"Uchiha Sasuke berasal dari perfektur Miyagi tepatnya di kota Sendai."

Hinata mengangguk setuju, "Tempat itu tak terlalu padat penduduk, Sakura-chan."

Sakura menghela napas panjang. "Sasuke itu misterius. Naruto juga…."

"Datanya lebih sulit diakses, Sakura-chan. N-Naruto-kun tinggal di Tokyo baru sekitar lima tahun. Separuh masa SMP dan hidupnya semasa kecil tak dikenal. Bahkan keluarganya juga."

Naruto membuka kembali iPad miliknya.

Haruno Sakura.

Kenapa sulit sekali mencari info tentang gadis ini?

Ada sebuah foto SMA yang terpampang di layar elektroniknya. Wajahnya manis—tidak. Wajahnya sangat cantik. Senyumnya terlihat energik. Seragam sekolah SMA terpandang itu tampak melekat serasi membungkus tubuhnya. Rambut sebahunya tergerai dengan bandana merah tipis menghias kepalanya.

Di sampingnya terlihat wajah Hyuuga Hinata. Gadis bermata bening dan lebar yang tersenyum tulus ke kamera. Sebagian rambut gelapnya disisihkan ke belakang. Potongan poninya membingkai sempurna paras wajahnya.

Rupanya tak terlalu berbeda dengan yang ada sekarang.

RIP—Hyuuga Neji.

03 Juli 1983 – 02 Februari 2009.

Kakak Hyuuga Hinata. Seorang polisi yang bertahun-tahun lalu mati. Seorang polisi.

Jadi ini hubungan Hinata dengan polisi. Ia seorang adik dari sniper handal milik kepolisian—yang telah mati.

Sebatas itukah?

Lalu Sakura? Pada usia 17 tahun ia meninggalkan Jepang untuk studi di luar negeri. Tak disebutkan di negara mana gadis itu tinggal. Ia lama tak tinggal di Jepang. Lalu kenapa ia berhubungan dengan polisi?

Kalau tebakannya tak salah, malam saat ia pertama melihat gadis berambut cherry itu pastilah hari di mana gadis itu baru datang dari negara lain. Pulang. Ke Jepang. Untuk apa? Sejauh apa hubungan seorang Sakura dengan kepolisian Jepang?

Fuck her.

"Hai, Naruto."

"Senang melihatmu, Sakura-chan," balas Naruto. "Turun dari taksi … hanya untuk menemuikukah?"

"Just curious… apa yang dilakukan preman Tokyo di panti asuhan?"

"Bayar taksimu lalu ikutlah denganku."

Sakura terdiam.

"Kita ada jadwal kencan, ne?"

"Aku dengar dari Temujin-san, kau bekerja di sini."

"Lalu?"

Hinata menghela napas. "Mampir…."

"Kau tak akan mampir untuk menemuiku kecuali kau tertarik padaku, Hyuuga." Sasuke menyeringai. "Dan aku tahu kau tak tertarik padaku karena aku laki-laki."

Hinata terdiam.

"Jadi sebaiknya jangan membuang jam kerjaku. Pulanglah, gadis baik-baik tak seharusnya ada di sini."

Napas Hinata tercekat.

Napas Sasuke memburu.

Bau minuman keras. Sekaligus aroma maskulin yang menguar hebat dari tubuh Sasuke. Hinata mabuk dalam sesaat. Wajahnya memanas.

"Kutegaskan padamu, aku tak punya urusan dengan pembunuhan di tempat itu, Nona. Jangan melangkah lebih dalam lagi, itu bisa merugikanmu sendiri."

Jarak kedua bibir itu tak lagi jauh, terlalu dekat malah.

Sasuke memiringkan kepalanya, membelai pipi Hinata. "Kalau aku jadi kau, aku akan berteriak. Lalu pergi dan tak akan kembali lagi."

"Sayangnya aku b-bukan kau, Uchiha Sasuke."


Standart Warning Applies : AU, Crime – Romance, implied lime-scene, DON'T LIKE DON'T READ! Rate TEEN to MATURE (for themes n' language).

