It's our last chance, to share the stage

Before we go our separate ways

High school wasn't meant to last forever

It's our last chance, for us to shine

To bring you music one more time

So come on, come on, come on

(Come on, come on, come on)

Come on, come on, come on

Último Ano du Melodioso

Naruto © Masashi Kishimoto

High School Musical Songs © Disney

Other Songs © mysticahime™

mysticahime™

2010©

.

.

.

-Don't Like Don't Read-

-Needs No Flames Here-

.

.

.

Season 1 : Primo

Chapter 1

Sakura P.O.V

Bagiku, musik adalah segalanya.

Bila diibaratkan, musik adalah cahaya dalam kelamnya kehidupan. Garam dalam rasa tawar pada makanan. Pengharapan di tengah-tengah keputusasaan.

Seperti itulah.

Dan tarian, adalah nafasku.

Semua terasa tak nyata bila aku mulai menggerakkan tubuhku untuk menari. Semua terasa seperti ilusi. Waktu. Udara. Tanah tempatku berpijak. Satu-satunya yang ada dalam pikiranku adalah menari, menari, dan menari. Butiran-butiran energi mengalir ke seluruh ujung sarafku, ke sendi-sendi dan tulangku, ke otot-otot dan ligamen. Dan semuanya terkoordinasi dan membentuk gerakan-gerakan yang tersusun dalam koreografi.

Singkat kata, menari adalah hidupku.

End of Sakura P.O.V

.

.

.

Sasuke P.O.V

Sejak terlahir di keluarga Uchiha, basket adalah jalan hidupku.

Tidak satu-satunya, tapi basket adalah sesuatu yang sangat kusukai. Dan tubuhku merespon kesukaan itu dalam bentuk fisik yang menunjang untuk bermain basket. Bola basket tak pernah lepas dari tanganku. Dalam setiap pertandingan yang kuikuti pun, bola itu selalu kembali ke tanganku, seperti logam yang menempel pada magnet.

Ayahku, Fugaku, dan kakakku, Itachi, juga sangat menggilai basket, sama sepertiku. Ibu selalu menggeleng-gelengkan kepala bila melihat kami bertiga bersorak-sorai di depan televisi, menonton pertandingan NBA.

Basket sudah menyatu dengan diriku, mengalir dalam pembuluh darahku, berpacu dengan jantungku.

End of Sasuke P.O.V

.

.

.

Normal P.O.V

Konoha High, Senin pagi

PENGUMUMAN

"SUMMER MUSIC FESTIVAL"

Audisi untuk drama musikal

TELAH DIBUKA

Siswa-siswi yang berminat bisa menghubungi :

Kakashi H.

Shizune

Berpuluh-puluh siswa berdesakkan di depan papan pengumuman yang berada di tengah lorong yang menghubungkan pintu gedung utama Konoha High dengan jajaran kelas sepuluh. Laki-laki dan perempuan, semua berjejalan ingin melihat pengumuman berukuran ekstra besar yang mencolok itu. Dengan segala upaya, mereka memaksakan diri untuk melihat pengumuman itu.

Konoha High adalah sebuah sekolah swasta yang terkenal akan pertunjukan musikalnya. Tentu saja, musik adalah hal yang sangat ditonjolkan di sana. Setiap dua minggu sekali, semua siswa Konoha High digiring menuju auditorium untuk menyanyi bersama, membentuk choir raksasa. Bagi yang tidak terlalu pandai dalam dunia tarik suara, hal itu memang menyebalkan. Namun, sudah merupakan suatu konsekuensi bagi setiap siswa yang ingin berada dalam jajaran almamater Konoha High untuk menyanyi dalam choir itu.

Bisa berpartisipasi dalam pagelaran musikal musiman sekolah merupakan kebanggaan tersendiri bagi siswa-siswi Konoha High, sebab, yang dapat tampil di atas pentas hanyalah orang-orang yang dianggap benar-benar berbakat. Semua yang ingin mengikutinya harus mau mengikuti audisi mahaketat—yang membuat nyali para siswa ciut—ditambah lagi harus menghadapi dua guru seni paling kejam di dunia: Hatake Kakashi dan Shizune.

Shizune adalah guru musik sekaligus guru olah vokal, terkenal sadis dalam memberikan latihan. Tidak segan-segan memukul siswa yang tampak ogah-ogahan bila latihan menyanyi. Meskipun begitu, keahliannya dalam bidang musik dan bidang tarik suara sangat mengagumkan. Ia adalah seorang maestro sejati.

Hatake Kakashi adalah guru drama sekaligus guru tari yang terkenal pandai bicara. Bukan pandai bicara dalam artian pandai merayu atau sejenisnya. Ia pandai sekali melontarkan kritikan pedas dan menjatuhkan mental orang-orang yang menjadi sasarannya. Meskipun ia menguasai beragam jenis tarian, hanya sedikit anak yang dengan sukarela mengikuti pelajarannya, karena pelajarannya dan Shizune merupakan pelajaran wajib yang harus diikuti setiap anak. Akibat terburuk dari komentar pedasnya: seorang siswi bunuh diri dengan melompat dari atap sekolah setelah dicela habis-habisan.

Oleh karena itu, semua anak yang terpilih untuk mengikuti pagelaran musikal adalah anak-anak dengan mental baja. Yang kuat mengalami deraan siksaan fisik maupun mental. Dan tidak semua anak memiliki hal itu.

