Dislaimer : Harry Potter bukan milikku, tapi milik dari J.K. Rowling

Warning : AU, OOC (karena aku bukan penulis yang professional dan baik, aku masih pemula).

Pairing : ? kalian mungkin bisa menentukannya sendiri.


AN : Ini adalah Fic pertamaku, jadi apabila kalian tidak puas atau merasa fic ini jelek, aku minta maaf yang sebanyak-banyakknya. Fic ini kubuat berdasarkan imajinasiku saja. apabila kurang sesuai dengan keinginan kalian, aku minta maaf. Terima kasih!


HEIR OF DARKNESS

by

SilveSkyBlue


Stasiun King cross terlihat begitu ramai saat itu, apalagi di peron ¾ di mana pintu gerbang menuju dunia sihir sangat ramai dikunjungi oleh murid-murid yang akan kembali ke Hogwarts atau murid-murid tahun pertama yang kelihatan begitu gugup atau sangat senang untuk menuju Hogwarts.

Draco Malfoy adalah murid tahun ketiga, ia terlihat sedikit bosan ketika melihat kerumunan orang-orang yang masuk ke dalam kategori tidak berguna dalam kamusnya. Memang ia tidak boleh menilai orang lain dengan sekilas saja, namun yang kita bicarakan adalah Draco Malfoy dan ia adalah anak laki-laki berusia tiga belas tahun yang cukup istimewa karena Draco adalah salah seorang dari beberapa anak berusia tiga belas tahun yang telah menginjak kedewasaan lebih cepat dari semestinya, bahkan beberapa orang tertentu tahu kalau mentalnya lebih dewasa dari anak berusia 17 tahun yang seharusnya sudah dapat berpikir dewasa. Banyak orang yang tidak mengetahui kalau Draco adalah anak yang begitu dewasa, mereka selalu melihat dari nama keluarganya dan menganggap kalau dia adalah anak manja yang suka sekali mengganggu orang lain atau menunjukkan kekayaannya seperti anak tiak bertanggung jawab. Mereka sama sekali tidak mengenal Draco, Draco yang selama ini mereka kenal hanyalah topeng yang selalu dikenakannya dan Draco tidak pernah bersusah-susah mengoreksi mereka, ia membiarkan orang lain menilai salah tentang dirinya.

Draco adalah seorang actor yang sangat baik, ia senang membuat orang lain bingung. Oleh karena itu ia terus melanjutkan aktingnya untuk membuat mereka semua tidak mengetahui siapa Draco Malfoy itu sebenarnya.

"Draco." Panggil Narcissa Malfoy, ibu dari Draco dengan suara yang sangat lembut. Suara dari ibunya itu membuyarkan lamunan anak laki-laki berusia 13 tahun tersebut.

Draco menoleh pada ibunya, sebuah senyuman tipis dari ibunya membuat hati Draco menjadi gembira. Narcissa Malfoy adalah wanita yang sangat anggun dan cantik, ia memikat banyak hati dan bisa diibaratkan sebagai seorang dewi, tidak heran kalau ayahnya begitu cinta pada Narcissa. Namun tidak semua orang tahu sifat ibunya yang seperti ini, sebab dia adalah seorang Malfoy dan sebagai seorang Malfoy mereka harus bias menyembunyikan diri mereka di balik topeng dingin dan keangkuhan bila perlu.

"Iya." Balas Draco pelan.

"Bagaimana perasaanmu, sayang? Apa kau sangat menunggu untuk kembali lagi ke Hogwarts?" Tanya Narcissa. "Tahun ini adalah tahun ketigamu."

"Ibu mau jawaban jujur atau jawaban bohong yang telah kupersiapkan. Hampir setiap tahun semenjak aku mulai bersekolah di Hogwarts, ibu selalu menanyakan hal yang sama." Kata Draco.

"Oh, bagaimana kalau jawaban yang jujur, Draco."

"Jawaban jujurku adalah, aku sama sekali tidak menyukai harus kembali ke Hogwarts. Karena harus kembali ke sekolah sihir ini, aku harus mengejar pendidikanku di Arcadia saat musim panas dan Natal tiba." Jawab Draco sedikit menggerutu. "Sangat merepotkan, dan yang lebih tidak mengenakkan lagi, aku harus mengejar ketinggalanku di dalam semua pelajaran dalam waktu yang singkat."