It's been 7 months *kicked* sorry, it took me long for updating this story. I'm not gonna make this story discontinue, so please just wait for this story^^

Thanks for all reviewers:

Little White Gardenia, bocah elek, Hana Arny, el Cierto, Syana Uchiha, Ekha, uchan disuruh bikin akun, akasuna no hataruno teng tong, ma-chan langka, Mokochange, Zoroutecchi, winter-carnation, Andaaza, Chika, always sasuhina, Miya-hime Nakashinki, Lollytha-chan, Shaniechan, Hatake Satoshi, Zhie Hikaru, Mugiwara 'Yukii' UzumakiSakura, Keira Miyako, Sukie 'Suu' Foxie, uchihyuu nagisa, Ara-chan, Fuyu no Asyafujisaki, Uchiha The Tomato Knight, Taiyo Akarui, Vytachi W.F, noir 'like a killer' smile, Nerine 'Jie, Wind Knight, Wiet wieth, yulia, ichigo, naomi arai, Norikonori-chan, Siti novi, yahiko namikaze, Namekaze resta, Sabaku Tema-chan, teichi, blue polkadot, Rain 4.00 AM, Kataokafidy, Nhie-chan, YamanakaemO, Meg chan, Deani Shiroonna Hyouichiffer, RANMA, Haru3173, mery chan, nyamuk vs lalat, sun setsuna, Light Shoes 11, Mei Anna AiHina, anak baru, Ara-chan, shinkokyuu, namikaze urryu, Omeka-imigayo unlogin, rulipoli.

.

Yosh! Selamat membaca!

Summary : Naruto; seorang pemuda berandalan, pencopet ulung, dan hidup berantakan. Sasuke; bartender muda, hidup juga tak jelas, cerdas, miskin, jaim, sekaligus tukang tipu. Dua pemuda yang berbeda namun dalam salah satu aksinya dikenal sebagai WinterFoxy, sebuah code name penjahat buronan yang terbiasa mencuri barang-barang antik orang kaya. Persahabatan baik dalam pertemanan maupun pekerjaan sampingan mereka. Kedua pemuda itu sangat handal hingga akhirnya suatu saat sesuatu terjadi. Belum lagi munculnya seorang gadis aneh yang galak, hubungan misteriusnya dengan seorang polisi Jepang, juga keikutsertaan salah seorang mahasiswi pendiam bernama Hyuuga Hinata. Permainan kucing-kucingan dan penyamaran dimulai.


DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO-sensei

.

CATCH YOU, CATCH ME : The Warning

.

"Waw!"

Sasuke mendecih. Ia masih sempat memandang direksi pintu keluar dance hall—menatap bagaimana 'tamu'-nya barusan bergegas meninggalkan tempat bising itu. Sasuke menyipitkan matanya, menatap kesal sembari mengembuskan napasnya kuat-kuat. Bau cola masih mendominasi aroma napasnya yang memburu—akibat vodka yang ia tenggak ketika bersama Hinata tadi.

Gadis itu akhirnya pergi—dengan wajah merah seperti kepiting rebus.

Suigetsu menyenggol pundak Sasuke, mengembalikan lagi sahabatnya ke bumi setelah barusan melamun. Bukan Uchiha yang biasanya. Suigetsu terkikik pelan. Pemuda bergigi tajam itu masih tertawa kecil sedari tadi. Matanya juga mengekor ke direksi yang sama seperti Sasuke, memandangi sosok Hyuuga Hinata hingga gadis itu menghilang di balik pintu keluar.

"Sorry, Dude. Please just don't kill me," kelakar Suigetsu. Sasuke menoleh cepat, melempar deathglare tajam ala Uchiha yang selama ini dikenalnya. Sasuke terlihat sangat kesal. Bahkan meski topeng Ice Prince itu masih betah menjadi mimik wajahnya yang dominan, Suigetsu masih melihat jelas bagaimana Sasuke terlihat tak senang. "Bukannya tadi aku mau menghalangi sesi make out kalian sih. Tapi for God's sake, carilah love hotel."

"More talking, and you're dead."

Suigetsu kali ini tertawa keras. Untunglah suara berisik bar mampu meredam tawanya. Pemuda itu masih sibuk mengelap gelas-gelas bening di balik meja bartender. Ia masih menoleh pada Sasuke ketika Sasuke tak segan-segan melempar tatapan membunuhnya sedari tadi.