"Apa jadinya seni bila hanya dimainkan oleh anak-anak yang tidak punya kemauan?" tanya Shizune, bersedekap sambil mengamati setiap anak didiknya yang sedang berjuang untuk melihat poster yang ia tempel tadi pagi.

"Tidak tahu," jawab Kakashi, yang ikut-ikutan mengintip. "Yang pasti, namanya bukan seni."

Wanita muda berambut sehitam blackpearl itu menyikut lengan Kakashi.

"Kuharap, tahun ini hanya anak-anak 'terpilih' saja yang mengikuti festival," katanya.

Lelaki berusia awal tiga puluhan itu menoleh dan menatap Shizune. "Kalau begitu, kita harus menempa mereka habis-habisan."

.

.

.

Terlambat lagi!

Seorang gadis berambut merah muda sebahu berlari-lari menyusuri jalanan yang mulai padat. Keringat mengalir membasahi kulitnya yang putih. Bukan hanya wajahnya yang berkeringat, sekujur tubuhnya pun basah oleh peluh. Berlari karena terlambat sepertinya sudah menjadi olahraga favorit Haruno Sakura setiap pagi. Bila kali ini ia tertangkap oleh guru piket lagi, maka ini akan menjadi keterlambatannya yang ke-67 kali.

Gerbang sekolahnya masih terbuka, dan huuupp~ Sakura berhasil masuk sebelum gerbang ditutup oleh satpam penjaga, si kakek Jiraiya yang sudah tua itu.

Satpam tua itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambut panjangnya yang berwarna putih keperakan bergerak-gerak.

"Ka—"

Kriiiiiiiiiiiinnngggggg—!

Saved by the bell! Sakura berlari meninggalkan satpam yang tadinya berniat untuk menceramahi gadis muda itu. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan kakinya, dan tiba di lorong utama sekolah yang dipenuhi anak-anak!

"Permisii..." Ia meminta jalan pada kerumunan itu, namun tak seorang pun di antara mereka yang mau memberikan jalan. Tentu saja anak-anak itu tidak akan memberikan jalan pada gadis yang sedang terburu-buru itu—tidak tanpa melihat dulu sang obyek tontonan!

Sakura menghela nafas.

Oke, hari ini ia tidak terlambat. Masih banyak siswa di sini, dan bila ia dianggap terlambat, maka kerumunan ini juga akan dianggap terlambat. Tampak beberapa anak yang masih mengenakan ransel dan tas selempang seperti dirinya. Apa sih yang mereka perhatikan sedari tadi sampai berkerumun begitu? Lama-lama Sakura penasaran juga.

Ditepuknya pundak seorang anak laki-laki bertubuh besar yang kebetulan adalah teman sekelasnya, Akimichi Chouji.

"Hei, Chouji. Ada apa ini?" tanya Sakura, masih dengan nafas terengah-engah.

Laki-laki dengan rambut coklat kemerahan yang mencuat dan sedang memakan sebungkus keripik tortilla sambil menatap ke depan itu menoleh dan memandang Sakura.

"Ah, Sakura-chan, kurasa festival musik kedua kita di Konoha High akan segera dimulai!" ucapnya antusias. Serpihan keripik tampak pada bagian dalam mulutnya, namun Sakura tak peduli. Yang lebih menarik minatnya adalah tempelan karton besar berwarna semarak yang menjadi pusat perhatian kerumunan itu.

"Summer Music Festival, wow..." Hanya itu yang dapat diucapkan Sakura. Gadis itu telah sering bermimpi berada di tengah-tengah panggung elit Konoha High, menjadi pusat perhatian dari acara musikal legendaris itu—peran yang selalu didapatkan oleh kakak kelasnya, Karin, selama enam periode berturut-turut. Karin kini duduk di kelas dua belas, sedangkan Sakura di kelas sepuluh.

"Kau pasti akan ikut berpartisipasi, kan?" Kraus. Kraus. Chouji bertanya di sela-sela kegiatannya mengunyah keripik.

Mata emerald itu menatapnya. Berkilat penuh harapan.

"Pasti!" Sakura menyunggingkan senyum manis, membuat Chouji balas tersenyum dengan pipi menggembung penuh keripik tortilla. "Siapa saja boleh ikut, kan?"

"Tentu." Sebuah suara yang lain menyahutinya. "Kau pasti akan ikut drama, kan?"

Reaksi dari sumber suara yang baru, Sakura menoleh, dan mendapati Nara Shikaamaru, salah satu teman dekatnya juga, sedang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana seragamnya.

"Ya," jawab Sakura. "Akan kubuat drama itu menjadi penuh tarian!"

"Che, mendokusei..." gumam Shikamaru. "Kenapa kau gemar sekali melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan merepotkan seperti ini?"

"Karena... menari adalah hidupku." jawab Sakura sambil tersenyum, pandangan matanya menerawang.

.

.

.

"Kau tertarik untuk ikut?"

Laki-laki berambut raven yang menjadi obyek pertanyaan mendongak dari kemasan jus kotak yang sedang diminumnya.

"Hn? Ikut apa?" tanyanya sambil memantul-mantulkan bola basketnya yang berwarna biru tua ke lantai kayu gimnasium.