"Ah, seperti itu. Tapi kelihatannya musim panas kemarin kau sama sekali tidak terlihat seperti berusaha keras untuk mengejar ketinggalanmu."

Draco mengacak rambutnya pelan, ia terlihat sedikit kesal namun mencoba untuk menghilangkan perasaan itu sebaik mungkin dari dirinya. "Itu karena aku sudah tahu apa yang harus kulakukan." Gumammnya.

Narcissa tersenyum senang mendengar jawaban dari putera satu-satunya itu, "Arcadia adalah institute sihir terbaik dan tertua, tidak semua anak yang mempunyai sihir bisa masuk ke dalamnya dan aku sangat bangga kau adalah salah satu dari 10 anak yang beruntung untuk mendapat undangan masuk ke Arcadia di usia yang sangat muda, Draco. Hanya saja, kita tidak bisa memberikan kesan kalau pewaris dari keluarga Malfoy tidak masuk ke dalam Hogwarts padahal aku dan ayahmu masuk ke sana, apa kau mengerti, Draco?" kata Narcissa dengan lirih.

Draco menghela nafas pelan, ia mengutuk nama keluarganya dalam hati, karena nama keluarga itulah tidak bisa membuatnya bebas seperti anak-anak yang lain. Walaupun terkadang Draco mengutuk nama keluarganya, bukan berarti ia tidak menghormati mereka, ia lebih baik dari itu. Draco sangat mengagumi dan menghormati keluarganya lebih dari apapun, lebih dari statusnya sebagai penyihir berdarah murni ataupun statusnya sebagai seorang pewaris, oleh karena itu ia terpaksa harus pergi ke Hogwarts disamping pendidikannya di Arcadia. Tentu saja hal tersebut tidak ada yang tahu kecuali keluarganya sendiri, mereka yang lainnya tidak boleh mengetahui kalau Draco adalah murid dari institute Arcadia, sebab bila semuanya tahu maka Draco sendiri yang harus kerepotan. Repuutasinya sebagai anak yang nakal bisa hancur begitu saja.

Dari sudut matanya Draco melihat sekelompok keluarga yang terdiri dari orang-orang yang berambut merah dengan bintik-bintik merah di wajah mereka, di antara mereka juga terlihat seorang gadis kecil berambut cokelat kumal dan anak laki-laki bertubuh kecil dengan rambut hitam berantakan. Potter, Granger, dan keluarga Weasley…. Ah, mereka adalah orang-orang favorit Draco, favorit karena hanya merekalah yang bisa menghiburnya. Mereka adalah tipe orang yang sama sekali tidak bisa menyembunyikan emosi dengan baik, selalu menggunakan hati ataupun emosi di setiap perbuatan mereka. Tidak heran kalau anak-anak Slytherin yang lain juga bisa membaca mereka semua layaknya lembaran buku yang terbuka.

"Aku sangat mengerti tentang kedudukanku, ibu. Tapi setidaknya aku masih bisa mengejar ketinggalanku di Arcadia." Kata Draco kepada ibunya yang berdiri di sampingnya. "Aku harap ujianku kemarin berhasil."

"Ya, dan aku sangat bangga padamu, Draconis. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hasil NEWT-mu di Arcadia dua bulan lagi, aku dan ayahmu sangat bangga padamu." Ujar Narcissa, ia memberika. pelukan erat pada tubuh puteranya, "Dan, Draco!"

"Iya?"

"Aku dan ayahmu telah memutuskan kalau kau harus menghentikan semua permainan aktingmu yang kau lakukan di Hogwarts, Draco. Kau harus bisa menjadi dirimu seperti di Arcadia dan tidak menjadi dirimu yang palsu sebagai anak manja yang kaya."

"Benarkah aku bisa mengakhirinya?" Tanya Draco sedikit bosan, ia tidak menyukai hal ini. Bersikap seperti seorang yang manja adalah permainan yang menarik bila mendapatkan bonus untuk dapat mengerjai orang lain, tapi permainan itu menjadi bosan setelah Draco memainkannya selama dua tahun belakangan ini. Mungkin tahun ketiga ini akan menjadi sedikit menarik.

