Disclaimer: Naruto and all charates in this fanfiction not belong to me but to Masashi Kishimoto-sensei.
Warning: AU, male x male, LEMON, OOC, typo. Don't Like, please Don't Read! Okay?
D E S T I N Y
Chapter 11: Until The End
John F. Kennedy International Airport, New York City.
Sasuke melangkahkan kakinya keluar dari Terminal 1 di bandara tersebut. Tanpa mempedulikan kalau ia menabrak salah satu orang di tempat itu segera menuju ke arah pintu utama bandara. Walau saat ini ia memperlihatkan wajah stoic-nya yang biasa, dalam hati ia tidak menyangkal kalau saat ini perasaannya boleh dikatakan kalut.
Bukan tanpa alasan ia bersikap seperti itu. Salahkanlah telepon dari seseorang yang memaksanya harus naik pesawat dari Jepang ke New York sesegera mungkin. Ia bersyukur karena Itachi mau meminjamkan pesawat jet pribadinya agar ia tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke kota ini. Ia pasti tidak akan sabar kalau disuruh untuk menghabiskan waktu delapan jam lebih duduk di dalam pesawat untuk menuju ke sini apa lagi kalau mengingat mengapa orang itu menghubunginya.
Sasuke mendecak pelan. Ia mengutuki jarak Tokyo dan New York yang cukup jauh sehingga membuat dirinya semakin lama untuk segera bertemu dengan orang yang paling berharga dalam hidupnya.
"Sasuke!"
Pria berambut hitam kebiruan itu segera menghentikan langkah kakinya saat mendengar namanya dipanggil. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke arah asal suara dan menemukan dua sosok orang yang ia tahu. Ia melihat kedua orang itu berjalan mendekatinya.
"Katakan padaku apa yang terjadi dengan Naruto," katanya kepada sosok Deidara dan juga Sasori.
Deidara menggeleng pelan. "Naruto baik-baik saja. Kami memintamu untuk datang ke sini bukan untuk itu. Tapi," wanita berambut pirang panjang itu terdiam sejenak. Ia melirik ke arah suaminya yang berdiri di sampingnya. "Tou-san ingin berbicara denganmu. Kami diminta menjemputmu di sini."
Namikaze Residence, New York City.
Naruto menghela nafas panjang. Entah untuk keberapa kalinya ia seperti itu, ia sama sekali tidak ingat. Ia juga tidak ingat sudah berapa kali ia melirik ponsel yang sejak tadi digenggamnya. Sangat berharap kalau benda mungil tersebut berbunyi. Ia sungguh berharap kalau orang itu segera menghubunginya. Sekadar untuk mengatakan kalau orang itu baik-baik saja.
Naruto kembali menghela nafas. Ia melirik sekilas ke arah tempat tidur yang berada di tengah-tengah ruangan. Di sana, sosok Ibunya tengah tertidur pulas. Perlahan dan tanpa menimbulkan suara berisik, ia berjalan keluar dari kamar tersebut. Setelah menutup pintu berwarna putih di belakangnya, pria berambut pirang itu kemudian menyandarkan dirinya pada dinding.
Ini adalah hari kedua ia lewatkan di rumah kedua orang tuanya. Itu berarti sudah dua hari ini pula ia tidak bertemu dengan Sasuke. Ia juga tidak bisa menghubungi pria itu karena entah mengapa ponsel Sasuke tidak aktif sejak kemarin. Mungkinkah keadaan Sasuke juga sama seperti dirinya? Tidak bisa meyakinkan orang tua mereka atas hubungan yang mereka jalani.
Ia sungguh berharap kalau apa yang ia takutkan tidak pernah terjadi. Ia tidak ingin kembali berpisah dengan pria itu. Sudah cukup baginya selama sepuluh tahun berpisah dengan pria itu hanya karena kesalahpahaman. Sudah cukup baginya untuk selalu berpura-pura kalau perasaannya terhadap Sasuke sudah hilang tidak berbekas.
Naruto sama sekali tidak mengerti mengapa Takdir selalu mempermainkannya. Apakah ia tidak boleh menggenggam kebahagian barang sekali saja? Apakah sepuluh tahun yang mereka jalani sama sekali tidak bisa merubah apa pun?
Pria pirang itu menggeleng pelan. Tidak, ia tidak boleh menyerah semudah ini. Ia tidak oleh menyerah hanya karena Ayahnya tidak menyetujui hubungan yang sedang dijalaninya dengan Uchiha bungsu tersebut. Bukankah 'menyerah terhadap apa kata orang lain' bukanlah tujuan ia mendatangi kedua orang tuanya? Ia datang ke sini untuk mengatakan kalau bersama Sasuke adalah pilihannya dan ia sama sekali tidak peduli bagaimana sikap keluarganya. Bila perlu, ia rela melepaskan semuanya asal bersama dengan Sasuke. Mengapa ia bisa melupakan hal itu?