Lawan bicaranya, seorang laki-laki berambut pirang dengan wajah jenaka dan beberapa goresan di pipinya yang berbentuk seperti kumis kucing, berusaha merebut bola itu dari tangan si rambut raven.

"Pagelaran musikal itu, baka." Sial, bola itu tetap dikuasai oleh si raven biru dongker!

"Heh." Si rambut raven melakukan pivot, dan berhasil meloloskan bola dari hadangan temannya, lalu memasukkan lay-up dengan indah ke ring di belakangnya. "Apa aku terlihat seperti orang yang berbakat seni, Dobe?"

Si rambut pirang mencuat itu mencebikkan bibirnya dan mengangkat bahu. "Yeah, mana kutahu, Teme."

Si raven yang disebut 'Teme' itu mengambil bola yang tadi memantul keluar lapangan dan mulai men-dribble bola itu lagi.

"Hn... mana mungkin aku ikut." katanya. Aku kan tidak sebodoh itu mau mempermalukan diri di atas panggung yang konyol.

"Awas kalau kau sampai berubah pikiran, Teme," tawa si rambut duren pirang. "Kujamin aku akan tertawa terbahak-bahak. Pasti akan membuat gebrakan besar."

.

.

.

Tubuh itu meliuk, bergerak sesuai dengan irama musik. Entakan musik yang cepat membuat lengan-lengan dan kaki-kaki itu bergerak lebih cepat, menyesuaikannya dengan tempo musik.

Peluh bertetesan dari tubuh seorang gadis belia berambut soft pink yang dikuncir kuda itu. ia sedang melakukan kombinasi dari gerakan bodywave dengan serangkaian footsteps yang tampak rumit, namun berpola dan tampak sangat artistik.

Sakura berusaha membungkukkan tubuhnya hingga bagian atas kepalanya berada di bawah pangkal paha, kemudian menyentak bangun hingga rambut merah mudanya berkibar, dilanjutkan oleh gerakan patah-patah yang dilakukannya dengan luwes—dimulai dari pergelangan tangan kanan, merambat hingga pergelangan tangan kirinya.

Semua gerakannya itu terpantulkan dengan sempurna oleh dinding-dinding cermin perak yang melapisi setiap bagian studio tari di Konoha High itu. Haruno Sakura adalah anggota klub tari di sekolahnya—bahkan salah satu yang terbaik—sehingga ia diizinkan memakai studio sesuka hatinya. Tanpa disadarinya, dua pasang mata berwarna coklat tua mengawasinya melakukan kombinasi gerakan tubuh itu.

"Kau tidak lelah?" Kraus. Kraus. Suara Akimichi Chouji memecah di tengah-tengah entakan beat musik yang menjadi pengiring Sakura. Gadis itu menoleh dan berhenti dari segala aktivitasnya. Ia berjalan mematikan tape yang sedari tadi menggaungkan musik hiphop itu.

"Tidak—" Sakura menyeka peluh yang bercucuran di dahinya, "—tapi kurasa aku lapar." Ia menatap kantong keripik Chouji. "Boleh aku minta itu, Chouji?"

Chouji malah bergerak mundur, menjauhi tangan Sakura yang barusan hendak menggapai kantong keripiknya. Ia mengedikkan bahu pada Shikamaru—yang juga mengamati Sakura menari sejak tadi. Pria berambut kuncir seperti nanas itu maju dan mengulurkan sekotak bento yang diikat dengan kain berwarna hijau.

"Untukku?" Mata jade itu membelalak tak percaya. Tak disangkanya teman sekelasnya yang pemalas itu...

"Dari Chouji," kata Shikamaru pendek, sementara Chouji langsung menyikut rusuk pemuda itu—masih dengan tangan terbenam pada kantong keripik.

"Bukankah kau yang tadi memaksa untuk membelikan set bento itu untuk Sakura?" protes Chouji, lagi-lagi serpihan keripik menempel pada beberapa bagian di wajahnya.

Si rambut nanas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Apapun katamu—mendokusei..."

Sakura tidak memedulikan pertengkaran kecil kedua teman dekat di kelasnya itu. Ia langsung duduk bersila di sudut studio dan mulai menyantap bento-nya. Makan makanan full set seusai latihan benar-benar merupakan surga baginya. Terlalu asyik menggerak-gerakkan anggota tubuhnya mengikuti irama, Sakura hampir-hampir tidak menyadari bahwa perutnya telah keroncongan.

Shikamaru dan Chouji sepertinya sudah selesai bertengkar. Mereka berdua menghampiri Sakura yang sedang menyantap makanannya di sudut ruangan kaca, ikut berjongkok di kedua sisinya.

"Hei, semangat." Sakura menoleh ke arah Shikamaru. Bola mata emerald-nya melebar. Selama berteman dengan Shikamaru, baru kali ini pemuda itu mengeluarkn kata-kata yang bernada mendukung. Biasanya, pemuda pemalas yang anehnya jenius itu mengeluarkan kata-kata seperti 'merepotkan', 'bikin susah saja', dan sejenisnya.

"Audisinya besok, kan?" tanya Chouji dengan mulut penuh keripik. "Ganbatte ne! Kami akan menonton audisimu!"

Sakura tersenyum manis. Senangnya mempunyai teman-teman seperti mereka.

.

.

.

Hey, beat the track!

Turn up the music and let's dance!

Dance, dance, dance

Dance together

Dance along with your friends

It's a party, man!