"Tentu saja. Nah, sekarang masuklah ke dalam kereta dan pergi ke Hogwarts. Lakukan semua seperti yang kau lakukan di Arcadia, dan hentikan aktingmu! aku tahu kalau kau lebih baik dari Granger dalam pelajaran akademimu, jadi berhentilah selalu mengalah pada Granger. Tunjukkan siapa Draco Malfoy yang sebenarnya!" pinta Narcissa dengan nada lirih sehingga hanya dirinya dan Draco saja yang bisa mendengarnya.

Draco menganggukkan kepalanya, ia melihat kereta api yang akan menuju Hogwarts segera berangkat, dengan ciuman singkat dari Narcissa ia berlari masuk ke dalam gerbong kereta. Dengan segera ia menuju kompartemen pribadinya yang telah ia claim sebagai miliknya setelah tahun pertama, dan semua orang tahu kalau Draco adalah seorang Malfoy dan mereka semua harus lebih tahu dahulu sebelum berurusan dengan keluarga Malfoy. Draco menaruh tasnya di samping tempat duduk yang ia gunakan, dari dalam kompartemen ia melihat ibunya memberikan lambaian tangan padanya dan ia pun membalasnya.

Kereta berjalan secara perlahan pada awalnya, namun cepat sesaat kemudian. Draco menghela nafasnya dan menyandarkan bahunya pada sandaran sofa yang ada di kompartemen, ia memijat keningnya menggunakan tangan kanan karena sakit kepalanya mulai kambuh. Tahun ini adalah tahun ketiganya di Hogwarts dan ia harus menghentikan sikap kekanak-kanakan yang sering ia tunjukkan ketika berada di Hogwarts, itu semua adalah acting dan ia harus menghentikannya.

Mungkin tahun ini tidak terlalu buruk bila ia bisa kembali menjadi dirinya yang normal, itu berarti ia harus menghiraukan Potter dan teman-temannya. Biarkan Nott yang akan mengambil perannya dalam menjadi anak manja yang ingin semuanya dipenuhi. Draco tahu yang sebenarnya, Theodore Nott ingin mengambil alih posisinya sebagai Pangeran Slytherin.

Draco mengambil sebuah buku dari dalam tasnya, sebuah buku yang lumayan tebal dengan sampul kulit berwarna biru dan berjudul : Hollow dan legendanya yang ditulis dalam bahasa Rune Persia kuno dan diukir dengan tinta emas yang timbul. Draco masih bisa merasakan percikan judulnya dari belaian jemarinya, sedikit kasar tetapi sangat kuat seperti menyentuh residu sihir. Dengan membuat nyaman posisi duduknya di kursi panjang kompartemen, ia mulai membuka buku itu untuk mencari bagian terakhir Draco membacanya kemarin malam.

Draco begitu konsentrasi pada buku yang tengah ia baca, dengan ekspresi yang tidak terbaca di wajahnya sehingga ia tidak tahu kalau pintu kompartemen terbuka dan seseorang masuk ke dalam ruangannya, ia baru tahu saat orang itu duduk di hadapannya, di kursi yang ada di hadapannya. Draco melihat dari atas bukunya, ia menemukan seorang anak laki-laki seusia dengannya, berkulit sedikit coklat dengan rambut berwarna coklat. Drao menghiraukan anak itu untuk kembali pada bukunya.

"Sibuk membaca, Dray" Tanya Blaise Zabini padanya dengan suara santai seperti biasanya. "Apa yang tengah kau baca itu? Kurasa aku belum pernah melihat ukiran yang asing seperti itu."

"Sebuah buku yang ditulis dalam bahasa rune Persia kuno, sangat menarik dan aku baru sampai pada halaman 277 dalam buku ini." Jawab Draco tanpa mengalihkan mata dari bukunya.

"Rune Persia kuno? Kupikir bahasa itu sudah punah dan tidak ada orang yang bisa membacannya lagi."