"Aaa…." Suigetsu ingat betul. Karena merasa Sasuke tak kunjung kembali ke meja kerjanya, ia terpaksa berlari ke belakang. Pengunjung bar sedang ramai. Ia tak mau meng-handle semuanya sendirian. Apalagi, ia juga cukup khawatir kalau seandainya bosnya mendadak muncul sementara Sasuke tak ada di tempat.

Sibuk bercinta dengan kekasihnya di belakang—dalam pikiran Suigetsu.

"Really, having sex di pintu keluar belakang itu tak elit sekali, Sasuke."

Sasuke lelah melayani Suigetsu. Pemuda itu diam.

"Well, bukannya aku berniat mengagetkan kalian dengan mendadak membuka pintu dengan keras seperti tadi, tapi yah," ungkap Suigetsu sembari tertawa, "ah, pokoknya begitulah, Sasuke."

Saat Suigetsu mendongak, yang ia lihat bukannya Sasuke merapikan botol-botol vodka ke dalam lemari, pemuda raven itu justru malah menenggak sebotol ukuran sedang Jack Daniels yang digenggamnya.

"Shit!" pekik Suigetsu. "Hei, itu pelanggaran!"

Sasuke menoleh malas. Pemuda itu menjauhkan mulut botol dari bibirnya lalu menyeringai. Setetes likuid alkohol menetes membasahi dagunya yang berkilauan. "Jangan bicara seolah kau tak pernah melakukan pelanggaran yang sama, Suigetsu."

Suigetsu menghela napas malas. Ia ingat betul bagaimana bosnya marah besar ketika ia keseringan menenggak barang dagangannya sendiri. Dan kini Sasuke—yang terbiasa mengingatkannya tentang aturan—malah mengejeknya.

Sasuke mengangkat tangan kirinya. Disapunya cairan cokelat gelap bening itu dari ujung dagunya sebelum meletakkan botol minuman kerasnya di atas counter. Sasuke mendengus, bersiap pergi ke dapur dengan sekeranjang kentang—untuk dikupas.

Sasuke menoleh pelan. "Bukannya poin pelanggaran meminum bir di sini lebih sedikit daripada melakukan seks saat jam kerja, eh?"

Sedetik Suigetsu speechless. Ditatapnya punggung Sasuke yang berangsur pergi sebelum akhirnya Suigetsu tertawa lagi. "Waw, artinya, kau benar-benar berniat melakukan seks dengan gadis bernama Hinata tadi?"

Sasuke menghentikan langkahnya—menoleh cepat pada Suigetsu, tajam.

Tidak, Sasuke hanya berniat untuk menggertak seorang Hyuuga Hinata. Ia bukannya tak mengenal karakter umum gadis itu. Dilihat dari mana pun, harusnya Hinata bukan seseorang yang sangat berani. Terkurung berdua dalam lift sudah cukup mengajari Sasuke bagaimana karakter Hinata.

Perempuan yang selalu gugup—lemah.

Sepertinya ia tak sejauh itu—seperti pikiran Suigetsu, berniat menggertaknya secara seksual. Sasuke terkenal sangat charming di kampusnya. Mahasiswi mana pun akan bertekuk lutut untuk bisa berada di antara kedua kakinya. Tapi sejujurnya kalau dipikir, ia tak sejauh itu berniat menggertak Hinata.

'Sayangnya aku b-bukan kau, Uchiha Sasuke.'

Satu hal, Sasuke telah salah. Gadis itu sama sekali tak lemah—lepas dari bagaimana reaksi Hinata ketika tubuhnya berada tanpa jarak dengan tubuh Sasuke tadi. Gadis itu tak pingsan, entahlah, mungkin belum. Hinata dengan kuat mendorong dada bidang Sasuke ketika Suigetsu 'memergokinya' tadi. Ia menutup mulutnya rapat. Mata beriris bening—iris yang aneh bagi Sasuke, karena warna yang berbanding kontras dengan miliknya—itu melebar. Bahunya naik turun.

Sedetik setelah membungkukkan badan pada Suigetsu tadi, Hinata langsung menerjang ke arah pintu, bergegas pergi tanpa menoleh sepersekian detik pun pada Sasuke.

Wajah pucat itu merah total.

"Oi, Sasuke!" panggil Suigetsu. "Berhenti melamun."

Sasuke memicingkan matanya. "Shut up!"

"Wajahmu merah tuh," ejek Sasuke.

