ZZAP!

Hana disiniiiiiiiiiiiiiiii!

Waaai! Senang sekali bisa jadi Hana lagi! Hheheheehhhh

Undine ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya yang sudah membaca Flowers, Miraculous of Flowers, yang sudah ngeripyu maupun yang ngga ngeripyu, mkasih banyak! Tiba-tiba aku dapat ide tentang Hana lagi, dan inilah dia!

Kubales dulu ripyu buat yang nggak log in ya!

Wanna be reviewer: makasih banyak yaa…makasih ya makasih ya

Rika fukuzawa: ah~ jangan terlalu memujii…nyahahaha*pluak!* terima kasih!

Zzz: sankyuuu sankyuuuu!

RisaLoveHiru: Risa-san! Kya!*duar* makasih banyak!*tundukk*

Sakura diamond: terima kasih banyak ya…sesama warga daerah rungkut nih kita, hihihi

Youichi Nanase: thank you! Nyehe…

Chopiezu: makasih choppp…grazie! Mata aimashooooooooou…*ndayung gondola*

ShiroNeko: makasih banyak yah! Ikutin terus Montarou Talesnya ya! xD

Yomiko Hiruma: terima kasih banyak….akhirnya aku buat lanjutannya lagi…hehehe. Iya, seneng banget jadi Hana, hihihi. Semoga Hana bisa mewakilkan sedikit perasaan kalian buat anak2 DDB.

Aleunaf Acsis: aleunaaaaf!*dor* hm. OC itu karakter buatan sendiri, kalau OOC itu tokoh yang kita pakai di cerita sifatnya berbeda dari sifat sebenarnya. Contoh: hiruma suka tersenyum. Hehe.

Demonicola: tentu saya baca review Anda. Terima kasih banyak atas masukannya dan pujiannya juga, hehehe. Soal Niwappe, diambil dari nama Niwa Masato. Karena Suzuna suka memanggil orang dengan nama buatannya sendiri, maka dia memanggil Masato: Niwappe. Untuk Galaxy Big Bang, sama seperti semua mantra lain yang diucapkan Hiruma dan Mamori, mantra itu mereke ketahui begitu saja saat diberi kekuatan sihir. Sekali lagi makasih, lain kali akan saya berikan penjelasan lebih rinci supaya nggak ganjil lagi. Wah…Hana! Hana Aikuza? Mau siiih…tapi bisa jelasin dulu kira-kira karakternya seperti apa? Hehehe. Salam kenal, Hana. Nama depanku juga artinya 'Hana', hehehe. Makasih banyak karena sudah membaca karya-karyaku! xD

Jessica –d'Akuma: Makasih banyak udah ngeripyu dan baca semuanya. Ini saya bikin lagi, heheheh. Minal aidzin… xD

Baik, setelah hana dan masato akan ada satu lagi OC di fic ini. Selamat membaca, sekuel kedua Flowers!


Aku memandangi bunga-bunga sepatu yang bermekaran di halaman depan kerajaan sambil duduk malas di kursi panjang taman. Aku sudah lulus dari kuliahku, dan sekarang belum punya kegiatan yang bisa mengusir rasa bosanku.

"Huwah…," aku menghela nafas.

"Kenapa? Mengeluh lagi," seorang pria berambut hitam dan bermata cokelat yang sedang asyik memakai dasi di depanku berkomentar.

"Bosssseeeeeeeen…," keluhku sambil merengut.

"Lho? Bukannya kamu sudah dikontrak stasiun TV nasional untuk jadi pembawa acara berita mereka?" tanyanya.

I'm here now…

I'm doing the best I can…

"Iiyyaaaa….tapi kerjanya masih beberapa bulan lagiii, Masatoooooo…," jawabku.

Aku memetik salah satu bunga dan memainkannya di tanganku. Hibiscus, kecantikan yang lembut.

"Ao-chan," panggil Suzuna sambil mengamati kelopak bunga hibiscus biru itu, "Lalu bagaimana kau mengingat kami?"

