Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I own nothing
Warning : OOC, Shounen Ai, typo(s), etc DON'T LIKE DON'T READ
D E S T I N Y
-Chapter 1: After Ten Years –
Sebuah pesawat jet pribadi dengan model Airbus A380 mendarat mulus di landasan khusus bandar udara Narita, Tokyo-Jepang. Sekilas, beberapa pasang mata menatap pesawat tersebut dengan tatapan kagum sekaligus iri. Kagum karena pesawat jet itu tampak hebat jika disandingkan dengan pesawat-pesawat lain di tempat itu. Iri karena mereka tidak tahu kapan bisa memiliki salah satu pesawat jet termahal saat ini. Pemiliknya pun pastilah bukan orang sembarangan.
Pintu pesawat itu terbuka perlahan sambil mengeluarkan desisan halus saat pintunya tergeser ke samping. Tidak lupa, sebuah tangga tinggi yang terbuat dari besi ditempelkan ke pintu pesawat itu untuk memudahkan penumpangnya turun dari pesawat.
Terlihat, seorang laki-laki paruh baya berusia sekitar pertengahan dua puluhan keluar dari pesawat. Pria berambut pirang menyala itu merapikan jas hitamnya kemudian menuruni tangga.
Di belakangnya, seorang wanita cantik berambut panjang mengikutinya sambil membawa sebuah buku catatan.
Kedua orang itu pun segera memasuki sebuah limousin hitam yang terparkir di dekat pesawat tersebut.
...
Naruto's POV
Aku memandang pemandangan bandara Narita lewat kaca mobil. Perlahan tapi pasti, mobil yang kutumpangi mulai berjalan.
Tidak pernah kupikirkan kalau aku akan kembali ke tempat ini. Tidak pernah sekalipun.
Kupejamkan mataku sebentar sambil menghela nafas. Aku merasa benar-benar letih. Bagaimana tidak. Aku baru saja menyelesaikan negosiasi proyek baru untuk perusahaanku di Canada. Dan sekarang, tiba-tiba saja aku harus terbang ke Jepang untuk menangani proyek lain. Aku tahu, berkendara menggunakan pesawat pribadi memang lebih nyaman dan cepat. Tapi tetep saja ini menyebalkan.
Menghadiri rapat-rapat membosankan selama berjam-jam hanya untuk sebuah kesepakatan kerja-sama? Damn it! Bukankah urusan semacam ini tidak seharusnya dilimpahkan padaku? Aku benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran orang tuaku.
"Naruto-sama," kata seseorang memanggilku. Kulirik seorang wanita berambut indigo bermata lavender yang duduk di depanku.
"Hinata-chan~" kataku pada wanita yang lebih muda dua tahun dariku. "Berhentilah memanggilku dengan sebutan formal seperti itu. Lihat, tidak ada orang lain selain kita dan seorang sopir di mobil ini."
Wanita itu tersenyum padaku.
"Saya tahu," katanya sambil melirik jam tangannya. "Tapi saat ini masih jam kerja, Naruto-sama."
Aku mengangguk. Mengerti bahwa wanita itu sedang menjaga profesionalitas-nya sebagai sekretarisku.
"Baiklah. Aku mengerti. Lalu, apa yang ingin kau katakan?"
Hinata mengalihkan pandangannya ke arah buku berukuran sedang di tangannya.
"Saya sudah memesan kamar hotel di ANA Intercontinental Hotel di Akasaka. Apa Anda ingin mengganti tempat?"
Aku menggeleng. Hotel manapun bagiku sama aja. Asalkan aku segera pergi dari kota ini, yang lainnya tidak penting.
"Baiklah," lanjutnya. "Hari ini tidak ada jadwal lain untuk Anda. Untuk besok, jam sembilan pagi Anda harus menghadiri rapat Direksi di Rasengan sampai jam dua belas siang. Itu saja jadwal Anda sampai besok siang. Selanjutnya akan saya sampaikan nanti."
