Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua.

Tapi, bagiku…

Semua orang ini tak pantas mendapatkannya…

.

.


N or M?

by ceruleanday
beta-ed by
Ninja-Edit


Disclaimer :
Kishimoto Masashi (Naruto) & N or M? (Agatha Christie)

Warning : some bloody scenes, AU


.chapter three.
Past and Future

.

.

Bergen, October 1985

Reformasi dunia tidak berlangsung lama di kota ini. Cukup dengan hanya mendengarkan sirine yang berkoar-koar di tiap sudut jalanan, siapapun akan segera sadar tuk menyingkir, atau lebih tepatnya, melindungi diri. Evakuasi.

Semangat-semangat kemerdekaan yang dikibarkan oleh negara dunia pertama tidak berarti banyak bagi kota yang terletak di sudut paling utara Jerman ini. Bergen mungkin menjadi pusat komoditi dari perdagangan jalur laut, tetapi untuk alasan simpel ini-lah, imigran gelap negara-negara Skandinavia mulai meracuni segala sisi paradigma masyarakat Jerman.

Invasi paham komunis berkembang menjadi Naziisme, yang oleh Mr. Hitler—penguasa kala itu—adalah paham yang paling tepat tuk diterapkan bagi dunia. Siapa yang akan berani menentang pemerintah yang paling berkuasa jika nyawa keluarga mereka telah tercatat dalam buku kematian milik pria berkumis tipis ini? Sungguh naif bila ada yang menjawab iya.

Kalaupun ada, satu-satunya hanya sebuah komunitas kecil yang menetap di sudut paling terpencil Bergen. Dan di tempat ini pula, segala parodi hidup bernama Bloody October bermula.

Awan hitam pekat menghiasi kanvas putih di langit Wachmusker village. Sebuah desa kecil dengan penduduk mayoritas beragama yahudi. Mereka mendiami desa ini sebagai dalih dari pembelotan terhadap keyakinan pemimpin mereka yang bertempat di pusat negeri atau di mana saja. Tentu, meski desa ini berada di Bergen, takkan ada yang mau mendekati mengingat betapa kumuhnya kesan luarnya.

Sekali lagi, perlukah ada penjelasan mengenai kekumuhan pada desa ini?

Jawabnya? Klise bukan?

Ya.

Sebuah rumah bercerobong terlihat lebih terang dari biasanya. Suara mesin tik yang nyaring samar-samar terdengar dari arah luar. Dinding bata putih dan atap jerami sedikit menutupi aktivitas orang-orang di dalamnya. Aroma kopi yang digiling lamat-lamat oleh mesin penggiling manual lebur menjadi satu dengen kesenyapan dalam diam.

"Sudah tiga cangkir, Minato."

Pria itu masih mengetik dengan konsentrasi penuh—berharap bila segala kekhawatirannya akan berita buruk beberapa hari yang lalu segera berakhir. Namun, rasa ngantuk yang mendera di awal bulan Oktober terasa lebih berat dari bulan-bulan sebelumnya. Artinya, musim dingin sudah dekat.

Mata biru pria itu bergerak-gerak cepat. Membaca dan mengetik. Membaca sebentar dan mengetik kembali. Setelah selesai satu lembar, ia merebahkan badannya di kursi—membuat suara berdecit di kursi kayunya yang reot.

"Tambahkan saja, dear. Aku butuh banyak kafein malam ini."

Wanita berambut merah darah di belakangnya mengerutkan alis. Ia memegang telinga teko keramik berisi kopi hasil gilingannya dengan lemas, "Kau tidak harus seperti ini. Biarkan waktu yang memberikan jawaban atas kemungkinan-kemungkinan itu."

"Tidak. Tentu tidak, dear. Naziisme—kau tahu—paham yang meracuni pikiran kita. Kita seperti orang gila bila telah mengalami doktrinnya. Seperti aphrodisiac," ia memutar pemutar kertas di mesin tik-nya, menyesuaikan margin, dan mengetik lagi. Ia melanjutkan, "Aku tahu hari seperti ini akan datang, Kushina. Maka dari itu, sebelum pasukan si Kumis Tipis mendekati desa ini, surat-surat ini harus segera aku selesaikan. Kalau perlu, malam ini juga semuanya akan kukirim ke pusat kota Bergen."