Ia menggenggam erat ponsel di tangan kanannya. Sekali lagi ia kembali menghela nafas panjang. Helaan nafas kali ini bukan menunjukkan bahwa ia putus asa atau pun bingung. Ia menghela nafas untuk memantapkan hatinya agar bisa kembali berbicara dengan Kepala Keluarga Namikaze; mengatakan bagaimana keputusannya sekarang.
Naruto mengetuk pelan sebuah pintu berwarna cokelat muda di hadapannya ketika ia sampai di depan pintu ruang kerja Minato. Ia yang mendengar suara yang menyuruhnya masuk ke dalam segera membuka pintu itu. Sepasang iris matanya menangkap sosok Ayahnya yang sedang mendudukkan dirinya pada kursi kerja di ruangan tersebut. Ia tidak bisa melihat wajah pria itu karena saat ini Minato tengah membelakanginya.
"Ada apa, Naruto?" tanya pria pirang tersebut.
Naruto menghela nafas pelan. Ia menyadari kalau inilah saatnya ia untuk memilih. Apakah ia harus memilih untuk menuruti apa kata Minato dan melupakan apa yang telah terjadi selama beberapa minggu terakhir bersama dengan Sasuke ataukah memilih pria itu walau Minato mengancam akan menghancurkan orang yang paling ia cintai.
Ia tahu apa yang harus ia pilih sekarang.
"...Aku," kata Naruto. "Aku sudah memutuskan apa yang akan aku pilih. Sama seperti sebelumnya, aku akan memilih bersama dengan Sasuke walau Tou-san tidak menyetujui hubungan ini. Aku sama sekali tidak peduli kalau Tou-san menganggap hubungan yang aku jalani dengan Sasuke hanyalah karena hasrat seperti yang kau katakan karena kamilah yang menjalaninya. Kami tahu apa yang kami jalani karena itu kami tidak terlalu peduli dengan kata orang. Kalau pun setelah ini Tou-san tidak akan menganggapku sebagai seorang anak lagi, maka itu keputusanmu. Kalau pun aku harus membuang semua ini agar bisa bersama Sasuke, aku tidak peduli."
"Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan ini, Naruto?" tanya Minato. Pria itu masih tidak memandang ke arah anak laki-lakinya. "Apa kau tahu apa yang kau katakan ini bisa menghancurkan hidupmu? Apa kau sama sekali tidak mengerti dengan perasaan kami sebagai orang tuamu? Ibumu pasti akan merasa kecewa atas keputusan yang kau ambil."
"Aku tahu," bisik Naruto. "Aku tahu kalau keputusanku ini akan mengecewakan kalian. Aku menyayangi dan menghormati kalian sebagai orang tuaku. Tapi bukan berarti kalian bisa mengatur bagaimana kehidupan pribadiku. Aku tahu keputusanku ini akan mengecewakan banyak pihak. Kau, Kaa-san dan bahkan Shion. Aku juga tidak berharap kalian mengerti. Aku hanya ingin bersama orang yang kucintai. Mengapa begitu sulit?"
"Karena kalian berdua adalah laki-laki. Sejak dulu aku berharap kalau suatu saat nanti kau akan menikah dengan seorang wanita yang sepadan denganmu dan meneruskan garis keturunan Namikaze."
Lagi-lagi Naruto menghela nafas. Mengapa pembicaraan ini semakin sulit saja baginya? Meneruskan garis keturunan? Naruto mendengus. Mengapa harus dirinya? Bukankah Deidara bisa melakukan semua itu? Apa lagi kalau mengingat saat ini Deidara sedang hamil sehingga tidak sulit bagi Minato untuk segera menimang cucu.
"Dan sepertinya aku telah mengecewakan Tou-san karena keputusanku ini. Tapi sekali lagi, maafkan aku karena aku akan tetap memilih bersamanya walau kau atau pun kedua orang tua Sasuke sama sekali tidak setuju dengan hubungan ini. Aku juga sama sekali tidak mengharapkan kalian untuk mengerti karena pada dasarnya aku kembali ke sini hanya untuk mengatakan hal itu."
Naruto mendengar helaan nafas dari sosok Ayahnya. Ia mendengar suara derit pelan dari kursi kerja Minato saat pria itu bangun dari kursinya. Naruto hanya diam dan mengamati sosok Minato yang masih membelakanginya kini menatap ke luar jendela besar yang berada tepat di belakang meja di ruangan itu.