"Memang, aku baru bisa membacanya tiga bulan yang lalu setelah melakukan penelitian mengenai bahasa yang hilang ini. Aku tidak begitu yakin kalau tidak ada lagi buku yang ditulis menggunakan bahasa ini, tapi keberuntunganku mengatakan hal yang sebaliknya karena secara tidak sengaja aku menemukan buku ini di perpustakaan keluarga Malfoy."

"Apa isi dari buku yang kau baca, Dray?"

"Kau tidak akan diam sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, bukan?" melihat senyum Blaise yang semakin melebar membuat Draco memutar matanya sebelum menjawabnya, "Mengenai kebenaran ilmu hitam dan Hollow yang menjadi legendanya, kurasa itu sangat menarik untuk dibaca dari buku-buku di perpustakaan yang ada di Hogwarts. Mungkin bisa dikategorikan sebagai ilmu gelap, tapi menurutku itu sama sekali tidak benar."

Blaise mengangkat alis kirinya saat mendengar Draco mengatakan itu, ia memutar matanya dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa yang empuk. "Aku tidak heran kalau kau mengatakan itu, Dray. Dibalik reputasimu sebagai pangeran Slytherin, kau adalah seorang kutu buku yang lebih parah dari Granger. Kalau tahun-tahun sebelumnya kau seperti ini, bisa dipastikan kau bisa mengalahkan Granger."

"Dan aku tidak bisa mencemooh si darah-lumpur-sok-tahu itu lagi bila aku mengikuti saranmu.

"Bicara mengenai Granger dan para Gryffindork, aku berniat untuk mengakhiri peranku sebagai seorang pembuat onar bagi mereka." Kata Draco tanpa melihat ke arah Blaise, ia membalik bukunya ke halaman selanjutnya.

"Mengapa kau berhenti?"

"Permainan itu sudah basi untuk dilakukan, sama sekali tidak menarik. Bukannya kau tahu kalau aku melakukan permainan bodoh itu karena aku merasa bosan saja? Tapi, setelah dua tahun berlalu aku merasa ini semua adalah hal yang kekanak-kanakan untuk dilakukan."

"Lalu bagaimana dengan perintah ayahmu, dray? Bukankah dia menyuruhmu untuk menjadi seorang anak manja yang sombong di Hogwarts?" tanya Blaise, ia menatap temannya itu dengan sepasang mata Hazel yang kelihatan sedikit bingung. Ekspresi wajahnya berubah, dari bingung menjadi tersenyum penuh tanda lucu. "Aku bisa membayangangkan bagaimana tahun ini akan berjalan. Slytherin tanpa pangerannya memang membosankan, tapi melihat para Gryffindork yang kebingungan mengapa Slytherin Prat tidak melakukan aksinya lagi pasti lebih menyenangkan."

"Ibu dan ayah telah memberiku izin kalau kau mau tahu, Blaise. Aku sangat senang untuk tidak berurusan dengan Gryffindor, dengan itu aku bisa memfokuskan konsentrasiku pada hasil NEWT yang kuambil di Arcadia dan reputasiku yang ada di Slytherin. Mengenai Gryffindor atau Gryffindork dalam kamus kita, aku tidak akan ambil pusing mengenai mereka."

Blaise mengangguk mengerti, dari semua orang yang ada di Hogwarts hanya Pansy dan Blaise yang tahu mengenai masalah dari Draco. Mereka berdua tahu kalau Draco mengambil pendidikannya secara serius di Arcadia dan berakting seperti anak bodoh di Hogwarts, namun mereka tahu sebenarnya siapa Draco Malfoy itu.

"Bicara mengenai Pansy, di mana anak itu sekarang ini?" Tanya Blaise yang baru sadar kalau dari tadi ia tidak melihat Pansy. "Semenjak memasuki kereta, aku sama sekali tidak melihat batang hidungnya."

"Entahlah, ia bisa berada di mana-mana sesuka hatinya. Kau tahu siapa Pansy, dia adalah orang yang menginginkan kebebasan bagi dirinya sendri lebih dari orang lain." Kata Draco menanggapi pertanyaan dari temannya itu.

"Yeah, itulah Pansy."