Kushina—wanita itu—menatap sayu ke arah kursi yang diduduki suaminya. Ia berjalan lunglai dan mendekati pria berambut kuning itu, meletakkan teko berisi kopi yang masih mengepul, dan mendekap dalam diam sang suami.

"Ingatkan aku bila kau telah berubah, Minato. Kau—kau akan tetap menjadi pria baik-baik. Ya. Kemudian, setelah ini semua selesai, ingatkan pula aku tentang mimpi-mimpi kita. Hidup normal, memiliki sebuah taman indah dengan pasukan gnomeo berwarna-warni, pagar kayu di mana kita bisa mengecatnya bersama, dan juga…"

Dua lengan sang wanita mendekap lebih erat leher Minato—suaminya. Ada tangis yang tertahan dalam senyumnya yang telah begitu lemah.

"…kita akan membesarkan Naruto kecil kita yang begitu rapuh menjadi pemuda yang sangat kuat. Iya kan?"

Untu beberapa saat, Minato menahan jemarinya di atas tuts mesin tik. Ia seakan dibuat lupa dengan dirinya beberapa tahun lalu—ketika ia masih memiliki naluri menghancurkan demi kekuasaan. Pada dasarnya, seluruh keluarga Namikaze adalah sebuah keluarga terpandang di negeri adikuasa di Asia Timur sana. Hingga tahun-tahun berikutnya, kejatuhan menanti dinasti mereka—menimpa salah satu pemimpin keluarga. Perang Dingin menghancurkan dinasti itu perlahan hingga hanya menyisakan dua orang saja. Satu diantaranya adalah pria yang tengah mengetik di mesin tik dan lainnya…

"Jangan khawatir, Kushina-chan. Jika aku kembali gila, maka akan ada Otou-sama yang melindungi Naruto kecil kita." Minato menjawab dengan senyumnya. Tak ada hal lain yang bisa menjadi jawaban selain senyuman seorang Namikaze.

"Hmm."

"Kembalilah ke kamar. Aku akan baik-baik saja di sini. Naruto butuh pelukanmu, dear."

Ia tak bereaksi. Namun, melihat tatapan berwarna biru itu, Kushina kembali dibuat percaya sepenuhnya. Setelahnya, ia benar-benar menyanggupi dan menjauhi Minato.

Suara mesin tik kembali terdengar nyaring. Ada kesungguhan yang terpancar dari tiap kata yang tercetak hitam di atas lembar putih kusam itu. Puluhan lembar kertas menumpuk di atas meja kerjanya yang bersinggungan langsung dengan telegram tua pemberian ayahnya. Sayup-sayup, suara angin dingin ikut terdengar—menjadi melodi pengiring dari aktivitas pria ini. Tetapi, ia tak memedulikannya.

Ia tetap berkonsentrasi penuh dengan apa yang diketiknya. Adalah sebuah kesalahan terbesar yang pernah dibuatnya—itulah alasan yang menjadi dasar dari apa yang dilakukannya saat ini. Mungkin, hal ini bisa menghapuskan kesalahannya itu dan membiarkan orang lain memahami dirinya yang baru. Ya. Bukan Namikaze Minato sang tangan kanan organisasi bawah tanah Naziisme.

Ia adalah N.

Codename yang melekat pada hidupnya bertahun-tahun lalu. Codename yang mampu menorehkan seribu dosa di catatan hidupnya.

Namun, ia sadar. Menjual jiwanya pada iblis adalah tindakan tergila yang pernah dilakukannya. Saat kematian meminta pertanggungjawaban, ia takkan pernah menduga bila sosok wanita yang harus dibunuhnya menjadi tameng baja untuknya—siap melindunginya dari scythe malaikat pencabut nyawa.

Sayangnya, selama ideologi Hitler itu tetap tumbuh mengakar, takkan ada yang mampu menghindar dari takdir yang tergenggam sempurna di aliran darah mereka.

Dan Minato menyadari hal itu.

Api-api kecil yang menerangi lilin ruang kerjanya mati dalam sekejap. Bak angin dingin yang meniup tanpa meminta persetujuan. Jam bandul pun ikut berdindong ria dari arah ruang tamu. Adalah hal yang paling menakutkan bila hal-hal semacam ini terjadi di tengah malam yang sepi. Setelah meyakinkan diri, Minato berdiri dari kursinya—membiarkan kertas-kertas yang menghalangi ruang geraknya.