"Setiap kali aku melihat hibiscus itu, aku akan selalu ingat kalian, karena…," aku mengambil hibiscus itu dari tangan Suzuna, "Bunga hibiscus itu artinya kecantikan yang lembut."

"He?" Suzuna masih bingung, sedangkan Mamori sudah tersipu mengerti.

"Iih, kau ini," aku mencubit pipinya gemas, "Kau merasa cantik nggak? Aku menganggap kalian berdua cantik-cantik dan manis-manis, seperti hibiscus ini!"

"Ooh…," Suzuna manggut-manggut, lalu tersipu, "Ao-chan bisa aja iiiih!"

Suzuna mendorongku seketika itu juga karena malu.

"HWAAA!"

Aku tersenyum kecil. Waktu itu, aku berumur sembilan belas tahun dan baru memulai semester keduaku. Sekarang…aku sudah lulus. Umurku 22 tahun.

"Kalau gitu…," suara Masato membuyarkan lamunanku, "Kau pergi liburan ke Jepang saja untuk mengisi waktu."

Hah?

"Hah?" aku terperangah, "Nggak salah?"

"Nggak…," kata Masato sambil menepuk-nepuk jasnya, "Aku serius. Pokoknya kau janji akan baik-baik di sana. Sambil reunian dengan teman-temanmu, kau bisa buka toko bunga."

Aku berbinar,"Kalo gitu sama kamu, yah!"

Masato menghela nafas,"Nggak bisa…," elaknya, "Aku 'kan masih ada training kementerian kerajaan sampai minggu depan. Biar aku yang minta izin pada Pimpinan untuk mengirimmu ke sana."

Aku merengut. Masato yang senang politik sekarang disibukkan sebagai trainee kementerian kerajaan. Ia akan menjadi salah satu anggota dewan di kerajaan. Nggak kebayang dia harus memakai jubah putih panjang nantinya. Kuharap dia boleh pakai kemeja dan jas seperti sekarang.

Soal Pimpinan kami, sudah tiga tahunan ini dia tidak kelihatan. Desas-desus mengatakan sakitnya semakin parah, ada pula yang bilang dia sedang melakukan sesuatu secara diam-diam.

"Gimana? Mau nggak?" tanya Masato.

Jelas saja mau. Bisa mati bosan di sini. Kalau di Jepang…bisa bertemu Mamori dan Suzuna. Aku sudah kangen sama mereka.

Aku kembali tersenyum menatap hibiscus ditanganku.

Where are you now…?

Is your dream come true?

"Iya deh!" aku berdiri dengan semangat sambil merapikan dasinya yang—astaga, miring. Masato tersenyum.

"Pokoknya janji kau harus jaga diri di sana, mengerti?" tanyanya serius.

"Roger, boss!" jawabku mantap sambil menghormat.

Ya-haaaa! Liburan di Jepang, sambil buka toko bunga, dan bisa bertemu teman-teman!

Aku sudah tidak sabar lagi!

Here we go…

The Second Sequel of Flowers

Grow Up! Flowers

Chapter 1: Welcome Back!

Written by: undine-yaha

Story by: undine-yaha and chopiezu

Disclaimer: Inagaki Riichiro and Murata Yuusuke

Song: SPARKING by Tom Leonard and Jeff Pescetto

Sementara itu…

Di sebuah daerah terpencil yang tadinya merupakan wilayah kerajaan sihir hitam, terdapat sebuah rumah yang mencurigakan dengan aura kegelapan mengelilinginya.

"Anak dari Putri Cahaya sialan itu…sekarang sudah mulai besar rupanya," seorang pria berambut pendek berwarna biru tua mendesis seram. Wanita berambut ungu ikal dihadapannya mengangguk.

"Benar. Kita harus bunuh dia kalau kita mau mengembalikan kejayaan sihir hitam milik Pimpinan kita dulu," ujarnya tak kalah menyeramkan.