Aku kembali mengangguk.
'Same situation, different day,' pikirku.
Sementara Hinata sedang sibuk dengan telepon selularnya sambil berbicara dengan tidak-tahu-siapa, aku mengalihkan pandanganku ke jendela mobil mengamati jalan yang kulalui. Kota ini sudah benar-benar mengalami perubahan. Banyak bangunan-bangunan dan pusat perbelanjaan yang dibangun. Membuat kota ini tampak sesak.
"Sudah berapa lama kau tidak ke sini, Naruto-kun?' tanya Hinata padaku.
Oh, rupanya jam kerja sudah berakhir.
Aku melonggarkan ikatan dasi dileherku. Membuka kancing kemeja paling atas. Dinginnya AC mobil tidak mengurangi juga gerahnya tubuhku. Terpaksa, aku membuka setengah jendela mobil. Udara sore yang dingin di musim dingin menerpa wajah tan-ku.
"Mungkin sembilan, atau sepuluh tahun. Entahlah," kataku tanpa mengalihkan pandanganku dari kaca jendela.
End Of Naruto`s POV
.
.
Hinata menyerahkan sebuah lembaran berwarna perak kepada pria berambut pirang di sampingnya. Dengan enggan, pria bernama Namikaze Naruto itu mengambil kunci kamarnya.
"Selamat malam, Naruto-kun. Sampai bertemu besok," kata Hinata kemudian beranjak menuju kamar di sebelah kamar yang ditempati Naruto.
"Selamat malam,"
Naruto memandangi pintu kamar tempatnya menginap. Menghela nafas pelan. Kota ini membuat mood-nya berada di titik terendah.
Ia melirik lembaran perak di tangannya. Digesekkannya lembaran perak itu pada alat kecil di atas gagang pintu. Terdengar bunyi 'klik' pelan menandakan pintunya sudah terbuka.
Sambil menyeret kopernya yang hanya berisi beberapa lembar pakaian, Naruto melangkahkan kakinya. Menginjak karpet berwarna abu-abu tebal yang menutupi seluruh lantai President Suite itu.
Direbahkannya tubuhnya ke tempat tidur berukuran King Size itu. Mata birunya memandangi langit-langit yang berwarna krem.
"Aku bosan," gumam Naruto.
Naruto bangkit dari posisi tidurnya. Melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Dilepaskannya semua pakaian yang melekat di tubuhnya kemudian mengguyur dirinya dengan air panas yang mengalir lewat shower. Rasanya nyaman sekali. Pria pirang itu kemudian mengambil sebuah piyama mandi tebal berwarna putih yang tersedia di atas rak; lengkap dengan sebuah handuk untuk mengeringkan rambutnya.
Dibongkarnya koper hitam yang tergeletak di atas lantai, mencari beberapa pakaian. Dipakainya sebuah kemeja garis-garis lengan pendek berwarna biru dan sebuah celana jeans warna senada. Tidak lupa sebuah jaket berwarna orange dengan aksen hitam di lengannya.
Ia melirik jam tangannya. Masih jam delapan. Tidak ada salahnya berjalan-jalan sebentar.
...
Hinata baru saja selesai menelepon saat didengarnya seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dengan sedikit buru-buru, wanita itu menghampiri pintu. Dilihatnya Naruto tengah berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket.
"Ada apa, Naruto-kun?"
Naruto menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau sedang sibuk?" tanya Naruto.
"Tidak. Memangnya kenapa, Naruto-kun?"
"Aku bosan. Keberatan kalau aku mengajakmu jalan-jalan?"
Hinata tampak berpikir sebentar. Kemudian mengangguk.
"Baiklah. Tunggu sebentar, aku akan mengambil jaket," katanya lalu masuk ke kamar.
Tidak sampai dua menit, Hinata muncul kembali dengan membawa sebuah jaket berwarna putih di tangannya.
"Ayo," ajak Naruto.
.
.
.
