Aku teringat akan perkataan wanita itu...

Wanita yang selalu memberi kehangatannya kepadaku...

Disaat apapun, baik suka maupun duka

Dia berkata kepadaku...

'Naruto, jangan pernah kau takut akan kesepian'

'Meski kau sendiri... tapi kau tidak sendiri'

'Semuanya... meski tiada... semuanya...'

'Akan selalu melindungi seseorang disayanginya...'

'Bersama dengan kemerlap para bintang'

'Naruto...'

Karena itu...

Aku tidak kesepian...

Aku akan selalu bersamanya...

...meski dirinya tak mengharap kehadiranku...


Kokoro

Chapter 8

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning

Don't Read If You Don't Like


"...to! ...uto!"

"..."

"NARUTO!"

"H-hah...!? A-ada apa?" ucap pemuda berambut kuning yang tengah terduduk disebuah kasur berbalut kain putih. Jelas sekali tercium aroma obat-obatan di dalam ruangan yang serba putih tersebut.

Pemuda tersebut—Naruto, hanya menatap bingung ke wanita berdada besar yang kini ada dihadapannya. Dari wajahnya terlihat sekali moodnya sedang tidak baik. Karena itu, Naruto hanya terdiam tanpa berani membantah.

"Aku sudah memanggilmu berkali-kali dan untuk panggilan ke-99 kau baru meresponnya!?" seru wanita itu—panggil saja Tsunade— sambil mencondongkan wajahnya ke Naruto. Bahkan Naruto dapat melihat dengan jelas urat-urat yang berkedut di dahinya. Dan Naruto pun tertawa kecil melihat hal tersebut.

Dahi Tsunade semakin berkedut. "Apa yang kau tertawakan, N-A-R-U-T-O..." ucapnya dengan penuh penekanan saat mengeja namanya. "Dasar... aku sangat khawatir tahu." Ucapnya lagi sembari memijat dahinya yang terasa sangat sakit.

"Seharian ini kau melamun dan tidak meminum obatmu." Ucapnya. "Asal kau tahu, aku sangat khawatir, Naruto." Lanjutnya lagi.

Naruto hanya terdiam mendengarnya.

"...kaasan..."

"Hah?" Tsunade menoleh ke arah Naruto. Menatapnya bingung.

"Aku teringat dengan perkataan kaasan sewaktu aku masih kecil." Ucap Naruto. Pandangan matanya lurus, tapi seolah kehampaan yang dilihatnya.

"Ku... shina?"

"Kaasan berkata kepadaku, tentang bintang..."

"Bin—"

"—NARUTOOOOOOOOOOO!"

Tiba-tiba saja terdengar bunyi pintu didobrak dan munculnya seseorang berambut coklat dengan tato segitiga disetiap pipinya. Pemuda itu bernama Kiba, salah satu teman baik Naruto. Dia berlari kencang dan langsung memeluk erat Naruto, membuat yang dipeluk malah kesakitan.

"Kau baik-baik saja Naruto? Lihat! Sudah lama tidak bertemu kau semakin kurus! Apa kau makan dengan teratur? Kau tidak bergadang, 'kan? Kau masih tetap makan mie tidak sehat itu? Atau kau—"

"Huh." ucap Naruto sambil membuang mukanya. Kiba hanya terheran-heran melihat Naruto memasang muka tidak suka.

"Naru—"

"Siapa bilang ramen bukan . ? Huh!" Naruto semakin memalingkan wajahnya. Kini mulutnya seperti membentuk angka tiga.

"Heh...?" Kiba mendengus. Sepertinya teman lamanya ini tidak pernah berubah. "Oi, Naruto. Aku memang bilang tidak sehat, tapi siapa bilang aku melarangmu memakannya?" ucapnya sambil mengangkat semangkuk ramen yang masih hangat.

Naruto menoleh, "hehehe ttebayo!"

.

Tsunade memandangi Naruto sejenak dan kemudian ia tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat tertawa riang lagi seperti tadi. Meski hal biasa, tapi perasaannya jadi lebih tenang melihat Naruto tertawa lagi.

Kemudian ia perlahan berjalan keluar dari kamar tersebut dan menutup pintunya. Ia tidak ingin menganggu kesenangan Naruto.

"Tsunade-sama..."

Tsunade menoleh dan mendapati Sai berdiri tak jauh darinya.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda,"

Ia hanya terdiam. Sai seorang dokter. Begitu juga dengan dirinya. Ia bisa menduga apa yang akan dibicarakan oleh Sai.

"...mengenai sisa umurnya..."

Tsunade semakin terdiam. Seandainya ia boleh memilih, ia pasti akan memilih untuk hidup didalam mimpi yang indah, selamanya.


Naruto hanya terdiam, ia memandang hampa ke arah jam yang terus berdetak. Sudah semenjak tadi pagi ia diperbolehkan pulang. Dan semenjak tadi pagi pula ia hanya diam bingung tanpa tahu harus berbuat apa.