Sasuke berbalik, segera pergi dengan cepat. Wajahnya memerah? Jangan bercanda. Ia bukan pemuda Tokyo berusia SMA labil jaman sekarang. Tak mungkin seorang Sasuke ikut-ikutan merona merah hanya untuk seorang Hinata.

Tidak mungkin, kan?

Oh, itu pasti efek alkohol.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Kencan?

Awalnya Sakura mengira kalau pemuda pirang jabrik itu akan menyeretnya ke sebuah taman kota atau tempat romantis lainnya—mungkin taman hiburan. Tempat-tempat cantik seperti itu tak biasa Sakura temui di Amerika. Negara besar itu identik dengan penggambaran romantis yang lain, seperti restoran di tepi jembatan atau apa pun namanya. Bahkan Vegas bisa jadi tempat yang romantis di Amerika.

Jepang lebih klasik. Sebenarnya Sakura merindukannya.

Sayangnya 'partner date'-nya adalah Naruto. Kalau Naruto bukanlah pemuda yang berniat pendekatan padanya, pastilah bayangan manis ala Sakura tadi bisa terwujud. Namun sayangnya, selain mesum, Naruto lebih unpredictable dari yang ia kira.

Terlebih dengan status musuh saat ini.

"Ayo, Sakura-chan …."

Sakura memicingkan matanya. Ia masih tak terbiasa dengan panggilan itu. Tak ada lelaki yang pernah memanggilnya dengan … semanis itu. Bahkan tidak dengan Shikamaru yang seperti saudaranya sendiri.

Sakura melangkah masuk.

Lampu disko, yang berputar dan memancarkan puluhan gradasi warna, menyilaukan pandangan Sakura dalam sekejap. Sedetik, Sakura merasa pusing—isi kepalanya masih mencoba menyesuaikan suasana yang ada. Sebuah pub?

Naruto menoleh ke belakang saat Sakura menghentikan langkahnya. Gadis itu memicingkan matanya tajam pada Naruto.

Pemuda pirang itu terkekeh. "Kau tidak mengharapkan aku membawamu ke mall atau ke tempat kencan yang 'sangat' romantis, kan?"

Sedetik, Sakura merasa Naruto punya kemampuan membaca pikirannya. "Untuk apa kita ke sini?"

"Having fun, of course. Kencan, tentu saja bersenang-senang. Memangnya untuk apa lagi, Sakura-chan?"

"Like hell I would trust you."

Naruto tertawa keras kali ini—mengabaikan pengunjung pub yang keluar masuk melalui lorong tempatnya berdiri. "Tenanglah, Sakura-chan. Memangnya kau tak capek mencurigaiku? Kita bisa melanjutkan sesi 'menyelidiki' itu nanti," ujar Naruto sembari mengangkat dua tangannya, membentuk tanda petik dari kedua telunjuk dan jari tengahnya, "ayo masuk."

Sakura bergeming.

Naruto menyeringai, "Takut, eh?"

Tanpa menjawab, Sakura mendahului masuk ke dalam pub.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Hinata melangkahkan kakinya cepat. Gadis itu memeluk erat sisi tubuhnya, membekap erat coat gelap yang membungkus tubuhnya. Wajahnya tertunduk—oh, ia sedang tak ingin dilihat oleh orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Wajahnya masih memanas dengan sempurna, well, itu memalukan.

Oh, ia benar-benar malu, setengah mati rasanya.

Tak ada satu detik pun rekaman kejadian yang meleset dari memorinya—mulai saat Sasuke mendekat ke arahnya, berbisik dan menyebutkan namanya dengan desahan yang sangat 'oh-Uchiha-the-Prince-of-Tokyo-University', hingga Suigetsu datang mengagetkan keduanya dengan membuka keras pintu belakang bar.

Hinata merutuk, kesal karena Suigetsu mendadak muncul dan membuat pembicaraannya dengan Sasuke terputus.

Hinata menghentikan langkahnya. Tapi, kalau seandainya Suigetsu tak muncul, ia juga tak tahu seperti apa jenis pembicaraan yang bisa ia lanjutkan dengan Sasuke. Tidak dengan tubuh Sasuke yang menempel padanya! Bagaimana bisa seorang Uchiha yang gosipnya—di kampus—adalah seorang gay, ternyata mampu bertingkah se … sesensual tadi!