Begitu Blaise menutup mulutnya, pintu kompartemen mereka berdua terbuka dan seorang anak perempuan seusia mereka dengan rambut hitam sebahu dan kulit putih masuk ke dalam kompartemen sebelum menutupnya. Anak perempuan itu menjatuhkan dirinya di samping Blaise, yang menatapnya dengan takjub.

Draco hanya tersenyum melihat ekspresi dari Pansy dan Blaise, keduanya terlihat begitu serasi serta lucu di saat yang sama.

"Dari mana saja kau?" Tanya Blaise. Melihat tatapan yang diberikan Draco, dia menambahkan lagi. "Maksudku, bukannya aku rindu atau apa. Tapi kami berdua ingin tahu mengapa kau menghilang tadi?"

Pansy Parkinson menatap Blaise dengan mata menyipit sebelum menghela nafas panjang, ia melihat Draco yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua dengan tatapan yang mengatakan kalau dia tengah penasaran, tapi remaja itu sama sekali tidak memberikan komentar apa-apa. Draco membalik halaman buku yang tengah ia baca, namun bukannya membaca, ia melihat kedua temannya yang duduk di hadapannya itu.

"Aku berhadapan dengan Gryffindork lagi, semakin lama kuamati Potter adalah orang yang sangat menyebalkan." Kata Pansy.

"Bukankah dari dulu kau sudah tahu kalau Potter itu menyebalkan." Imbuh Blaise tidak peduli, ia mengambil majalah Quidditch-nya dan membacanya.

"Yeah, oleh karena itu aku tidak suka dengan Gryfinndork. Seperti yang Draco katakan dulu, kita bisa melihat apakah orang itu baik atau tidak dari sikap mereka yang kita amati." Ujar Pansy lagi, ia merapikan rambut pendeknya yang berantakan itu. "Dan dari pengamatanku yang hampir tiga tahun lamanya, kusimpulkan kalau para siswa yang ada di Gryffindork itu sangat bar-bar."

"Termasuk penyihir berdarah murni juga?"

"Iya, semua yang ada di Gryffindor baik kelahiran muggle, berdarah campuran, dan berdarah murni. Mereka sama sekali tidak mempunyai etika sopan santun yang baik, selalu bersikap seperti orang primitive dan bertindak terlebih dahulu sebelum berpikir, sama sekali tidak memperhitungkan bagaimana konsekuensinya nanti."

"Kupikir Godric Gryffindor adalah seorang yang terhormat."

"Memang, dia memang seorang yang terhormat namun dia selalu memakai hatinya di balik lengan bajunya. Tipikal Gryffindor, sekeras apapun mereka berusaha untuk menjadi seorang yang terhormat, mereka tidak akan jauh dari keberingasan mereka sendiri."

Draco tersenyum dari balik bukunya mendengar perdebatan Pansy dan Blaise mengenai Gryffindor. Mereka berdua memang selalu berpikir ke depan dengan alasan yang sangat masuk akal, bahkan Draco sendiri tidak bisa menyalahkannya. Pansy bisa menilai seseorang dari tingkah laku mereka dan Blaise bisa melihat bagaimana keahlian orang lain dari melihat sorot matanya saja, Draco tidak pernah meragukan mereka berdua, dia mempercayai penilaian mereka berdua terhadap seseorang. Selain keduanya adalah teman yang baik, mereka berdua adalah aliansi yang sangat menarik untuk diamati. Lebih baik mendapati mereka sebagai teman daripada membuat mereka berdua menjadi musuh, kalau Draco tidak pintar melangkah pasti ia sudah tewas dari dahulu.

Pewaris dari keluarga Malfoy itu melihat dari balik bukunya, ia merasakan residu sihir yang sangat kuat berasal dari luar kereta api. Draco membatasi bukunya dengan pembatas buku sebelum menutupnya, ia merasa Pansy dan Blaise mengerti akan tindakannya karena keduanya berhenti berdebat. Tiba-tiba kereta api berhenti secara tiba-tiba, Pansy hampir saja jatuh kalau Blaise tidak memegangnya. Draco melihat dari jendela dengan tenang, beberapa sosok yang memakai jubah hitam masuk ke dalam kereta api, mereka memakai jubah hitam yang tidak beratura.