"Kita akan singkirkan dia ke dimensi lain," ujar si pria, "Dan kita rusak gerbang dimensi, kita tutup supaya anak itu tidak bisa ditemukan…"

"Bagaimana kalau penyihir sialan Aoihoshi itu pergi menyusul?" tanya si wanita, "Rencana kita bisa kacau!"

"Hahaha…dia mungkin bisa menyusul, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Agen no.5 yang akan menjadi dewan menteri itu sedang sangat sibuk sekarang…posisinya akan sulit karena ia sendirian…," jawab si pria percaya diri.

Wanita berambut ungu tersenyum jahat,"Kalau begitu tidak usah banyak bicara, ayo kita jalankan rencana kita. Hahahaha!"

-GrowUp!-

Hana's POV

Aku tersenyum riang memandangi toko bungaku yang barusan 'kusulap', tepat di depan rumahku yang sekarang kutinggali. Yah…dengan sedikit 'tring' di sana dan 'tring' di sini, terbentuklah sebuah ruang yang tak seberapa luas dan terbuat dari kaca, pintunya memiliki lonceng yang akan bergemerincing jika ada pelanggan masuk. Di pojok kanan belakang ada sebuah mesin kasir, plastik pembungkus dan pita warna-warni. Tak lupa di atas pintu masuk tertulis: Fortune Clover Florist.

Yay! Hidup semanggiiii!

Sekarang sedang pergantian musim dingin ke musim semi di Jepang. Aku telah siap dengan mantelku. Lalu aku melangkah ke pintu depan, dan memutar papan tulisan dari kayu dan berhias bunga hibiscus di pojoknya yang tergantung di sana. OPEN.

"Dengan ini, toko bunga Hana dibuka! Ya-ha!" aku bersorak dan bertepuk tangan seperti orang gila. Beberapa orang yang melewati daerah pertokoan tempatku tinggal sekarang terlihat ngeri dengan tingkahku.

Lagi-lagi dengan sedikit 'tring' aku sudah menyebarkan brosur tentang tokoku ini. Biasa, promosi… Dan karena hari sudah sore, aku belum sempat menghubungi siapapun yang kukenal di kota ini. Aku masuk ke toko dengan agak sedih karena menahan rindu pada Mamori dan Suzuna. Hiks hiks…

Wake up with yawn it's dawning, I'm still alive!

Ah, ringtone HP khusus Masato. Segera kuangkat!

"Masato!" sapaku riang.

"Gimana toko bungamu?" tanyanya.

"Sudah beres. Aku lagi nunggu pelanggan, nih!" jawabku.

"Yah…baguslah. Trainingnya lumayan capek juga. Aku mau istirahat dulu, nanti kutelepon lagi," ujar Masato.

"Oke. Met istirahat," kataku.

"Yeah, baik-baik ya," ujar Masato mengakhiri telepon.

KLENENG KLENENG

Aku dikagetkan dengan bunyi lonceng. Pelanggan! Ada pelanggan!

"I-irasshai!" sapaku pada sepasang pria dan wanita yang sepertinya, kukenal…hmmm…

Pria bertubuh tegap dan atletis dengan rambut hitam pendek dan wajah super serius.

Wanita berambut cokelat panjang dan dikuncir kuda, badannya mungil.

Oh, iya! Shin dan Wakana!

"Permisi," kata Wakana sopan, "Aku mau mencari tanaman aroma terapi yang bisa meredakan flu. Aku dengar dari teman…katanya aromanya sangat bagus untuk menghangatkan saluran pernafasan!"

Aku tersenyum dan mengangguk,"Aku tahu tanaman yang kaumaksud! Tunggu sebentar ya!"

Aku mengambilkan sebuah pot kecil dengan bunga-bunga berwarna ungu.

"Ini lavender," kataku pada Wakana, "Bisa menghilangkan rasa sesak pada pernafasan."

"Wah," Wakana berbinar, "Ini yang kucari! Kalau begitu aku beli yang ini!"

