010819

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

.

.

.

.

Último Ano du Melodioso

mysticahime
2019

.

.

Season 1: Primo

Chapter 15

.

.

.

.

Ino menutup telinganya dengan kedua tangan ketika erangan itu kembali terdengar. Dari sisa celah yang tersisa antara pintu dan kusen, kepalanya melongok.

"Emm. Sakura, kau baik-baik saja?"

Pemandangan pergelangan kaki yang bengkak adalah hal pertama yang ditemukan Ino, berikut gulungan verban cokelat di dekat tangan Sakura yang sehat. Gadis itu tengah berusaha membebat ulang kakinya yang cedera dengan satu tangan. Mereka berjalan jauh dari sekolah sampai ke stasiun, sampai ke rumah Sakura, dan sedari tadi gadis itu menahan sakit di kakinya. Sebagian besar salah Ino; kalau saja saat itu ia tidak gelap mata, Sakura akan baik-baik saja.

Nyatanya, Sakura tetap baik-baik saja padanya hari ini, bahkan setelah insiden memalukan yang diperbuatnya demi menyelamatkan ego. Jujur saja, Ino sudah tidak punya muka untuk menghadapi Sakura, menghadapi teman-temannya yang lain, namun tanpa diduga-duga Sakura mengulurkan tangannya. Sakura memintanya kembali. Sakura masih mau menerimanya. Menariknya kembali ke dalam rengkuhan hangat dan satu malam untuk membicarakan semuanya baik-baik.

Berbekal rasa bersalah yang ingin ditebusnya sepenuh hati, tangan Ino mendorong pintu kamar Sakura sampai terbuka sepenuhnya, kemudian gadis pirang ini bersimpuh di lantai, mengambil jarak yang cukup dekat dengan kaki Sakura. Kemudian, hati-hati sekali ia mengambil gulungan verban cokelat dan mulai melilit pergelangan kaki Sakura seperti yang pernah dipelajarinya ketika pelajaran PE.

Hening kembali menguasai udara kamar. Ino mulai terbiasa dengan aroma lavender lembut dari pengharum ruangan yang digantungkan Sakura di sebelah jendela kamarnya. Pewangi berwarna ungu transparan itu mulai menipis di bagian tengah, pertanda telah lama tergantung di sana. Pewangi yang sama mungkin telah menyaksikan pemiliknya mematut diri di depan cermin seukuran badan berlatih membacakan dialog jatahnya selama akhir musim semi. Pewangi yang sama telah menemukan siapa manusia jahat yang mencelakakan sang pemilik kamar, yang kini berusaha serapi mungkin mengeratkan balutan di sekeliling pergelangan kaki Sakura.

Tepat saat Ino mengaitkan ujung verban, Sakura berujar, "Kau berbakat jadi perawat."

"Begitu?" Ino memberanikan diri menatap Sakura, menemukan sepasang mata hijau Sakura tersenyum. Tidak menyangka akan mendapatkan percakapan yang bersahabat, ia terlihat canggung. "Ibuku mengajarku dengan keras soal ini saat tahu aku tidak bisa mengikuti PE dengan baik."

"Ibumu perawat?"

"Uh-huh. Dia berhenti bekerja setelah punya anak."

Sakura menyayangkan hal itu, namun sedikit rasa iri bercokol di relung dadanya. Ibunya bekerja sepanjang hari untuk menjalankan peran sebagai orangtua tunggal; bukannya Sakura membenci hal tersebut. Seruan 'aku pulang' yang disambut angin lalu nyaris sepanjang waktu, makanan yang berulangkali dihangatkan di microwave, duduk sendirian bersama denting peralatan makan perak... Sakura sudah terbiasa akan hal-hal trivial ini. Semasa SD, ia menginap di rumah neneknya sepanjang minggu dan baru pulang ke rumahnya saat akhir pekan. Tatkala beranjak dewasa, ibunya memberikan kepercayaan lebih agar Sakura mengurus dirinya sendiri dan apartemen dua kamar tidur mereka.

