Hmm... Akhirnya fic ini berani saya publish. Gaje, OOC parah, dan abal, jadi hati-hati saja, readers sekalian :)

Enjoy, anyway! ^^


Annasthacy Chashyme (c) 2010

Pandora Hearts (c) Mochizuki Jun

A Pandora Hearts FanFiction

Supernatural/Mystery, T

Warning: Gaje, OOC parah.

RENAISSANCE


Senin, 7 Agustus pukul 07.14

"Hei, tahu tidak? Hari ini ada murid baru yang akan masuk ke kelas kita lho!" kata Sharon lantang, sehingga seisi kelas bisa mendengarnya. Gadis itu duduk dengan sikap bossy di atas mejanya, rambut peach panjangnya bergoyang seiring tiap gerakannya. Semua temannya mendongak, dan mulai berebut untuk menanggapi.

"Benarkah? Cewek, bukan?" tanya Jack – si playboy berambut emas panjang yang membentuk sebuah kepangan – dengan suara tak kalah lantang, dan disambut dengan koor 'Huuu!' dari teman-temannya.

"Jack, yang ada di pikiranmu itu selalu saja masalah cewek!" tegur Oz, saudara kembarnya. Oz bisa dibilang adalah versi anak kecil dari Jack. Rambut mereka sama-sama berwarna emas, namun milik Oz jauh lebih pendek, bahkan tidak melewati leher. Sebenarnya Oz pun memiliki jiwa playboy seperti saudara kembarnya, tapi tidak terang-terangan diperlihatkan. Oz lebih 'beradab' daripada Jack. Sementara itu yang ditegur cuma bisa meringis malu sebagai jawaban.

Sharon tertawa kecil. "Sayang sekali Jack, aku sendiri belum tahu. Kalian tahu sendiri kan bahwa nenekku itu pelit dalam hal membagi informasi?"

"Kalau begitu—"

Ucapan Jack terpotong oleh kedatangan wali kelas mereka, Oscar-sensei – yang masih terhitung paman dari Oz dan Jack – yang berdeham keras, mencuri perhatian mereka semua. Mereka kalang kabut kembali duduk di bangku masing-masing, dan Sharon cepat-cepat berpindah tempat duduk, dari di atas meja ke kursi. Oscar-sensei sudah berdiri di depan papan tulis. "Selamat pagi, anak-anak!"

"Selamat pagi, Oscar-sensei!" sahut murid-murid kompak.

"Tampaknya kalian sudah dengar tentang murid baru ini, jadi Bapak tidak akan bertele-tele... Ayo nak, masuklah!" ia melambaikan tangan ke arah pintu, memberi isyarat agar anak baru itu masuk ke dalam ruangan.

Pintu kelas terbuka lebar. Sepasang kaki melangkah masuk perlahan. Murid-murid di dalam kelas secara tidak sadar saling menahan napas, menanti sosok murid itu sepenuhnya memasuki bidang pandang mereka. Vincent bahkan rela mengabaikan gunting kesayangannya untuk menyaksikan kedatangan anak baru ini. Maklum, jarang sekali ada anak yang pindah sekolah ke Pandora Gakuen, sekolah yang terkenal elit dan tidak sembarang orang bisa masuk.

Waktu terasa berjalan lebih lambat saat figurnya memasuki ruangan. Anak-anak dalam kelas itu serentak menghembuskan napas keras, karena sosoknya sungguh memukau dan seakan merampas oksigen yang tersedia di tempat itu. Setiap inchi dari tubuhnya tampak berkilau, tak seorang pun bisa mengalihkan pandangan dari gadis itu.

Gadis itu tidak terlukiskan oleh kata-kata. Cantik, rupawan, menawan; semua kata itu tetap merupakan sebuah hinaan baginya meski digabung jadi satu. Dia lebih dari itu. Tak ada kata yang pantas untuk menjelaskan kecantikannya.

Rambutnya panjang melewati garis pinggang. Warna brunette rambutnya sungguh menggoda, dan betapa cara helaian rambut itu menari bersama dengan angin membuat siapa pun terpesona. Iris berwarna violetnya sempurna, dan kulit putihnya mulus tanpa cacat. Gadis itu layak masuk dalam keajaiban dunia.

Setelah beberapa detik – yang terasa bagai seabad – gadis itu mencapai sisi Oscar-sensei, dan berdiri tegak menghadap teman-teman sekelasnya. "Selamat pagi," suaranya bahkan lebih merdu dari musik apa pun, caranya berbicara seperti bersenandung indah. "Namaku Alice Baskerville... Salam kenal!"

Jack dan yang lain bagaikan terlepas dari hipnotis yang menelungkupi mereka barusan. Dengan gugup mereka membalas sapaan gadis itu. "Salam kenal!"

Dengan senyum masih di wajah, ia berkata, "Panggil saja aku Alice. Senang bisa bertemu dengan kalian."

Karena tidak ada yang menjawab, Oscar-sensei berkata pada Alice, "Alice-kun, kamu bisa duduk sekarang. Ehh... Di mana ya...?" Ia mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Dan menemukan sebuah bangku kosong di dekat jendela, baris kedua dari belakang. "Ah, duduklah di sana," tunjuknya. "Maaf karena tempatnya di belakang."

"Tidak apa-apa, Sensei, saya tidak keberatan sama sekali," jawab Alice ramah sebelum berjalan menuju bangkunya. Saat melewati bangku Jack, pemuda itu hanya bisa bengong dan lupa sama sekali akan niatnya semula untuk segera memperkenalkan diri. Alice terus berjalan, diikuti pandangan teman-teman sekelasnya, sampai ia mencapai bangku kosong itu. Alice duduk dengan sikap anggun, setelah sebelumnya meletakkan tas di sandaran kursi.

