebodoh itu? Mengambil jalan pulang memutar yang jauh dari rumahnya, hanya untuk melewati kompleks apartemennya… di malam hari?
Aih, umur yang dewasa saja tidak cukup membuat seorang laki-laki seperti Kakashi bisa memahami makna di balik ucapan Ino yang sedang dalam posisi tersudut seperti saat ini. bagaimana pun juga, Kakashi tetap kurang pengalaman dengan wanita.
"Dan kenapa—ada wanita atau tidaknya di apartemenku jadi urusanmu?"
Dada Ino turun naik di balik bajunya yang ungu. Ia tak pernah berada dalam situasi tersudut seperti saat ini. Di hadapannya berdiri pria yang sesungguhnya sudah cukup lama menjadi objek khayalannya, memberondongnya dengan pertanyaan yang tak mudah ia jawab, tanpa harus membuka isi hatinya yang sesungguhnya. Bagus jika Kakashi menyimpan sedikit rasa untuknya, jika tidak dan ia ditolak mentah-mentah, apa itu namanya bukan mempermalukan dirinya sendiri dengan disaksikan Sakura dan Choji?
Ia lebih baik kabur dari Konoha dan menjadi nukenin jika itu terjadi. Tak sanggup rasanya menanggung malu dan patah hati di waktu yang bersamaan.
"Aku…aku…" Ino menggigit bibirnya dan menatap Kakashi dengan mata yang sayu. Ia menguatkan kuda-kuda di kaki kanannya, menyiapkan pijakan yang kuat baginya untuk melompat ke dahan terjauh dan pergi meninggalkan tempat ini. Sungguh mati, ia tak sanggup menghadapi pertanyaan Kakashi saat ini. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Jawab Ino," Kakashi masih tetap merasa penasaran. Ia harus tahu mengapa Ino memiliki pikiran-pikiran tak lazim tentangnya.
"Maafkan aku, Sensei," ujar Ino lirih. "Berikan aku waktu untuk berpikir."
Selesai mengatakannya, gadis berambut pirang itu langsung meloncat ke udara, hinggap di sebuah dahan yang tinggi, melihat ke arah-arah ketiga rekannya dengan tatapan bingung dan sepersekian detik berikutnya, melesat meninggalkan tempat itu dengan langkah secepat angin.
"Ino!" pekik Sakura dan Choji bersamaan.
"Apa sih maunya anak itu?" tanya Kakashi dengan bingung seraya siap melompat ke atas pohon, untuk mengejar gadis Yamanaka itu. Akan tetapi, ia urung melompat saat merasakan bahunya ditepuk.
"Jangan kejar ia, Sensei. Biarkan ia pergi menenangkan dirinya sebentar," tukas Sakura seraya menepuk bahu Kakashi sebagai tanda menahan kepergian gurunya itu.
"Kenapa harus pergi? Aneh sekali," ucap Kakashi sambil menggaruk rambut keperakannya yang jabrik.
"Kau tak mengerti juga ya, Sensei?" tanya Sakura. Pandangannya terlihat bingung.
"Sepertinya Sensei lebih polos dari yang kita kira, Sakura," sela Choji yang terkikik geli.
"Apa sih maksud kalian?" Kakashi memandangi Sakura dan Choji dengan bergantian. " Aku tidak mengerti."
Sakura tersenyum tipis dan menatap Kakashi dengan matanya yang terlihat jenaka—seperti sedang menggoda gurunya itu.
"Saat kalian semua berada di depan apartemenku, aku mendengar semua pertengkaran kecil antara dirimu dan Ino, Kakashi-sensei. Hanya saja saat itu aku belum sadar. Bodohnya aku, padahal ia begitu sering menanyakan hal yang berkaitan dengan dirimu," papar Sakura.
"Eh?"
"Ino menyukaimu, Kakashi-sensei. Dan kalau aku tidak salah tebak, sudah sejak lama. Mungkin lebih dari tiga tahun. Ya, bisa jadi sudah selama itu. Ia pertama kali mulai bertanya tentangmu, sejak insiden Akatsuki dengan Gaara. Itu sebabnya aku bilang, aku bodoh. Bagaimana mungkin aku tidak paham perasaan Ino yang sedang jatuh cinta padamu, padahal ia adalah sahabatku sendiri."
Deg!
Kakashi terperangah. Matanya terbelalak lebar. Yamanaka Ino, gadis muda, cantik dan pirang itu, menyukai dirinya sejak lama? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa disimpan bertahun-tahun oleh Ino?
Itu juga yang jadi pertanyaan Sakura. bagaimana mungkin Ino yang banyak cakap itu, terkenal suka menggosip di seantero Konoha, bisa menutupi rahasia hatinya sekian lama, dari orang-orang di sekitarnya?
Tidak disangka, gadis yang senang membicarakan orang lain itu, ternyata bisa menyimpan rahasia dirinya sendiri rapat-rapat.
"Apa itu sebabnya Ino lama tidak berkencan dengan siapa pun?" tanya Choji tiba-tiba. Kotak makannya sudah menghilang dari tangannya, mungkin disimpan kembali ke dalam tasnya.
"Yang benar?" Sakura terdengar tak percaya.
Choji mengangguk. " Aku dan Shikamaru selama ini berpikir bahwa ia masih sangat menyukai Uchiha Sasuke dan mengharapkan ia kembali, seperti halnya dirimu, Sakura. Itu sebabnya ia menolak ajakan beberapa pemuda yang terang-terangan ingin berkencan dengannya. Tapi sekarang, aku jadi sadar…mungkin alasannya sejak lama bukan karena Sasuke. Itu sebabnya ia selalu mencibir tiap kali ia melihatmu membaca Icha-Icha, Kakashi-sensei."
"Ino menyukai—ku?" Kakashi terdengar tak percaya. Sangat tidak percaya.
"Ia bahkan mungkin jatuh cinta padamu, Sensei. Itu sebabnya ia melakukan hal bodoh seperti yang kau dengar sendiri," Sakura tersenyum manis.
"Dan sangat benci dengan hobimu yang satu itu," Choji tertawa, " Kau dengar Sakura? Ino bahkan membaca Icha-icha hanya karena penasaran, mengapa Kakashi-sensei begitu tergila-gila dengan buku itu."
Sakura dan Choji sama-sama terkikik geli, membuat Kakashi kembali menggaruki kepalanya yang tidak gatal dengan canggung. Ia merasa bingung dengan situasi semacam ini, terutama di saat mereka sedang dikirim misi oleh hokage. Mengapa hal seperti ini harus terjadi saat sebenarnya mereka tidak boleh membuang banyak waktu karena ada misi yang harus diselesaikan?
"Ah—ini membingungkan. Ino pergi dan kita jadi tertahan di sini. Ini sudah cukup jauh dari Konoha," tukas Kakashi.
"Ia tidak akan pergi terlalu jauh. Ia lupa membawa tasnya," Sakura menunjuk ke satu titik di bawah pohon rindang tempat Ino dan Choji duduk tadi. Tas ransel Ino tergeletak di tanah dengan sembarang.
"Ia mungkin hanya ingin menenangkan dirinya," sahut Choji.
"Ya, kupikir juga begitu. Tidak mudah baginya berada di dekat dengan Kakashi-sensei sekarang, apalagi setelah kita semua mengetahui sesuatu yang ia tutupi sejak lama. Tidak ada tukang gosip yang suka digosipkan toh?" Sakura lagi-lagi menyeringai nakal.
Kakashi berdiri di tempatnya dengan perasaan tak enak. Sosok Ino yang selalu bicara ceplas-ceplos dan riang berkelebat di pelupuk matanya, seakan menggodanya untuk mengejarnya, untuk mengklarifikasi apa yang ia dengar dan apa yang disimpulkan oleh Sakura dan Choji, menjadi suatu pengakuan langsung dari mulut Ino.