Hinata menggelengkan kepalanya cepat.

Uchiha Sasuke memang seksi. Ia akui itu. Tapi pemuda itu bukan tipenya. Dan lagi, Sasuke kelewat menyeramkan. Pemuda itu membuatnya tertekan. Untunglah ia tak pingsan tadi. Kalau hal itu terjadi, itu akan jadi sangat memalukan. Sungguh, bersikap seberani tadi bukanlah sesuatu yang mudah untuknya.

Sasuke adalah musuh.

Hal itu sudah tertanam di otaknya, tak peduli bagaimanapun Sasuke menyangkalnya.

Sekali lagi, Hinata menggelengkan kepalanya kuat-kuat—gadis itu tak sadar bahwa beberapa orang yang lalu lalang sempat menoleh beberapa kali ketika ia menggeleng sembari menutupi wajah cantiknya dengan kedua tangannya. Mendesah keras, Hinata mendongak.

Rambut indigo-nya sempat bergoyang, sebelum kepala itu tertunduk lagi—sadar ketika beberapa orang di sepanjang trotoar mencuri pandang ke arahnya. Oh, ia jadi merasa seperti seorang gadis frustrasi. Hinata menepi, mendekati sebuah stan kecil yang berjualan majalah. Gadis itu meraih salah satu majalah dan membelinya. Seusainya, Hinata mendekat pada sebuah stan lain, membeli sebuah bakpao hangat lalu bergegas pergi mencari sebuah kursi taman yang kosong.

Gadis itu duduk dengan cepat, lalu menelan cepat bakpao besar yang ia genggam dengan kedua tangannya. Asap hangat terlihat di sekitar mulut Hinata. Menelannya cepat, Hinata berharap pikirannya bisa segera rileks setelah nama Sasuke terus-terusan mendominasi jalan otaknya.

Taman itu tak terlalu ramai. Tak begitu banyak orang yang lalu lalang di hadapannya, namun ketika Hinata menengok ke sekitar, gadis itu akhirnya mendesah untuk kesekian kalinya. Kursi-kursi lain di taman itu menjadi tempat pacaran. Banyak di antaranya tengah sibuk berpelukan satu sama lain.

Alhasil, nama Sasuke kembali masuk mengganggu otaknya. Tentang bagaimana pemuda itu menyeringai, menatapnya, bahkan hingga mengancamnya. "Dia gay, kan?" ujar Hinata meyakinkan dirinya sendiri.

Oh, ia benar-benar ingin ditelan bumi kali ini.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Wanna dance, Sakura-chan?"

Sakura menoleh malas. Gelas berisi wine bening dengan sebutir cherry di dasar gelas yang digenggamnya berhenti bergoyang ketika gadis itu menoleh pada Naruto. "Jangan mimpi."

"Ouch, kau menyakiti hatiku, Sakura-chan." Naruto membuat gerakan seolah sakit hati dengan kepalan tangan di dadanya sendiri.

"Stop calling me 'Sakura-chan'!" sergah Sakura cepat.

"Memangnya kenapa?"

Sakura tak tahu alasannya. Dan lagi, apa perlu ia menjawabnya? "Kau bukan siapa-siapaku, Naruto. Jadi jangan berlagak seolah kau akrab denganku dengan memanggilku sesukamu seperti itu."

"Bukan siapa-siapa?" tanya Naruto balik, "lalu kenapa kau begitu ingin tahu tentangku… Sugar?"

Splash!

Sakura menyiram wajah Naruto dengan wine miliknya!

Naruto menyeringai. Untung isi gelas Sakura tadi tak sampai sepertiganya. Jadi meski cairan anggur itu membasahi sebagian poninya yang pirang, minuman itu tak sampai membuatnya basah kuyup.

"Call me 'sugar' again, I'll—"

"Lupakan saja," ujar Naruto sambil menyeka wajahnya dengan jaket miliknya. Buah cherry tadi kini bersemayam di tangan Naruto—ketika Naruto melindungi wajahnya dari wine, ia menangkap buah cherry dalam gelas Sakura yang meluncur ke wajahnya. Pemuda pirang itu tersenyum simpul. Mata birunya tak pernah sekali pun meninggalkan sosok Sakura. Naruto menyeringai. Dengan gerakan pelan, Naruto melumat buah itu di hadapan Sakura. "Sweet."

