Cerita ini terinspirasi sebagian dari kisah temanku yang yah ... dia broken home selebihnya itu hanya karangan saya. Dan ini Rie dedikasikan untuk temanku yang tak akan aku sebut namanya juga untuk Miss Uchiwa SasuSaku Lovers yang tengah berulang tahun.


Naruto © Masashi Kishimoto

Warning : AU, OOC

DLDR!


Enjoy Yourself!

.

A Little Love

Chapter 1


Keluarga.

Satu kata yang sederhana. Tetapi mengandung berbagai macam makna.

Keluarga itu hakekatnya teman, sahabat, orang kepercayaan dan orang yang mengasihi.

Keluarga itu adalah segalanya. Sesuatu yang sangat berharga dan perlu dijaga.

Keluarga adalah sebuah anugerah dari Tuhan.

Keluarga adalah harta yang paling berharga yang harus disyukuri.


Sore itu di kala senja. Embusan angin semilir menerpa wajahku. Memainkan helai-helai rambut hitam kebiruan milikku. Langit di ujung senja menampilkan siluet-siluet merah keoranyeannya. Menjadikannya penghias warna di langit biru yang mulai kegelapan. Kuembuskan napasku, memejamkan kedua kelopak mataku sejenak untuk menikmati belaian embusan angin yang menerpa wajahku.

Aku tak sengaja menatap empat orang sosok yang tengah gembira. Mereka terdiri dari dua orang dewasa dan dua orang anak kecil. Tampak si anak yang paling kecil meminta digendong oleh ayahnya. Ayahnya tersenyum lalu menggendong si anak itu. Kakak dan ibunya tertawa melihat mereka. Sungguh, itu adalah sebuah pemandangan yang menyejukkan hati dan mata.

Melihat itu ingatanku kembali pada saat aku masih kecil. Saat aku masih seorang bocah ingusan. Ibu, ayah, dan kakak. Mereka adalah orang-orang yang aku sayangi. Meskipun ayahku adalah seorang yang brengs*k, ibuku seorang pemarah, dan kakakku yang menyayangiku. Aku tersenyum miris mengingatnya.

Memoar dalam otakku masih tersimpan jelas dan rapat. Dan sekarang—saat aku melihat sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia itu—aku jadi teringat kembali dengan keluargaku. Aku tidak tahu apakah keluargaku itu pantas disebut keluarga atau tidak. Aku tak tahu. Tanpa terasa setetes air mata mengalir di pipiku.

Saat itu umurku baru menginjak tahun ketujuh aku lahir di dunia.

Masih ingat dalam benakku. Saat orangtua teman-temanku datang untuk menjemput anak-anaknya, aku tidak. Saat itu aku masih belum paham mengapa orang tuaku tak pernah mau untuk menjemputku. Hanya kakakku yang mau menjemputku walau ia harus memutar balik dari arah sekolahnya ke sekolahku. Kakakku selalu datang menjemputku dengan sepedanya. Selalu tersenyum lembut kepadaku. Ia adalah sesosok kakak yang aku kagumi dan aku sayangi.

Umurku dan kakakku hanya terpaut lima tahun dengannya. Ia duduk di kelas 2 SMP dan aku kelas 2 SD. Kakak selalu membuatku tersenyum, memanjakanku oleh kasih sayangnya. Setiap pulang sekolah, ia pasti selalu mengajakku untuk pergi ke tempat yang disenanginya —di bukit yang dipenuhi padang rumput hijau dan juga tanaman-tanaman cantik.

Kakak selalu ke sana. Sekedar hanya untuk tidur sejenak. Aku senang saat ia mengajakku ke tempat itu. Aku suka sekali membaringkan tubuhku disisi tubuh kakakku yang terbaring seraya menatap langit biru yang dipenuhi gumpalan-gumpalan awan putih di sekitarnya.

.

.

Setiap aku pulang ke rumah. Hatiku selalu tak tenang. Aku tak suka pulang ke rumah. Karena di sana bagaikan sebuah neraka. Setiap hari selalu saja ada teriakan, suara barang-barang pecah, tangisan, kekerasan, dan juga pandangan yang membenci.

Setelah remaja, baru aku tahu bahwa kedua orang tuaku sering bertengkar.

Ibu, ayah, keluarga dari pihak ibu tidak pernah menyukaiku. Aku tak tahu mengapa. Bahkan ibuku tak pernah ingin memelukku sekali pun. Bahkan saat aku masih bayi, ibu tak mau menggendong dan menyusuiku.