Ia meraih pemantik api dan menyalakan kembali lilinnya. Setelah duduk kembali, ia dibuat terkejut dengan bunyi telegram di samping meja kerjanya.

run or we will slaughter all of your precious things.

Suara ketukan pintu terdengar bersamaan dengan bunyik klik pelan dari telegram. Mencoba menahan amarah, Minato mengikuti arah ketukan pintu. Ia sudah terlatih baik untuk hal-hal seperti ini tentunya. Sesaat setelah mendekati pintu rumah, ia tak segan memutar knop dan mendapati sebuah sosok yang berbalut pakaian serba hitam.

"Hello, N. Ready to hunt?"

Dua mata berwarna semerah darah adalah warna pertama yang terlihat oleh kedua mata cerulean Minato. Setelahnya, ia seakan melihat dunia berputar dan menampilkan slide-slide akan wajah Kushina dan Naruto...

.

.

"SELAMATKAN DIRI KALIAN!"

"Arrghhh…"

"Nooo! Don't kill my son!"

Chaos. Catastrophe. Dua kata bermakna sama.

Dan dua kata itu mewakili apa yang kini telah terjadi pada seluruh sudut Wachmusker village. Kobaran api dan asap-asap hitam membumbung tinggi, namun terkesan seperti termakan oleh hitam pekatnya awan. Merahnya api mewakili cipratan darah orang-orang tak berdosa. Ini adalah sebuah tragedi berdarah yang siapapun takkan mengira sebelumnya.

Beberapa pria berseragam zirah dengan lambang Nazi melewati begitu saja mayat-mayat yang bergelimpangan di mana saja. Sepatu boot karet mereka membuat jejak-jejak tak beraturan. Satu di antaranya mendecih sambil membuang puntung rokoknya tepat di arah kobaran api. Topi pemburu yang dikenakannya tertoreh dengan warna merah—darah warga Wachmusker village yang telah dibunuhnya.

Ada senyum iblis yang terlukis di bibirnya, "It's over. Now, Everything is over…"

Setelahnya, ia tertawa lebar tanpa memperhatikan dari arah kejauhan seseorang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa tertebak.

"You're truly a psycho, Madara." kata orang itu sembari berjalan mendekati pria yang masih tertawa lebar.

"Hn? Hell I care," jawab pria Nazi itu tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya, "Kau naif jika kau menganggap tak ada satupun dari orang-orang hina ini yang tak mengenal siapa dirimu yang dahulu, sobat. Kukatakan yang sejujurnya, ok? Anakmu itu—ya, dia—dia lumpuh bukan karena kesalahan kau atau istrimu yang cantik itu. Tapi mereka. Mereka! Orang-orang yang sudah bosan hidup ini, Minato!"

Desau angin dingin mengibarkan bendera-bendera berlambang organisasi bawah tanah pimpinan Hitler. Kini, sudah tak ada lagi suara-suara kemarahan maupun tangis sebab semuanya telah teredam oleh kebengisan pria-pria bermantel zirah itu.

Minato—si lawan bicara—terdiam dan membiarkan angin menerbangkan anak-anak rambutnya yang tak tertutupi oleh topi pemburu khas pasukan bawah tanah. Kesal dengan kesunyian itu, Madara berdecak dan berjalan mendekati Minato, "Cari mereka, ok?"

"Siapa maksudmu?"

"Tentu saja istri dan anakmu!"

"Mereka sudah mati."

"Ah…"

Kobaran api lamat-lamat meredup oleh angin subuh yang menjelang. Setitik sinar dari ufuk timur mulai terlihat dari garis horizon. Siluet bayangan tipis menyadarkan betapa tragisnya situasi di sekitar dua pria ini. Tubuh-tubuh yang penuh darah dan pembantaian yang mengerikan menjadi suasana inti. Baik Minato maupun Madara saling terdiam dan membiarkan garis horizon dari arah timur meninggi perlahan demi perlahan.

"Sudah pagi rupanya."

"Well, better than seeing the sunlight when I slaughter all of my clan's members," Madara berujar sembari memasukkan tangan dalam saku mantol coklatnya. Langkahnya terhenti tepat di samping Minato. Dengan senyum seringai, ia menarik sesuatu terlingkar di lengan pria berambut kuning cerah itu, "Next time we meet, you will change this ideology by chosen the new N."

"Ya, tentu."