"Mengapa tidak memakai mobil saja, Naruto-kun?" tanya Hinata saat mereka berdua berada di dalam taxi.
Naruto menggeleng. "Aku sedang ingin menikmati waktu santai. Kalau memakai mobil, membuatku seperti sedang bekerja," katanya.
Hinata mengangguk mengiyakan. Ia sadar kalau atasan-nya ini memang perlu sedikit bersantai. Semenjak mengelola Rasengan Interprize-anak perusahaan Namikaze Corporation-tiga tahun silam, Naruto lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bekerja daripada bersantai.
"Ah, Ji-chan! Berhenti!"
Seruan Naruto membuat lamunan Hinata buyar. Diliriknya pria disampingnya dengan penuh tanda tanya. Sementara itu, supir taxi yang ditumpangi kedua orang itu memelankan laju mobilnya.
"Ada apa, Tuan?" tanya supir taxi berambut putih panjang itu.
"Berhenti di sini saja," kata Naruto sambil menyodorkan sejumlah uang pada pria itu. "Ambil saja kembaliannya dan terima kasih sudah mengantar. "
Masih bertanya-tanya, Hinata mengikuti Naruto keluar dari taxi.
"Ada apa sebenarnya, Naruto-kun?"
Naruto tidak menjawab. Digandengnya tangan Hinata dan menariknya ke arah sebuah deretan pertokoan. Sekilas, wanita bermata lavender itu melihat senyuman di wajah pria pirang itu.
...
"Selamat datang!" sapa seorang wanita muda saat Naruto dan Hinata masuk ke dalam sebuah restoran di kawasan Aoyama.
Naruto berjalan-dengan masih menggandeng tangan Hinata- menuju sebuah counter di bagian dalam restoran itu.
"Teuchi-ji-san!" seru Naruto kepada seorang laki-laki yang mengenakan topi berwarna putih lengkap dengan seragamnya.
Pria yang dipanggil Teuchi-ji-san oleh Naruto, awalnya menatap pria pirang itu dengan tatapan heran. Namun, setelah mengamati beberapa saat. Mata pria tua itu membelalak.
"Na-naruto ya?"
Naruto mengangguk.
"Lama tidak bertemu, Ji-san!"
"Ah iya. Lama sekali. Sudah berapa tahun ya? Bagaimana kabarmu, Naruto?"
Naruto dan Hinata duduk di kursi di depan counter itu. "Aku baik-baik saja, Ji-san," kata Naruto sambil mengamati menu yang terletak di dekatnya. "Boleh pesan ramen super jumbonya?"
Pria tua itu mengangguk senang. "Tentu saja," katanya kemudian melirik ke arah Hinata. "Anda mau pesan apa, Nona?"
Hinata tampak sedikit gugup. Ditelusurinya daftar menu yang semuanya ramen itu.
"Umm-ramen biasa saja, Teuchi-san," jawabnya.
"Baiklah! Ayame, ramen super jumbo dan ramen biasa masing-masing satu!" teriaknya kepada seorang gadis di dekat dapur.
Naruto mengamati sekelilingnya. Melihat banyaknya orang-orang yang sedang mencari kehangatan dengan makan ramen di restoran itu.
"Kau kemana saja, Naruto? Aku tidak pernah melihatmu lagi sejak Kau lulus SMU."
Naruto tersenyum tipis kepada pria itu, "Aku pindah ke D.C., Ji-san."
"D.C.?" tanya pemilik restoran itu.
"District of Columbia, Tou-san. Amerika!" kata seorang wanita cantik dari arah belakang pria itu sambil membawa nampan berisi dua buah mangkuk ramen yang mengepulkan uap panas.
"Souka?" tanya Teuchi.
Naruto mengangguk.
"Arigatou, Ayame Nee-chan!" seru Naruto saat menerima ramen pesanannya.
"Wah,wah! Kau hebat Naruto!" kata Teuchi.
