I just can't helped it. I just can't help it. I need to write something new, something different and cancel all the updates first..sorry. a friend of mine said I probably a Sakura centric, a person who loves to read and probably to write about Sakura, without even care who the pairing is. Well, you're probably right, Night

So, after reading many many fics about Sakura, I decide I should write a Sakura centric fic. If you like the idea, please go on reading and I should've been very glad, but if you don't like it…please don't.

Writing has always been my hobby. I only unleash my imagination.

SAKURA'S LOVE STORY

© Masashi Kishimoto

This fic is mine.

.

.

.

Chapter 1: The Rebel

.

.

Haruno Sakura membereskan peralatan medisnya, saat bayangan pirang berkelebat cepat di belakangnya. Belum sempat kunoichi itu menoleh, sebuah ciuman tipis mendarat perlahan di pipinya yang memerah karena malu…dan terkejut.

"Sakura-chan…"suara khas pemuda jinchuuriki yang riang itu langsung terdengar nyaring di telinga Sakura.

Sakura mendapati Naruto tersenyum manis—lebih menyerupai cengiran yang sangat lebar. Pemuda rebel itu membelalakkan matanya—melihat ke wajahnya dengan sangat dekat.

Emosi gadis berambut merah muda itu mendadak naik, siap meledak dalam bentuk sebuah tendangan atau paling tidak sebuah tamparan ke wajah pemuda berkumis seperti kucing itu, akan tetapi saat ia melihat tatapan kekanakan dari wajah Naruto, mood hajar-menghajarnya mendadak surut.

"Naruto! Kurang ajar sekali kau menciumku!"

Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Belum cukup sebenarnya untuk mengganti tamparan atau tendangan yang kerap dilayangkannya, akan tetapi apa boleh buat? Mata biru Naruto seakan menghanyutkan perasaannya. Ia merasa bagaikan kapal yang dihanyutkan gelombang lautan biru yang mendadak menerjangnya. Seperti kedua bola mata Naruto saat ini.

Naruto meletakkan kedua tangannya di bahu Sakura dan tersenyum dengan lebar.

"Lama sekali aku tak melihatmu, Sakura-chan. Selama dalam misi selama sebulan itu yang teringat terus di kepalaku cuma tiga hal. Yang pertama ramen di kedai Ichiraku, tempat tidurku dan…wajahmu," suara nyaring Naruto mendadak terdengar meluruh.

Ah Naruto, meski ia terlihat penuh dengan semangat, banyak tingkah, terdengar berisik dan susah untuk diam walaupun hanya sebentar, akan tetapi ia juga bisa terdengar menyenangkan dan...romantis.

"Wajahku, Naruto?"Sakura terdengar tak percaya.

Naruto mengangguk dengan penuh keyakinan,"Ya, Sakura-chan. Wajahmu. Sebentar saja aku punya waktu luang, maka langsung saja aku terbayang wajahmu."

Ada semburat merah membayang tipis di wajah Sakura. Bagaimana pun juga ia gadis normal yang bisa juga merasa malu dan tersanjung mendengar pujian dari mulut lawan jenisnya. Meski Naruto adalah kawannya sejak lama, ia tetap saja seorang laki-laki kan? Naruto juga bukan pemuda sembarangan. Ia memiliki banyak kelebihan yang akan membuatnya disukai gadis-gadis Konoha, atau bahkan gadis-gadis di luar Konoha. Naruto pemuda yang menarik karena sifatnya yang ceria dan ia ninja yang hebat-penyelamat Konoha dari tangan Uchiha Madara. Oh ya, pendiri Uchiha itu sudah tiada, sudah hancur kekuatannya sampai ke akar-akarnya dan sudah dipastikan tidak akan bangkit lagi. Kehidupan di Negara Api kembali seperti semula—tidak seratus persen seperti semula sebenarnya. Akatsuki hidup kembali. Madara yang membangkitkan mereka semua kembali dari kematian, akan tetapi seperti angin yang terkadang bertiup menuju arah sebaliknya, seperti juga Akatsuki merubah haluan dan keberpihakan mereka. Berkat lobby yang dilakukan Pein dan Konan, Akatsuki memilih untuk tidak memihak pada Madara dan kegilaannya dalam menguasai Negara api. Mereka tidak lagi terobsesi mengoleksi kyuubi. Mereka pada akhirnya memilih untuk hidup tenang.