Minato menatap ke arah langit cerah di luar sana. Angin semilir menerpa wajahnya dan membuat helaian rambut pirang pria itu bergerak seirama arah angin. Terkadang, ia tidak mengerti bagaimana jalan kehidupan ini. Ia tidak mengerti mengapa hal seperti ini bisa terjadi dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka kalau Naruto, anak yang selalu ia banggakan ternyata adalah seorang penyuka sesama jenis. Satu hal yang sama sekali tidak pernah diterima di keluarganya.
Ia tahu kalau aturan keluarganya sangat kolot di tengah masyarakat seperti ini. Tapi karena aturan itulah derajat dan harga diri keluarganya bisa bertahan seperti sekarang. Apa kata orang nanti kalau mengetahui ada salah satu anggota keluarga Namikaze yang ternyata seorang homoseksual?
Tapi, apakah arti harga diri dan derajat yang tinggi kalau ternyata mereka tidak bahagia dengan semua itu? Apakah arti mempunyai kekayaan yang tidak akan pernah habis kalau ternyata harus kehilangan salah satu anggota keluarga? Bukankah semua itu tidak ada artinya?
Minato cukup sadar dengan semua itu.
"Boleh aku bertanya padamu, Tou-san?" kata Naruto. "Apa kau pernah merasakan bagaimana mencintai seseorang?"
Minato tidak menjawab. Ia tahu apa jawaban dari pertanyaan Naruto barusan. Ia tahu bagaimana mencintai seseorang. Ia tahu bagaimana beratnya ketika dulu keluarganya tidak langsung setuju saat ia menikahi Kushina karena keluarga wanita itu bukan berasal dari keluarga terpandang seperti keluarganya. Kushina hanyalah seorang gadis biasa yang tidak sengaja bertemu dengannya di salah satu acara kampus sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mejalin hubungan dan menikah ketika sudah menyelesaikan gelar sarjana mereka.
"Apa kau tahu bagaimana sulitnya ketika orang yang kita cintai tidak bisa bersama kita?"
Minato berniat menjawab namun urung ketika ia mendengar ketukan pelan di pintu ruang kerjanya. Ia menoleh dan mendapati seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang sedikit menunduk.
"Minato-sama," kata pelayan itu. "Sasori-sama menyuruh saya untuk menemui Anda dan mengatakan kalau saat ini Uchiha-san sudah tiba."
Tubuh Naruto tersentak ketika mendengar nama yang begitu dikenalnya. Mata safirnya langsung beralih ke arah Minato; menyiratkan tanda tanya besar. Apa yang dikatakan pelayan itu benar? Uchiha? Apakah yang datang ke sini adalah Sasuke?
Naruto masih tidak percaya apa yang baru saja didengarnya sehingga ia hanya diam ketika perlahan Minato mulai berjalan melewatinya menuju ke pintu masuk ruangan tersebut. Ia juga diam ketika Minato menyuruhnya untuk ikut ke ruang tamu.
.
.
Sasuke mendudukkan dirinya pada sofa mewah di ruangan tersebut. Tidak jauh darinya, Deidara dan Sasori tengah berbincang dengan suara pelan sehingga memungkinkan Sasuke tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Ia sama sekali tidak tahu apa maksud kedua orang itu dengan membawanya ke kediaman keluarga Namikaze. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apakah Minato memutuskan untuk memisahkan dirinya dan Naruto?
Sasuke tidak mau berpikir seperti itu. Ia tidak mau pikiran-pikiran seperti itu terngiang di kepalanya. Bukankah ia dan Naruto sudah sepakat walau pun Minato tidak menyetujui hubungan mereka, mereka akan tetap mempertahankannya. Toh, keluarganya sendiri tidak mempermasalahkan hal ini.
Memikirkan hal itu membuat Sasuke teringat apa yang terjadi tadi malam di rumahnya. Ia sempat terkejut ketika Ayahnya ingin berbicara empat mata dengannya. Ia sudah berpikir kalau Fugaku akan melarangnya untuk menemui Naruto dan mengatakan kalau ia sama sekali tidak akan menerima hubungan mereka.
Betapa terkejutnya ia ketika Fugaku mengatakan kalau memang ini sudah menjadi keputusan Sasuke, pria itu sama sekali tidak berhak untuk ikut campur. Semua keputusan ada di tangannya dan Fugaku sama sekali tidak akan ikut campur. Pria itu hanya mengatakan kalau sebaiknya Sasuke bersiap-siap karena sepertinya Minato tidak menyetujui hubungan mereka.
Ia sudah sadar dengan semua itu. Ia tahu kalau Minato sangat keras kepala dan dari yang Ayahnya katakan, pria berambut pirang itu tidak terlihat akan menerima dengan mudah hubungan mereka.