Dance, dance, dance

Oh, yeah...

Dance, dance, dance

Dance 'till you drop!

.

.

.

Hari audisi

Aula yang digunakan sebagai tempat audisi telah diatur sedemikian rupa sehingga menyerupai teater opera. Panggung dengan layar merah. Dan sebuah meja memanjang dengan dua buah kursi yang dilapisi oleh kain beludru merah. Itu pasti kursi untuk para juri yang akan mengaudisi peserta SMF—Hatake Kakashi dan Shizune.

Sakura masuk ke dalam aula dengan gugup. Langkah-langkahnya diiringi oleh langkah-langkah kedua temannya, Akimichi Chouji dan Nara Shikamaru. Chouji melangkah mendampingi Sakura sambil terus memakan keripik—kali ini keripik tuna, sedangkan Shikamaru melangkah sambil menguap lebar-lebar. Pemuda berambut seperti nanas itu memang tidak terlalu menyukai keramaian, namun untuk seorang teman dekat, hal itu bukanlah masalah baginya.

Ketiganya duduk di bangku yang berada di deretang tengah, leluasa untuk mengamati sekitarnya. Sakura nampak canggung. Ini adalah audisi pertamanya, sedangkan wajah-wajah yang dilihatnya di dalam aula adalah wajah-wajah yang sudah berpengalaman dalam pentas teatrikal musik—mungkin sudah pernah mengikuti audisi sebelumnya. Memang ada juga beberapa anak kelas satu di sana, tetapi mereka semua adalah anak-anak yang pernah menjadi pengisi acara di pagelaran musikal musim semi kemarin, saat mereka semua masih menjadi freshman. Sakura sendiri waktu itu tidak bisa ikut karena mendapatkan nilai D untuk mata pelajaran aljabar. Salah satu syarat tak resmi untuk mengikuti pertunjukan musikal yang diadakan sekolah adalah para peserta mendapatkan nilai minimal C untuk setiap pelajaran.

Suasana dalam aula riuh rendah. Sebagian besar anak yang datang menyumbangkan suaranya untuk mendengungkan dukungan-dukungan bagi temannya yang akan mengikuti audisi. Menambah-nambah polusi suara saja, pikir Sakura.

Sekilas ia melihat Karin, kakak kelasnya yang merupakan pemeran utama drama musikal di pertunjukan musikal sekolah selama enam kali berturut-turut. Karin memang cantik, rambut merah panjangnya yang selembut sutra membuatnya semakin cantik. Selain cantik, Karin juga pandai sekali menyanyi dan memainkan piano, membuatnya menjadi murid kesayangan Shizune-sensei. Hanya satu kekurangannya: ia sombong.

Seringkali Sakura berharap ia bisa menggeser Karin dari posisi puncak agar seniornya itu tidak terlalu besar kepala. Namun, sudah dapat dipastikan bahwa persentasenya menggeser ratu drama itu hanya sekitar dua persen. Dan untuk mencapai yang dua persen itu, ia harus lolos audisi ini terlebih dahulu.

"Hei, Sakura-chan, kau gugup ya?" Kraus. Kraus. Chouji menatap kedua mata emerald Sakura dengan pandangan khawatir.

"Tidak, sama sekali tidak," dusta Sakura sambil menatap ke depan, menghindari tatapan Chouji.

"Che, kau berbohong." Shikamaru menimpali, membuat Sakura tiba-tiba ingin sekali menggunduli rambut nanasnya itu.

"Tidak apa-apa." Chouji menghibur Sakura. "Gugup itu hal yang wajar, kok! Kau kan baru pertama kali mengikuti audisi macam ini. Apa kau ingat audisi bulan April kemarin, Shikamaru?"

"Yang ada adegan Karin-senpai menari kontemporer sambil menyanyi?"

"Yang ada adegan Hatake-sensei membentak-bentak gadis Hyuuga itu!" Chouji menyipitkan kedua matanya. "Kau ini, terus-terusan mengingat Karin-senpai menari. Apa kau naksir dia?"

Shikamaru menghela nafas malas. "Hanya dia peserta audisi yang terbaik. Lagipula, buat apa mengingat-ingat kejadian mengerikan seperti itu?"

"Hanya mengi—"

Tiba-tiba pintu aula terbuka lebar. Aula yang tadinya penuh dengan berdesibel-desibel suara yang berdengung secara serentak berubah menjadi sunyi senyap. Hatake Kakashi dan Shizune—dua guru seni paling sadis di dunia—melangkah masuk, menyusuri karpet merah yang sengaja dibentangkan di lorong antara barisan-barisan kursi guna memvisualisasikan suasana Hollywood. Kedatangan keduanya membawa suasana horor bagi siswa-siswi peserta audisi SMF. Namun, demi mencapai tujuan untuk berada di bawah lampu sorot panggung musikal Konoha High yang sudah tersohor itu, mereka semua membulatkan tekad untuk menghadapi keganasan kedua orang itu.

Kakashi dan Shizune duduk di kursi yang telah disediakan di bagian depan panggung. Pria berambut perak dengan model rambut yang menentang gravitasi itu berdehem sekali sebelum mulai berbicara.

"Terima kasih bagi semuanya yang telah memberanikan diri mengikuti audisi ini. Saya tidak akan menyembunyikan apa-apa: saya ini orang yang suka memberikan kritik pedas dan tidak suka berbasa-basi. Maka, marilah kita mulai audisi ini."