"Apa kau punya saudara? Kakak atau adik..." Membayangkan tumbuh bersama seorang saudara kelihatannya menyenangkan. Kalau saja kedua orangtuanya masih bersama-sama, ia mungkin dapat memiliki seorang adik.

Gelengan kepala Ino adalah sebuah jawaban. "Tapi aku punya seorang kakak sepupu yang baru mulai kuliah. Kami sangat dekat sampai-sampai terasa punya kakak yang sesungguhnya."

Sakura menggembungkan pipinya. Orang-orang yang dapat dianggapnya sebagai saudara hanyalah Shikamaru dan Chouji akibat lamanya mereka bertiga saling mengenal. Dua-duanya pun anak tunggal, hingga keberadaan satu sama lain terasa seperti saudara yang tidak pernah mereka miliki.

"Terkadang aku bertanya-tanya," tatapan Sakura menerawang ke langit-langit yang ditempeli stiker-stiker bintang yang menyala dalam kegelapan. Dalam keadaan seterang ini, mereka hanya dapat mengenali stiker-stiker berfosfor itu sebagai bercak-bercak kekuningan di tengah warna putih. Tatapan itu, kemudian kembali pada Ino, "apakah menyenangkan punya anggota keluarga lebih dari satu orang? Bagaimana rasanya pulang ke rumah dan mendapatkan ucapan 'selamat datang' setelah melewati hari yang panjang?"

Ino menahan lidahnya berkomentar 'biasa saja'. Kedua tangannya bertaut di atas pangkuan. Hal-hal kecil yang terkesan remeh di matanya adalah hal-hal yang diinginkan Sakura.

"Kita selalu menginginkan apa yang dimiliki orang lain," ujarnya lirih, tatapannya jatuh pada tautan tangan yang mengerat. "Sebanyak apa pun yang kita punya, kita akan selalu menginginkan lebih. Manusia dilahirkan untuk iri hati."

Sakura beringsut, perlahan-lahan memindahkan tubuhnya dari tempat tidur ke bawah. Sekarang, dingin permukaan ubin menyentuh bagian belakang pahanya yang tidak tertutup kain celana. Garis pandangnya jadi sejajar Ino.

Gadis pirang di sebelahnya melirik. "Kenapa kau bahkan ikutan duduk di lantai?"

Bahu Sakura terangkat sedikit, "Aku penasaran apa yang kau lihat dari ketinggian segini."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak mengerti pola pikirmu," jawab Sakura jujur. "Aku tidak mengerti mengapa kau repot-repot melakukan semua ini untuk menggeserku dari posisi Belle." Emerald itu kini terpatri di pusat akuamarin. "Apakah karena manusia selalu menginginkan yang dimiliki orang lain? Aku tidak merasa punya apa-apa..."

"Jangan besar kepala." Bibir bawah Ino mencebik. "Aku ingin melakukan itu bukan karena peran Belle semata. Aku melakukannya karena pasangan Belle adalah Uchiha Sasuke."

"..."

"..."

Ah.

Mata Sakura membulat. "Kau...?!"

Sial, Sakura peka sekali. Ino merasakan pipinya menghangat, panasnya menjalar sampai ke telinga. "Hentikan. Reaksimu terlalu berlebihan. Memangnya siapa yang tidak suka pada Uchiha Sasuke di Konoha High? Sasuke bahkan punya klub penggemarnya sendiri yang selalu berkumpul di pinggir lapangan basket."

"Aku tidak." Sakura menuding dirinya sendiri dengan ibu jari di depan dada. "Tapi, kau? Yamanaka Ino, jadi ini semua karena... kau cemburu? Kau benar-benar menyukai Sasuke sampai―sampai... itu?! Oh, aku tidak percaya ini."