Kalau boleh jujur Kakashi merasa tersanjung karena gadis semuda dan secantik Ino bisa memiliki perasaan khusus terhadap dirinya. Ino gadis yang menarik. Ia bisa memilih pemuda mana pun yang ia mau, hanya dengan menunjuk mereka dengan jarinya. Akan tetapi, ia malah melelahkan dirinya dengan jalan lebih jauh untuk dapat melewati kompleks apartemennya, menampik ajakan kencan pemuda-pemuda di sekitarnya dan merepotkan dirinya untuk menyatakan ketidaksukaannya akan hobi Kakashi membaca Icha-icha. Jika kesimpulan Sakura dan Choji salah, alasan apa lagi yang membenarkan perbuatan Ino itu?
Sakura mendongak ke langit dan menyadari bahwa hari menjelang senja. Udara pun mulai terasa dingin, tidak heran karena mereka sudah jauh dari Konoha yang lebih hangat. Mungkin sudah saatnya mereka membangun tenda atau mencari tempat yang lebih tertutup untuk istirahat lebih panjang malam ini.
"Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan kita, Sensei. Hari mulai malam dan Ino tidak ada," ujar Sakura.
"Malam akan lebih dingin kurasa," timpal Ino.
Kakashi mengangguk. " Kalau begitu kita bangun tenda saja di sini. Tempat ini cukup tertutup."
Selesai mengatakannya, Kakashi dan Choji bergegas membuka tenda yang mereka bawa untuk berjaga-jaga. Tidak butuh waktu lama untuk membuat dua tenda berukuran sedang itu untuk berdiri. Di saat yang bersamaan, api unggun yang dibuat Sakura dari ranting-ranting patah di sekitar situ juga sudah jadi. Sempurna; tenda yang cukup nyaman dan api unggun yang akan menghangatkan mereka.
Mereka bertiga duduk mengelilingi api unggun dan Sakura mulai mengeluarkan bekal yang ia dan Ino bawa untuk mereka, ketika tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang cukup memekakkan telinga dari arah langit. Sakura langsung tersentak dari tempatnya duduk dan terpekik.
"Kami-sama, itu petir!" pekik gadis berambut merah muda itu.
"Sepertinya akan segera turun hujan," timpal Kakashi.
Choji langsung berdiri dari tempatnya duduk dan memandangi sekelilingnya dengan mata cemas.
"Kenapa Choji?"
"Ino. Ia masih di luar sana, berkeliaran entah di mana. Kalian tahu bagaimana ia berpakaian, kan?" ujar Choji lirih.
Baju ungu yang biasa dikenakan Ino agak minim dan jelas-jelas bukan pakaian yang tepat untuk melawan rasa dingin, baik karena malam dan hujan yang akan segera tumpah.
"Ia bahkan tidak mengenakan jubah apapun," keluh Sakura.
Sakura dan Choji lalu memandang Kakashi dengan pandangan yang sepertinya menyalahkan. Sedikit banyak mereka merasa pertanyaan Kakashi yang telah membuat Ino pergi. Mereka tidak ingin menyalahkan pemimpin tim mereka itu, tapi jika tidak menimpakan kesalahan pada seseorang, rasanya tidak enak.
Yang dipandangi tentu saja merasa tak nyaman. Seorang kunoichi yang berada dalam tanggung jawabnya menghilang dan ia duduk di sini dengan tenang-tenang, bagaimana mungkin ia merasa enak?
"Dengan pakaiannya saat ini, Ino bisa kena hipotermia," ujar Sakura sambil menatap gurunya lekat-lekat—membuat Kakashi merasa lebih bersalah lagi.
Pria dewasa itu serta-merta bangkit. Ia harus mencari gadis itu dan membawanya kembali. Jika Ino bersikeras menolak, ia tak akan segan menggendong gadis cerewet itu.
"Aku akan mencarinya."
"Tolong jangan bersikap terlalu keras padanya, Sensei. Ia sedang merasa malu karena kau…" Sakura menganggukkan kepalanya, " …pokoknya bawa ia kemari dengan segera. Terserah caramu."
Selesai mendengar pesan Sakura, Kakashi langsung menghilang di balik pepohonan yang menghitam ditelan malam. Sakura dan Choji saling berpandangan sesaat dan kemudian tersenyum penuh arti. Mereka senang melihat kecemasan yang membayang di wajah Kakashi yang tidak tertutup masker dan itu pertanda baik. Dengan sedikit dorongan, pria cuek itu mungkin mau membuka hatinya akan kehadiran Ino.
Mereka kemudian melanjutkan makan malam yang tertunda dan tentu saja, tak lupa menyisihkan makanan untuk Kakashi dan Ino, yang mereka yakin akan segera kembali.
.
.
.
Ino melipat kedua kakinya di depan dadanya dan mencium lututnya tanpa sadar. Pikirannya kalut dan hatinya tak tenang. Saat ini ia merasa dirinya seperti maling yang tertangkap basah; malu dan takut, bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak? Sekian lama ia memendam perasaannya pada shinobi berambut perak yang misterius itu, berusaha menampik perasaan aneh yang mengaduk perutnya tiap kali ia melihat pria itu dan berusaha menghadapi perasaan aneh itu dengan mengintai apartemen Kakashi hampir tiap malam—tiba-tiba sekarang semua aktivitas rahasianya itu terkuak oleh Kakashi, Sakura dan Choji.
Bagaimana ia tidak merasa malu? Ia malu pada Sakura, karena selama ini membohongi Sakura dengan terus menanyakan pertanyaan aneh tentang Kakashi dan pemuda-pemuda Konoha lainnya, akan tetapi tak pernah menceritakan apa maksud di balik itu semua. Padahal di satu sisi, ia selalu memaksa Sakura menceritakan kisah cinta atau kencannya dengan siapa pun. Terkadang ia malah mengatur kencan buta untuk Sakura. Tidak adil sekali rasanya. Ia juga merasa malu pada Choji, yang sudah ia sudutkan tadi karena ia merasa kesal pada Kakashi yang selalu tenggelam dalam buku kesayangannya itu. Choji pasti tertawa dengan penuh kemenangan di belakangnya. Ia yang selalu menyebut Kakashi si bujang lapuk, vulgar dan genit, malahan ternyata menyukai bujang lapuk itu. Segera setelah mereka kembali ke Konoha, Choji pasti akan melaporkan itu pada Shikamaru. Ia akan jadi bulan-bulanan bagi keduanya.
Akan tetapi, ia merasa paling malu pada Kakashi. Pria itu sudah menjadi salah satu mentor yang disegani di Akademi Ninja Konoha sejak ia berusia 7 tahun! Dapatkah kau bayangkan rasanya, jika seorang anak kecil yang kau bina sejak kecil tiba-tiba mengatakan padamu bahwa anak kecil itu menyukaimu? Kakashi mungkin akan terus membayangkan dirinya sebagai anak kecil gendut 7 tahun yang suka sekali makan apa saja dan terkadang menangis sekencang-kencangnya saat kesakitan.
Ino merinding. Ia tahu, ia tak akan pernah mendapat tempat di dalam hati shinobi kebanggaan Konoha itu. Jika wanita secantik Kurenai, Anko atau Shizune saja tak pernah dilirik oleh Kakashi, apa mungkin anak kecil seperti dirinya akan mencuri perhatian pria dewasa itu?