Dalam sekejap, langkah-langkah pria bernama Uchiha Madara itu menghilang bersama dengan sinar mentari yang kian menyilaukan. Dalam hatinya, Minato pernah berujar tuk mengikrarkan janji menjadi sosok pria yang baru, tetapi takdir kejam yang selalu mengikat dirinya akan selalu menunggu tuk terjadi.

Saat ia hilang, M—partnernya—akan selalu bisa menemukan cara tuk mendapatkan jejaknya. Meski meminta pada Tuhan pun, sekali lagi, adalah hal yang nihil. Karena pada dasarnya, jiwanya terpagut menjadi dua bagian. Yang satu akan berada dalam sisi baik dan yang lainnya tetap pada genggaman iblis.

"Maafkan aku, Kushina. Maafkan aku… Maafkan aku…"

Beberapa tetes air embun terlihat di pagi yang naas itu.

Untuk pertama kalinya, seorang pewaris Namikaze yang terakhir menangis.

.

.

Present Time

Hujan adalah sebuah berkah dari Yang Maha Kuasa. Tanah-tanah kering berubah basah olehnya. Sungguh sebuah keajaiban yang hanya dimiliki oleh ibu kita ini—bumi. Namun, terkadang hujan bisa menjadi sebuah pertanda. Baik dan buruknya hidup, bagi ahli nujum adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Yin dan Yang. Hitam dan putih. Lalu, pendeteksi terbaik antara keduanya adalah hujan.

Mungkin hujan selalu diibaratkan dengan hal yang buruk. Adalah kematian yang menjadi titik balik kejadian paling buruk yang menjanjikan nothingness. Alasannya simpel saja. Di setiap pemakaman selalu diawali dan diakhiri dengan hujan. Entah itu air beku yang turun dari atas sana ataupun tetesan bening yang mengalir membentuk dua sungai kecil di dua pipi kemerahan itu.

Kini, titik-titik air berukuran mikroliter itu bergelimpahan jatuh dari atas sana. Membuat tanah-tanah coklat mencekung dan begitu lembek. Suara riak dan tetesannya adalah melodi tersendiri, seakan menghanyutkan ribuan jenis suara yang menggema di bumi. Tentu, hujan juga peredam suara bising terbaik yang dimiliki Tuhan.

Warga kota Frankfurt seharusnya cukup bersyukur dengan hujan yang turun dengan begitu derasnya. Hujan di kota ini adalah sebuah tanda. Tanda berakhirnya musim panas tentunya. Suhu tanah dan udara merendah beberapa derajat di setiap pagi. Embun-embun bening di atas dedaunan kian berwujud titik-titik es. Kabut tebal pun menyingkapi pengelihatan normal dan seakan membatasi antara kegelapan semu dengan kenyataan.

Kesimpulannya ialah sungguh sangat tidak mungkin sinar hangat mentari lolos begitu saja dari cuaca ekstrim yang terjadi saat ini.

Setidaknya, begitulah kata orang-orang yang bekerja dalam bilik-bilik tertutup di Badan Meteorologi dan Geofisika Jerman.

Tetesannya masih terasa begitu dingin dan ingin sekali menusuk daging hingga ke dalam tulang. Dari balik kotak-kotak kaca setebal satu centi itu, terlihat jelas jalan-jalan menjadi begitu sepi seketika. Pejalan kaki maupun mobil-mobil mewah yang biasa melewatinya bisa dihitung dengan jari. Sejak sedari malam, mungkin hanya ada beberapa orang yang berani menerjang kondisi cuaca yang serba tak menentu. Warna kuning cerah menjadi satu-satunya warna yang sangat kontras dengan kabut tebal dari arah luar.

Mata cerulean itu masih ingin menatap lebih lama kecerahan warna dari dalam dirinya yang mungkin telah mati bertahun-tahun yang lalu. Diliriknya kembali si kuning dan naas, angin kencang membawa lari warnanya—menyisakan sosok anak kecil yang terbalut sweater biru pucat yang basah.

"Ah…"

Ia tak bergeming dari posisinya. Masih terduduk tanpa harus berdiri dari kursi beroda empat miliknya. Selimut rajutan berwarna biru tua menutupi pangkuannya yang selalu merasa dingin.

Ya, dingin. Bukan dingin oleh hujan. Mungkin… dingin oleh kesendiriannya.