Mata Draco menyipit, ia tidak mengerti mengapa dementor masuk ke dalam kereta api di saat-saat seperti ini, tidak heran kalau hujan semakin deras karena adanya Dementor.

"Ada apa, Dray?" Tanya Blaise.

"Dementor. Mereka masuk ke dalam kereta api." Jawab Draco, ia mengambil tongkat sihirnya dari dalam saku jubahnya. Sensasi sihir yang berasal dari tongkat sihirnya begitu familier dan membuatnya begitu nyaman. Suasana yang ada di kereta api tiba-tiba menjadi gelap, sepertinya tekanan sihir yang begitu kuat sampai membuat lampu mati, bahkan kaca jendela yang ada di kompartemen mereka juga ikut membeku bersama rintikan air hujan yang turun dari langit.

"Untuk apa dementor naik ke kereta api? Apa ini perburuan jiwa?" ujar Pansy mencemooh, ia dan Blaise mengambil tongkat sihir mereka. "Aku benar-benar tidak menyukai situasi ini."

"Aku juga, Pans." kata Draco.

"Lalu apa yang mereka cari? Tidak mungkin mereka masuk ke dalam kereta api di mana banyak anak-anak yang ada di dalamnya, kurasa ini benar-benar gila."

Lampu yang padam membuat suasana menjadi menceka, Blaise menggumamkan lumos yang membuat tongkat sihirnya bersinar . Ia melihat Draco, anak itu terlihat begitu tenang sementara ia dan Pansy terlihat sedikit ketakutan.

"Sirius Black, Pansy. Mereka mencari apakah sepupuku itu menyusup ke dalam kereta api apa tidak." Kata Draco, ia masih terlihat tenang ketika hawa dingin yang menusuk kulit mereka mulai terasa, kelihatannya dementor akan membuka pintu kompartemen mereka. "Persiapkan diri kalian. Kita kedatangan tuan rumah dari Azkaban."

"Kami serahkan semuanya padamu, Dray." Ujar Pansy, ia menggenggam lengan Blaise begitu kencang.

Pintu kompartemen terbuka, udara dingin masuk dan menyelubungi tubuh mereka. Membuat mereka bertiga menggigil, ingatan-ingatan yang sangat mengerikan terlihat di dalam benak mereka, berulang-ulang seperti kaset bioskop yabng rusak. Sesosok makhluk masuk ke dalam kompartemen, ia mengenakan jubah panjang yang menutupi sekujur tubuhnya. Makhluk itu menghisap seseuatu yang lebih dari udara, kebahagiaan lebih tepatnya. Draco menatap makhluk itu dengan sangat tenang, ia mengacungkan tongkatnya pada dementor.

"Expecto Patronum." Sebuah mantra melesat dari mulut Draco.

Sebuah sinar keperakan yang cemerlang keluar dari ujung tongkat Draco, cahaya itu semakin lama semakin besar dan membentuk wujud seperti seekor naga kecil. Naga tersebut menyemburkan pendar cahaya yang berwarna sama, ia mengepakkan sayapnya yang lebar dan terbang menuju ke arah dementor, mengusirnya dari kompartemen mereka sebelum sang naga Patronus lenyap dan membentuk kerlipan-kerlipan cahaya yang begitu cemerlang. Pansy melambaikan tongkatnya, membuat pintu mereka tertutup dan terkunci rapat.

Tidak lama kemudian lampu kembali menyala dan mereka bertiga duduk kembali seperti semula.

"Patronus yang menarik, Dray. Seekor naga, tidak heran namamu adalah Draco." Kata Pansy.

"Dalam bahasa latin Draco berarti seekor naga, mungkin ayahku punya alasan sendiri mengapa ia menamakanku Draco dan tidak dengan nama lain." Kata Draco, ia merasa sedikit lelah.

"Mungkin kau memang seekor naga yang menjadi seorang manusia, seperti legenda keluarga Pendragon yang berasal dari naga itu sendiri."

"Yeah, itu kalau Dray membuat kejutan lagi dengan mengatakan kalau dia adalah keturunan dari keluarga Pendragon." Ujar Blaise. "Keturunan langsung dari Arthur Pendragon, itu akan membuat jalan hidup Draco menjadi lebih rumit."