"Iyalah." Nada sebal dalam suara Ino begitu kentara. "Selama berbulan-bulan aku mencoba berbicara dengannya, namun Sasuke tidak pernah menggubrisku juga para penggemarnya yang lain. Paling-paling, Sasuke bicara dengan Karinkarena Karin luar biasa agresif dan menyebalkan―itu pun tidak banyak. Sedangkan kau! Kau yang bukan siapa-siapa tiba-tiba saja muncul bersama Sasuke di atas panggung dan berakrab-akrab ria dengannya dan Naruto, kembar siam bodohnya yang selalu berkeliaran di sekitar Sasuke. Bisa kau bayangkan betapa kesalnya aku?"

Sakura mengerutkan kening. Belum pernah mengalami situasi yang sama menyebabkannya kurang memahami rentetan kata-kata Ino barusan. Kalau diingat-ingat lagi, saat gasshuku beberapa minggu lalu Ino pernah berkata ia menyukai Sasuke, namun rasanya tetap tidak masuk akal.

"Aku juga tidak mengerti kenapa tahu-tahu aku bisa mengobrol akrab dengan Sasuke..." ia berbicara lebih pada dirinya sendiri. Bukan itu yang penting, Sakura! "Tapi!" Tangan Sakura terjulur ke depan dan memencet hidung Ino kuat-kuat, "Itu bukan alasan untuk mendorong seseorang dari tanggaaaaa, Yamanaka Ino!" Jepitan itu dilepaskan, menyisakan warna merah di kulit hidung Ino. "Kau lihat ini? Ini?" Telunjuknya menunjuk-nunjuk ganas, "Semuanya sakit karena ulahmu! Jatuh cinta boleh, cemburu boleh, tapi tidak perlu sampai menyakiti seseorang, kan!"

Sakura menyelesaikan omelannya dalam tarikan napas panjang, mengisi paru-parunya yang mengempis karena persediaan udaranya membanjir bersama cerocosan panjang-lebar. Lelah, punggungnya disandarkan pada tepi kasur. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya menyapu langit-langit kamar dengan pandangan menerawang.

"Kau..." Ino mencicit takut-takut, "... marah padaku?"

Ada hening beberapa detik sebelum Sakura menjawab, "Tentu saja."

"Semarah apa?"

"Semarah aku ingin memukulimu sampai pipih, kemudian menempelmu di langit-langit kamar bersama stiker-stiker bintang. Tapi lalu aku sadar itu berarti aku harus melihat orang menjengkelkan sepertimu di kamarku selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun sampai aku pindah rumah―jadi aku tidak ingin memukulimu sampai pipih."

Ino tertawa mendengar kejujuran itu. Kemarahan Sakura sudah mereda, begitu tebakannya. Kemudian, gadis itu ikut menyandarkan diri ke tepi kasur, mengikuti Sakura memandangi langit-langit kamar yang sebelumnya disebut-sebut.

"Apa yang bisa kulakukan untuk mengurangi kemarahanmu?"

Pipi Sakura kembali menggembung. "Tidak tahu."

"Ayolah, kau pasti bisa menemukan sesuatu untuk kulakukan. Membelikan es krim kesukaanmu atau apalah..."

"Enak betul minta maaf semudah itu." Sakura menjeda di tengah. "Aku bukan tipe yang bisa disogok sebatang es krim."

"Kalau begitu, dua batang es krim."

Tawa Sakura pecah beberapa saat kemudian. "Dan kamu menginap di sini malam ini," ujarnya di akhir tawa.

Ino melirik dari sudut matanya, menyaksikan raut wajah santai Sakura yang sedang tertawa.

"Baiklah kalau itu maumu."

Tidak lama, kedua gadis itu sudah berada di ruang makan. Sakura duduk di atas salah satu kursi dengan kaki yang sakit menyilang di atas kaki yang sehat, memainkan peran sebagai tuan rumah yang baik sementara Ino mengacak-acak isi kulkasnya. Tidak banyak yang dapat digeratak dari lemari es keluarga Haruno. Satu menit kemudian, kepala Ino keluar dari dinginnya lemari es dengan ekspresi kusut di tengah wajahnya.