Sasuke tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara pintu yang terbuka di rumah besar tersebut. Tidak lama kemudian, sosok Namikaze muncul. Sasuke tidak bisa menyembunyikan senyum tipis di wajahnya ketika menangkap sosok Naruto di belakang pria itu. Tapi senyumnya hanya sebentar ketika menyadari bagaimana keadaan Naruto. Pria pirang itu terlihat berbeda. Tampak sedikit berantakan dan wajahnya terlihat lebam. Apa yang telah dilakukan Minato?
"Kau datang lebih cepat dari yang kuduga, Sasuke," kata Minato membuka pembicaraan di antara kelima orang di ruangan itu. Pria pirang itu melirik sekilas ke arah anak perempuan dan juga menantunya. "Tolong tinggalkan kami. Ada hal yang harus kami bicarakan."
"Baiklah," ujar Sasori. Ia menggandeng tangan istrinya dan beranjak dari ruang tamu tersebut. Sasuke sempat melihat Deidara tengah tersenyum ke arahnya. Ia yang sama sekali tidak mengerti maksud dari senyuman wanita itu sama sekali tidak membalasnya. Ia lebih memiliih untuk memfokuskan kembali perhatiannya ke arah Minato.
"Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku mengharapkan kehadiranmu di sini, Sasuke," kata Minato sepeninggal kedua orang itu. Ia mendudukkan dirinya tepat di hadapan Sasuke. Ia terlihat tidak terlalu peduli kalau Naruto masih berdiri tidak jauh darinya. "Apa kau tahu alasannya?"
"Tidak."
"Bagaimana kalau aku mengatakan agar kau menjauhi Naruto sebelum sesuatu yang buruk terjadi padamu?"
"Tou-san ka-"
"Jangan ikut campur masalah ini, Naruto," ancam Minato. Ia sama sekali tidak melirik ke arah Naruto. Sepasang iris matanya menatao tajam ke arah Sasuke. "Ini adalah urusanku dengan Sasuke. Jadi apa jawabanmu, Sasuke?"
Sasuke yang sejak tadi memasang rauh wajah datar hanya menghela nafas. "Aku sama sekali tidak peduli kalau kau mengancam ingin melakukan sesuatu yang buruk padaku karena aku tidak takut. Mungkin Naruto sudah mengatakan hal ini padamu. Kami sama sekali tidak peduli apakah kau dan keluargamu akan menyetujui hubungan ini atau tidak. Bahkan kalau perlu aku akan membawa Naruto sekarang juga kalau aku mau."
Minato mendengus. "Sejak kapan kau tidak sopan seperti ini pada orang yang lebih tua?"
"Aku tidak perlu repot-repot bersopan santun di saat seperti ini."
'Tipikal Uchiha,' batin Minato menanggapi kata-kata Sasuke. Pria pirang itu menyandarkan tubuhnya sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ia sudah bisa menduga apa jawaban Sasuke tentang ancamannya. Seperti Uchiha kebanyakan, sama sekali tidak takut dengan apa yang mungkin terjadi pada diri mereka masing-masing.
"Apa tidak ada lagi yang bisa merubah keputusan kalian mengenai hubungan yang kalian jalani? Kalian pikir semua orang akan menyetujui hubungan seperti ini?" tanya Minato lagi.
"Sejak pertama, kami memang tidak berharap semua orang akan mengerti," kata Naruto tiba-tiba. "Mengapa Tou-san bersikeras menentang hubungan ini? Apa salahnya untuk sekali saja mencoba untuk tidak mendengarkan apa kata orang lain?"
Minato menghela nafas. Ia melirik sekilas ke arah Naruto. Ia tertegun ketika menyadari kalau ada sesuatu yang terlihat berbeda di mata anak bungsunya. Ia sudah menyadari ini sejak pelayan menyebut nama 'Uchiha' di depannya. Dan setelah menyadari kalau Sasuke yang dimaksud, Minato melihat ada sinar kehidupan di mata anak laki-lakinya.
Begitu pentingkah arti Sasuke bagi Naruto?
Ia sudah tahu jawabannya. Ia sudah tahu bagaimana berartinya Sasuke bagi anak laki-lakinya. Ia sadar apa yang dikatakan Fugaku memang benar. Selama ini ia sama sekali tidak membuat Naruto bahagia. Ia berpikir dengan menjodohkan Shion dengan Naruto bisa membuat pria itu bahagia. Ia tidak sadar kalau yang ia lakukan hanya membuat semuanya lebih rumit.
"...Pergilah," kata Minato yang membuat kedua pria di ruangan itu menatap heran ke arahnya. "Pergilah. Lakukan apa pun yang kalian inginkan sebelum aku berubah pikiran."