Aku mengangguk dan membawa pot itu ke mesin kasir, membungkusnya dengan plastik bening dan memberinya pita biru muda.

"Arigatou gozaimasu," kataku pada Wakana. Ia juga mengatakan hal yang sama.

"Ayo kita pulang, badai akan segera datang," ujar Shin serius.

"Ah, iya. Benar juga," kata Wakana.

Hah? Badai?

"M-maaf…," aku menyela, "Apakah malam ini akan ada badai?"

"Iya, benar," jawab Wakana, "Tidak akan terlalu kencang, sih. Tapi, petang hingga malam nanti lebih baik berada di dalam rumah."

Ooh..gitu…gawat juga. Pasti dingin. BRRR….

"Sou ne…," kataku, "Terima kasih infonya."

"Sama-sama," Wakana tersenyum, "Ayo Shin, kita pulang!"

Shin mengangguk dan mereka pun pergi dari tokoku.

Hmh. Badai. Padahal aku butuh teh dan beberapa keperluan lainnya. Harus ke mini market terdekat.

Cepat-cepat kubalik tulisan OPEN ke CLOSE. Kurapatkan mantelku dan mengunci pintu rumah serta toko.

Diluar masih ada beberapa orang yang berkeliaran. Mini market…mini market…mana ya…

Ah! Ada!

Dengan semangat 45 aku memasuki mini market itu. Pertama…teh. Aku mencari-cari di rak tempat minuman-minuman sachet. Kira-kira teh yang mana, ya?

Aku terlalu asyik berpikir sampai tidak menyadari ada seseorang dibelakangku.

"Fuu, permisi Nona, bisakah kau minggir sedikit?"

Hm?

Orang yang suka ngomong 'Fuu' itu 'kan…

Aku berbalik. Pria berambut merah dengan kaos lengan panjang turtleneck merah kecokelatan berdiri di depanku. Sebuah kacamata biru tua tergantung di kerah mantelnya.

Akaba! Akaba! Astaga, Akaba! Akaba, astaga!

Apaan sih.

"Gomen ne," kataku malu, "Silakan," aku bergeser.

"Terima kasih," katanya pelan sambil sedikit tersenyum.

Aku memperhatikan Akaba yang sedang mengambil sebungkus kopi seperti orang bodoh. Terakhir kali aku melihatnya umurku lima belas. Dia tambah keren saja.

"Kelihatannya kau kesulitan memilih teh?" tanyanya mengagetkan.

"I-iya…aku bingung mau beli yang mana, hehe," jawabku sumringah.

"Kalau untuk cuaca dingin, teh chamomile enak," katanya sambil mengambilkan sebungkus untukku.

"Thanks. Bagaimana kau tahu?" tanyaku.

"Fuu…teh chamomile punya irama hangat yang menenangkan. Begitulah," jawabnya khas.

"Ooh, gitu," aku mengangguk.

Ooh, gitu.

Nggak ngerti.

Akaba memperhatikanku sejenak,"Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang yang ritmenya sama denganmu. Siapa ya?"

Hah?

"Ng-nggak, kita belum pernah ketemu kok!" kataku bohong.

"Benar juga. Ritmemu lebih tenang dan lebih dewasa dari orang itu," kata Akaba.

Benarkah? Berarti aku benar-benar mengalami pertumbuhan, hehehe.

Oh, iya! Saatnya promosi!

"Mm…aku baru saja datang ke sini dan membuka toko bunga," kataku sambil merogoh saku mantel dan menarik keluar sebuah kartu nama, "Silakan mampir."

"Hmmm…sebetulnya aku tidak pernah ke toko bunga…tapi," ia tersenyum sambil mengantongi kartu nama tokoku, "Mungkin seorang temanku membutuhkannya."

"Kalau begitu, aku duluan!" pamitku, "Arigatou!"

Aku segera ngacir ke kasir setelah menyambar beberapa barang seperti makanan instan dan bubble gum. Whew, he's so hot! Bisa gila berlama-lama di dekatnya.