Kiba sudah pulang sedari tadi karena ada urusan pekerjaan. Sementara itu Sasuke? Ia tidak tahu. Semenjak ia pulang tadi, Sasuke sudah tidak ada di rumah. Namun yang pasti, ia berharap tidak terjadi apa-apa dengan Sasuke.

Naruto kembali menatap jam, namun ia tidak dapat memastikan sudah jam berapa sekarang. Ia kembali memandangi jam, disaat yang bersamaan, terdengar suara pintu yang terbuka. Namun Naruto sama sekali menyadari hal itu.

Sosok itu berjalan menghampiri Naruto.

"...i... oi..."

"Hah?" Naruto terkejut. Kini dihadapannya tidak ada lagi jam, melainkan sesosok tubuh yang berdiri tepat dihadapannya. Namun ia tak dapat mengenali sosok itu.

"Hn,"

"Sa-sasuke?" ucapnya ragu.

"Jika kau punya waktu disini, lebih baik kau kembali ke kamarmu." Ucap sosok itu. Namun dari suaranya, Naruto dapat mengenali bahwa itu memang Sasuke. "Aku tidak mau dibuat repot olehmu. Cepat ke kamarmu." Ucapnya lagi seraya berjalan menuju tangga. Dan sosok Sasuke semakin tidak terlihat seiring bertambah jarak diantara mereka.

Sementara itu Naruto tetap terdiam. Kini ia memandangi tangga. Tangannya yang bergetar meraih kedua matanya. Kepalanya semakin tertunduk seiring dengan ingatanya seharian ini.

"Ternyata benar..." ucapnya lirih.

.

.

"Mataku..."


Keesokan harinya Naruto terbangun setelah matahari bersinar terang. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kepalanya terasa sangat sakit.

Ia perlahan berjalan menuju ruang makan. Selain kepalanya yang masih terasa sakit, ia juga merasa sangat haus. Naruto berjalan dengan hati-hati, ia takut seandainya menabrak sesuatu hingga merusak perabot di rumah itu. Ia tidak ingin membuat Sasuke nantinya akan marah.

Naruto melihat sekeliling, meski tidak begitu jelas. Tapi ia masih dapat melihat para pelayan yang sedang sibuk membereskan rumah. Sesekali mereka menyapa Naruto, dan ia pun membalas sapaan mereka.

Sesampainya di ruang makan, dengan hati-hati Naruto mengambil segelas air dan langsung meminumnya. Sejenak Naruto terdiam.

Ah iya, dari tadi ia sama sekali belum melihat Iruka, pelayan pribadinya sekaligus seseorang yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Tapi itu hal yang wajar, karena saat ini Iruka tidak akan ada di rumah, bahkan sampai seminggu kemudian.

Ia masih ingat saat melihat wajah Iruka yang panik saat mendapati kabar bahwa kerabatnya baru saja meninggalkan dunia ini. Dan tak lama kemudian ia langsung memesan tiket pesawat, tapi sayangnya ia juga berat hati meninggalkan Naruto di rumah sakit.

Bahkan Naruto harus membujuk Iruka untuk pergi. Dan itupun sangat sulit sekali.

Naruto tersenyum kecil. Ia senang akhirnya Iruka, untuk sesaat, tidak harus merepotkan diri dengan mengurus dirinya. Ia ingin Iruka memiliki waktu untuk dirinya sendiri, bukannya mengurus dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa.

"Mungkin... akan lebih baik jika aku mati disana." Ucapnya lirih.

'Buk'

Naruto tersadar dari lamunannya, bahwa ia telah menabrak sesuatu—bukan, sepertinya seseorang. Ia pun mengangkat wajahnya dan mendapati Sasuke tengah berdiri di hadapannya. Reflek, Naruto langsung menjauh dan membungkuk meminta maaf kepada Sasuke.

Tetapi Sasuke hanya terdiam. "Na..."

"A-a-ah... G-gomen nasai... S-sasuke..." ucap Naruto dan langsung melesat menjauhi Sasuke. Sementara itu Sasuke tetap terdiam sembari melihat sosok naruto yang menghilang dibalik tembok.


"Uhuk... uhuk..." Naruto terjatuh lemas. Kakinya seolah tak mampu menopang dirinya. Setelah memastikan pintu telah terkunci. Naruto dengan segenap tenaganya berusaha meraih westafel dan memutar kran air.

Ia memandangi bayangan dirinya yang terpantul di cermin. Ia melihat sosoknya kini sangat berantakan, darahnya terus mengalir keluar dari mulutnya setiap kali ia terbatuk. Tangannya yang satu terus memegangi dadanya yang terasa perih. Sementara tangannya yang satu lagi membasuh wajahnya yang berlumuran darah dengan air bersih.