Sewaktu kecil aku jarang bertemu ibu. Ibu pun tak pernah mempedulikanku. Aku sering melihat ayah, ia selalu pulang malam dengan keadaan mabuk. Jika ayah datang, suara teriakan pasti terdengar, juga barang-barang yang pecah. Saat itu aku hanya mengurung diri di kamar. Menutup kedua telingaku, memejamkan mataku dengan tubuh gemetar, dan berharap itu semua hanya mimpi.

Tapi aku tahu, itu bukan mimpi.

.

.

Saat itu aku sudah memasuki bangku kelas 6 SD. Seperti biasa aku selalu menunggu kakakku datang menjemputku di depan gerbang sekolah. Saat itu hujan deras. Aku tak yakin kakakku akan datang menjemputku.

Samar-samar kulihat kakakku tengah mengayuh sepedanya sembari tubuhnya basah kuyup. Ia melambaikan tangannya dan tersenyum padaku. Aku balas melambaikan tangan dan tersenyum padanya. Kejadian itu sungguh cepat terjadi. Kakakku tergeletak di jalan dengan darah yang mengalir di tubuhnya. Aku masih diam terpaku di tempatku. Sementara orang-orang mulai mengerumuni kakakku yang tergeletak di sana.

Dengan kaki gemetar, aku beranikan melangkahkan kakiku menuju tempat kakakku. Aku bersimpuh di hadapannya.

Kakak tersenyum padaku. Tangannya yang gemetar memegang pipiku. Aku menatap nanar padanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengatakan sesuatu padaku. Dengan napas tersengal-sengal ia mencoba mengatakan bahwa aku harus kuat. Aku harus dapat menjaga diriku baik-baik. Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.

.

.

Semenjak meninggalnya kakak, keluargaku menyalahkanku atas kematian kakak. Setiap aku pulang ke rumah, di sekelilingku dipenuhi dengan mata yang begitu membenciku. Aku muak! Mereka tak tahu betapa terpuruknya diriku, sakitnya aku.

Saat pemakaman kakak aku memang tak mengeluarkan air mata dari mataku seperti yang lainnya. Tapi mereka tak tahu, pada saat itu aku juga ikut menangis dan mengeluarkan air mataku—air mata yang bercucuran dalam hatiku. air mata yang tersembunyi.

Takdir memang kejam. Hidup memang tak selamanya selalu memberikan yang terindah. Ayah dan ibuku semakin gencar saja menyalahkan satu sama lain.

.

.

Saat langit menampilkan sisi gelapnya. Aku duduk di sofa ruang TV. Pintu terbuka dan kulihat ayah baru saja pulang dan jalannya sempoyongan. Aku menghampirinya, membantunya berjalan. Lalu kududukan di sofa. Ia hanya terdiam lalu mengusap kepalaku. Aku tersenyum. Setidaknya ayah tidak terlalu membenciku. Meskipun kami tak pernah bertegur sapa, ayah selalu dapat menyenangkan hatiku.

Saat aku masih kecil, ia terkadang mengajakku bermain ke taman. Membelikanku es krim coklat, membelikanku kue. Meskipun ia tak pernah mengatakan sesuatu padaku, setidaknya aku tahu dari sikapnya bahwa ia tak membenciku. Waktuku memang selalu dihabiskan sebagian besar dengan kakak dan sebagian kecilnya lagi dengan Ayah. Tapi aku senang, setidaknya masih ada orang yang peduli padaku.

Aku senang menghabiskan waktu dengan ayah. Aku masih ingat saat itu ayah mengajakku jalan-jalan ke persawahan yang luas. Aku bermain di sana dengan gembira. Aku berlari-lari mengejar layang-layang yang talinya putus sehingga aku terpeleset jatuh ke tanah yang basah. Bajuku kotor semua, tapi aku tertawa senang. Itu merupakan tawa kebahagiaanku, semenjak kakak tak ada, aku kehilangan tawaku, bahkan aku tak tahu bagaimana carnanya untuk tertawa. Dan, itu merupakan tawa kebahagiaan yang tak akan pernah kudapatkan lagi.

.

.

Saat aku duduk di bangku SMP. Aku masih tak tahu apa penyebab mereka membenciku—selain karena kematian kakak. Ayah dan ibu masih tetap bertengkar seakan tak pernah akan ada habisnya. Ayah semakin jarang ada di rumah. Ibu semakin mengacuhkanku. Aku sedih saat ayah jarang pulang. Karena hanya dia yang kelihatannya semakin peduli padaku. Aku menyayangi ayahku—juga ibuku. Meskipun aku tahu ia tak peduli padaku tapi aku menyayanginya. Aku menyayangi keluargaku walau keluargaku membenciku.