Kunoichi pirang itu menghela napas dalam-dalam. Ia tak pernah benar-benar yakin sejak kapan ia mulai merasakan perasaan yang berbeda terhadap guru Sakura, Naruto dan Sasuke itu. Mulanya ia merasa sangat mengagumi Kakashi yang sangat berbeda dengan Asuma-sensei, guru timnya. Asuma yang berjanggut tebal terlalu kebapakan untuknya, sementara Kakashi yang selalu menutupi wajahnya dengan masker membuatnya membayangkan bahwa wajah pria itu pasti bersih dan klimis dari janggut. Belum lagi kebiasaan Asuma merokok yang tak pernah ia lihat pada diri Kakashi, membuatnya merasa pria itu sangat mengutamakan kesehatan. Sikap Kakashi yang santai, kebiasaan telatnya yang kerap membuat anak didiknya menunggu dan berbagai hal kecil yang mungkin luput dari pandangan orang lain, tidak membuat kekagumannya pada sosok Kakashi surut. Ia malah semakin penasaran, bagaimana sesungguhnya wajah misterius di balik masker itu.
Dan di sinilah ia sekarang, duduk dengan perasaan malu dan merasa bodoh di dalam sebuah gua yang gelap dan dingin, berusaha berlindung dari hujan. Mungkin juga dari Kakashi.
Ya, hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah bertemu Kakashi. Ia tak tahu harus menjelaskan apa terhadap guru Sakura itu. Semua perkataan bodoh dan tindakan konyol yang sekarang ia lakukan—melarikan diri dari timnya—ia tak tahu harus mengatakan apa pada Kakashi.
Ia berusaha tidak terlihat bodoh di depan Kakashi, dan lihat apa yang ia lakukan sekarang: suatu kebodohan di mata pria itu. Ia yakin, ia tak akan pernah mendapatkan secuil perhatian pun dari Kakashi. Tidak akan pernah.
"Bagus sekali Ino. Kau bahkan belum berhasil memulainya, tapi kau sudah menghancurkan segalanya," bisiknya lirih pada dirinya sendiri.
Ia memeluk dirinya sendiri lebih erat, mencoba mengusir hawa dingin yang merambati kulitnya yang tipis. Bajunya yang serba terbuka jelas akan membunuhnya dengan perlahan. Akan tetapi, bukan itu yang ia khawatirkan. Ia lebih khawatir jika bayangan seorang perawan tua berbaju ungu yang sedang sibuk memotongi tangkai-tangkai bunga mawar, menyorotkan tatapan mata kesepian di antara kulit wajahnya yang keriput, menjadi kenyataan.
"Tidak…aku tak mau jadi perawan tua dan kesepian," bisiknya lagi.
Apa yang harus ia lakukan? Bukan dirinya yang membuat ia jatuh demikian dalam terhadap Hatake Kakashi, bukan! Ia tak pernah merencanakan ini, sama sekali tak pernah. Yang ia tahu, saat ia menyukai seseorang, matanya tak akan sanggup berpaling lagi kepada orang lain, tak peduli betapa tampannya orang lain tersebut.
Matanya pernah begitu mendamba cinta Uchiha Sasuke, akan tetapi ia berhasil mengenyahkan cinta masa remaja itu dengan mengalihkan rasa itu pada sosok Kakashi yang begitu ia kagumi. Sekarang saat matanya hanya bisa tertuju pada diri Kakashi, ia sungguh tak bisa berbuat banyak untuk mengalihkan pandangannya terhadap pria lain.
Ia sungguh tak bisa melakukannya. Tidak saat ini.
Desau angin di luar gua terdengar riuh rendah di telinganya. Tak hanya itu saja, suara hujan yang turun membasahi tanah juga mulai terdengar. Ino mengangkat kepalanya dari lutut dan menggumamkan kata-kata keluhan yang tak terdengar jelas, akan tetapi saat ia mulai menggigil, secara tak langsung tubuhnya menyatakan bahwa ia mulai kedinginan.
Di luar gua, sesosok tinggi berdiri dengan limbung diterpa hujan yang mulai deras. Jaket jounin yang ia kenakan sudah basah kuyup, akan tetapi ia tampak tak peduli. Wajahnya terlihat diselaputi dengan kecemasan akan satu hal saja. Ia mulai khawatir ia tak akan mampu menemukan yang ia cari di tengah gelapnya hutan dan derasnya hujan.
Kakashi mengusap rambut basahnya yang menutupi matanya yang tidak tertutup hitae-ate ke belakang kepalanya. Rambutnya memberontak, tetap ingin berdiri melawan gravitasi, akan tetapi paling tidak tidak menutupi matanya untuk melihat dengan jelas. Sudah hampir setengah jam ia mencari Ino di tengah hujan, akan tetapi tak juga ia temukan. Ia tidak merasa putus asa mencari gadis itu, hanya saja ia khawatir dengan keadaan gadis itu. Ia yang berpakaian lengkap saja masih merasa kedinginan, bagaimana dengan Ino yang mengenakan pakaian yang agak terbuka? Belum lagi ia tidak melihat bahwa gadis itu sempat makan sesuatu sebelum ia pergi. Ia pasti kelaparan sekarang, karena terakhir ia makan mungkin saat mereka masih di Konoha.
Kakashi tahu, Ino tidak selemah itu karena ia seorang kunoichi. Hanya saja ia tak bisa mengenyahkan rasa khawatir yang menggerogoti perasaannya bagaikan kawanan semut yang menggerogoti sepotong roti manis. Pelan tapi pasti. Ia harus bisa menemukan Ino. Ia ingin mendapat jawaban langsung dari mulut gadis itu atas semua kekonyolan yang ia perbuat.
Pria berambut perak itu menepis ide untuk meminta bantuan Pakkun yang mampir beberapa saat lalu di kepalanya. Hal terakhir yang ingin ia lakukan adalah lebih banyak lagi orang yang mengetahui apa yang terjadi di hutan ini. oke, Pakkun memang bukan orang, tapi ia toh bisa berbicara.
Tangan Kakashi meraih hitae-ate yang menutupi matanya dan langsung saja mata sharingan yang ia warisi dari Obito terlihat. Ia membutuhkan sharingan saat ini, karena hanya dengan mata inilah ia dapat melihat apa yang tak mampu ia lihat dengan mata aslinya.
Pandangannya menyapu sekeliling dan ajaibnya, sharingan membuat semuanya terlihat jelas. Pepohonan, tanaman, batu dan apa yang mereka tutupi, semuanya terlihat jelas. Ia mengalihkan pandangan ke bebatuan besar yang ia punggungi sebelumnya. Sebuah mulut gua terlihat di antara bebatuan itu. ya, tak salah lagi ada sebuah gua yang tersembunyi di balik bebatuan tersebut. Sharingan terus menjelajah lebih di dalam, lebih dalam dan lebih dalam lagi.
Kakashi terkesiap.
Penglihatannya yang menembus bebatuan itu menemukan sesosok tubuh yang terbaring di dalam gua. Ia tak bisa melihat dengan jelas, sosok siapa itu. Hanya saja rambut panjang yang tergerai di bebatuan dan poni panjang yang terlempar ke sisi wajahnya, membuatnya yakin bahwa sosok itu adalah sosok yang ia cari.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, ia segera melesat masuk ke dalam gua tersebut.
"Ino!"
Benar saja. Ino terbaring di atas lantai gua dengan tubuh menggigil hebat. Wajahnya sangat pucat dan bibirnya membiru. Gadis itu masih sadar, hanya saja ia terlalu lemah untuk mengangkat tubuhnya.
Kakashi bersimpuh di sampingnya dan langsung menyentuh dahi gadis itu yang tak lagi ditutupi oleh poni. Mata Ino sedikit terbelalak saat ia melihat siapa yang datang menghampirinya.
"Sen—sei…" bisiknya lemah.
"Kau demam. Kau bisa bangkit?"
Ino tidak menjawab. Ia hanya bisa menggeleng dua kali.
Kakashi langsung menyelipkan tangan kirinya ke bagian belakang kepala Ino dan tangan kanannya ke bagian punggung gadis itu, lalu dengan sekali sentakan berhasil membopong tubuh gadis itu ke dalam rengkuhannya.
"Kita harus kembali ke tenda."