Bersamaan dengan itu, Minato beranjak dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan ruang tamu tersebut bersama dengan Naruto dan Sasuke yang masih berusaha mencerna apa yang baru saja Minato katakan. Pria berambut pirang itu sempat berhenti di depan sebuah pintu.
"Untuk masalah Shion, aku berharap kau bisa menyelesaikannya sendiri," kata Minato dari balik bahunya. Ia kemudian menutup pintu tersebut dan berjalan menyusuri koridor rumahnya. Ia berhenti ketika menangkap sosok Kushina tengah berdiri di depan pintu kamar mereka sambil tersenyum. Ia tahu kesehatan istrinya sudah membaik sehingga bisa untuk sekadar berjalan dan turun dari tempat tidur.
"Aku menduga kalau kau mendengar semuanya," Kushina mengangguk. "Apa keputusan yang kubuat ini sudah benar?"
Kushina berjalan mendekati Minato. Wanita itu berjinjit sedikit untuk mencium kening suaminya. "Semuanya memang harus berakhir seperti ini," katanya. "Sesekali melanggar aturan untuk mendapatkan kebahagiannya harus dilakukan. Dan mengenai keputusanmu, menurutku sama sekali tidak salah. Inilah Minato yang kukenal."
Minato tersenyum tipis kepada istrinya. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Fugaku. Zaman telah berubah dan ada baiknya mereka juga ikut mengikuti arus waktu. Ia hanya berharap kalau apa yang dilakukannya ini benar. Ia hanya ingin anak-anaknya bahagia.
Westbrook Apartement, Washington D.C.
Sepasang iris mata safirnya menatap pemandangan ibukota Amerika Serikat dari beranda apartemen miliknya. Ia sedikit tergidik karena udara dingin yang berhembus dan membelai kulit kecokelatannya yang tidak tertutup sepenuhnya oleh pakaian yang ia pakai. Ia tersenyum ketika mengingat kalau pada akhirnya apa yang ia inginkan kini bisa ia dapatkan.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Naruto sedikit tersentak ketika lengan pucat memeluk erat tubuhnya. Ia tergidik ketika merasakan hembusan nafas hangat di tengkuknya. Tidak pernah ia menduga kalau hari ini akan tiba. Hari di mana ia bisa bersama dengan orang yang sepuluh tahun lebih menghilang dari kehidupannya.
"Hanya memikirkan apa yang terjadi hari ini."
"Hn."
Naruto kembali terdiam. Ia ingin menikmati lebih lama kebersamaan mereka. Ia tahu kalau mulai hari ini ia akan terus bersama dengan Sasuke-nya karena apa yang terjadi siang tadi. Ia tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya Ayahnya akan menyetujui hubungan mereka walau tidak secara terang-terangan diucapkan. Tapi dari kata-kata Deidara yang mengatakan kalau Minatolah yang menyuruhnya untuk menghubungi dan menjemput Sasuke, sudah cukup baginya untuk mengerti kalau pada akhirnya Minato membiarkan dirinya untuk mendapatkan kebahagiaan.
Ia juga masih belum bisa percaya kalau orang tua Sasuke juga telah menyetujui hubungan mereka. Ini terlihat seperti mimpi baginya dan kalau pun ini hanya mimpi, ia berharap kalau ia tidak akan pernah bangun.
"Katakan padaku kalau ini bukanlah mimpi, Sasuke," bisiknya pelan. Kedua iris matanya masih terpaku pada pemandangan malam di bawah sana.
Tiba-tiba saja ia merasakan Sasuke memutar tubuhnya kemudian membungkam bibirnya dengan bibir pria itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk segera memejamkan kedua matanya dan menikmati setiap sentuhan Sasuke pada seluruh permukaan tubuhnya. Ia juga pasrah saja ketika Sasuke membaringkan tubuhnya pada lantai marmer yang dingin.
"Akan kutunjukkan kalau ini bukan mimpi," bisik Sasuke sambil mengelus pelan pipi kanannya. Ia bisa merasakan tubuhnya bergetar karena sentuhan pria itu terutama pada bagian pipinya yang lebam akibat terkena pukulan dari Minato. Ia mendesah pelan ketika Sasuke mencium lembut bagian yang terluka itu.
"Kalau begitu tunjukkan padamu, Sasuke. Tunjukkan padaku kalau ini bukan mimpi..."
Sasuke tersenyum tipis. Ia kembali menciumi sosok di bawahnya. Menciumi satu per satu bagian-bagian tubuh Naruto yang membuat desahan meluncur dari bibir pria itu sampai akhirnya ia mengenyahkan semua pakaian yang melekat di tubuh Naruto sekadar untuk membuatnya lebih leluasa menikmati tubuh tersebut. Ia merasakan tubuh Naruto kembali bergetar karena punggungnya bersentuhan dengan lantai apartemen yang dingin.