"Tou-san," sela Ayame. "Kalau Kau terus mengobrol, kapan Naruto-kun dan pacarnya bisa makan?"
Hinata yang sedang menikmati kuah ramen-nya, mendadak tersedak mendengar perkataan Ayame. Buru-buru Naruto menyerahkan segelas air putih kepada wanita disampingnya itu.
"Ka-kau tidak apa-apa, Hinata-chan?" tanya Naruto dengan nada cemas. Begitu pula kedua Ayah dan Anak di belakang counter itu.
Hinata menggeleng pelan. Dengan anggun mengusap bibirnya dengan serbet makan.
"Ti-tidak apa-apa Naruto-kun," gumamnya.
Pria berambut pirang itu menghela nafasnya.
"Ayame nee-chan ini! Jangan bicara seperti itu. Hinata-chan ini bukan pacarku," kata Naruto sambil membelah sumpit dihadapannya. Mata birunya menatap Ayame yang tampak salah tingkah.
"Ah, benarkah? Tapi Kalian serasi sekali kalau menjadi pasangan," katanya dengan nada menggoda.
'Aku bisa dibunuh kalau itu sampai terjadi,' batin Naruto.
Sepeninggalnya Teuchi dan Ayame, kedua orang itupun melanjutkan kegiatan makan malam mereka yang tertunda. Naruto terlihat begitu senang saat menyantap hidangan mie tersebut. Tidak disadarinya, sepasang mata lavender mengamatinya dengan perasaan lega.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam saat Naruto dan Hinata memanggil sebuah taxi untuk kembali ke hotel tempat mereka menginap. Setelah berpamitan dengan pemilik Ichiraku`s Restaurant itu, Naruto dan Hinata beranjak masuk ke dalam taxi dan meninggalkan kawasan Aoyama menuju Akasaka.
"Ramen ditempat itu memang paling enak," kata Naruto sambil memegangi perutnya yang kekenyangan setelah menghabiskan tiga porsi ramen super jumbo.
Hinata mengangguk setuju.
Malam ini, Ia bersyukur karena setidaknya mood atasannya lebih baik dari sebelumnya. Wanita itu tahu, apa yang menyebabkan mood Naruto memburuk saat mengunjungi kota ini.
"...chan! Hinata-chan!"
Hinata tersentak. Tersadar dari lamunannya saat Naruto menepuk pelan bahunya.
"A-ada apa, Naruto-kun?"
"Kita sudah sampai," katanya pelan kemudian keluar dari taxi.
.
.
"Kau kenapa, Hinata-chan? Kulihat Kau dari tadi melamun," kata Naruto saat mereka berdua berada di dalam lift menuju kamar mereka. Tidak ada orang lain selain mereka berdua di sana, sehingga keduanya bisa berbicara dengan bebas.
Hinata menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Naruto-kun. Hanya saja," Ia terdiam. Naruto yang melihatnya, mengerutkan alis. "Aku senang suasana hatimu menjadi lebih baik dari saat Kita di pesawat tadi sore."
Naruto tertegun tapi tidak lama karena pintu lift yang terbuka perlahan-lahan. Naruto pun mengantar Hinata sampai ke depan pintu kamarnya.
"Ah, Hinata-chan," panggil Naruto saat wanita itu hendak masuk ke dalam kamarnya. "terima kasih sudah menemaniku tadi."
"Tidak masalah," kata wanita itu kemudian menutup pintu kamarnya.
...
Rasengan Interprize, adalah sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang. Seperti bidang industri obat-obatan dan farmasi, industri otomotif, dan industri elektronika. Bahkan baru-baru ini, perusahaan yang baru berdiri tujuh tahun itu melebarkan sayapnya ke dalam industri pengeboran minyak mentah di lepas pantai Samudra Hindia.
Sebagai perusahaan yang baru berdiri, Rasengan mempunyai beberapa cabang perusahaan di luar negeri. Satu diantaranya terletak di kawasan Shinbashi, distrik Minato, prefektur Tokyo, Jepang.
