Pandora Hearts © Mochizuki Jun

Kimi ga Hoshii © Orange Cake Nura

AU/Vampfic/OOC maybe/Twoshot (maybe) *killed*

Setting: London, Victorian era.

Enjoy!


Hari sudah menjelang malam. Awan-awan berwarna orange yang menyebar di langit membentuk pola yang indah. Menyebar dengan anggun namun tidak terlihat rapuh. Awan-awan itu seperti mengiringi berlalunya sang surya yang akan menyapa belahan bumi yang lain.

Dua orang gadis remaja terlihat sedang berjalan dengan santai sambil mengobrol. Nampaknya mereka berdua baru saja selesai belanja untuk makan malam. Terlihat dari bungkusan yang dibawa oleh gadis berambut silver. Beberapa bahan makanan terlihat mengintip dari dalam tas yang terbuat dari karton itu.

"Alice, kalau kau terus makan seperti itu, makan malam tidak akan muat masuk ke perutmu," kata gadis berambut silver di sebelahnya yang memiliki wajah yang mirip dengannya. Mirip? Ya, mereka berdua adalah saudara kembar. Mereka kembar, namun untuk membedakan satu sama lain sangat mudah. Dari warna rambutnya yang sangat berbeda, juga sifatnya.

"Tidak akan! Kalau makanannya daging, pasti kuhabiskan semuanya!" jawab Alice yang kemudian kembali memasukkan kue ke dalam mulutnya. Saudarinya hanya tertawa kecil.

Sesuatu tak terlihat membuat gadis berambut silver itu menghentikan langkahnya. Pandangannya seakan menunjukkan bahwa ada bahaya di belakangnya. Bahunya sedikit gemetar.

"Ada apa, Alyss? Kau meninggalkan dompet di pasar?" tanya Alice memandang khawatir pada saudarinya. Sebenarnya ia tahu arti dari sorot mata Alyss barusan, dan ia merasa sedikit takut. Karena insting Alyss terkadang ada benarnya dan benar-benar terjadi. Karena sedikit takut, makanya ia menanyakan hal lain untuk mengalihkan ketakutannya.

Alyss menggeleng cepat-cepat. "Tidak." Ia mendongak dan melihat langit yang sudah berwarna kemerahan. "Ayo cepat pulang! Sudah hampir malam. Berbahaya kalau tidak cepat-cepat pulang," katanya lalu menarik salah satu tangan Alice dan berlari hingga ke rumah. Alice hanya menurut dan mengikuti saudarinya. Jika dalam situasi ini, memang lebih baik kalau ia menuruti semua kata-kata Alyss kalau ia tidak mau terjebak dalam masalah.

Saat di depan rumah, Alyss masih bertingkah aneh. Ia terlihat gelisah. Saking tidak tenangnya, ia jadi susah menemukan kunci rumah yang ia simpan. Alice sendiri jadi merasa takut.

"Oi! Kau kenapa sih? Jangan membuatku takut!" kata Alice.

"Kunci.. kunci.. dimana kuncinyaaaaaa?" Alyss sampai hampir menangis dan hampir putus asa ketika tidak menemukan kuncinya. "Tolong pegang dulu," katanya sambil menyerahkan barang belanjaannya pada Alice dan kembali mencari kuncinya.

Sesuatu yang tidak diketahui dan tidak dirasakan Alice, membuat Alyss tersentak dan semakin panik. Air mata sudah terkumpul di sudut matanya dan siap tumpah.

"Ketemu!" teriaknya, lalu cepat-cepat masuk ke dalam rumah dan menguncinya kembali. Ia jatuh terduduk setelah berhasil masuk ke dalam rumah. Membuat Alice menatap khawatir dan takut.

"Sebenarnya ada apa, sih?" tanya Alice.

"Aku merasa ada yang mengawasi dan mengikuti. Entah kenapa aku merasa takut. Sangat takut," jawabnya.

Hening sesaat.

"Sudah tidak apa-apa sejak kita berada di dalam rumah. Maaf membuatmu takut," lanjut Alyss. Ia kemudian berdiri dan mengambil barang belanjaannya di tangan Alice. "Bisa bantu aku memasak makan malam?"

Alice masih terdiam dan merasa takut—terlihat dari sorot matanya. Ia tersentak saat Alyss melambaikan tangannya di depan mata. Hingga akhirnya ia mengangguk dan mengikuti Alyss berjalan ke dapur.

.

Alyss berjalan di lorong rumahnya dengan ditemani sebatang lilin. Ia berjalan menuju kamarnya setelah terlebih dahulu mengantarkan Alice ke kamarnya.