Shizune mendapat tugas untuk memanggil para peserta audisi.

"Nomor satu, Suigetsu."

Sakura menonton dari kursi tempatnya duduk. Peserta nomor satu yang bernama Suigetsu itu disuruh membaca sepenggal adegan, lalu disuruh menunjukkan kebolehannya dalam bidang seni apapun. Ia sangat handal memainkan gitar sambil menyanyi. Suaranya pun tidak jelek untuk ukuran laki-laki. Setelah ia selesai tampil, Shizune mulai melancarkan 'serangan'nya.

"Permainan gitarmu cukup bagus." Ia memulai. "Namun suaramu tidak memenuhi kualitas seorang pemain drama musikal."

"Tapi, saya memang mencalonkan diri untuk menjadi gitaris band yang akan mengiringi drama kali ini," bantahnya.

Shizune mengeluarkan senyuman mautnya—bukan jenis senyuman manis yang dapat melumpuhkan urat saraf pria yang melihatnya, namun jenis senyuman yang dikeluarkan oleh pembunuh saat akan mencabut nyawa korbannya.

"Well, kita lihat itu di festival selanjutnya." Tangan kanannya yang memegang spidol merah besar bergerak, membentuk tanda silang di atas kertas aplikasi Suigetsu. "Next!"

Sakura menegakkan punggungnya, tegang. Ia terus menonton sesama peserta audisi menunjukkan kemampuan mereka. Berturut-turut: Hyuuga Neji, Yamanaka Ino, Rock Lee, Temari, Shiori, Deidara, Sasori, Karin—hanya Karin yang mendapat pujian di antara mereka semua. Deidara dikatai seniman gagal. Hyuuga Neji dikatai kurang berekspresi saat mengucapkan dialog-dialog yang diperintahkan. Yamanaka Ino dikatai bodoh. Yang paling parah adalah Rock Lee. Ia disuruh mengundurkan diri dari pementasan-pementasan musik selanjutnya. Suatu pukulan telak.

"Kejam sekali." Salah satu penonton yang duduk di belakang Sakura berbisik, entah pada siapa. Sakura memasang telinga untuk mendengarkan kelanjutannya. "Mereka hanya memilih anak yang murni berbakat seni dan sudah terasah! Bagaimana dengan mereka yang berbakat namun belum terasah?"

Hingga belasan peserta selanjutnya, yang didengar Sakura dari kedua guru itu hanyalah kritikan, kritikan, dan kritikan. Seolah-olah perbendaharaan kata yang dimiliki keduanya hanya kata-kata celaan saja. Gadis berambut bubble gum itu menahan nafas saat mendengar Shizune memanggilnya.

"Nomor dua puluh delapan, Haruno Sakura."

"Good luck!" Shikamaru dan Chouji menyemangati gadis itu. Sakura memberikan senyum gugup, lalu berlari ke area belakang panggung.

Tak lebih dari dua menit kemudian, ia telah berada di atas panggung. Sakura mengerjapkan kedua mata emerald-nya, pandangannya menyebar ke seisi aula. Banyak—ada banyak orang di sana. Dan mereka semua menatapnya dengan tatapan penasaran. Sakura menelan ludah, lalu mulai memerankan tokoh dalam potongan naskah drama yang diberikan oleh salah satu crew yang bertugas di belakang panggung.

"Kau tidak pernah tahu..." Sakura berlagak sedang berdialog dengan seseorang. Ia menempelkan jari telunjuk kanannya di depan bibir, seolah menyuruh si lawan bicara semunya mengecilkan suara. "...bahwa selama ini ada yang selalu memperhatikanmu seorang."

Seisi ruangan benar-benar sunyi. Sakura mengabaikan kenyataan bahwa beratus-ratus orang ada di sana dan menontonnya. Ia harus memfokuskan konsentrasinya ke dalam penjiwaan peran itu. Ia berusaha tidak memedulikan dua singa ganas yang merangkap juri yang sedang duduk di depan panggung, memperhatikannya dengan pandangan seksama.

"Kau," gadis itu mulai berjalan perlahan mengitari panggung, namun pandangannya tetap tertuju pada 'lawan bicara semu'nya, "selalu dikelilingi oleh surga. Kekayaan, keindahan." Ia memasang senyum terbaiknya, berusaha mengusir rasa gugup. "Tapi, kau tidak pernah tampak bahagia..."

Terdengar suara deheman, namun Sakura tidak memedulikannya.

"Kau kesepian, aku tahu itu," katanya. "Dan kau juga tahu mengenai hal itu. No one knows you as better as you do..."

Kemudian gadis itu menyanyikan sebait lagu. Spontan. Improvisasi dari naskah itu, karena dalam naskah itu tidak ada bagian 'menyanyikan sebait lagu'.

"You're not alone

No one can be out of social life

Being by yourself

No, it can't be true

'Coz I'll be there

Be with you, always..."

Sakura membungkuk, tanda bahwa audisi naskahnya telah selesai. Hatake-sensei dan Shizune-sensei saling pandang satu sama lain sebelum Hatake-sensei berbicara.

"Di lembaran aplikasimu tertulis bahwa kau akan menunjukkan kemampuanmu menari," katanya, "please?"