Mungkin banyak orang yang mengira, kalau perusahaan sebesar ini pastilah dipimpin oleh seorang yang mempunyai banyak pengalaman dalam bidang seperti itu. Sayangnya, mereka salah. Banyak yang terkejut saat mengetahui Direktur Utama perusahaan ini adalah seorang laki-laki yang baru berusia dua puluh tujuh tahun.
Usia yang sangat muda untuk menjadi seorang pimpinan. Tapi bukan berarti dia bisa diremehkan begitu saja.
Namikaze Naruto, adalah Direktur Utamanya. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Ia mendirikan perusahaan itu. Memulainya dari nol sampai akhirnya menjadi perusahaan besar seperti sekarang. Ia juga termasuk ke dalam seratus orang berpengaruh versi majalah TIME. Mengagumkan bukan?
"Kakashi-san," kata Naruto kepada pria berambut perak yang memakai masker menutupi separuh wajahnya itu. "Apa sebenarnya maksud kakek-kakek tua itu? Bisa-bisanya mereka mengajukan kerja sama dengan Rinnengan padaku!"
Pria bernama Hatake Kakashi itu menghela nafasnya pelan. Dilihat dari penampilannya yang rapi dan formal, bisa dipastikan pria berumur tiga puluh lima tahun itu mempunyai jabatan penting di kantor itu.
"Saya juga tdak mengerti, Naruto-sama. Tidak tahu mengapa, tiba-tiba saja mereka menyerahkan proposal kerja-sama di atas meja kerjaku tadi pagi," katanya.
"Ck! Merepotkan saja. Aku ke Jepang hanya untuk melakukan perjanjian kerja-sama dengan pihak lain. Tapi kenapa sekarang aku harus mendengar berita seperti ini?"
Naruto memijat keningnya. Ditatapnya setumpuk dokumen di tangannya dengan tatapan tidak senang. Dia merasa kesal. Saat rapat Direksi tadi pagi, Naruto dikejutkan dengan permintaan para pemegang saham yang tiba-tiba mengusulkan kerjasama dengan perusahaan yang bernama Rinnengan. Alasannya, karena Rinnegan adalah perusahaan besar yang bergerak di bidang IT. Salah satu sektor yang bisa mendatangnya keuntungan besar belakangan ini.
Walaupun perusahaan besar, Naruto tidak pernah berniat bekerja-sama dengan perusahaan itu. Banyak kabar tidak sedap yang ia dengar tentang perusahaan itu. Kabarnya, Rinnengan mempunyai hubungan dengan Kartel di Eropa. Salah satu organisasi besar yang menyalurkan obat-obatan terlarang, senjata ilegal, dan penyelundupan barang-barang dari pasar gelap.
Naruto tidak senang dengan kabar yang ia dengar.
Dilemparnya dokumen ditangannya itu ke dalam tempat sampah.
"Katakan pada mereka, aku menolak usul itu. Tidak peduli berapa besar keuntungan yang tidak akan kita dapatkan dari kerjasama ini. Aku tidak ingin, nantinya kita punya masalah dengan pihak berwajib."
Kakashi mengangguk, "Akan saya sampaikan hal itu pada mereka. Anda tidak perlu cemas, Naruto-sama. Kupastikan itu tidak akan terjadi."
"Aku mengandalkanmu, Kakashi-san."
Mata biru Naruto menatap sekretarisnya yang duduk tenang di meja tidak jauh dari meja Naruto. Ia tampak sedang sibuk dengan dokumen-dokumen di atas mejanya.
"Hyuuga-san, apa agendaku setelah makan siang?"
Hinata menghentikan kegiatannya kemudian berjalan mendekat ke arah meja Naruto sambil membawa buku catatan kecil. "Setelah makan siang, Anda ada pertemuan dengan wakil dari Sharingan Corp., untuk membahas kerjasama yang mereka ajukan beberapa minggu yang lalu."