"Hu…jan terlalu de..ras, Sen—sei," bisik Ino.
"Aku tahu, tapi kondisimu lemah dan kau membutuhkan Sakura. Aku bukan ninja medis, aku tak tahu bagaimana membantumu," tukas Kakashi dengan suara cemas yang tak dapat ia tutupi. " Kau bisa hipotermia."
"Dingin, Sensei. Dingin…"
Kakashi tertunduk dan spontan pandangannya bersirobok dengan pandangan Ino yang lemah. Tubuh Ino bergetar karena kedinginan, akan tetapi suhu tubuhnya sangat panas. Gadis ini pasti sudah lama kedinginan dan karena belum memakan apapun sehari semalam, kondisinya melemah.
"Kita akan tunggu sampai hujan reda, Ino. Kumohon bertahanlah."
Ino mengangguk.
Kakashi menurunkan tubuh Ino ke bawah. Diletakkannya kepala gadis itu ke tumpukan lumut yang tumbuh menebal di satu sisi dinding dan lantai gua, dengan harapan kepalanya akan terasa lebih nyaman. Ia ingat, saat ia masuk ke dalam gua tadi, ia melihat banyak ranting-ranting patah yang berserakan di mulut gua, yang mungkin dibawa oleh binatang atau burung di hutan ini. Yang terpenting adalah ranting-ranting tersebut kering dan dengannya, ia bisa membuat api unggun untuk menghangatkan Ino dan dirinya sendiri.
Dengan cepat ia mengumpulkan rerantingan tersebut dan tak berapa lama kemudian, api unggun kecil sudah membara di dalam gua tersebut.
Kakashi mendapati Ino berusaha untuk duduk saat ia sudah selesai menghidupkan api unggun. Ia langsung bersimpuh di samping Ino dan menahan gadis itu agar ia tetap berbaring. Ino menggelengkan kepalanya tanda tak setuju.
"Aku ingin duduk di dekat api itu, Sensei," katanya pelan.
Tanpa banyak bicara Kakashi membantu Ino untuk duduk lebih dekat dengan api tersebut. Kakashi duduk tepat di sebelah gadis itu dan melingkarkan tangannya ke bahu gadis itu, seakan ingin menjaga agar gadis itu tak jatuh ke lantai gua yang keras.
Keduanya lalu terdiam dalam keheningan.
"Apa kau masih merasa kedinginan?" tanya Kakashi.
Ino mengangguk. Ya, sudah terlalu lama ia melawan dingin dan suhu yang turun dengan drastis. Ia tahu, tubuhnya tak kuat karena tak ada asupan makanan yang cukup.
Kakashi memandangi gadis muda di sebelahnya dengan khawatir. Wajah pucat Ino lagi-lagi membuatnya terlihat cantik dan…rapuh. Ya, itu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Ino saat ini; rapuh. Ino tak pernah terlihat seperti ini sebelumnya. Ia energik, periang dan banyak omong. Rapuh adalah dirinya yang tak pernah terlihat orang sebelumnya.
"Bajumu basah sekali, Sensei," ujar Ino kaget.
Kakashi baru sadar bahwa jaket jounin, kaos dan celana panjang, bahkan sarung tangannya basah kuyup. Ia tak merasakan itu semua sebelumnya, karena ia terlalu terpusat pada kondisi Ino. Tapi sekarang, setelah ia merasa lebih tenang dan duduk, ia mulai merasa bahwa pakaiannya yang basah sangat mengganggu.
"Kau bisa sakit jika bajumu basah, Sensei."
"Tidak akan apa-apa. Yang sakit itu dirimu, Ino."
"Tapi kau bisa sakit lebih parah dari aku jika terus memakai bajumu yang basah, Sensei."
"Aku tidak akan sakit."
"Lepaskan pakaianmu."
Kakashi tersentak dan menatap Ino seakan gadis itu baru saja mengatakan cerita konyol yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
"Apa?"
"Lepaskan bajumu itu dan gantung di dinding goa, Sensei. Setelah itu kau bisa menghangatkan dirimu di depan api," ujar Ino dengan nada penuh keyakinan.
"Kau gila? Aku tidak akan melakukannya."
"Jika kau terus mengenakan bajumu yang basah, kau bisa terkena pneumonia. Sekarang lepaskan pakaianmu."
"Pneu…apa? Tidak! Aku tak akan lepaskan bajuku. Aku tidak akan melakukannya."
"Kami-sama! Aku tidak akan memperkosamu hanya karena kau telanjang, Sensei! Aku hanya mencegahmu dari jatuh sakit," Ino mulai menatap Kakashi dengan tajam.
Mendengar kata memperkosa, mata Kakashi yang berlainan warna itu terbelalak lebar. Tak pernah rasanya ia mendengar kata seperti itu keluar dari mulut seorang gadis. Ya, mungkin Ino memang bukan sembarang gadis.
"Kau pikir aku akan membiarkanmu melihatku tanpa pakaian dengan leluasa, Ino? Kau mungkin akan menjadikanku bahan gosip nantinya," ujar Kakashi dengan nada bingung.
Mulut Ino membentuk huruf O yang besar. Ia terkejut dengan apa yang baru saja Kakashi sampaikan, terutama kata gosip yang ia gunakan. Aih, bencinya ia mendengar Kakashi menyebut kata itu!
"Jangan gila. Aku tak akan berbuat serendah itu."
"Tapi kau bisa saja keceplosan."
Ino menatap Kakashi dengan tubuh bergetar. Ya, ia memang kedinginan dan menggigil karenanya, akan tetapi ia juga bergetar karena kesal. Ingin sekali ia melompat ke hadapan pria itu dan mengoyak pakaiannya yang basah dengan kuku-kuku tangannya sendiri.
Akan tetapi, saat ini ia mengkhawatirkan pria di hadapannya itu. Ia seorang ninja medis, ia tahu konsekuensi dari pakaian basah kuyup yang dikenakan Kakashi. Pria itu pasti jatuh sakit dan hampir semua orang tahu bahwa di balik dirinya yang jenius, Kakashi agak ringkih. Ia sering masuk Rumah Sakit.
Saat itulah ide gilanya berkelebat.
"Baiklah. Kalau itu yang kau takutkan, maka aku sendiri akan membuka bajuku agar adil…"
Seandainya setengah wajahnya tidak tertutup masker, Ino pasti melihat bahwa saat ini Kakashi melongo dan semburat merah muncul perlahan di kedua pipinya mendengar perkataan Ino barusan.
"Ino…kau…"
"Gila? Aku tahu. Aku memang sudah gila… karenamu. Aku tak ingin kau sakit dan mengacaukan misi ini, Sensei. Oleh sebab itu, sebaiknya kau mulai berbalik dan melepaskan pakaianmu, jika tidak kau akan melihatku tanpa busana sekarang…"
Tanpa banyak bicara lagi, Ino membalikkan tubuhnya—memunggungi Kakashi dan sedetik kemudian Kakashi melihat ia menarik bajunya ke atas, keluar lewat kepalanya dan kemudian jatuh ke lantai.
Lagi-lagi pria andalan Konoha itu melongo saat melihat punggung mulus Ino menyapanya dengan menggoda.
Kedua lututnya rasanya melemas. Panas menjalari wajahnya dan perlahan ke seluruh kulit di tubuhnya. Jantungnya berdebur kencang dan rasanya ia ingin pingsan karena kaget. Susah payah Kakashi membalikkan tubuhnya, menghindarkan dirinya dari menyaksikan pemandangan yang lebih menggoda lagi.
Ino tidak main-main! Ia benar-benar melakukannya!
"Sekarang lepaskan bajumu yang basah itu, Sensei. Setelah itu kita bisa menghangatkan diri di depan api dan sama-sama berjanji tidak akan menoleh untuk melihat…diri kita masing-masing," suara Ino terdengar melayang. " Bagaimana, Sensei?"