Malam itu terasa sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hawanya begitu dingin dan mencekam. Angin yang berhembus juga sedikit kuat. Alyss yang sedang membaca buku, mau tidak mau menggigil kedinginan karena lupa menutup jendelanya.

Saat ia berada di ambang jendela dan hendak menutup jendelanya, kedua iris violetnya menangkap sesosok orang di atas bangunan yang ada di depan rumah. Seorang pria dengan rambut dikepang panjang. Alyss merasa kalau orang itu menatap matanya tajam, walaupun jarak tidak memungkinkan dapat melihat mata satu sama lain. Dan entah kenapa, Alyss merasa seperti diintai seekor singa kelaparan. Ia merasa takut. Kakinya mundur beberapa langkah, hingga akhirnya suara pintu kamarnya yang diketuk dari luar membuat Alyss mengalihkan perhatian.

"Alyss… kau sudah tidur?" tanya Alice dari luar.

"A-ah.. belum. Tunggu sebentar…" jawab Alyss. Sebelum membuka pintu kamarnya, ia menoleh ke arah orang mencurigakan yang dilihatnya. Namun orang itu sudah tidak ada. Seakan lenyap disapu angin.

"Doushite? Kau tidak bisa tidur?" kata Alyss setelah membuka pintu kamarnya dan mendapati Alice berdiri sambil mengucek mata.

"Aku takut tidur sendirian. Boleh aku menumpang tidur di kamarmu?"

Alyss tersenyum, "masuklah."

Di dalam, mereka berdua masih terjaga. Alice yang meringkuk di kasur berbantalkan paha saudarinya, asik sendiri dengan kegiatannya. Entah apa yang ia lakukan. Sementara Alyss duduk sambil membaca bukunya.

"Kau tidak mengantuk?" tanya Alice.

"Kau sudah ingin tidur? Baiklah…" Alyss menutup bukunya, lalu meniup lilin yang menjadi penerangan kecil di kamar itu. Alice membenarkan posisi tidurnya, begitu pula dengan saudarinya. Mereka membenamkan diri dalam selimut dan membiarkan kesadaran mereka perlahan menghilang.

Beberapa saat setelah mereka terlelap, Alyss membuka matanya dan langsung bangkit. Ia duduk sambil terengah-engah. Tangannya memegangi leher bagian kanan. Sesaat sebelum ia bangun, Alyss sempat merasakan hawa dingin—lebih dingin dari es—menyentuh lehernya. Tubuhnya gemetar ketakutan. Dilihatnya Alice ikut terbangun.

"Doushite?" tanyanya dengan mata setengah terpejam.

"Tidak ada. Tidurlah. Aku hanya mimpi buruk," kata Alyss menenangkan. Jam masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Pandangannya melayang pada jendela. Tidak ada apapun di luar sana. Ia menghela napas dan kembali tidur.

.

Fajar menjelang. Sang surya mengintip dari ufuk timur. Burung-burung mulai meramaikan suasana pagi dengan suaranya. Alyss berdiri dan membuka jendela. Pada akhirnya, ia tidak tidur. Karena takut akan sesuatu yang—menurutnya—berbahaya akan menyerangnya.

Sinar matahari yang menerobos melalui celah bangunan dan masuk melalui jendela, menerangi sebagian kamar. Rasa hangat dari sang mentari membuat Alice membuka mata. Ia meregangkan badan, lalu menguap. Dan hari-hari yang biasa dilaluinya berjalan.

Kedua saudari kembar itu berjalan menuju kediaman Baskerville. Mereka bekerja di sana. Tidak ada pekerjaan tetap. Mereka boleh mengerjakan apapun yang mereka mau. Terkadang jika sudah selesai sebelum jam pulang, mereka biasanya menyempatkan diri bermain atau bercengkerama dengan penghuni mansion itu.

"Lotti onee-chan, kami pulang dulu. Terima kasih untuk bahan makanannya," Alyss memeluk Charlotte sebentar sebelum akhirnya ia beranjak untuk pulang.

"Hati-hati, ya," kata Charlotte sambil melambaikan tangan pada kedua saudari kembar itu.

"Mereka berdua manis, kan?" sebuah suara mengagetkan Charlotte dari belakang. Ia berbalik dan mendapati sang kepala keluarga berdiri di belakangnya.

Charlotte hanya terdenyum simpul dan menghela napas. Ia beralih memandang keramik di bawahnya. Sorot matanya terlihat sendu. "Seandainya saja mereka mau tinggal di sini," katanya lirih.

"Apa boleh buat. Kita tidak berhak untuk memaksanya."