Gadis yang berdiri di depan panggung itu mengangguk. Kakashi tersenyum. Sudah lama ia ingin melihat kemampuan gadis itu. Orang-orang dari klub tari selalu mengatakan bahwa gadis itu memiliki gerakan dewa. Apakah itu benar?

Terdengar entakan drum yang cukup cepat, dilanjutkan oleh melodi-melodi yang lain. Tubuh yang berdiri di atas panggung itu mulai bergerak mengikuti irama. Meliuk, gerakan bodywave, kombinasi handmovements dan footsteps yang bisa dibilang rumit. Bola mata Kakashi yang berbeda warna itu mengamati setiap gerakan Sakura.

Sakura sendiri merasa sangat gugup. Ia hampir tidak sanggup tersenyum, bahkan sempat beberapa kali melakukan gerakan yang salah, namun tidak terlalu kentara karena ia langsung berpindah ke gerakan-gerakan selanjutnya. Apalagi ketika dirasakannya mata onyx dan ruby milik Kakashi terus mengamatinya.

"Cukup!"

Sakura langsung berhenti menari. Musik yang mengiringinya pun dimatikan oleh crew di belakang panggung. Gadis itu membungkuk ke penonton, lalu melangkah ke bagian depan panggung, menunggu keputusan dari kedua juri itu, bersiap-siap mendengarkan kritik pedas dari keduanya.

"Sebenarnya," Shizune yang memulai, "kau bisa menjiwai peranmu di naskah tadi dengan baik."

Terdengar dengungan penonton yang mulai berbisik-bisik. Gadis berambut soft pink ini adalah orang kedua yang mendapatkan pujian selain Karin, sang bintang.

"Improvisasi itu bagus."

Dada Sakura nyaris meledak saking bahagianya.

"Tapi," terdengar suara Kakashi, membuat Sakura menelan ludah, "sayang sekali kau tidak bisa ikut ambil bagian dalam drama musikal SMF kali ini."

"Ke-kenapa?" tanya Sakura gugup. Dirasakannya kedua bola mata Kakashi-sensei yang berbeda mata menatapnya dengan pandangan menusuk.

"Tarianmu sangat buruk, tidak mengandung jiwa." Terdengar nada-nada tercekat dari audiens. "Kau tidak bisa menguasai panggung saat menari tadi. Asal kau tahu, drama musikal merupakan kombinasi antara peran dan musikalisasi. Dan aktris yang tidak bisa menguasai panggung, adalah sampah!"

Tangan Sakura mulai gemetar. Air mata mulai menggenangi kedua pelupuk matanya.

Tangan Kakashi langsung membuat tanda silang besar dengan spidol merah di atas kertasnya.

"Te-te-terima kasih-h..."

Hanya itu yang dapat dikatakannya sebelum meninggalkan panggung. Ia tidak bisa menunggu respon dari kedua juri itu. Ia segera berlari kabur dari aula tempat terselenggaranya audisi itu. Secepat-cepatnya. Karena air matanya mulai menetes.

"Next!" Samar-samar terdengar suara Shizune memanggil peserta selanjutnya.

.

.

.

Selama bersekolah di Konoha High, area sekolah yang paling jarang dikunjungi Sakura adalah lapangan basket outdoor yang terletak di belakang jajaran kelas dua belas. Bukan apa-apa, Sakura malas sekali bila harus berurusan dengan anak-anak borjouis yang seringkali nongkrong di sana sambil memamerkan keahlian basket mereka yang telah ditempa oleh pelatih basket kelas atas, hasil les privat anak-anak orang kaya tersebut. Tapi, kali ini Sakura tak peduli.

Lapangan basket adalah satu-satunya tempat yang kosong saat ini, dan gadis itu memerlukan tempat yang sepi untuk menangis sepuasnya.

Maka, di sanalah, Sakura duduk di salah satu bagian tribun yang menghadap langsung ke bagian belakang ring basket. Ia menelungkupkan kepalanya ke atas lutut dan menangis terisak-isak.

Kedua juri itu tidak mau mengerti! Ia baru pertama kali mengikuti audisi macam itu, sehingga sebenarnya wajar saja bila ia mengalami demam panggung yang membuatnya terlihat canggung saat menari. Kakashi memang seperti dewa kematian! Bagaimana perasaannya bila ia berada di posisi Sakura dan mendapatkan kritikan pedas yang menjatuhkan seperti itu? Bisakah si rambut perak itu menelan bulat-bulat semua kata-kata yang menusuk hati itu?

Tiba-tiba telinganya menangkap bunyi sesuatu yang memantul ke tanah di depannya.

"Hei, kau tidak apa-apa?"

Sakura mendongak.

.

.

.

Uchiha Sasuke baru saja menghabiskan makan siangnya di kafeteria. Sendirian. Semua teman-temannya memilih melewatkan makan siang untuk menyaksikan audisi fenomenal untuk Summer Music Festival. Kabarnya kedua guru seni yang terkenal kejam itu kembali menjadi juri, dan mereka semua penasaran siapakah yang akan mendapatkan kritikan paling kejam.

Akhirnya ia memutuskan untuk bermain basket, mengisi waktu yang masih cukup lama hingga bel pulang berbunyi. Kaki-kakinya melangkah ke lapangan basket outdoor, karena—tentu saja—lapangan basket indoor yang berada di dalam gimnsium tidak diizinkan untuk dipakai bermain. Lapangan tertutup yang layaknya lapangan tempat NBA bermain itu hanya dikhususkan untuk pelajaran dan pertandingan-pertandingan penting. Bagi yang hanya ingin bermain-main atau unjuk skill saja hanya diperbolehkan untuk bermain di lapangan terbuka.