Kakashi tidak langsung menjawab. Ia sibuk menguatkan kedua lututnya yang gemetar dan menenangkan jantungnya yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Ini pertama kalinya ia berada satu ruangan dengan seorang gadis. Lebih tepatnya, ini pertama kalinya ia berada satu ruangan dengan seorang gadis yang tak lagi berbusana.
Ia merasa malu sekali. Tidak hanya karena ia berada satu ruangan dengan seorang gadis yang membuat kedua lututnya gemetaran, tapi juga pada almarhum Jiraiya yang ia yakin saat ini sedang menertawakannya dari atas langit sana. Membaca habis semua buku Icha-icha karangan Jiraiya sama sekali tidak membuatnya sepintar Jiraiya dalam urusan wanita.
Jiraiya pasti sedang tertawa terbahak-bahak melihatnya ketakutan layaknya tikus bertemu kucing saat ini.
"Sensei? Apakah kau sudah melepas bajumu? Kalau tidak…" suara Ino mengembalikan kesadaran Kakashi dari angan-angan sesaatnya tentang Jiraiya.
Kalau tidak, kenapa Ino? tanya Kakashi dalam hati.
Ino menelan ludahnya dengan susah payah. Tak ingin mengeluarkan kalimat segila itu dari mulutnya, akan tetapi kekhawatiran bahwa Kakashi akan jatuh sakit karena baju basah sialannya itu, membuatnya membulatkan tekad.
"Kalau tidak…aku akan berbalik dan membuka paksa bajumu. Dan kau…akan melihat hal-hal yang tidak seharusnya kau lihat, Kakashi-sensei…" ujar Ino perlahan dengan nada suara mengancam.
Kakashi terkesiap.
Membuka paksa bajumu?
Melihat hal-hal yang tidak seharusnya kau lihat?
Tidak!
Ino akan mengetahui bahwa ini pertama kalinya ia melihat wanita tanpa busana! Ia akan mimisan dan kemungkinan besar akan pingsan di hadapan gadis itu! Ino mungkin akan mudah menebak bahwa ia masih perjaka di usianya yang ke-32!
Bencana!
"Baiklah Ino! Baik! Tapi jangan menoleh, jangan sekali pun menoleh!" seru Kakashi serta-merta dengan penuh ketakutan.
Di tempatnya berdiri, Ino tersenyum lega. Ia tahu ini tidak mudah dilakukan oleh Kakashi, akan tetapi ia sendiri sudah mempertaruhkan harga dirinya sebagai seorang wanita dengan melucuti pakaiannya sendiri demi membujuk Kakashi membuka bajunya yang basah.
Dengan rasa enggan Kakashi melepaskan sarung tangannya, kemudian rompi jouninnya, diikuti kaos dalam biru tuanya, lalu celana panjangnya. Ia bersyukur bahwa celana dalamnya yang hanya sepanjang pahanya tidak basah, dengan begitu ia tidak harus melucuti semua pakaiannya. Maskernya? Sudah pasti tidak ia akan ia lepas. Selesai melakukannya, pria itu beringsut mendekati api unggun dan tetap berusaha untuk tidak melihat Ino sama sekali.
Ino sudah sejak tadi membelakangi api unggun di sisi yang berlawanan dengan Kakashi. Ia melipat kedua kakinya dan memeluk lututnya untuk melawan rasa dingin yang ia rasa lebih menusuk lagi. Ia tahu ia nekad melepas pakaiannya dan hanya menyisakan pakaian dalamnya saja, di saat ia sedang merasa demam saat ini. Ia mungkin terlihat gila dan konyol, tapi ia sungguh-sungguh tak bisa membiarkan Kakashi jatuh sakit. Tidak bisa.
Ia terlalu menyukai Kakashi. Tak peduli bagaimana perasaan Kakashi padanya, tapi yang terpenting adalah bagaimana perasaannya pada Kakashi. Hatinya mengatakan pengorbanan sekecil apa pun untuk Kakashi, akan sangat berharga untuknya.
Aih, tiba-tiba ia merasa bagaikan Hinata yang sangat memuja Naruto, tanpa peduli bahwa Naruto sangat menyayangi Sakura.
"Ino, kau tidak apa-apa? Masih kedinginan?" suara Kakashi memecah kebuntuan di antara mereka berdua.
Ino menahan getaran di sekujur tubuhnya. Pakaiannya sama sekali tidak basah, ia kedinginan, demam dan Kakashi tidak boleh tahu itu. Ia tidak boleh tahu bahwa ia masih berjuang melawan dingin yang menyergap tubuhnya dari segala penjuru.
Gadis pirang itu berusaha mengatur agar suaranya tidak bergetar didengar Kakashi. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya lamat-lamat dari hidungnya.
"A—ku tidak..apa-apa, Sen—sei."
"Benar begitu?"
"Ya."
Hening sekali lagi.
Suara api yang membakar ranting terdengar berderak, memecahkan kesunyian yang terasa mengganjal di antara mereka. Selain suara air hujan yang turun dengan leluasanya, menghantam dinding-dinding gua dengan suara yang konstan, mungkin hanya suara degup jantung sepasang anak manusia itu terdengar bertalu-talu di rongga dada mereka masing-masing. Meski sama-sama memilih diam, tapi mereka sesungguhnya sedang berusaha berdamai dengan ego mereka masing-masing.
.
.
.
Benar saja perkiraan Sakura, hujan deras turun tak kenal ampun tak lama setelah Kakashi pergi meninggalkan tempat mereka membangun tenda. Berusaha melindungi diri mereka dari hujan yang sangat deras, Sakura dan Choji masuk ke dua tenda yang berbeda untuk menantikan redanya air yang turun dari langit tersebut.
Sakura membaringkan tubuhnya ke atas tikar yang sudah dilapisi dengan plastik khusus untuk tenda, yang dijamin tidak akan basah ditembus air. Shizune-senpai yang memutuskan bahwa setiap tim yang pergi misi keluar Konoha, harus dilengkapi dengan tenda dan tikar plastic semacam itu agar tidak terhambat hujan dalam perjalanan misi mereka. Memang cukup menguras anggaran belanja Konoha, tapi saat Sakura berbaring saat ini, ia tahu bahwa pengeluaran lebih untuk membeli tenda dan tikar plastik tersebut setara dengan kenyamanan yang diberikan. Ia ingatkan dirinya untuk melaporkan hal ini pada hokage agar wajahnya tidak berkerut saat tagihan pembelian tenda ini tiba nanti.
Choji, sudah merasa kenyang karena makan berkali-kali, langsung tertidur pulas begitu membaringkan tubuhnya di dalam tenda. Ia seakan lupa begitu saja bahwa tenda itu seharusnya ia begi dengan Kakashi, yang sekarang sedang bergumul dengan hujan di luar sana mencari Ino. Dengkurannya terdengar sayup-sayup sampai ke tenda Sakura, yang hanya geleng-geleng kepala mendengarnya.
Bagaimana mungkin di tengah suara hujan yang menderu, suara dengkuran Choji masih tetap dapat terdengar? pikir Sakura.
Gadis itu mencoba menulikan telinganya dari semua suara-suara yang masuk ke dalam tendanya. Mata hijaunya menatap atap tenda yang meruncing ke atas. Pandangannya nanar, seakan tidak benar-benar menatap kemana matanya tertuju. Matanya seakan menembus dimensi waktu dan jarak—pergi menuju tempat di mana seseorang yang pernah berbagi ciuman dengannya berada.
"Sai…" bisiknya.