"Please, no fight, People."

Sakura menoleh. Sang bartender kali ini tersenyum ke arahnya. Ia tahu, senyum sang bartender dan beberapa penghuni lain menyiratkan arti yang berbeda. Sakura hanya mengangguk pelan.

"Maaf, Kawan. Dia hanya sedikit kesal. Aku memaksanya berdansa tadi," terang Naruto sembari melirik Sakura, "aku lupa bahwa ia sedang PMS."

Belum sempat Sakura membalas, sang bartender tertawa pelan.

"Hei, apa kau punya permainan?" tanya Naruto. "Sepertinya 'perempuan'-ku ini sedang boring."

"Ada papan darts. Tertarik?"

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Hinata membuka pintu rumahnya dengan malas. Ia tahu bahwa Sakura belum sampai di rumah. Mungkin masih bertemu dengan Shikamaru. Tubuh Hinata lelah. Ia mengeluh pelan. Tak seharusnya ia ikut campur semua ini. Namun terlanjur. Ia terlanjur masuk. Dan kali ini ada Sakura juga.

Dulu Uchiha Sasuke dan Uzumaki Naruto hanya mahasiswa biasa seperti yang lainnya, di mata Hinata. Yah, lepas dari sedikit kenyataan lain bahwa dua sahabat karib itu adalah mahasiswa paling wanted di kalangan kampus. Toh, ia tak peduli. Ia tak mengenal baik keduanya.

Berbicara pun tak pernah.

Semua dimulai pada pagi pertama Sakura berada di Jepang, ketika sahabatnya itu menerjang masuk untuk memukul seorang Naruto. Pagi itu adalah kali pertama Sasuke menyebut namanya—nama keluarganya. Memang namanya tak sulit untuk diingat, apalagi dengan kenyataan bahwa iris mata Hinata terkenal 'berbeda' dibanding mahasiswi lainnya.

Hinata memang tak berharap bahwa ia akan berhubungan lagi dengan pangeran es macam Sasuke, tapi sepertinya takdir senang membuatnya kesusahan. Mulai dari insiden lift hingga acara street basket, semuanya justru malah membuatnya makin tak bisa 'lepas' dari sosok pemuda itu.

Malas, Hinata merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Tangannya meraih majalahnya pelan. Iris lavender itu akhirnya melebar setelah memandang salah satu foto di sebuah rubrik.

Sosok ini ….

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Naruto menimang-nimang panah di tangannya. Dipandanginya benda itu bergantian dengan dartboard yang diletakkan tak jauh dari dinding belakang bartender di hadapannya. Naruto memejamkan matanya sebelah, mengukur jarak yang tepat untuk melemparkan panah kecil di tangannya.

Sebuah lemparan, dan panah melesat ke daerah hijau triple ring—lingkaran luar pertama yang mengelilingi titik paling tengah papan darts.

Sakura mendengus. "Payah."

Menoleh cepat, Naruto tertawa kecil. Ditatapnya Sakura baik-baik sembari mengunyah permen karetnya santai. Perempuan itu masih santai dengan gelas di tangannya—yang sudah diisi lagi oleh sang bartender—sementara panah miliknya masih tergeletak di atas meja bartender—sementara mata Sakura menatap malas ke papan di mana panah milik Naruto tertancap. "Apa itu pujian, Sakura-chan?"

"Kau memang sepayah itu, atau hanya pura-pura?" Sakura melirik Naruto dari ekor matanya lalu menenggak lagi isi gelasnya.

"Hm," Naruto menggumam pelan. "Kau berbicara seperti itu seolah kau lebih hebat dariku, Sakura-chan."

Sakura menyeringai.

"Hm, mungkin aku berpura-pura, tapi mungkin juga tidak. Who knows. Kenapa kau tidak mencari tahu sendiri? Itu keahlianmu, kan?" bisik Naruto pelan. "Menyelidikiku … sama seperti kesibukanmu sekarang."

Sakura menoleh.

"Bagaimana kalau kita naikkan taruhannya. Aku tak mau bermain tanpa ada imbalannya. Street basket dan penampilanku yang kau lihat dulu itu … bukan sesuatu yang gratis. Apa yang akan kau berikan padaku kalau aku berhasil mengenai titik bull-nya?"