Beberapa jam yang lalu, sosok gadis yang tertidur pulas di kasur hangatnya telah pergi—lagi—entah ke mana. Tak perlu dipertanyakan akan ke mana dia pergi setelah ini. Mungkin membunuh atau mungkin juga mencari N? Antara keduanya sama saja bagi sosok pemuda ini. Keduanya takkan menjadi pilihan yang terlintas dalam benaknya.

Membunuh bukanlah hal yang bisa dilakukannya sekarang—tidak sama sekali. Jikalau Tuhan masih memberinya kesempatan hidup dalam takdir yang berbeda, mungkin ia akan terlahir sebagai pemuda baik-baik dengan garis takdir yang menyenangkan.

Dalam hal ini, tak ada takdir bernama cinta yang harus menjadi kutukan.

Sebab, dalam takdirnya, satu kata puitis itu telah tertuliskan sebagai takdir terkejam yang melekat di kehidupannya.

Maka, ia pun berhenti berharap. Sebagaimana pun besarnya mengharapkan hal itu, jalan tuk mendapatkannya adalah nol. Nihil. Zero. Dan apapun namanya itu.

Lalu, pilihan yang kedua?

Ia meresah dalam diam. Ia tahu. Ia mendengar. Ia bahkan mencari tahu orang itu. Mungkin, sebutkanlah saja itu adalah sebuah rasa penasaran yang teramat besar. Ataukah takdir tak selamanya menjadi jalan pasti yang telah tertulis di atas batu? Jawabannya, ia hanya menentang arus takdir itu. Tak ada salahnya kan?

Sesekali, ia melirik ke bawah—ke titik terjauh di mana air hujan akan membasahi permukaan tanah. Pikirannya melayang entah ke mana. Kadang, ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada ayahnya yang terkurung dalam sel baja CIA, atau juga mengingat wajah seseorang yang amat sangat ingin ditemuinya. Namun, lagi-lagi, baik logikanya maupun memorinya yang masih bekerja begitu apik takkan bisa berubah jadi nyata, seolah semuanya hanya bagian dari mimpi-mimpi semu.

Jam bandul di ruang tengah berbunyi beberapa kali. Ia menengok ke belakang, mengamati alih-alih sang nenek menyusup masuk ke dalam kamarnya dan menyiapkan makan siang untuknya. Sayangnya, ia sedang tak lapar, meski hujan selalu menjadi biang kerok peningkatan nafsu makan manusia normal. Karenanya, ia kembali menapaki jejak masa lalunya dalam diam.

Dipejamkannya dua mata beriris cerulean itu hingga detik waktu terasa semakin melambat. Melambat dan kian melambat…

Ia telah kehilangan cahaya dalam mata birunya. Sudah delapan belas tahun berlalu, namun begitu menyiksa batinnya selama ini. Dan jika diingat-ingat, ia berharap mati di saat itu juga. Ya.

Terlalu lama ia membiarkan pendulum masa lalu terbuka hingga ia tak menyadari sebuah ketukan pelan terdengar dari belakangnya. Ia membuka mata sesaat setelah menemukan sepiring spinach lasagna dengan jus wortel di samping kursi rodanya.

"Obaa-chan…"

"Hm. Makan siangmu, Naruto."

Naruto tersenyum lemah dan sedikit memutar tubuhnya tuk meraih makan siangnya yang lezat, "Danke."

"Ya, sama-sama."

Ia mengunyah makan siangnya dalam diam. Selama itu, sang nenek pun membuka lebar-lebar tirai jendela kamar cucunya. Sinar mentari yang malu-malu sedikit memberikan penerangan untuk kamar yang begitu gelap.

"Hujannya sudah berhenti. Kalau mau, kau bisa berjalan-jalan di luar sana setelah kau menghabiskan seluruh makan siangmu. Hawa udara sehabis hujan akan terasa lebih sejuk. Lagipula, kau sudah tak pernah mengunjungi taman kota kan, Naruto?"

"Ya, tentu. Sepertinya memang menyenangkan, tapi…"

Dua mata berwarna keemasan sang nenek membulat. Ia menengok wajah lemas cucunya, "Tapi kenapa, Naruto?"

"Er—Obaa-chan lupa ya kalau aku benci sayur?"

"Eh?"