Naruto sendiri hanya bisa mengerang dan mendesah ketika Sasuke mulai menyerang bagian-bagian tubuhnya. Berbeda dari apa yang dilakukan mereka sebelumnya, tidak akan ada penyesalan. Semua yang mereka lakukan saat ini adalah karena keinginan mereka masing-masing untuk memiliki orang yang paling mereka cintai seutuhnya.
"Mmmhh..."
"Kau milikku, Naruto," bisik Sasuke di telinga pria pirang itu sambil terus menyerang titik-titik sensitif yang sudah sangat dihapalnya dan membuat desahan semakin meluncur dari bibir Naruto. Ia tidak berhenti untuk terus menyerang sampai akhirnya Naruto mendesah panjang karena baru saja mengeluarkan apa yang ditahannya sejak tadi.
Naruto membuka kelopak matanya yang terpejam ketika baru saja mengeluarkan apa yang ada di dalam tubuhnya. Ketika matanya sudah terbuka sepenuhnya, ia mendapati Sasuke tengah menatapnya. Ia tersenyum ketika menyadari arti sorot mata pria di atasnya. Kata-kata 'Aku mencintaimu' tidak perlu mereka ucapkan karena semua itu sudah terlihat jelas di sorot mata mereka.
"Lakukan, Sasuke," bisiknya sambil mencuri sebuah ciuman dari Sasuke.
Seketika itu juga Naruto mengerang keras ketika Sasuke mulai mengoyak tubuhnya. Ia mencakar punggung Sasuke dengan kuku-kuku tangannya sehingga membuat pria raven itu meringis. Sama seperti sebelumnya, sakit serta perih selalu ia rasakan sebelum akhirnya Sasuke mulai bergerak dan perlahan-lahan menghantarkannya menuju surga dunia.
Kedua pria itu mendesah di tengah deru nafas mereka. Udara dingin yang bertiup di beranda tidak lagi menjadi halangan ketika mereka berusaha menyatukan tubuh mereka sampai pada akhirnya kedua orang itu menyuarakan nama pasangan mereka masing-masing karena telah berhasil mengakhiri apa yang mereka lakukan malam ini.
"Aku tidak akan mau melakukannya di beranda lagi," bisik Naruto. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Sasuke sementara Sasuke sendiri menyandarkan tubuhnya pada dinding terdekat. Tubuh mereka hanya tertutupi oleh kemeja yang mereka pakai tadi. Tidak ada yang berniat untuk pindah ke dalam karena keduanya masih terlalu lelah untuk bergerak.
"Hn?"
"Badanku sakit semua dan di sini dingin."
Sasuke tersenyum tipis. Ia memainkan helaian rambut Naruto dengan tangannya sementara kedua matanya menatap ke arah langit malam di atas sana. Ia tahu kalau mulai sekarang Naruto tidak akan pergi lagi dari sisinya. Hanya saja, masih ada satu hal yang menganjal di hatinya.
Bagaimana dengan wanita yang bernama Shion itu?
"Naruto..." panggil Sasuke. Tidak juga mendapat jawaban dari yang bersangkutan membuat ia melirik ke arah Naruto. Ia mendengus ketika menyadari kalau pria itu tengah tertidur di pelukannya. Biarlah urusan dengan wanita itu diselesaikan besok saja karena untuk saat ini, ia ingin menikmati waktunya hanya dengan Naruto. Perlahan, ia mengecup puncak kepala pria itu dan menggumamkan selamat malam.
Semuanya akan berbeda mulai sekarang...
John F. Kennedy International Airport, New York City.
"Sampai jumpa lagi, Naruto."
Naruto tersenyum ke arah wanita berambut pirang pucat di hadapannya. Walau saat ini Shion memperlihatkan senyum manis di wajahnya, itu belum cukup untuk menghapus rasa bersalah yang ia rasakan. Ia tahu kalau Shion sangat mencintainya. Ia tahu apa yang dilakukannya selama beberapa tahun ke belakang ini hanya menyakiti wanita tersebut.
Selama ini ia merasa bersalah karena membuat Shion bertepuk sebelah tangan karena perasaannya hanya untuk Sasuke seorang. Ia tidak bisa memungkiri hatinya yang tidak bisa melupakan pria tersebut sehingga membuat Shion menderita dengan semua hubungan yang tidak jelas seperti ini.
Pria berambut pirang itu tersentak ketika mendapati Shion tengah menatapnya dan tentu saja membuatnya sedikit jengah.