.

.

Harapan. Setiap hari aku selalu mempunyai harapan. Harapan agar aku dapat secepatnya keluar dari kehidupan keluargaku yang setiap hari semakin rumit.

Kini aku bukanlah anak bodoh yang tidak tahu apa-apa. Aku tahu jika keadaan rumah sudah sebegitu berantakannya seperti ini ujung-ujungnya pasti ada sebuah perceraian. Aku tak ingin itu terjadi. Aku tak ingin ayah dan ibu berpisah. Karena harapanku adalah suatu saat nanti mereka akan rukun dan tak pernah bertengkar kembali.

Tapi harapan hanyalah harapan yang tak tahu apakah harapan itu akan terjadi seperti yang kita inginkan. Karena semenjak sebelum kita lahir, takdir telah menuliskan suratannya. Perjalanan nasib setiap makhluk yang akan lahir ke dunia. Dan takdir memang kejam. Orang tuaku bercerai. Hal yang paling tak kuinginkan.

Aku marah?

Tentu aku marah.

Kecewa?

Sudah pasti aku kecewa.

Benci?

Aku benci keadaan ini. Aku membenci kehidupanku.

Aku membenci Tuhan karena kemarahanku. Aku membenci Tuhan karena tak mendengar do'aku.

Benci adalah kata yang keras. Aku tidak tahu betapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk membenci orang-orang dan Tuhan.

Ya, waktu yang kubuang sia-sia hanya untuk membenci.

Aku ikut dengan ibuku. Aku tak tahu mengapa keluarga dari pihak ibu tak menginginkan aku ikut dengan ayah, padahal aku ingin ikut bersamanya.

Semenjak perceraian itu, aku makin membenci. Cacian dan hinaan makin menghujani setiap hari yang kulalui. Keadaan semakin memburuk.

Tiap malamku dipenuhi mimpi buruk. Tiap malam aku menangis dalam hati. Aku ketakutan.

Apa salahku? Aku tak pernah melakukan hal-hal yang jahat.

Apa salahku? Mengapa aku harus menjalani hidupku seperti ini?

Mengapa takdir begitu kejam padaku?

Mengapa aku hidup dalam keluarga seperti ini?

Bukankah keluarga itu merupakan ikatan yang sangat kuat yang orang-orang di dalamnya dipertemukan oleh Tuhan bukan tanpa sebab, melainkan sudah ada pertimbangan menurut ukuran-Nya? Komposisinya yang tak bisa digantikan oleh yang lain?

Bukankah keluarga itu adalah anugerah yang diberikan Tuhan yang di dalamnya disediakan kehangatan cinta kasih dan perlindungan bagi anak?

Bukankah keluarga itu tempat dimana kita dicintai dan mencintai juga tempat berbagi kesulitan dan kesenangan dan saling membantu dalam kondisi apa pun?

Bukankah keluarga seharusnya saling mengasihi, saling menyayangi, saling memiliki, saling percaya, saling menghormati, saling berbagi, saling menjaga, dan saling melindungi?

Apakah keluargaku pantas disebut keluarga? Yang setiap harinya hanya mencaci-makiku, memandang benci padaku. Membentakku.

Saat aku sedih. Aku tak tahu harus kemana lagi aku bersandar.

Itukah keluarga?

Lama kelamaan apa pun yang keluargaku lakukan padaku, aku terima dengan lapang dada. Aku sudah tak peduli lagi dengan apa yang dilakukan keluargaku. Wajahku pun tak pernah lagi menunjukkan ekspresinya. Tak ada raut ketakutan. Tak ada raut kekecewaan. Tak ada raut kesedihan. Tak ada air mata. Apalagi raut kegembiraan.

Hanya sepenggal nyawa terasa hidup ini. Letih sudah terlalu menusuk. Membakar serpihan nyawa kehidupan.

Perih.

Akankah mati terbujur kaku penderitaan hidupku ini? Menerawang dunia dengan pandangan kosong.

Tak juakah setitik cahaya ditunjukkan? Yang hangatnya dapat mencairkan kelut kemelut kehidupan dunia, hangatnya yang dapat menenangkan nestapa kehidupan dunia.


To be continued


Miss Uchiwa SasuSaku Lovers. Maaf Rie gak bisa bikin yang berkesan. Rie harap Tsuki-chan suka. My gift for you. I hope you like it! And Happy Brithday...^^

Maaf ceritanya aneh. Rie buat Twoshot. ^^

Saran dan Kritik?


Terima kasih sudah membaca fict ini. Dan meluangkan waktu anda. ^^