Sakura menoleh malas. Ia enggan memikirkannya.

"Bagaimana dengan sebuah dance?"

"Dance?"

"Kenapa? Itu bukan sesuatu yang sulit, kan?"

Sakura memutar bola matanya.

"Hanya sebuah dance. Imbalan ringan, kan? Ini tidak seperti aku sedang memintamu menyerahkan keperawananmu, Sakura-chan. Sebuah dance tak akan menyakiti siapa pun."

Sakura melotot dan Naruto menyeringai. "Deal."

Naruto tersenyum puas. Tangan kanannya terangkat, bersiap melempar panah di tangannya ke arah sasaran pusat darts di dinding sana, dan …

"UHUK!"

Sakura terbatuk.

Dan panah itu telah menancap ke papan—di bagian tengah papan.

"Maaf ya, panahmu meleset."

Naruto memicingkan matanya. "Kau curang, mengganggu konsentrasiku."

"Aku hanya terbatuk. Salahmu sendiri."

Sementara sang bartender dan beberapa orang di meja counter bar hanya bisa memandangi papan darts sambil melirik satu sama lain sebelum akhirnya melempar pandangannya pada Naruto yang masih saling mencerca dengan Sakura. Takjub—ternyata dari jarak tiga meter, jarak yang lebih dari standardisasi permainan darts pada umumnya, sementara sang pelempar sempat terdistraksi, namun panah itu masih berada di tengah papan. Melesat dengan tepat.

Bukan pada bull (titik merah paling tengah papan) namun pada bull's ring (lingkaran yang mengelilingi titik pusat) alias bisa dibilang, panah itu meleset hanya satu senti dari pusatnya.

"Daripada kau mencibirku, kenapa bukan kau yang mengalahkanku?"

"Kenapa aku?"

"Panahku hanya meleset sedikit. Apa kau bisa merasakan orang-orang tengah menatap kita, Sakura-chan? Kalau aku berteriak dan meminta pendapat mereka tentang bagaimana lemparanku tadi, kurasa semua akan meneriakkan hal yang sama—bahwa aku menang kali ini."

Sakura menaikkan satu alisnya.

"Lemparkan tepat di tengah, dan dance yang kuminta, anggap saja tak pernah ada."

"Kalau aku berhasil, jangan pernah mencoba menyentuhku lagi."

"Hah?"

"Deal?"

Naruto mengangguk—meski ragu.

Sakura melompat turun dari kursinya. Berjalan santai, ia berjalan ke arah Naruto—mencari sisi yang sama dengan Naruto saat melempar panah. Naruto melompat turun dari kursinya, menggeser tempat duduknya agar Sakura bisa berdiri leluasa, merapat di counter untuk melemparkan panahnya.

Sakura menarik napas. Satu tangannya terangkat, mengambang di udara.

'Kalau aku berhasil, jangan pernah mencoba menyentuhku lagi.'

Mata dibalas dengan mata. Mulut dibalas dengan mulut, kan?

Tepat saat Sakura melempar benda itu dari tangannya, sepasang tangan kekar memeluk perutnya dari belakang. Dalam hitungan sepesekian detik, sebuah gigitan kecil bersarang di sisi leher Sakura—kecupan sekaligus gigitan.

Tanpa menoleh pun, Sakura tahu siapa pelakunya. Ia kenal bau rambut yang kini menempel di pipinya. Pirang.

"Hentik—"

Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Naruto menyerangnya. Lidah hangat lelaki itu menari di permukaan kulit lehernya yang mulai berdarah. Sakura sibuk berontak. Jarinya mulai mencoba mencakar lengan Naruto yang memeluk pinggangnya.

"Lepaskan aku, kau—"

"Lemparanmu meleset," bisik Naruto.

Sakura menoleh ke arah papan. Panahnya menancap di double-ring berwarna merah (garis lingkaran terluar) papan dart. Sakura gagal mengalahkannya. Masih mencoba melepaskan diri, Sakura melirik beberapa pengunjung di counter yang sama yang sedang memandang ke arahnya dan Naruto sembari tertawa geli. Merah padam, Sakura hampir berteriak minta tolong. Tapi … memangnya ini di mana? Di bar. Bukan di jalanan umum. Berteriak minta tolong karena diserang seseorang yang jelas-jelas menjadi pasangannya ketika datang adalah hal yang lebih dari kata konyol.