"Aku tidak apa-apa," bisik Shion. "Jangan memasang wajah seperti itu karena hanya akan membuatku sedih, Naruto. Saat ini harusnya kau berbahagia karena akhirnya kalian bisa bersama setelah apa yang kalian lalui selama ini."
Naruto menghela nafas pelan. "Aku tahu. Tapi biarkan aku untuk meminta maaf padamu. Maafkan aku yang membuatmu bersedih. Maafkan aku karena sampai sekarang aku tidak bisa membalas perasaanmu."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Naruto," katanya sambil menggeleng pelan. "Jangan pernah meminta maaf atas semua ini."
"Tapi-"
"Sudahlah," potong Shion. Ia melirik ke arah pria yang berdiri di samping Naruto. Sejak tadi Sasuke memang hanya diam saja karena ia sadar kalau ini bukan tempatnya untuk ikut campur. "Aku di sini tidak untuk mendengar permintaan maaf darimu."
Shion kembali menyunggingkan senyum di wajahnya. Ia kemudian melirik papan lebar di bandara tersebut dan menyadari kalau beberapa menit lagi pesawat yang ia tumpangi akan berangkat. Segera saja ia meraih koper besar yang sejak tadi teronggok begitu saja di sampingnya.
"Sepertinya aku harus berangkat segera," kata wanita itu yang membuat Naruto mengganggukkan kepala. Wanita itu beralih ke arah sosok Sasuke yang telah berdiri di samping Naruto. Sambil tersenyum tipis, ia berjalan ke arah pria tersebut.
"Kau beruntung, Uchiha," katanya. "Jangan pernah kau sia-siakan Naruto lagi karena kalau itu terjadi, aku akan kembali dan merebutnya."
"Shion..."
"Aku serius, Naruto," Shion berkata sambil menatap tajam ke arah Naruto. "Aku akan merebutmu kembali kalau pria ini menyia-nyiakanmu lagi. Dan aku sama sekali tidak akan menyerah kali ini."
"Aku tidak akan berbuat seperti itu."
"Oh, benarkah, Uchiha? Kita lihat saja nanti. Dan harus kau tahu, aku akan sangat menantikan saat itu terjadi."
"Hn."
Shion mendengus ketika mendengar jawaban dari Sasuke. Tanpa membuang waktu ia mulai menyeret koper miliknya sambil melambaikan tangan ke arah kedua pria itu dan mengucapkan selamat tinggal kepada Naruto. Ia tidak menoleh lagi ke belakang karena ia tahu ia hanya akan semakin sedih kalau melihat kedua orang itu.
Ia bukannya tidak merelakan Naruto bersama dengan orang yang ia cintai. Asalkan Naruto bahagia, ia rela untuk melepas orang itu. Tapi tentu saja ini tidak semudah yang ia bisa karena Shion masih mencintai pria itu. Bahkan sepertinya ia akan sulit melupakan Naruto karena Naruto adalah orang pertama yang membuatnya merasakan bagaimana cara untuk mencintai seseorang dengan tulus.
"Ayolah, Shion! Kau bukan wanita yang lemah!" serunya kepada diri sendiri. Ia yang tidak terlalu memusingkan kalau beberapa penumpang pesawat saat ini tengah menatap heran ke arah dirinya karena berbicara sendiri, segera menghempaskan tubuhnya pada kursi pesawat setelah sebelumnya memasukkan koper miliknya ke dalam bagasi.
Tidak sengaja, iris matanya menangkap sesuatu yang berkilau di jari manis tangan kirinya. Ia tersentak ketika menyadari kalau ia sama sekali belum melepas cincin pertunangannya dengan Naruto dan tidak menyadari kalau benda mungin itu masih tersemat di jarinya. Dengan sedikit gemetar, ia mulai melepas cincin tersebut. Ia sama sekali tidak sadar kalau saat ini ia menangis karena.
Iris mata lavender pucatnya mengamati benda mungil di atas telapak tangannya. Di sisi dalam cincin itu, ia bisa melihat nama Naruto yang terukir dengan indah. Dadanya kembali berdenyut. Ia tidak tahu kalau ternyata melepaskan orang yang begitu kita cintai terasa begitu sulit seperti ini.
Memang sejak tadi, ia berusaha agar tidak mengeluarkan air mata di hadapan pria pirang itu karena ia tahu kalau Naruto akan semakin merasa bersalah karena sudah menyakiti dirinya. Ia juga tidak ingin terlihat lemah di depan Naruto atau pun Sasuke.