Bayangan pemuda berwajah pucat dengan rambutnya yang sehitam tinta bermain di pelupuk matanya. Jemari kurusnya yang menggenggam kuas bagaikan menari di atas kanvas, meliuk-liuk layaknya penari yang sedang tampil di atas sebuah panggung. Senyum tipis khasnya, senyum yang seakan dipaksakan untuk muncul di ujung bibirnya terlihat sekilas. Senyum adalah hal yang tak mudah dilakukan oleh Sai. Teman-temannya cenderung menilai senyuumnya palsu. Hanya saja, kedua matanya yang sehitam jelaga dapat bercerita lebih jujur. Kedua mata pemuda itu mengerjap berkali-kali dan mengungkapkan isi hatinya lebih dal;am disbanding bibirnya yang tertutup rapat.
Sakura menarik napas dalam-dalam, mulai merasakan udara dingin yang disebabkan datangnya malam dan turunnya hujan mulai menerobos melalui sela-sela tenda. Ia tak mampu menutup matanya untuk sekedar tidur ayam. Ia menikmati khayalan manisnya tentang sosok yang sudah tak mungkin ia temui lagi.
Manis? Apakah khayalan yang ia bangun dari kenangan akan seseorang yang telah pergi selamanya dapat dikatakan manis? Apakah kenangan tentang Sai dapat ia anggap sebagai kenangan manis? Tidak! Ia tak dapat menyebut Sai sebagai kenangan manisnya, karena setiap kali ia melngingat pemuda itu ada sembilu menusuk sanubarinya, mengakibatkan rasa sakit yang tak mudah ia tepis.
Sakura mengedipkan matanya berkali-kali—mengenyahkan bayangan Sai dari pelupuk matanya. Untuk apa ia pergi sejauh ini meninggalkan Konoha dalam sebuah misi yang ia tahu akan merepotkan, jika ia tetap membayangkan kehadiran Sai di sekelilingnya? Sia-sia. Pengorbanannya dan pengorbanan Sai akan sia-sia. Sai mati di hadapannya dengan harapan ia akan dapat bahagia dengan Sasuke, akan tetapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya?
Sasuke sekali lagi meninggalkannya.
Bayangan pemuda bertubuh ramping dengan bordir kipas khas klan para jenius Konoha berdiri memunggungi dirinya. Pemuda itu tertunduk, memandangi tanah kelahirannya dengan kedua mata kebiruannya yang tak bisa Sakura saksikan—betapa pun ia mendamba untuk menyaksikan mata yang pernah memenjara hatinya dengan segala pesonanya.
Sasuke, seakan tak ingin membiuarkan dirinya melihat wajahnya yang begitu ia rindukan itu. Ia tak ingin membalikkan tubuhnya walau hanya sedikit saja. Ia terlalu pongah untuk membiarkan Sakura menikmati wajahnya yang sudah jauh lebih tampan dari terakhir kali ia meninggalkannya di kursi di taman Konoha, di malam kepergiannya dari Konoha. Tidak, ia tidak merasa pongah, sama sekali tidak merasa seperti itu. Pemuda Uchiha itu lebih merasakan penyesalan, karena sekali lagi ia harus meninggalkan gadis yang sekarang sedang menatapnya dengan kedua matanya yang basah. Ia sudah merebut seseorang yang Sakura tak pernah sadari nilainya di dalam kehidupan gadis itu. sungguh, ia tak bermaksud melakukan itu jika ia tahu pemuda itu bisa membantu Sakura melewati saat-saat menyedihkan karena kepergiannya. Ia seorang ninja dan saat pemuda itu menantang eksistensinya, menginginkan ia kembali ke tanah kelahiran yang telah membuat luka menganga di hati seorang Uchiha Sasuke. Akan tetapi, jika ia boleh jujur, bukan hanya itu saja alasan ia menghantam dada pemuda berkulit pucat itu dengan chidori berchakra penuhnya. Bukan. Mata kelam pemuda itu yang membuatnya gelap mata. Mata pemuda itu serupa dengan mata hijau Sakura, tiap kali gadis itu menatap dirinya—mata yang menyorotkan cinta yang tulus.
Ia gelap mata. Ia merasakan emosi aneh yang mencekik lehernya. Emosi yang timbul saat seorang anak merasa terancam karena mainannya akan diambil anak lain. Perasaan yang timbul saat ia tahu, ia tidak lagi sebagai satu-satunya pemuda yang berharga di hati seorang gadis yang menantinya—cemburu.
Kecemburuan telah membuat Sasuke mengambil langkah itu. Langkah sama yang telah dipilih Sai, meski alasannya bukan untuk memiliki Sakura, tapi untuk memberikannya kebahagiaan bersama pemuda yang selalu Sakura dambakan.
Langkah yang telah diambil kedua pemuda itulah yang membuat Sakura sekarang merasakan kekosongan di dalam dadanya. Membuatnya sekarang berbaring di dalam sebuah tenda, di tengah huja deras, di tengah sebuah hutan yang jauh dari Konoha. Sendirian.
Lagi-lagi gadis itu merasakan sakit di hatinya. Kenapa Sasuke meninggalkannya lagi? Kenapa begitu mudahnya ia pergi meninggalkan Konoha, meninggalkan dirinya—di saat ia membutuhkan seseorang untuk tempat bersandar, saat ia begitu terhempas menyaksikan kepergian Sai dengan kedua matanya sendiri.
"Pernahkah kau menyukaiku, Sasuke-kun?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang selalu ingin ia lontarkan pada pemuda berwajah dingin itu.
"Aku—pernah mencintaimu, Sakura. Hanya saja, tidak akan pernah dapat dibandingkan dengan cinta Sai kepadamu."
Menyakitkan mendengarnya. Lebih menyakitkan lagi jika kata-kata perpisahan Sasuke itu terus terngiang-ngiang di telinganya—membuatnya ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Tanpa sadar, setetes air mata meleleh dari ujung kedua matanya, mengalir melalui pipinya dan jatuh ke samping telinganya. Ia merasa lemah tiap kali mengingat hari menyakitkan, di mana ia kehilangan kedua orang yang masing-masing mempunyai tempat istimewa di hatinya.
"Bodoh," desisnya pada dirinya sendiri. Ya, ia mungkin gadis yang bodoh dan oleh sebab itulah Sai meninggalkan dirinya menuju tempat yang lebih menjanjikan kebahagiaan dan Sasuke meninggalkannya untuk menyembuhkan luka hatinya, bersisian dengan kakak yang sangat ia cintai.
Di luar tenda hujan tidak juga mereda. Ia bahkan mulai merasakan tikar plastik di bawah tubuhnya mulai lembab.
Tiba-tiba Sakura tersentak. Ditajamkannya pendengarannya, karena entah kenapa ia merasa ada suara lain yang terdengar sayup-sayup di balik hujan. Bukan, itu bukan suara dengkuran Choji yang tetap sekeras sebelumnya. Ini suara yang beda. Suara ini seperti suara langkah kaki yang diseret.
Apakah Kakashi sudah kembali? Mengapa langkah kakinya seperti diseret seperti itu? Apakah ia terluka? Apakah ia terlibat perkelahian dengan seseorang? Dengan Ino mungkin? Apakah Ino masih marah padanya, sehingga mereka berdua terlibat perkelahian? Tapi bukankah Ino memiliki perasaan istimewa pada Kakashi, apa mungkin ia menyerang Kakashi?
Berbagai macam pertanyaan berseliweran di benak Sakura dan tak satu pun dapat ia jawab sendiri. Ia bangkit dari tempatnya berbaring, mengambil jubahnya yang putih, mengenakan jubah tersebut dan lalu pergi keluar tenda dengan rasa ingin tahu yang besar.
Pepohonan gelap dan air hujan yang dingin menyambutnya di luar tenda. Matanya langsung menjelajah ke sekeliling tenda dan kedua telinganya ia tajamkan, ia membutuhkan kedua indera tersebut memeriksa keadaan di sekeliling hutan.