Ah, jangan khawatir. Cintaku tetap buat Masato kok.

-GrowUp!-

Sambil menenteng kantung kain belanjaan, aku melangkah secepat mungkin ke rumah. Akan ada badai, ingat? Dan matahari sudah terbenam sejak lima menit yang lalu.

Rasanya, tadi aku tidak berjalan sejauh ini, deh. Hmm…

HYUUU…

Ups, gawat. Anginnya mulai kencang. Rasa dingin mulai menyergapku.

Kurapatkan lagi mantelku. Hufft…

HYUUUUUU…

Rambutku berkibar. Sial, anginnya lebih kencang, dan lebih…dingin…

Aku jatuh terduduk di depan sebuah gedung yang belum selesai dibangun. Sepertinya aku tersesat. Dan parahnya, aku sedang meringkuk kedinginan di tengah jalan. Bego. Dasar Hana bego!

Seluruh badanku gemetar karena kedinginan. Aku tidak bisa bergerak. Kalau tiba-tiba ada truk lewat, tewaslah aku.

"Hei, kau!"

Aku mendengar seseorang memanggilku. Kutengokkan kepalaku, melihat sepasang sepatu bot sedang melangkah di atas tumpukan salju tipis. Ia lalu berlutut di depanku.

"Kau! Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Aku mengernyit memperhatikan orang itu. Rambutnya pendek dan pirang, ada bekas luka di pipi, dan lumayan ganteng.

Jumonji!

"J-j-j-jum-mon-ji…T-toloong…," ujarku terpatah-patah bukan karena gagap tapi karena gigiku terus bergemeretak.

Kali ini giliran Jumonji yang mengernyit.

"Hah?" keluar deh 'hah'nya, "Kau 'kan…Hana!"

"K-k-kagetnya n-nanti aj-jaa!" sentakku. Angin kembali berhembus. Aku meringkuk kembali.

Jumonji berdecak lalu membantuku bangun. Ia membawaku ke sebuah bangunan kecil tepat di sebelah gedung yang belum selesai dibangun itu.

Di luar pintu sudah ada dua orang yang menunggu kami. Siapa lagi kalau bukan…

"Tolong bukakan pintu. Ada penyihir aneh lagi menggigil," sindir Jumonji sarkastis.

"Haah?"

"Haaah?"

Aku nyengir,"Kuroki, Toganou, halooo…"

Kami berempat memasuki bangunan kecil itu. Di sana hanya ada sebuah sofa panjang, sebuah meja kantor dan kursi.

"Duduk sini!" kata Jumonji sambil mendudukkanku di sofa. Sialan!

"Kau ini kejam sekaliiii…nanti aku mati lhoo…," rengekku sambil menjatuhkan badanku di sofa dan bergelung. Lumayan jadi lebih hangat.

"Kubuatkan teh ya," kata Kuroki. Jumonji juga meminta satu.

Toganou mengamatiku sejenak seperti paramecium di bawah mikroskop.

"Ternyata benar Hana…," katanya, "Rambutnya agak berubah…lama-lama seperti Matsumoto Rangiku…"

"Bukan," jawabku cepat.

"Sekarang sedang ada badai! Orang tidak tahan dingin sepertimu seharusnya tidak keluar rumah!" tegur Jumonji. Kuroki datang membawakan teh untuk kami.

"Ini tehnya! Cepat minum supaya tubuhmu hangat," katanya.

"Arigatou," kataku. Kutiup kepulan asap yang ada di atas permukaan tehku.

"Untung kita menemukannya," kata Kuroki.

"Iya benar," Toganou mengangguk, "Ngomong-ngomong, bagaimana ceritanya kau datang lagi kemari?"

Aku pun menceritakan semuanya. Seperti biasa, ada ekspresi 'hah?'

"Kau? Jadi presenter berita?" ledek Jumonji.

"Biarin," balasku kesal sambil menyeruput tehku. "Kalian sendiri, ngapain bertiga di sini?"