"Nah, anak-anak!" Oscar-sensei menepuk tangan. "Ayo fokus, kita mulai pelajaran hari ini!" Mereka pun – setengah enggan – melepaskan pandangan dari si murid baru yang tak lelah tersenyum manis dan membuka buku masing-masing.

Mereka tidak tahu, bahwa senyuman gadis itu menyimpan sejuta makna di baliknya.


Senin, 7 Agustus pukul 12.02

Saat istirahat makan siang, kelas itu menjadi sangat ramai. Semua berebutan untuk duduk di dekat Alice, makan bersama sambil mendengarkan cerita gadis itu mengenai dirinya. Sharon bahkan berbaik hati mau menawarkan bekalnya, padahal dia terkenal pelit soal makanan.

Semua? Tunggu dulu, ternyata tidak semua!

Sejak pertama kali memasuki kelas, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Alice. Karena ada seseorang yang tidak terpengaruh oleh pesonanya. Seseorang yang duduk diam di bangku belakang tepat di belakangnya, asyik membaca ataupun mengunyah permen. Murid itu berambut silver, matanya merah menyala layaknya darah segar yang mengalir. Wajah sisi kirinya tertutup oleh rambutnya yang menjuntai. Sebuah tongkat berwarna hitam dengan ornamen emas senantiasa menemaninya. Satu-satunya orang yang bahkan mungkin tidak sadar bahwa ia datang, karena terlalu asyik di dunianya sendiri.

Alice memberanikan diri bertanya pada Sharon mengenai orang itu.

"Oh, Break? Dia memang aneh dan suka menyendiri. Hobinya membaca buku – entah buku apa – dan rasanya dia tidak pernah kehabisan permen," jawab Sharon. "Tapi jangan salah, dia sebenarnya baik kok. Dan dia jenius, tidak perlu belajar untuk mendapatkan nilai sempurna."

Lain lagi jawaban Oz yang ikut nimbrung. "Break itu orang yang menarik. Meskipun dari luar tampak pendiam, sebenarnya dia yang paling jahil di antara kami semua. Iya kan, Vince?"

Vincent bergidik pelan sebelum melengos pergi, dengan boneka kelinci yang ditusuk gunting di tangannya. Seorang anak cewek berambut silver kebiruan – 'Echo, kalau tidak salah,' batin Alice – mengikutinya.

Jack dan Oz terkikik. "Vincent itu musuh bebuyutan Break. Entah ada masalah apa di antara mereka, tapi Vincent paling benci dengan Break," terang Jack, masih terkikik. "Kata Echo sih, mereka sempat rebutan cewek."

Alice menaikkan sebelah alis dengan sikap ingin tahu. "Apa hubungan Echo dengan Vincent, Jack?"

Yang ditanya merasa terbang ke langit ketujuh; mendengar namanya keluar dari bibir mungilnya saja sudah memberi sensasi tidak karuan. "Oh, mereka itu sepupu jauh. Kudengar orangtua Echo tewas saat dia masih kecil, dan keluarga Vincent yang mengurusnya."

Rambut Alice bergoyang pelan saat ia mengangguk-anggukkan kepala. "Mereka benar-benar akrab ya...?"

"Begitulah, walaupun menurutku peran Echo lebih mirip pelayan ketimbang saudara jauh. Sikapnya sungguh patuh pada Vincent. Sedikit-sedikit 'Ya, Vincent', 'Baik, Vincent', atau 'Terserah pada Vicent'. Lama-lama muak juga mendengarnya..." kata Oz penuh emosi.

Sharon memotong kalimat Jack. "Kalau menurutku, Echo itu suka sekali pada Vincent." Ia mengedikkan bahu. "Padahal apa sih bagusnya Vincent? Emang sih dia cakep... Tapi kelakuan minus!"

Alice tertawa pelan mendengar pengakuan Sharon yang terang-terangan itu. Selama beberapa saat pembicaraan mereka hanya seputar Vincent dan kepribadiannya, serta Echo. Dengan kehadiran Sharon yang sepertinya tahu setiap hal, acara gosip mereka benar-benar menyenangkan.

"Eh, eh, Alice-chan," panggil Oz riang, mengakhiri gosip berkepanjangan menyangkut Vincent itu. "Bagaimana menurutmu Pandora Gakuen ini?"

Gadis brunette itu tersenyum manis. "Aku senang sekali! Sekolah ini bagus, dan kalian semua benar-benar baik dan ramah! Aku bahkan sudah merasa kerasan belajar di sekolah ini," jawabnya manis, yang langsung berbuah pelukan dari Sharon.

"Alice-chan, mulai sekarang kamu panggil aku Onee-chan ya!" sindrom 'Big Sister' Sharon kumat, dan permintaan itu jauh lebih terdengar sebagai perintah. Alice tidak berani menolak karena bisa merasakan hawa pembunuh di balik senyum lebar Sharon.

"Aku sangat senang berada di sini..." gumam Alice lagi, kali ini ditujukan pada dirinya sendiri.


Chapter one: ACCOMPLISHED.

Haaa, sebenarnya fic ini saya buat untuk diikutkan event dalam grup, tapi ternyata jadi panjang gaje dan malah tidak selesai-selesai. Bahkan, baru bisa saya publish sekarang.

Reviews, please?

Thanks~ ^^