Setelah beberapa lama, darahnya mulai berhenti mengalir seiring rasa sakit di dadanya mulai menghilang. Naruto berusaha berjalan menuju pintu dan membukanya sedikit. Memastikan tidak ada orang yang dapat melihatnya.

Setalah diyakininya tidak ada orang, ia keluar dan berjalan perlahan menuju kamarnya. Ia berniat mengganti bajunya yang terkena darah. Ia tidak ingin membuat para pelayan khawatir melihat dirinya.

Namun sayangnya, tanpa ia sadari. Sasuke melihat dirinya yang berjalan sambil berusaha menutupi bekas darah di bajunya dengan kedua tangannya. Tapi Sasuke hanya terdiam, melihat Naruto yang berusaha sekuat tenaga untuk berjalan.


Malam harinya, Naruto terbangun. Ia tidak sadar telah telelap, ia juga tidak tahu dengan pasti sudah berapa lama ia tertidur. Naruto memegangi dadanya yang sudah tidak terasa sakit lagi. Begitu juga dengan kepalanya.

Naruto menoleh ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia melihat ada semangkuk bubur disana. 'Mungkin pelayan yang menaruhnya...' pikirnya dalam hati.

Tidak ingin merepotkan pelayan, Naruto mengambil makanan tersebut dan memakannya. Setelah itu dia mengambil obat yang ditaruh di lacinya dan meminumnya. Tapi entah apa yang dipikirkannya, Naruto mengambil obat itu dengan porsi yang lebih banyak.

Dia tersenyum kecil.

Kemudian ia turun dari tempat tidurnya dan berjalan di dalam gelapnya ruangan. Ia menuruni tangga dan berjalan menuju halaman belakang kediaman Uchiha.

Naruto membuka pintu yang terbuat dari kaca tersebut, membiarkan udara malam membelai tubuhnya. Ia tidak merasakan kedingin atau apapun. Jauh di dalam, hatinya lebih merasakan dinginnya salju abadi.

Naruto memejamkan mata sebentar sebelum ia menyadari, bahwa ada sosok lain berdiri tak jauh darinya. Ia kembali membuka matanya dan melihat sosok itu berdiri tepat di tengah halaman. Naruto tak dapat melihat dengan jelas sosok itu, tapi yang pasti sosok itu berjalan menghampirinya.

Naruto hanya terdiam. Ia berusaha mengenali sosok itu, tapi sia-sia. Ia tidak tahu siapa sosok itu sementara jarak diantara mereka semakin menipis.

"Naruto..." panggil sosok itu.

Naruto terdiam,

"Sa... suke?"

"Apa ya kau—"

"Uhuk... uhuk..."

Naruto terjatuh. Ia kembali memegangi dadanya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Dari mulutnya tak hentinya mengeluarkan darah.

"Naruto!"

Sasuke dengan segera menghampiri Naruto dan berusaha menghentikan darah yang terus mengalir dari mulutnya. Naruto mencengkram kuat lengan baju Sasuke.

'Hen... tikan...'

Naruto terus terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, sementara kesadarannya semakin menghilang. Tapi entah ilusi atau bukan, yang jelas ia seperti mendengar suara Sasuke yang terus memanggilnya.

.

.

.

Sementara itu Tsunade tengah sibuk memeriksa catatan kesehatan.

Ia meletakkan secangkir tehnya dan kemudian menghelas nafas panjang. Berusaha tidak mengingat apa yang kemarin telah terjadi, saat ia berbicara berdua dengan Sai. Sungguh, bukan maunya jika berakhir seperti ini.

Ia kembali menghela nafas panjang, namun sepertinya beban di hatinya seoalh tidak ingin menyingkir dari sana. Semakin ingin dilupakan, semakin jelas memori itu terulang kembali, bagai gulungan roll yang mencatat segala kejadian.

'Ini soal Naruto...'

Tsunade memejamkan matanya.

'...umurnya... aku rasa tidak akan bertahan...'

Perasaan Tsunade semakin tidak enak setiap kalimat ini terulang di otaknya.

'...lebih dari sebulan.'

.

.

.

.

To be Continue


Kobanwa minna, Kagu is here~

Gomen sudah lama tidak update coretkarenaberbagaimacamhalc oret, kali ini diriku menyempatkan diri untuk mengetik fic ini lagi. Dan yah... fic ini sebenrnya masih lanjut, tidak hiatus kok. Cuma authornya aja yang gak sempet coretkeasikanbacamangacoret #duak

Terima kasih banyak kepada reader yang tetap setia menanti *emang ada?* fic ini untuk diupdate dengan kondisi authornya yang begitu #chidoried, hontou ni ariagatou na ^^

Untuk sekadar pemberitahuan, mungkin beberap chap lagi, fic ini akan tamat. seperti apa endingnya? Mari kta tunggu di last chap *setelah beberapa chapter terlewati dulu*

Sa, mou ichido ariagotu gozaimasu, minna

Sampai nanti di chap depan, Jyaa~