"Aku dan Toganou bekerja seperti biasa," jawab Kuroki, "Lalu si Kazuki ini, sedang mampir sepulang kuliah! Dia sedang meneruskan kuliah hukumnya, mau jadi pejabat pengadilan katanya!"

"Preman ini mau jadi pejabat pengadilan?" kataku heboh sambil menunjuk Jumonji, "NGGAK MUNGKIIIIN! HWAHAHAHAHAHAH!"

"Diam kau! Ini bukan urusanmu!" sentak Jumonji dengan wajah merah.

"Idiiih, Kazuki sensitif deeeh…," ledek Kuroki dan Toganou, lalu tertawa heboh bersamaku.

"Ada ribut-ribut apa ini?"

Kami bertiga yang sedang mangap karena tertawa langsung terdiam. Seorang oom-oom dengan ikat kepala putih dan jaket cokelat diikatkan di pinggang memasuki ruangan. Sepintas aku bisa membaca ID Card yang terpasang di dada kirinya.

Takekura Gen

Direktur

Takekura Gen, seorang direktur?

"Kak Musashi!" sapaku sambil melambai riang. Musashi menatapku. Dia terdiam sesaat.

"Aoihoshi?"

"Yaaa….ini saya…," jawabku dengan wajah konyol, "Aku sedang liburan, Kak. Maaf mengganggu…"

"Tadi dia meringkuk di tengah jalan. Jadi kubawa ke sini," jelas Jumonji. Musashi menatapku datar.

"Apa kau tidak tahu akan ada badai?" tanya Musashi sambil duduk di kursinya. Semua orang ternyata ingat penyakitku satu ini: tidak tahan dingin. Waktu SMA Hiruma pernah membongkar rahasiaku itu. Remember?

"Aku tahu, tapi tadi aku ada perlu ke mini market," jawabku, "Jadi aku keluar rumah…"

"Dasar ceroboh," sahut Ha-ha Bersaudara kompak.

"Tiga bersaudara nyebelin!" protesku.

"KAMI BUKAN SAUDARA!" balas mereka kompak (lagi).

"Toganou," panggil Musashi tiba-tiba, "Pick-up ada?"

"Ah…ada kok di parkiran, Bos," jawab Toganou.

"Baiklah. Aoihoshi," Musashi menoleh ke arahku, "Badainya akan berlangsung sampai tengah malam. Jadi, aku akan mengantarmu pulang nanti."

"A…iya!" aku mengangguk, "Makasih Kak!"

How kind. Meskipun diledek sana-sini, tapi aku merasa bersyukur diselamatkan oleh mereka.

-GrowUp!-

Bekerjasama dengan orang dalam istana white magic yang mengkhianati Pimpinannya, kedua orang jahat tadi berhasil menculik anak dari Pimpinan. Kini mereka berusaha merusak gerbang dimensi sebelum melempar anak itu ke dimensi lain. Rusaknya gerbang dimensi akan mengakibatkan putusnya sinyal komunikasi, dan seseorang tidak akan bisa berpindah ke dimensi lainnya, hingga gerbang bisa diperbaiki seperti semula.

-GrowUp!-

Hiruma's Apartment

Normal POV

Anezaki Mamori memandangi langit malam lewat jendela lebar yang ada di apartemen itu. Badai sedang berlangsung di luar sana, membawa hawa dingin hingga ke dalam. Untunglah pemanas ruangan berfungsi dengan optimal.

"Padahal sedang ada badai…langit mendung…tapi kenapa ada sinar kecil di sana?" gumam wanita itu. Ia mengernyit mengamati benda langit kelap-kelip yang berjuang bersinar di tengah awan mendung dan angin kencang itu. Bintang.

"Yang kedua, Hoshi," lanjut Hana, "Setiap kali kalian melihat langit malam dengan bintang-bintangnya, kalian pasti ingat aku!"