Tidak ada sosok Ino mau pun Kakashi di luar sana. Hanya kegelapan yang terlihat dan rintik hujan yang menemani kegelapan malam. Tidak ada orang lain di sekeliling tenda. Hanya dirinya berdiri di luar tenda, dengan hujan yang mulai membasahi jubahnya dan Choji yang masih tertidur pulas di dalam tendanya.
Ia sudah siap berbalik ketika ia mendengar suara langkah yang diseret itu lagi. Jantungnya berdegup kencang. Ia yakin ia tidak sendirian di tengah hujan ini. Ada seseorang di luar sana. Hanya saja siapa orang itu? Ia kenal chakra Kakashi dan Ino, dan ia yakin sekali…chakra yang ia rasakan ini bukan milik mereka berdua.
Chakra ini terasa lebih dingin.
Ia sudah akan meraih kunai yang biasanya tersemat di kantong yang tersemat di pahanya, ketika ia menyadari ia tidak mendapati kantong itu di pahanya. Sakura baru ingat bahwa ia sempat melepas kantong itu saat ia akan membaringkan tubuhnya tadi. Ia mengutuk perbuatan bodohnya itu, menyadari bahwa tanpa kantong itu ia seakan-akan tidak siap akan serangan yang tak terduga.
Ia memicingkan matanya ke tengah-tengah pepohonan yang terhampar di hadapannya, mencoba mencari tahu siapa yang berjalan ke arahnya, ketika tiba-tiba ia melihat sesuatu menerjang ke arahnya.
Sakura terkesiap dan tak sempat melompat ketika menyadari bahwa yang menyerangnya adalah air! Air yang banyak, seakan menyerupai banjir. Hanya saja banjir tersebut tidak seperti biasanya, melainkan hanya menyerang ke arah dirinya—mengurungnya dan membuatnya seperti tenggelam. Ia tidak berenang, namun ia merasa seperti orang yang tenggelam dan kehabisan napas karena tertelan air yang banyak.
Sakura mencoba meronta-ronta, melepaskan diri dari kepungan air yang menyergapnya dari segala arah, tapi tak bisa. Air tersebut berusaha mencekiknya, berusaha menenggelamkannya dan membuatnya tak berdaya. Ia memukul dan menendang, tapi ia tahu semua sia-sia.
Pandangannya mulai memburam dan ia tahu tak lama lagi ia tak akan mampu melihat secercah cahaya pun. Sebelum ia kehilangan kesadarannya, ia hanya mampu melihat rambut putih keunguan membingkai wajah yang menyeringai dengan menyeramkan.
.
.
.
"Kenapa kau pergi, Ino?"
Kakashi memutuskan untuk bertanya langsung setelah sekian lama tak ada satu percakapan pun tercipta di antara dirinya dan gadis pirang yang duduk membelakanginya itu.
Yang ditanya tak langsung menjawab.
"Apa—itu pertanyaan, Sensei?"
"Ya."
"Apa maksudmu dengan pergi?"
"Meninggalkan timmu saat kita sedang dalam perjalanan misi."
"Oh itu? Maaf."
"Tak perlu meminta maaf. Aku hanya ingin tahu kenapa kau pergi? Kau tahu dengan pasti bahwa misi kita ini sangat penting."
"Itu sebabnya aku minta maaf, Sensei. Aku membuat kita tertahan di hutan ini."
"Tak perlu minta maaf untuk itu. Kenapa harus pergi hanya karena pertengkaran kecil dengan Choji?"
Aih, sesungguhnya bukan itu yang Kakashi ingin tanyakan. Hanya saja ia tak tahu bagaimana menanyakannya lebih langsung. Ia tak berpengalaman dengan wanita, tak tahu bagaimana caranya bertanya tanpa menyinggung wanita yang ditanya.
Ino tak menjawab. Ia sedang menggigil dengan hebat, meski berusaha untuk tetap mengatur napasnya seteratur mungkin agar Kakashi tak tahu bahwa ia sedang berjuang melawan demamnya. Ia seorang ninja medis, ia tahu bagaimana melakukannya. Hanya saja tak mudah menutupinya saat ia harus menjawab pertanyaan Kakashi.
Haruskah ia bermain petak-umpet dengan Kakashi, saat sesungguhnya semua perbuatan konyolnya sudah diketahui pria itu?
"Bukan karena Choji, Sensei," ia berbicara sepelan mungkin. " Karena dirimu."
Jantung Kakashi seakan dihimpit sesuatu yang berat mendengar kata karena dirimu terucap dari bibir Ino. Apakah itu berarti perkataan Sakura dan Choji benar…bahwa Ino men…
"Maafkan aku, Sensei. Aku sudah menyebutmu bujang lapuk, vulgar dan perkataan lain yang mungkin tak enak kau dengar. Aku tak bermaksud menghinamu…tidak akan."
Kakashi menyimak perkataan Ino dengan seksama. Tak ingin satu kata pun lepas dari pendengarannya.
"Aku juga sudah keterlaluan mengamatimu selama ini. mengintai, itu katamu. Tidak pas seperti itu, tapi ya…mungkin akan terlihat mengintai. Memata-matai tanpa kau tahu."
"Dan bagaimana mungkin kau bisa melakukan itu tanpa kutahu, Ino?"
Kakashi adalah salah satu ninja terbaik Konoha. Ia jenius, berpengalaman dan hampir dinobatkan menjadi hokage penerus Tsunade, jika ia benar-benar menginginkan. Tidak akan mudah mengintai Kakashi, tanpa ia ketahui. Bagaimana mungkin Ino bisa melakukannya, tanpa ia ketahui? Itu sungguh mengganggunya.
"Kucing. Burung. Tupai. Kadang kala kupu-kupu."
Kakashi mengerutkan alisnya. " Maksudmu?"
Ino menggigit bibir bawahnya dengan bimbang. Haruskah ia mengatakan semuanya pada Kakashi? Atau berbohong saja?
Setelah setengah menit berlalu, ia putuskan untuk memilih opsi kedua. Yang terpenting adalah perasaannya pada Kakashi, bukan perasaaan Kakashi padanya. Terlalu lelah ia memendam semuanya…selama ini.
"Aku bertukar pikiran dengan kucing, burung, tupai, atau kupu-kupu yang melintas di sekitar apartemenmu. Lalu…" Ino berdecak kagum pada keberaniannya menceritakan rahasia kecilnya itu. " Kau mengerti apa yang kulakukan bukan, Sensei?" gadis itu dapat mendengar tekanan emosi yang bergetar di balik suaranya.
Kakashi terperangah. Tak menyangka Ino menggunakan ninjutsu klannya untuk mengintai itu berbuat sejauh itu terhadapnya? Gila.
"Kau melanggar teritoriku. Itu wilayah pribadiku. Kau mungkin melihat hal-hal yang tak seharusnya kau lihat," protes Kakashi.
"Aku tidak serendah itu, Sensei. Aku tahu batasnya. Aku hanya ingin tahu siapa kekasihmu, itu saja."
"Apa?"
"Aku minta maaf, Kakashi-sensei. Aku keterlaluan. Maafkan aku, tapi jujur tak pernah aku menyebarkan apa pun yang kulihat pada siapapun. Aku berani bersumpah," suara Ino terdengar lemah.
Sesungguhnya Ino sedang benar-benar merasa kedinginan saat ini. Ia memeluk lututnya dengan sekuat tenaga dan berusaha mengatur aliran chakra dengan sebaik mungkin. Ia tak boleh terdengar sakit parah di telinga Kakashi. Ia tidak boleh kehilangan kesadaran di depan Kakashi. Tidak dengan kondisi mereka berdua saat ini.
Berada dalam satu ruangan dengan Kakashi seperti ini mungkin hanya akan terjadi satu kali dalam hidup Yamanaka Ino. Tidak akan pernah terjadi lagi. Apalagi setelah Kakashi mengetahui perbuatannya yang…melanggar wilayah pribadinya. Ia yakin sekali, Kakashi akan membencinya.