"Entahlah, kalian berdua hanya mengansumsikan yang tidak-tidak saja. Sebentar lagi kita akan sampai di Hogwarts." Kata Draco, ia menatap ke arah luar untuk menghindari tatapan dari kedua temannya. "Lebih baik kalian bersiap-siap saja."

Pansy menyandarkan tubuhnya pada tempat duduknya, ia memandang temannya itu dengan ekspresi bosan di wajahnya. "Bisa saja itu terjadi. Kalau Malfoy adalah keturunan dari Le Fay, maka tidak mungkin kalau Pendragon tidak ikut campur. Maksudku, lihat saja apa yang terjadi pada diri Mordred! Dia memiliki…"

"Pansy." potong Draco yang sedikit kesal, dia tidak suka kalau ada orang lain yang membicarakan nama keluarganya. Pansy diam secara seketika.

Draco mendesah pelan, urusan keluarga dan semacamnya adalah hal yang sensitive di benak Draco sehingga ia tidak suka kalau ada orang lain yang dengan lancangnya mengintip apa urusan itu.

"Maaf, Draco." Ujar Pansy merasa bersalah, namun Draco mengabaikannya.

Suara keras yang menandakan kereta api telah tiba di stasiun Hogsmade membahana, membuat suasana kereta yang awalnya telah riuh oleh celoteh anak-anak yang lain kini menjadi semakin keras. Draco, Blaise, dan Pansy mengambil tas-tas mereka sebelum keluar dari dalam kereta api, di sana mereka telah di sambut oleh Hagrid yang meneriaki murid-murid tahun pertama untuk mengikutinya.

Dari jauh Draco melihat Potter dan kawan-kawannya memberikan lamabaian kepada manusia setengah raksasa itu, ia menggelengkan kepalanya sebelum menyusul Pansy dan Blaise yang telah duduk di atas kereta tanpa kuda, namun Draco tahu kalau kereta itu ditarik oleh seekor Thestral. Seekor makhluk sihir seperti kuda berkerangka, hanya bisa dilihat oleh orang yang pernah melihat kematian di hadapan matany, Draco adalah salah seorang dari beberapa yang bisa melihat makhluk itu sebab kematian adalah sahabat dekat Draco semenjak ia berusia 8 tahun, sebuah hal ironi yang sangat terjadi mengingat ia adalah penyihir hitam seperti keluarganya.

Draco mengambil tempat duduk di antara jendela dan Blaise, sepanjang perjalanan ia menatap luar jendela, kelihatan sekali kalau ia tidak peduli walaupun mereka hampir memasuki gerbang raksasa yang menghubungkan Hogwarts. Sedikit hal yang membuat Draco tertarik, salah satunya adalah dua Dementor yang berada di kanan kiri gerbang, menjaga gerbang seolah-olah Hogwarts adalah penjara Azkaban. Hogwarts sebagai Azkaban? Draco menyeringai, tidak buruk juga.

Mata silver kebiruan Draco menatap kedua dementor itu dengan galak, menghiraukan rasa mencekam yang menyelimuti tubuh kedua temannya karena dementor itu. Dari dulu Draco tidak menyukai dementor, semua ingatannya yang tidak mengenakan selalu bersumber pada makhluk penjaga Azkaban itu. Walaupun sebagian besar orang takut pada dementor karena makhluk itu bisa menghisap jiwa manusia dengan sebuah ciuman atau bila terlalu dekat dengan mereka akan memberikan sensasi tidak mengenakan seperti mimpi buruk pada manusia, Draco bukanlah orang yang takut pada makhluk itu, ia hanya membencinya. Terkadang Draco memikirkan logikanya, penyihir adalah makhluk yang mempunyai sihir dengan kedudukan tertinggi dari makhluk sihir lainnya, tetapi kenyatannya banyak sekali penyihir yang takut dengan beberapa makhluk sihir, berikan saja contohnya adalah werewolf, vampire, dark veela dan semacamnya. Semuanya sama sekali tidak masuk akal.


BERSAMBUNG


AN : Terima kasih telah membaca, maaf bila jelek atau kurang sesuai dengan harapan.

Author : SilverSkyBlue