Saat ia men-dribble bola basketnya menuju lapangan itu, betapa terkejutnya Sasuke saat matanya menangkap sosok yang lain di sisi lapangan itu. Tidak biasanya ada yang mau membuang-buang waktu dengan duduk di sisi lapangan basket yang sepi. Tetapi, hei! Sosok yang berada di sisi lapangan itu sedang menempelkan kepalanya ke atas lutut, dan—setelah Sasuke melangkah lebih dekat—pundaknya tampak berguncang-guncang.

Pemuda berambut raven itu berdiri di hadapan sosok itu—seorang gadis—selama beberapa saat sebelum ia membuka suara untuk bertanya.

"Hei, kau tidak apa-apa?"

Gadis itu mendongak. Bola mata emerald-nya basah oleh air mata, dan terlihat kaget. Sepertinya ia tidak menyangka akan bertemu orang lain di lapangan yang sepi itu.

"Hanya melampiaskan emosi." Ia mencoba membuat lelucon, lalu tertawa hambar sendiri. "Kau tahu? Kedua juri itu benar-benar iblis kembar."

Dan Sasuke pun langsung tahu bahwa gadis ini adalah salah satu peserta audisi SMF yang masih diselenggarakan di aula.

"Boleh aku duduk?" tanya Sasuke, menangkap bola basket yang sedari tadi dipantul-pantulkannya, kemudian menunjuk spasi kosong di sisi gadis berambut pink itu. Gadis itu hanya mengangguk lemah.

"Jadi, aku mengikuti audisi..." Gadis itu tiba-tiba mulai bercerita, membuat Sasuke mengangkat sebelah alis, namun dibiarkannya gadis itu bercerita. Sasuke sedikit bersyukur karena gadis itu memperlakukannya seperti teman biasa, karena rata-rata gadis-gadis yang bicara dengan Sasuke selalu memuja-muja pemuda bermata onyx yang tampan itu.

Cerita gadis itu mengalir tanpa jeda, membuat Sasuke kagum akan kepiawaiannya bercerita. Caranya bercerita membuat Sasuke seolah-olah berada dalam dunia ceritanya, mengalami kejadian itu sendiri.

"... Dan, begitulah mengapa aku berakhir di lapangan basket ini, menceritakan semuanya padamu," kata gadis itu sambil mengedikkan bahu, mengakhiri ceritanya.

"Hn," Sasuke menggumam. "Kau bisa secerewet ini dan membawaku ke duniamu, kenapa kau tidak bisa melakukan hal yang sama pada iblis kembar itu?"

Semburat merah jambu merona di pipi chubby gadis itu. "Itu... karena..."—ia menambahkan dengan malu-malu—"aku gugup sekali. Sejenis... demam panggung!"

Sasuke menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. "Karena banyak penonton?"

"Karena banyak penonton," ulang gadis itu dengan nada yang berbeda, berkesan setuju. "Aku tidak bisa bergerak dengan leluasa bila menyadari ada banyak mata yang mengawasi setiap gerak-gerikku. Bila sedang sendirian di studio tari, rasanya aku bisa melakukan apapun."

"Itulah dilema aktris," komentar Sasuke, mengalihkan pandangannya ke arah lapangan basket yang ditaburi oleh dedaunan yang sedikit rontok.

"Itulah dilema aktris amatir," gadis itu mengoreksi.

"Mengapa kau tidak menganggap mereka semua tidak ada?" usul Sasuke.

"Hah? Menganggap mereka semua tidak ada bagaimana, he?" Gadis itu menatap Sasuke dengan kedua mata hijaunya yang membulat.

"Anggap saja kau menari sendirian."

"Itu hal yang... sulit..." Gadis itu mendesah pelan. "Aku bukan tipe orang yang mudah mengabaikan sejumlah besar orang."

"Fokuskan saja dirimu pada tarianmu."

Gadis itu terdiam sejenak, kemudian senyum mengembang di bibirnya. "Kurasa... aku akan mencoba saranmu. Saran yang bagus! Sekarang, aku akan memohon pada Hatake-sensei dan Shizune-sensei untuk mengizinkanku mengikuti audisi lagi." Ia bangkit dari tempatnya duduk, lalu mengulurkan tangan kanannya dengan wajah ceria pada Sasuke. "Terima kasih—ehh..."

"Sasuke." Sasuke menjabat tangan gadis itu. "Uchiha Sasuke."

"Aku Haruno Sakura!" katanya. "Terima kasih banyak, Sasuke-kun!"

.

.

.

Shizune membereskan kertas-kertas hasil audisi yang berserakkan di atas mejanya.

"Dengan demikian, audisi sele—"

"Tunggu!"

Sakura melangkah masuk ke dalam aula, kali ini dengan langkah-langkah mantap. Gadis itu langsung menuju ke meja juri tempat Shizune dan Kakashi berada. Sesampainya di sana, gadis itu langsung membungkuk.

"Saya mohon, izinkanlah saya mengikuti audisi sekali lagi!"

Kakashi mengernyitkan alisnya. "Audisi baru saja akan ditutup."