Naruto mengangguk mengerti. Sharingan Corp., adalah perusahaan yang mempunyai usaha di sektor kesehatan. Beberapa rumah sakit terbesar adalah milik perusahaan itu. Dan tujuan Naruto ke Jepang pun salah satunya adalah untuk menjalin kerjasama dengan mereka.
"Setelah itu, Anda diundang untuk menghadiri resepsi pernikahan putra tunggal keluarga Nara nanti malam jam tujuh. Itu saja, Naruto-sama."
Naruto menopang wajahnya diatas meja kerjanya. Untunglah jadwal hari ini tidak sepadat yang biasanya.
'Kalau bukan undangan dari Shika, aku tidak mau datang,' batinnya.
"Satu lagi, Naruto-sama," kata Hinata. "Majalah Men in Business ingin mewawancarai Anda. Apa Anda berkenan?"
Naruto dengan cepat menggeleng. "Katakan saja aku sangat sibuk. Aku malas meladeni pertanyaan mereka."
Ya, Naruto memang tidak suka kalau pihak-pihak pers itu menanyainya macam-macam hal yang tidak penting. Apalagi menggosipinya.
"Akan saya sampaikan pada mereka, Naruto-sama," kata Hinata kemudian kembali ke mejanya.
"Apa ada lagi yang Anda perlukan, Naruto-sama?" tanya Kakashi.
Naruto menggeleng kepada Direktur Cabang kantor ini. "Tidak ada. Kau boleh pergi, Kakashi-san."
...
Meeting Room, Rasengan Interprize. 1.45 pm.
"Berapa lama lagi kita harus menunggu?" tanya seorang pria berkulit pucat kepada rekan di sampingnya dengan nada tidak suka. Ia sudah bosan menunggu selama tiga puluh menit lebih di ruangan ini.
"Sabarlah. Bukankah pertemuannya jam dua siang? Kita terlalu cepat dari jadwal," kata rekan pria itu.
"Gara-gara Aniki yang salah memberitahu jadwalnya, kita harus membuang-buang waktu seperti ini?" gerutu pria bermata oniks itu.
Pria bermata oniks lain di ruangan itu hanya tersenyum melihat tingkah sepupunya itu. Matanya menyusuri keadaan sekelilingnya. "Ruang rapat yang hebat," katanya. Dilihatnya ruangan yang luas itu. Kursi-kursi yang dipernis mengkilat dengan sandaran empuk berwarna merah. Mejanya terbuat dari kayu mahoni kualitas terbaik yang juga dipernis sama seperti kursinya. Di sekeliling ruangan itu, dihiasi dengan pohon-pohon sakura tiruan dan hiasan dinding bergaya Cina. Kombinasi yang sangat mewah.
"Kau terlalu melebihkan, Sai. Menurutku ini biasa saja." ujar pria satu lagi.
"Dasar tidak tahu seni," kata pria bernama Sai itu dengan tersenyum.
"Hn,"
Percakapan kedua orang itu diinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Mereka menatap seorang wanita berambut indigo panjang yang memasuki ruangan itu.
"Maaf membuat Anda menunggu," kata wanita itu.
Di belakang wanita tadi, seorang pria lain memasuki ruangan dengan sedikit terburu-buru. Wajahnya sedikit menunduk karena sedang sibuk membaca dokumen di tangannya.
"Maaf, Aku sedikit ter-"
Pria berambut pirang itu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya saat melihat kedua orang di hadapannya. Mata biru langitnya membulat sempurna saat matanya bertemu dengan salah satu mata oniks di ruangan itu.
"Sa-sasuke
To be Continued
Hyaa~
Tidak tahu mengapa malah nulis cerita seperti ini...#pundung
Sedikit saia tekankan disini. Ini SasuNaru. Bukan NaruHina. Dan fic ini, YAOI..
Pokoknya REVIEW saja! Tetep, saia ga terima FLAME. Tapi kalau pun ada yang ngasih, terserah deh... #cuek