"Kau benar-benar tidak punya makanan?" tanyanya pada Sakura yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Onigiri ada, tinggal dihangatkan di microwave, tapi hanya ada satu." Lekat betul tatapan Sakura pada ponselnya.

Ino berkacak pinggang. "Kau sebetulnya niat untuk mengajakku menginap, tidak?"

"Di luar rencana," jawab Sakura, ponselnya diarahkan ke depan hidung Ino. "Katakan, lebih baik memesan pizza lewat layanan antar atau kita berdua makan di restorannya?"

"Apa kau bakal mengajak Sasuke kalau aku pilih makan pizza di restorannya?"

"Tidak." Sakura menjulurkan lidahnya. "Aku dan Sasuke tidak seakrab itu sampai janjian bertemu di malam hari untuk makan pizza bareng. Berhentilah menempatkanku di antaramu dan Sasuke. Kalau mau mendekatinya, tidak usah melibatkan aku. Bisa-bisa aku terluka di lenganku yang satunya lagi."

Keduanya bertukar pandang selama sepersekian detik sebelum tertawa bersama-sama.

.

.

.

.

"Mukamu jelek sekali, Shikamaru."

Layar ponsel Shikamaru terang. Gadis berambut merah muda di seberang sana melambaikan tangannya, tanpa senyum. Shikamaru tidak perlu mempertanyakan kenapa Sakura memasang raut semasam itu. Gadis itu pasti sengaja, supaya Shikamaru percaya Sakura benar-benar memaksudkan wajahnya sejelek itu. Habis, malam-malam begini, siapa yang tahu-tahu menggemakan dering berisik ponselnya?

Haruno Sakura muncul dengan wajah jeleknya, menghina Shikamaru dengan sebutan jelek.

Shikamaru mengetuk layar dengan telunjuknya, bermaksud menoyor kepala Sakura yang ada di layar. "Orang jelek ngatain orang lain jelek. Punya cermin di rumahmu, tidak?"

Sakura cengengesan di seberang sana. "Galak amat. Sedang apa? Kok tumben jam segini belum tidur? Tadi siang kebanyakan tidur, ya?"

"Enak saja." Pemuda berkepala nanas itu mencebikkan bibir. "Aku hampir terlelap saat ponselku tiba-tiba berdering. Sekarang, aku nggak berani tidur. Takut mimpi buruk karena baru melihat wajahmu."

"Jahatnya..." Gadis itu mendekatkan, apa, lubang hidungnya ke kamera sehingga Shikamaru mendapatkan zoom out lubang hidung seorang Haruno Sakura dengan cara paling mengerikan yang pernah dibayangkannya. "Chouji ada di sana?"

"Chouji di rumahnya. Kau melakukan panggilan video denganku untuk menanyakan Chouji? Kenapa tidak langsung telepon dia saja?"

"Ckck. Ampun deh, Shikamaru. Kamu sensitif sekali, seperti perempuan sedang PMS." Tawa Sakura nyaring dari pengeras suara. Waswas, Shikamaru melirik ke arah pintu kamarnya yang belum diketuk Yoshino. Jam sebelas malam, gelap-gelapan, ada lengkingan suara perempuan. Ibunya yang paranoid akan berpikir yang bukan-bukan. Menyadari fakta pintu kamarnya aman dari ibunya sendiri, Shikamaru kembali memusatkan perhatian pada Sakura yang sedang mengoceh dari seberang layar.

"Ada apa?"

"Ino sedang menginap di rumahku."

"Apa?!" Kantuk yang semula menggelayut mendadak terbang entah ke mana. "Bagaimana bisa?"

"Ceritanya panjang... Kau akan ketiduran duluan sebelum mengetahui akhir ceritanya, tapi―kami baik-baik saja. Aku baik-baik saja." Senyum simpul Sakura muncul di akhir kalimatnya. "Malam ini kau dan Chouji bisa tidur nyenyak."

Shikamaru mendengus, kemudian memindahkan ponselnya ke samping bantal. Sakura hanya bisa melihat langit-langit kamar sekarang.