Mamori terkesiap. Aoihoshi Hana…ia mengingatnya dengan jelas. Apakah, Hana juga berada di sini? Seperti bintang itu?

"Manajer sialan, kembali bekerja."

Mamori kenal betul suara siapa itu. Hiruma Youichi, quarterback timnas Jepang yang juga melatih di SMA Deimon, almamater mereka dulu. Dan, entah sial atau beruntung, sampai sekarang Mamori masih menjadi 'asisten pribadi' untuk setan ini.

"Aku 'kan sedang istirahat, Hiruma-kun," kata Mamori.

"Lima menit 'kan? Ini sudah lewat dua detik!" sentak Hiruma. Mamori melengos.

"Ya, ya…," kata Mamori sambil kembali ke meja kerjanya. Setumpuk kertas sudah menunggunya. Ia mengerjakannya satu-persatu dengan sabar.

Malam semakin larut. Hiruma merasa perlu menanyakan Mamori tentang pekerjaannya.

"Manajer payah! Jangan lelet! Sudah selesai belum?" tanyanya sarkastis.

….

….

"Manajer sialan! Woy!" ia memanggil.

Hiruma mengernyit. Kenapa tidak ada jawaban?

Karena sedari tadi asyik berkutat dengan VAIO, Hiruma tidak menyadari kepala manajernya sudah tergeletak di meja.

"Tch. Kau tertidur ya?" gerutunya sambil meletakkan laptopnya di meja samping tempat tidur.

Hiruma berjalan menghampiri Mamori. Wanita itu tertidur nyenyak dengan tangan terlipat di atas meja sebagai alas untuk kepalanya. Rambutnya yang cokelat terang terjuntai menutupi wajahnya. Hiruma menyibakkannya perlahan, menyaksikan wajah sang malaikat yang begitu cantik saat tertidur.

Rupanya setan itu masih memiliki rasa iba.

"Sekali ini saja, manajer sialan. Lain kali, tidak akan lagi," ujarnya ketus.

Perlahan ia mengangkat badan Mamori dan menyandarkannya di tubuh rampingnya. Setelah itu ia menggendongnya, membawa Mamori ke tempat tidur, tempat yang lebih nyaman untuk malaikat kesayangannya itu.

Hiruma meletakkan Mamori sepelan mungkin di atas tempat tidurnya. Mamori tidak terbangun sama sekali, malah bergumam—tidur semakin dalam. Setan yang barusan menggendongnya tersenyum diam-diam.

"Melihatmu aku jadi ngantuk," kata Hiruma sambil mangap seram, "Kalau begitu…aku ikutan tidur saja! Kekeekkeee!"

Jadilah Hiruma berbaring di sebelah Mamori. Mereka berdua tertidur dengan nyenyaknya.

Keesokan paginya…

"Mmh…"

Dua bola mata biru safir mulai terbuka, terganggu oleh sinar matahari yang menembus lewat celah-celah gorden di jendela apartemen. Mamori masih merasa nyaman dengan tidurnya semalam, lalu menarik nafas tanda dia sudah siap untuk memulai hari. Saat itulah ada pemandangan tidak biasa yang ia lihat.

"Ah…," gumamnya pelan. "Ada setan tampan dan bayi perempuan yang manis…"

Mamori tersenyum lembut melihat dua makhluk yang menemani tidurnya. Di sebelahnya ada seorang bayi perempuan yang sedang tertidur pulas, dan di sebelahnya ada Hiruma yang masih memejamkan mata emeraldnya. Sesekali terdengar hembusan nafas pelan.

"Tunggu," Mamori melotot karena menyadari sesuatu, "Setan tampan dan bayi perempuan?"

"KYAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

[To be continued]


Ahaha!

Bagaimana chappie pembukanya? Apakah kalian menyukainya?*wink*

untuk saat penculikan saya skip, tapi situasi pasca penculikan akan saya uraikan...

Mohon maaf kalau ada kesalahan ya! Review yah! Anonymous juga boleh kok! xD

Kritik dan saran dipersilakan!