Shion menutup kedua kelopak matanya; membuat air matanya mengalir mulus di kulit putihnya. Ia menghiraukan suara pilot yang menyuruhnya untuk memakai sabuk pengaman. Ia juga menghiraukan seseorang yang sepertinya duduk di sampingnya. Saat ini ia hanya ingin menikmati kesendiriannya. Ia tidak peduli kalau orang yang duduk di sampingnya bertanya-tanya mengapa ia menangis.
Setelah merasa cukup tenang dan puas menangis, Shion membuka matanya. Dengan segera ia menghapus sisa air mata dari wajahnya. Ia segera membongkar tas tangan miliknya untuk mencari sapu tangan. Hanya saja, setelah mengeluarkan hampir seluruh barang-barangnya dari dalam tas, benda yang dicarinya tidak juga ketemu. Ia hampir menyerah dan membiarkan wajahnya sedikit berantakan sebelum sebuah sapuntangan terulur ke arahnya. Wanita bermata lavender pucat itu segera mendongakkan kepalanya dan mendapati seorang pria berambut orange dengan beberapa piercing di telinganyalah yang menyodorkan sapu tangan kepadanya.
"Pakai saja," kata pria itu.
Shion yang tidak memiliki pilihan lain, akhirnya menerima sapu tangan tersebut dan mulai membersihkan sisa air mata di wajahnya.
"Thank you," bisik Shion. Ia masih memegangi sapu tangan itu. Bingung apakah ia harus mengembalikannya atau tidak karena sapu tangan tersebut asudah ternoda dengan make up yang ia pakai.
"Never mind. You can use it. I still have another one," kata pria itu lagi. Aksennya yang kental cukup membuat Shion yakin kalau pria itu berasal dari Inggris atau setidaknya tinggal di sana mengingat ia sempat mendengar pria itu berbicara dengan bahasa Jepang.
Shion mengangguk. "Kalau begitu terima kasih sekali lagi. Aku tidak menemukan sapu tangan milikku."
Pria itu terkekeh pelan. "Terkadang kita melupakan di mana meletakkan barang yang sangat kita perlukan," kata pria itu. "By the way, I'm Pein. Nice to meet you, Miss..."
"Shion. My name's Shion. Nice to meet you too, Pein," ujarnya sambil tersenyum ke arah pria di sampingnya.
.
.
"Masih mencemaskan Shion?"
Naruto mengangguk singkat menjawab pertanyaan Sasuke. Iris matanya menatap ke arah sebuah pesawat yang akan mengantarkan Shion kembali ke negara asalnya, Inggris. Setelah Naruto memutuskan untuk menemui kedua orang tua wanita itu dan mengatakan bahwa ia akan membatalkan pertunangan mereka, Shion memutuskan untuk kembali ke Inggris. Ia tahu kalau Shion akan semakin terluka kalau berkeras untuk tinggal di New York.
Ia masih bisa bersyukur karena kedua orang tua Shion bisa menerima keputusan yang ia ambil walau pada awalnya kedua orang tua Shion merasa kecewa padanya. Setidaknya untuk terakhir kali ia tidak ingin berbohong atas perasaannya.
"Aku rasa tidak ada gunanya kau mengkhawatirkan Shion," kata Sasuke lagi. "Ia wanita yang kuat. Aku rasa patah hati tidak cukup untuk membuatnya terpuruk."
Senyum tipis tersungging di wajah tan Naruto. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Sasuke. Dilihatnya pria itu tengah menatap langit di luar sana.
"Ya, dia wanita yang kuat," bisik Naruto. Digenggamnya telapak tangan Sasuke sehingga membuat pria itu menatap heran ke arahnya. Naruto hanya tersenyum lebar ketika melihat ekspresi wajah Sasuke. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke arah pria raven itu dan mengecup singkat bibir kemerahan Sasuke. Ia sama sekali tidak ambil pusing karena saat ini mereka menjadi tontonan beberapa calon penumpang yang memenuhi bandara tersebut. Baginya, ia tidak perlu lagi menyembunyikan hubungan yang sedang ia jalani dengan Sasuke.
Ia tidak peduli selama Sasuke bersamanya.
The End
Last Note: saya berharap kalau ending fic ini tidak mengecewakan readers semua. Sungguh, membuat ending yang bagus merupakan kelemahan dari saya. Dan untuk lemon juga semoga tidak mengecewakan (pesimis mode: ON). Lemonnya memang tidak hard karena saya ingin membuat kesan manis di bagian itu. Jangan protes, okay? *dibunuh*
At least, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada readers yang masih setia membaca fic ini sampai akhir yang tidak bisa saya tulis satu per satu. Terima kasih juga untuk review, favorite atau pun alert-nya m(_ _)m. Sampai jumpa di lain kesempatan (someone: oi, fic yang lain kapan dilanjutin?) =="
With really really big hug.
Sou.