"Tanpa perlu tahu itu pun, aku bisa tidur nyenyak," gerutunya dengan nada rendah. "Itu saja yang mau dibicarakan?"

"Itu saja. Un." Tanpa perlu menatap layar ponselnya, Shikamaru tahu bahwa Sakura sedang menganggukkan kepalanya. "Oyasumi, Shikamaru. Sampai ketemu besok."

.

.

.

.

Sakura mengintip dari balik pintu kamarnya. Ino sudah pulas di atas tempat tidurnya semenjak setengah jam yang lalu. Hari ini adalah hari yang panjang bagi mereka berdua. Gadis itu pasti kelelahan karena melewati banyak hal. Sakura tidak tahu pasti apa saja yang sudah dilalui Ino sepanjang hari ini, namun sesuatu pasti terjadi sebelum gadis pirang itu hampir memutuskan untuk melompat dari atap sekolah.

Berkebalikan dengan Ino, ia sendiri kehilangan rasa kantuknya. Kardus berisi pizza yang terbuka di atas meja masih terisi dua potong roti tipis bertabur keju, sosis, jamur, dan bawang bombay. Bagai kerasukan, tadi mereka berdua memesan ukuran raksasa dan sama-sama sudah menghabiskan tiga potong masing-masing. Sisa dua ini tidak tahu mau diapakan. Kalau dipanaskan ulang besok pagi, pizza-nya akan menjadi lembek sementara isiannya mengering dan berkerut.

Ia sedang memikirkan mau menghubungi siapa ketika ponselnya bergetar. Nama Sasuke muncul di layar.

Sasuke?

"Hei," sapa Sakura tanpa membuang banyak waktu. Ia butuh teman berbicara dan Sasuke menghubunginya duluan. "Ada apa?"

"Oh, kau belum tidur?"

Napas Sakura terembus, meniup anak rambut yang menggantung di depan wajahnya. "Ini baru jam sebelas malam. Ada apa?"

Ada jeda sejenak (Sakura membayangkan Sasuke mengedikkan bahu di ujung sana, berharap lawan bicaranya mengerti gestikulasi yang tidak nampak di corong telepon) sebelum, "Hanya penasaran soal... kau tahu."

Blak-blakan sekali.

"Oh." Sakura mengerti. "Dia baik-baik saja di sini. Kami bahkan menjadi―bagaimana menyebutnya―sahabat? Mirip kau dan Naruto, atau Shikamaru dan Chouji. Belum tepat seperti itu, tapi menuju. Seperti Belle mencoba berteman dengan Beast."

"Siapa Belle dan siapa Beast?"

"Benar juga..." Sakura memutar-mutar ujung rambutnya, merasakan akhir potongan rambutnya mulai tidak rata dan berpencar di gulungan kedua. Sudah waktunya potong rambut, eh? "Beast, walaupun menyeramkan, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencelakakan Belle. Beast hanya buruk rupa, namun hatinya luar biasa baik."

"Jadi Yamanaka bukan Beast," Sasuke menyimpulkan dengan sangat baik. "Itu berarti ia adalah Belle."

"Belle memang sering merepotkan Beast. Bukankah itu fungsi pemeran utama laki-laki? Menjadi ksatria atau semacamnya?"

Sakura bisa membayangkan Sasuke memutar bola matanya. "Betapa merepotkannya jadi laki-laki kalau begitu."

"Hm," kata Sakura, "sepertinya kau tidak suka direpotkan oleh perempuan? Bagaimana dengan ibumu? Pacarmu?"

"Aku memilih tidak berkomentar soal itu."

Sasuke yang Sakura kenal seperti ini, penuh dinamika dan menimbulkan tanda tanya yang enggan ia suarakan. Mengobrol dengan Sasuke, walau Sakura lebih dominan dalam menentukan topik, tidak pernah membosankan. Orang-orang di sekitarnya menyebut Sasuke tidak banyak bicara. Itu benar. Namun itu tidak berarti Uchiha Sasuke bukan orang yang menyenangkan diajak mengobrol. Bersama Sasuke, Sakura bisa melemparkan topik mana saja yang diinginkannya, persis seperti bicara dengan Shikamaru dan Chouji.