"Perbuatanmu itu tidak bisa dibenarkan, Ino," ujar Kakashi—masih tak percaya Ino melakukan kekonyolan seperti itu.
"Aku tahu."
"Dan kenapa kau melakukannya?" pria itu lebih ingin tahu alasan sejujurnya, kenapa seorang gadis dari klan terhormat seperti Ino melakukan hal seaneh itu.
Pria berambut perak itu mendengar napas Ino yang berat—menyangka gadis itu pasti sedang mengumpulkan nyalinya untuk menjawab pertanyaannya barusan. Ia tidak tahu bahwa Ino sedang berjuang dengan kondisi tubuhnya yang melemah dan pandangannya yang mengabur.
"Ka—rena…" tubuh Ino makin bergetar.
Kakashi menunggu dengan tak sabar. " Karena apa, Ino?"
"Karena—"
"Ya?"
"Karena—" Ino mendengar suaranya mengecil, serasa menjauh dari dirinya.
"Karena apa?" Kakashi ingin menggaruk kepalanya saking tak sabar menunggu.
"Karena—aku jatuh cinta padamu, Kakashi…sensei," bisik Ino. Ia mengatakannya sangat lirih, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri, akan tetapi terdengar sangat jelas oleh Kakashi yang langsung mencelos hatinya—tak menyangka Ino benar-benar akan mengatakannya.
Bum!
Kakashi tersentak mendengar bunyi debum di belakangnya, seperti suara sesuatu jatuh ke lantai bebatuan gua itu. Ia cukup terkejut karena pikirannya sedang terpusat pada perkataan Ino dan ia tak menyangka akan ada bunyi seperti itu tepat di belakangnya.
"Ino?"
Tak ada jawaban.
"Ino? Kau masih di sana?"
Tak ada jawaban.
"Ino, kau tidak apa-apa?"
Tetap Ino tak menjawab.
"Ino? Kalau kau tidak bicara, aku akan berbalik saat ini juga!" ancam Kakashi.
Ino tetap diam. Tentu saja gadis itu tidak menjawab panggilan Kakashi. Ia sudah tergeletak tak sadarkan diri di tanah. Tak sanggup lagi mempertahankan kesadarannya.
Saat itulah Kakashi tahu, sesuatu telah terjadi pada Ino. Gadis itu tak menjawab panggilannya, karena sesuatu telah terjadi padanya. Mungkin sesuatu yang buruk. Pria itu hampir akan membalikkan punggungnya dan melihat apa yang terjadi, akan tetapi ia segera mengurungkan niatnya karena ia ingat bahwa Ino dan dirinya sama-sama sedang dalam kondisi yang tidak bisa saling melihat.
"Ino! Apa yang terjadi padamu? Ino!"
Pria jenius itu mengepalkan tangannya karena bingung. Ia bingung harus membalikkan badannya atau tidak. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia membiarkan Ino begitu saja, terus berteriak memanggil namanya sampai ia akhirnya menjawab?
Ini menyesakkan dada!
Ia adalah pemimpin dalam tim ini dan sekarang ia tak sanggup berbuat banyak untuk melindungi anggota timnya sendiri!
Kakashi merasakan kecemasan melanda dirinya. Ia yakin, kondisi Ino memburuk karena saat ia menemukan gadis itu, ia sudah mulai demam. Ia ingin memastikan asumsinya itu, hanya saja ide Ino untuk saling melepas baju menghalangi niatnya untuk saling membantu gadis itu.
Tapi…bagaimana jika kondisi Ino lebih memburuk dari sebelumnya? Bagaimana jika dengan membiarkannya begitu saja, ia malah membuat Ino menjadi lebih sakit?
"Arrghh—" seru Kakashi dalam kebingungan. Seandainya Sakura ada di sini, tentu semua masalah ini terpecahkan. Ino pasti selamat dan harga diri gadis itu tidak akan terusik sedikit pun.
"Karena—aku jatuh cinta padamu, Kakashi…sensei,"
Deg!
Jatuh cinta padamu, Kakashi-sensei.
Dada Kakashi bertalu-talu mengingat ucapan Ino yang terakhir. Ino mencintainya. Ya, benar! Ino mencintainya!
Kakashi tahu apa arti pernyataan Ino tersebut. Semua kekonyolan dan kegilaan yang diakui gadis itu hanya karena satu alasan itu. Ino diam-diam mencintainya. Ino berkorban melepaskan pakaiannya dalam cuaca sedingin ini, hanya karena agar ia pun melakukan hal yang sama karena bajunya yang basah kuyup. Gadis itu melakukan hal segila itu, hanya karena ia tak ingin Kakashi jatuh sakit.
Lagi-lagi dada Kakashi mencelos.
Bagaimana mungkin ia memikirkan apa yang akan ia lihat dari diri Ino sekarang, sementara gadis itu mungkin sedang bergumul dengan sakitnya? Ia pria dewasa! Ia tahu apa yang harus menjadi prioritasnya dalam menyelamatkan jiwa anggota timnya. Ia bisa memilah dan memilih mana yang terpenting saat ini. Ia tahu, apa pun yang akan ia lihat, ia bisa untuk menahan diri dengan sebaik-baiknya.
Jika ia bisa mempertahankan keperjakaannya selama 32 tahun ini, ia pasti bisa menghadapi apa pun yang akan ia lihat di belakang sana.
Keselamatan Ino adalah prioritas utama baginya saat ini, bukan yang lainnya.
Kakashi menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan segenap tekadnya. Ia tak boleh membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Ino—tidak sebelum gadis itu mengatakan apa yang membuatnya jatuh cinta pada diri seorang Hatake Kakashi. Kakashi yakin, pasti bukan karena wajahnya, karena ia tak pernah melepaskan maskernya bahkan saat ia tidur sekali pun. Hanya saat mandi, tapi ia yakin sekali tak ada satu semut pun yang mengintipnya saat ia mandi.
Kakashi berdiri dengan perlahan. Ia kuatkan lututnya yang bergetar, lalu sambil menghitung satu sampai tiga, ia balikkan tubuhnya sehati-hati mungkin. Ia melakukannya dengan mata tertutup dan meyakinkan dirinya untuk membukanya, saat ia sudah membalikkan tubuhnya ke arah Ino.
Satu…
Dua…
Tiga…
Pria itu membuka matanya dengan perlahan. Sekujur tubuh tergeletak di tanah. Gua itu agak gelap, membuatnya tak begitu jelas melihat siapa yang terbaring pingsan itu, meski ia tahu itu pasti Ino. Ia melangkah dengan perlahan mendekati tubuh itu dan…saat ia sudah dapat melihat tubuh itu dengan lebih jelas…
SROT!
Darah langsung muncrat dari hidungnya, bersamaan dengan wajahnya yang memanas dan rasa malu yang menjalar dengan super cepat dari kepala hingga ujung kaki—ke setiap inci kulitnya.
Aih, aih, membaca buku Icha-icha setiap saat, tetap tidak menolong Kakashi saat ia berhadapan dengan kenyataan.
.
.
.
To be continued
.
.
A/N: setelah sekian lama tidak menulis fic ini, akhirnya saya bisa lanjutkan juga fiuhhh.. Oke, isinya beda dengan pakem SLS biasanya. Untuk penyegaran dan crack-pair lainnya yang saya tulis hehehehe… Tapi benar-benar, ternyata sulit menulis cerita bercabang dengan hanya sedikit kata. Oleh sebab itu, meski sudah mencapai lebih dari 11.000 kata, saya harus potong di tengah-tengah agar mendapat feed back dari teman-teman semua.
Review teman-teman adalah penyemangat bagi saya.
Jadi, bisa minta reviewnya? Thanks.