"Entah sampai kapan aku harus menunggu tuk bisa berjalan-jalan keluar flat bila Obaa-chan memaksaku tuj menghabiskan makan siang yang penuh dengan sayur-sayuran ini…"

Naruto mendesah dalam kepasrahan. Meskipun tahu neneknya benci saat ia tak menghabiskan semua bagian dari makan siangnya, ia tetap memaksa sang nenek tuk segera mengganti menu makan siangnya itu dengan daging asap atau lainnya dengan berbagai argumen. Alhasil, ia pun menyerah saat mendapat gertakan dari sang nenek.

"Aa, iya, iya! Akan kuhabiskan…"

.

.

CIA Headquarter in Frankfurt

Bunyi bedebam keras terdengar di salah satu bilik ruangan bagian interograsi. Suara geraman dan teriakan juga mengikuti dan membuat orang-orang yang lewat bergidik ngeri. Mungkin hal yang seperti ini sudah biasa terjadi di bilik-bilik bagian interograsi, CIA.

Terkadang, pemukulan pun bisa menjadi adegan konflik yang terselip di antara sesi tanya-jawab. CIA bukan seperti organisasi intel lainnya yang bisa mengungkap apa saja dengan emm… katakan saja dengan kekerasan. CIA adalah organisasi elit, terstruktur apik, dan memiliki tingkat akurasi tertinggi untuk masalah investigasi kasus. Meskipun demikian, satu atau dua agen, masih ada yang melupakan ketiga hal itu.

Adalah Houzuki Suigetsu. Anggota Interograting Division, CIA.

Sosok pria berusia dua puluh lima tahun berkebangsaan Norway yang sangat suka mengintimidasi—tepatnya menekan mental mangsanya.

Untuk beberapa kali, suara bedebam kembali terdengar. Suigetsu telah hilang kesabaran saat menginterograsi sosok pria tua yang bahkan takkan mau berbicara sepatah kata pun meski telah didesak dengan hal-hal mengerikan. Gertakan giginya yang mirip shark bersama dengan gaya pakaiannya yang nyentrik pun tak cukup menjadi aksesoris kengerian yang mampu membuat sosok penjahat di depannya mengangkat wajah. Dalam diam, pria tua itu terus menunduk.

"WHY DON'T YOU EVEN SAY 'Hi' TO ME, YOU OLD MAN!"

Ia meninggikan beberapa oktaf suaranya—tepat di atas kepala pria tua yang berbalut brown coat lusuh itu. Dua lengan Suigetsu terekstensikan penuh dan tertopang di sudut-sudut meja kecil yang memisahkannya dengan si pria tua. Saat si pria tua mulai menaikkan wajah sedikit, satu alis Suigetsu meninggi satu centi.

"FINALLY!"

Si pria tua mengangkat wajahnya perlahan. Dilihatnya dari balik poni rambut dirty blonde miliknya gigi-gigi tajam milik eksekutor muda di hadapannya—Suigetsu. Tak ada senyum sapaan ramah maupun mimik penuh kebencian yang terlihat di raut wajahnya. Yang ada hanya kekosongan.

"Kenapa menatapku dengan tatapan aneh seperti itu, Old Man?" tanya Suigetsu penuh curiga. Ia semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah si pria tua. Garis-garis kasar yang berhiaskan kumis tipis terlihat jelas di wajah lusuh si pria tua.

"He is here. He is here. He is here…"

"Ha? 'He is—what? Siapa yang kau maksud dengan 'He', Old Man?"

Senyum aneh menjadi jawaban pertanyaan Suigetsu oleh sosok di depannya. Semakin lama, senyum itu semakin melebar hingga menjadi tawa penuh kegilaan.

"Crazy old man…" dengus Suigetsu nyaris berdesis.

Pria tua itu tetap tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras. Tawa maniak di ruang sempit berlapiskan baja itu seperti menggema dan mengganggu pendengaran Suigetsu. Memilih tuk menjauh, Suigetsu segera menyalakan penyadap suara mini yang tertempel di belakang telinganya.

Ia berbisik, "I'm done with this crazy man. Put someone else to interrogate him. I've been an hour and half here and yet this old man said nothing. I'm getting frustrated."

"Wait there, Sui…"

"Wa-wait what? Hey!"

Sambungan percakapan mereka terputus di saat itu juga.

Kesal, Suigetsu pun berjalan ke arah sudut ruangan berlapiskan baja itu. Mendapatkan apa yang dicarinya, ia segera memasang pose bertolak pinggang di hadapan si kamera kecil.