"Hei, mau kuberitahu sesuatu?"

"Apa?"

"Aku harap ke depannya aku bisa mengobrol dengan Ino senyaman aku berbicara dengan Chouji, Shikamaru... atau denganmu."

Sasuke, di seberang sana, menyunggingkan senyum tipis.

"Kalian sudah berteman akrab?"

"Sudah kubilang," ponsel itu dipindahkan dari telinga kanan ke telinga kiri, dikepit di antara dagu dan bahu, "aku sedang mencoba ke arah sana. Kau terdengar cemburu."

"Apa... aku tidak―"

Sakura tertawa. Renyah sekali. "Tenang saja, Sasuke. Ketika mulai berteman denganmu, aku tetap berteman dengan Shikamaru dan Chouji. Aku akan melakukan hal yang sama padamu meski aku mulai berteman dengan Ino. Tidak perlu cemas."

Embusan udara yang terdengar lewat pengeras suara menandakan Sasuke menghela napas. "Aku tidak cemas."

"Oke, terserahmulah." Sasuke bisa menyangkal habis-habisan dari ujung sana, namun Sakura tetap berjanji untuk tetap berteman dengannya. "Sampai besok?"

"Hn. Sampai besok."

Usai mematikan ponselnya, Sakura menyelinap ke dalam kamarnya sendiri. Ia masuk ke balik selimut, pundaknya bersentuhan dengan pundak Yamanaka. Gadis itu tidur pulas sekali. Sakura bisa memakai spidol permanen dan membuat kumis kucing dan mata panda di wajah Ino tanpa gadis itu terbangun sedikit pun.

Gagasan dalam kepalanya disingkirkan jauh-jauh. Melakukannya akan membuat Ino jadi bahan olok-olok seumur hidup, namun mereka belum sedekat itu sampai Sakura leluasa melakukannya. Tidak hari ini, mungkin minggu depan... atau bulan depan?

Sekali lagi, Sakura melirik Ino sebelum menarik selimut sampai ke batas dagu.

Mereka baru di awal perjalanan menuju teman. Keduanya punya banyak waktu untuk benar-benar menjelma menjadi teman. Ini semua hanyalah permulaan. Permulaan yang baik, ia tebak? Sakura harap begitu.

.

.

.

.

to be continued...

.

.

.

.

Author's Bacot Area

O... kay, mungkin ini chapter tercepat yang saya ketik selama enam tahun ke belakang?

Semalam, saya baru selesai marathon nonton My First First Love di Netflix, entah kenapa saya bapeeeeerrrr banget begitu selesai nonton. Ended up download semua OST-nya dan saya putar selama nulis chapter ini. Tahu-tahu, satu chapter selesai, hehe. Anggap saja ini semacam tebusan karena peralihan chapter 13 ke 14 kemarin yang makan waktu 3 tahun. Semoga ke depan-depannya nggak selelet itu lagi, ya.

Anw, kalian ada yang ngikutin KPOP? Kemarin ada GG rookie baru, ITZY, yang comeback dengan lagu ICY, and guess whaaaatttttt? Shin Ryujin rambutnya pink! Saya langsung seenak jidat jadiin Shin Ryujin sebagai rolemodel Sakura di UADM ini, hehehe. Sama-sama jago dance, soalnya. Buat Ino, kayaknya Lisa dari Blackpink lumayan cocok, ya? Kalau buat Sasuke, saya belum ada ide kira-kira mirip idol KPOP yang mana. Kalian ada usul? Sekalian sama Shikamaru dan Karin, ya :D

Tbh, agak kaget karena ada yang masih baca fanfic ini walau kalian semua anon. Hehe, chapter ini spesial untuk kalian yang masih meluangkan waktu buat baca!

Sampai ketemu di chapter berikutnya!

Me ke aloha,

mysticahime, 020819