Perang besar sudah berlalu dan hidup sudah kembali tenang.

Sakura kembali menekuri perlengkapan medisnya saat merasakan mata biru Naruto menyapu wajahnya dengan seksama dan membuatnya merasa sedikit nyaman. Naruto kan tidak jelek, sama sekali tidak jelek, malah cenderung tampan dengan kulitnya yang kecoklatan. Teman dari kecil atau tidak, tatapan Naruto tetap saja dapat membuatnya malu.

Terlebih lagi ia tahu bagaimana perasaan Naruto terhadap dirinya sejak lama.

"Sakura-chan…"

Sakura mendengar suara Naruto memanggilnya dengan pelan. Perlahan sekali ia mengangkat wajahnya, berusaha menghindari kontak mata dengan lautan biru yang menghanyutkan itu dan memilih mendaratkan tatapan matanya ke arah mulut pemuda berambut pirang itu.

"Maukah kapan-kapan pergi denganku?"tanya Naruto dengan pelan.

Sakura tak langsung menjawab. Ia menghela nafas perlahan. Menimbang dan menimbang. Berpikir sebelum menjawab.

"Kita kan sering pergi bersama, Naruto."

"M-Maksudku…pergi ke tempat lain, ke luar Konoha misalnya."

"Kita juga sering ke luar Konoha bersama, sudah puluhan misi kita jalani bersama toh."

Naruto merengut,"Sakura-chan, bukan pergi yang seperti itu. Dulu kan selalu ada Kakashi-sensei, Sasuke, atau Sai..atau yang lainnya. Aku mau berdua saja…"

Sakura sebenarnya tidak bodoh-bodoh amat, dia paham maksud Naruto. Hanya saja ia butuh waktu. Ia tak mau terburu-buru dan tak mau juga memberi harapan terlalu besar pada Naruto.

Bagaimana pun juga, ia menyayangi Naruto. Sebagai sahabat.

"Kita kan sering pergi berdua, Naruto. Kau pelupa ya? Umurmu masih 20 tahun dan mudah sekali kau melupakan saat-saat kita menghajar penjahat berdua saja,"Sakura tersenyum tipis pada Naruto.

Naruto menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung. Jelas sekali tidak mudah baginya mengungkapkan apa yang ada di kepalanya dengan gamblang. Bagaimana pun juga…ini kan Sakura-chan—kunoichi yang kerap membuat hari-harinya bersemangat.

"Huh…Sakura-chan, susah sekali mengajakmu pergi,"ujarnya dengan putus asa. Naruto tertunduk sesaat, memandangi lantai Rumah Sakit yang putih bersih bagai tiada noda.

Sakura mendadak merasa tidak nyaman. Naruto selalu jadi pemuda penting dalam hidupnya—ia penyelamat Konoha, pemuda yang kelak akan menjadi Hokage pemimpin desa Konoha.

Akan tetapi, cinta…Sakura benar-benar butuh waktu, butuh proses dan butuh chemistry.

Ia bukan lagi anak gadis berambut merah muda yang tergila-gila akan Uchiha Sasuke dan mengejarnya sepert orang gila. Ia dewasa sekarang dan ia paham ada banyak elemen dalam cinta.

Sakura menepuk-nepuk bahu Naruto layaknya sedang membujuk anak kecil yang menangis,"Kembalilah saat kau tahu bagaimana cara mengajakku pergi sampai aku bilang iya, oke Naruto?"

Mata biru Naruto mengerjap-erjap tak percaya apa yang barusan Sakura katakan. Sebuah cengiran lebar muncul di wajahnya. Ia lalu mengangguk setuju.

"Baiklah Sakura-chan!"

"Sekarang pergilah, pekerjaanku masih banyak,"Sakura tersenyum.

Naruto langsung membalikkan badannya yang tegap siap untuk keluar dari ruang periksa di Rumah Sakit itu, akan tetapi ia mendadak berbalik dan…

Cup!

Sebuah kecupan ringan mendarat di pipi Sakura.

Sakura terpaku di tempatnya berdiri, tak sanggup menghentikan Naruto yang secepat kilat kabur meninggalkan tempat itu. Tak sempat pula menghajarnya sedikit atau bahkan mengeluarkan makian yang akan membuatnya jera mencuri kecupan di pipinya. After all, Naruto is still a rebel boy. He wil do whatever he wants freely.

.

.

.

End of this chapter

.

.

Review please?