Hari sudah sore. Namun awan-awan jingga nampaknya tidak mau menunjukkan dirinya untuk saat ini. Mereka digantikan oleh awan-awan kelabu yang dengan cepat menyelimuti langit saat itu. Kilatan-kilatan cahaya mulai terlihat. Menandakan bahwa sebentar lagi akan hujan.

Mereka berdua berlari supaya dapat tiba di rumah tanpa kebasahan. Untung saja mereka tepat waktu. Sesaat setelah mereka masuk ke dalam rumah, dari luar mulai terdengar suara rintik hujan.

Malam yang dingin kembali memaksa Alice untuk meringkuk di dalam selimut lebih cepat dari biasanya. Sedangkan Alyss, ia masih berdiri di depan jendela yang terbuka sambil memandang ke luar. Entah apa yang membuatnya tahan dengan hawa dingin saat itu, padahal ia tidak memaki jaket atau apapun yang dapat menghangatkannya.

Alyss mengusap sisa air hujan yang membasahi kayu jendelanya. Hingga ia tersentak saat angin yang cukup kuat berhembus, membuat rambut silver panjangnya menjadi berantakan.

Matanya melebar saat melihat seseorang muncul di ambang jendelanya. Kalau tidak salah ingat, pria itu yang dilihat Alyss kemarin. Rambut pirang panjang yang dikepang. Lalu irisnya yang berwarna merah… memandang lurus pada kedua matanya.

Kakinya gemetaran. Gadis itu takut dengan kehadiran yang mendadak. Terlebih lagi dengan sorot matanya. Tapi meski ia ingin bergerak dan berlari, entah kenapa kakinya tidak mau bergerak. Bukan, lebih tepatnya, tubuhnya terasa membeku.

Tangan orang itu terjulur untuk memegang pipi Alyss. Dan saat kedua kulit itu bersentuhan, sebuah sensasi dingin yang lebih dingin daripada es, dapat dirasakan oleh Alyss. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia juga menjadi susah untuk bernapas.

Dan ketakutannya sedikit menghilang saat ia melihat sorot mata orang itu melembut. Senyum tipis terlukis di wajahnya. Tubuh Alyss sudah berhenti gemetar, tapi mendadak menjadi lemas. Kakinya tak dapat menopang berat tubuhnya. Ia jatuh terduduk, namun tangannya berusaha menggapai sesuatu.

Bermaksud menahan supaya tidak jatuh, tak sengaja ia tergores kayu jendelanya. Kayu itu memang sudah lapuk, maka dari itu, ada beberapa seratnya yang mencuat keluar. Dan itu bisa melukai.

Darah menetes dari lengannya yang tergores. Menodai gaun tidurnya yang putih. Ia meringis menahan rasa perih.

Alyss merasakan tangannya disentuh, dan rasa dingin itu kembali menjalar. Membuatnya sedikit menggigil. Orang itu mendekatkan tangan Alyss yang terluka pada mulutnya. Lidahnya terjulur, dan menggunakannya untuk menyapu darah yang keluar dari kulit yang tergores itu.

Alyss terkejut. Ia kembali merasa takut saat matanya tak sengaja menangkap sepasang taring di mulutnya. Ia sempat mengira kedua taring itu akan menancap di kulitnya, namun perkiraannya salah. Orang itu hanya menjilat lukanya dan membersihkan darahnya.

Alyss masih memandangnya dengan sorot ketakutan. Ia kembali tersentak saat iris violetnya bertemu dengan iris ruby milik orang itu. Gemetarannya semakin menjadi saat orang itu mendekatkan wajahnya pada leher Alyss. Sensasi dingin yang sama dengan yang dirasakannya tadi malam.

Air mata sudah terkumpul di sudut matanya dan siap untuk tumpah. Alyss mengira kalau lehernya akan dikoyak dan dihisap darahnya. Namun itu salah. Pria itu membisikkan sesuatu yang membuat Alyss membelalakkan mata. Setelahnya, ia dapat melihat orang itu tersenyum, sebelum pandangannya menjadi gelap.


GYAH! Kacau! Niatan bikin oneshot, tapi gara-gara ga kelar-kelar, akhirnya dipotong juga ini fic. Dan gak tau kenapa ini ide saya berkembangnya semakin gak jelas *headdesk*.

Well, Jack belom nongol di sini. Tahun depan—err.. maksudnya chapter depan dia pasti nongol, kok. Ahahaha!

Review? Biar updatenya cepet *dikemplang*

See you next chapter.

September, 18th 2010

.Orange Cake Nura.