"Shit…" umpatnya setengah berbisik.

Ia berbalik dan menatap penuh emosi ke pria tua yang telah berhenti tertawa. Setelah berdiri tepat di belakang kursi pria tua itu, Suigetsu mulai menjalankan konfrontasinya.

"Why don't you tell us where will be your next 'hunt', Sir?"

"Hmm…"

"Where?"

"…"

"Tell me where it is…"

"…"

"TELL ME!"

Teriakan Suigetsu membuat si pria tua bergidik. Namun, apa yang terlihat bukanlah demikian. Suara derit pintu besi ruang interograsi bawah tanah CIA terbuka lebar—memperlihatkan sosok lain yang juga membuat baik si pria tua maupun Suigetsu terkejut. Akan tetapi, raut wajah tak tertebak milik si pria tua itu tak mengalihkan perhatian sosok yang baru saja melangkah masuk ke dalam.

Dengan suara lirih, si pria tua bergumam.

"N…"

"You… Who the hell are you?" tanya Suigetsu tanpa memindahkan posisi, namun kedua matanya tak pernah lepas dari gerak-gerik sosok yang tak dikenalnya.

"Tidak perlu tahu siapa. Aku di sini yang akan menggantikanmu menginterograsi pria tua itu. Kau bisa keluar dari ruangan pengap ini kalau kau bersedia, Suigetsu-san."

"Tsk!"

Mendengar apa yang baru saja dikatakan si operator dari balik penyadap suara miliknya, Suigetsu pun melengang menjauhi korbannya. Dengan kerutan di pertengahan alis, ia menatap lekat ke wajah pria yang terdengar begitu angkuh itu.

"Hm, Uchiha Sasuke?"

Pria yang berdiri di depannya tak menjawab. Suigetsu hanya menatap ke kedua mata hitam milik pria itu, "kurasa kau sudah tahu namaku."

"Kalau begitu, mari kita lihat kemampuanmu…"

Dan setelahnya, Suigetsu benar-benar meninggalkan penjara besi itu dengan perasaan penuh ketertarikan.

.

.


.TBC.


cerulean's answers :

anjera de morte: NaruSasu kok. Dan Naruto masih hidup. Thanks for the review.

Shinyuu L. White : Yosh. Thanks udah mereview dan koreksiannya. Review lagi ya…

Raika Carnelian : Err—pertanyaan kamu untuk chapter 1 udah kejawab di chapter ini. :D. Soal apakah N dan M yang berikutnya tidak harus generasi (anak-anak) dari N dan M yang sebelumnya. Karna saya ingin buat intriknya makin tajam, sengaja saya buat seperti itu. Kemudian, tebakan kamu bener banget! Hihi. Soal kenapa Tsunade benci Sakura karena dia tahu kalau yang lebih pantas jadi M itu cucunya—Naruto. Last, thanks for the review…

Jeevas Revolution : Haha. Iya, iya. Thanks for the review, Meth.

TakonYaki : Yup. Naruto itu mengalami polio sejak kecil, makanya ayahnya memilih Saku sebagai pengganti sementara M. Thanks for the review.

Gloria HaMaki Sana : Yup. N adalah Sasuke dan M (yang sekarang) itu Saku. Tapi, pada kenyataannya, Naruto yang seharusnya menjadi M. Dan untuk misi Day X akan lebih saya jelaskan di chap-chap selanjutnya. Makasih sudah mereview.

Sharon Himawari : : Soal pertanyaan kamu akan lebih saya jelaskan di chapter-chapter selanjutnya. Hehe. Thanks for the review.

aya-na rifa'i : Gehehee. Kak Ayy bisa aja. Tapi walaupun nulis kayak gini, gak sebanding dengan gaya penulisan Madam Christie, kak. Wkwk. Mau berguru sama Sir Arthur Conan Doyle dulu ah. #plak. Haha. Makasih buat reviewnya ya…

Terima kasih banyak untuk para reviewer fic ini. Termasuk : Orange Naru, Oh-chan in Nanda, Hoshirin Hyuunma, Anbu Tora, Fun-Ny Chan D'JiNchuUri-Q, Shearra26.

Dan buat semuanya yang membaca, mengklik, me-like, dan melihat profil saya (narsis), thanks a lot!


See you at the next chap~

and... mind to review?