"Tapi tadi Shizune-sensei belum mengatakan kata 'selesai' secara lengkap." Gadis itu membungkuk semakin dalam. "Saya mohon..."

Para peserta audisi saling berpandangan.

"Well," Shizune memegang dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jari. "Sebenarnya, audisi ini..."

"SENSEI, KAMI JUGA MEMOHON!"

Kakashi dan Shizune menoleh, mendapati bahwa lebih dari separuh peserta audisi—baik yang berhasil maupun yang gagal—membungkuk dan memohon hal yang sama. Sakura sedikit tercengang, tapi kemudian ia bisa menguasai diri.

"Benar, sensei. Kami semua berjanji akan berusaha lebih baik dalam audisi ini. Maka, kami mohon sensei memberikan kesempatan sekali lagi," gadis itu menegakkan kembali tubuhnya.

Shizune memiringkan kepalanya dan melirik ke arah Kakashi. Pria berambut perak itu balas melirik Shizune.

"Baiklah." Shizune menghela nafas. "Sekarang akan diadakan audisi ulang. Tapi aku tidak mau tanggung jawab bila kalian semua pulang larut malam."

Sakura tersenyum.

.

.

.

Tidak ada yang menyia-nyiakan kesempatan ini. Semua peserta tampil semaksimal mungkin dengan bakatnya masing-masing. Sakura menunggu di belakang panggung, menanti gilirannya untuk unjuk bakat. Dalam hati, diulang-ulangnya terus saran Sasuke.

Anggap saja mereka tidak ada...

Anggap saja mereka tidak ada...

Anggap saja mereka tidak ada...

Anggap saja mereka ti—

"Haruno Sakura!"

Dan Sakura tahu, sekarang saatnya ia tampil. Bersinar dan memukau di atas panggung.

.

.

.

"Hei, Sakura, selamat!"

Sakura tersenyum malu-malu saat Shikamaru dan Chouji mengucapkan selamat ketika akhirnya ia kembali duduk bersama mereka di deretan tengah aula.

"Kami pikir kau lari pulang saat duo kejam itu memvonismu tidak diterima." Chouji membuka bungkus keripiknya, lalu menyodorkanny pada Sakura. "Untuk calon aktris masa depan!"

Sakura mengambil satu keripik, lalu melakukan 'tos keripik' sambil tertawa-tawa.

"Kau tampil maksimal diaudisi ulang tadi," puji Chouji.

Gadis itu memainkan rambut merah jambunya, memuntir-muntir ujungnya sambil nyengir lebar. "Itu semua berkat saran—oh, astaga!"

Ia teringat sesuatu. Pemuda berambut biru dongker yang memberikan saran jitu di lapangan basket. Segera Sakura berdiri, membuat Shikamaru dan Chouji kebingungan.

"Hei, kau mau ke mana, Sakura?" tanya Shikamaru.

"Ehh..." Sakura mengemasi barang-barangnya, menjejalinya masuk ke dalam tas selempangnya. "Aku harus menemui seseorang! Kalian pulang saja duluan, tidak usah menungguku! Dahh!"

Lalu ia berlari secepat-cepatnya keluar dari aula. Meninggalkan kedua temannya yang terbengong-bengong.

.

.

.

Sasuke menghentikan dribble-nya, lalu bersiap-siap melakukan free throw. Bola karet berwarna oranye itu menembus ring dengan mulus, tidak meleset seincipun.

"Sudah kuduga kau masih di sini." Sebuah suara menghentikan niat Sasuke mengambil bolanya yang terpantul keluar dari lapangan. Pemuda itu menoleh dan mendapati gadis yang tadi menangis—Haruno Sakura—tengah berjalan ke arahnya. Gadis itu mengambil bola Sasuke yang berada di luar garis lapangan, lalu membawanya ke hadapan Sasuke dalam dekapannya.

"Hn." Hanya itu yang dikatakan Sasuke. Pemuda itu mengulurkan kedua tangan putihnya yang tampak sedikit berotot dengan maksud meminta kembali bolanya.

"Saranmu sangat bagus," kata Sakura seraya menyunggingkan senyum manis. "Terima kasih, Sasuke-kun. Aku lolos ke audisi tahap dua yang diadakan besok siang."

"Oh?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya. "Selamat."

"Ya," Sakura memberikan bola itu ke tangan Sasuke.

Lagi-lagi Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Dari bahasa tubuhnya terlihat bahwa Sakura hendak meminta sesuatu darinya.

"Well," ujar gadis itu, "sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu sekali lagi."

"Katakan saja." Sasuke mulai memantul-mantulkan bola itu ke lantai semen lapangan basket, menunggu.

"Audisi besok, adalah audisi pasangan." Sakura menatap lurus-lurus Sasuke. "Dan aku ingin kau menjadi pasanganku dalam audisi itu."

Sasuke rasanya tercekik.

Terngiang-ngiang kata-kata Naruto tadi pagi di telinganya.

"Awas kalau kau sampai berubah pikiran, Teme."

"Pasti akan membuat gebrakan besar."

~To Be Continued~

.

.

.

Yeah, terima kasih yang sudah bersedia membaca ^^9 Ini adalah fic musikal pertama Cyan~ Bagaimana? Aneh ya? Hehe~

Entah kenapa, Cyan mengetik sepanjang ini =w= benar-benar di luar dugaan~

Oke deh, mind to RnR? :3