"Hey, Sir."

Naruto berhenti menyapu sisi leher Sakura—meski ia tak melepaskan pelukannya—lalu melirik pada sang bartender yang menyeringai, menampakkan deretan gigi-giginya sembari mengocok botol minuman di tangannya. Sang bartender menggerakkan kepalanya, menunjuk direksi ujung bar yang cukup gelap. Sebuah pintu.

Tak sempat bereaksi, tahu-tahu tangan yang melingkari perut Sakura terlepas. Dan dalam sedetik, pemuda pirang itu menarik pergelangan tangannya meninggalkan counter bar.

Bicara pun percuma. Sakura hanya diam, mencoba memberontak lewat dorongan balik dari tangannya juga kuku tangan kirinya.

Dalam hitungan detik, pintu di ujung bar itu dibuka oleh Naruto. Sebuah lorong panjang menuju ruang lain dengan banyak pintu—kamar-kamar terselubung.

"Mau apa kau!"

Naruto menghempaskan tubuh Sakura ke dinding keras lorong.

Sakit. Ngilu menyerang tulang belakang Sakura ketika ia dihempaskan begitu saja layaknya boneka usang ke arah tembok dingin dalam lorong yang cahayanya temaram. Warna yang tak jelas—antara neon kuning dan hijau—membuat penglihatan Sakura makin buram. Sakura menggelengkan kepalanya sembari menyentuh keningnya, berusaha untuk tetap sadar.

Ia mendengar suara langkah mendekat ke arahnya.

Saat Sakura mendongak, Naruto telah berdiri di hadapannya, merapat ke tubuhnya dengan ekspresi wajah yang mengeras. Pandangan matanya tajam. Tak ada seringai atau senyum menyebalkan, hanya ekspresi dingin. Garis-garis aneh yang terlukis di pipinya—yang ditengarai Sakura selama ini sebagai tato—terlihat menggelap.

"Mau apa kau?" tanya Sakura pelan—suaranya bergetar tanpa sebab.

Naruto hanya tersenyum singkat. Satu tangannya menelungkup sisi kepala Sakura sementara tangan kiri Naruto turun—menuju belah paha Sakura dan mengangkat kaki kanan gadis itu hingga menyentuh sisi panggul Naruto. Sakura melotot. Dalam sekejap, pemuda itu merapatkan tubuhnya, mendekatkan bagian tubuh terintim mereka, lalu menyerang bibir Sakura sekali lagi.

Sebuah ciuman kasar.

Tak ada waktu untuk mendesah!

Sakura kalang kabut. Tangannya yang bebas ia gunakan untuk menjambak helai pirang kepala Naruto, tapi pemuda itu justru makin merapatkan tubuhnya. Dengan gerakan buru-buru, Naruto menarik tubuh Sakura dari dinding, lalu menghempaskan lagi tubuh Sakura ke dinding.

Sakura tersedak, mulutnya terbuka, dan saat itulah lidah pemuda itu menelusuri deret giginya.

Kesal, Sakura menggigit bibir Naruto keras.

Brakk!

Sakura mendorong kasar tubuh Naruto hingga terhempas ke dinding keras di sisi lorong seberang.

"Sakit, Sakura-chan," ujar Naruto sambil tersenyum. Pemuda pirang itu menyentuh bibirnya yang berdarah sembari menyeringai. "Kau kasar sekali."

Sakura menatapnya tajam—dengan tatapan membunuh yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun. Ia berharap, ia bisa mengutuk Naruto hingga mati hanya dengan tatapannya yang keji. Melihat pemuda itu justru tertawa sambil mengusap bibirnya yang berdarah—karena Sakura gigit—membuat emosi Sakura makin naik. Gadis itu mengangkat satu tangannya, memegangi lehernya yang juga berdarah karena gigitan pertama Naruto. Cepat, Sakura juga membenahi pakaiannya yang awut-awutan, bahkan satu kancingnya ikut terlepas karena ulah kasar lelaki di seberangnya itu. Naruto bersandar di dinding, menjilati darahnya sendiri.

Pemuda pirang itu gila!

Sakura melepaskan daya tarik tembok dari punggungnya lalu melangkah maju. "Kau gila!" desis Sakura tajam. Tangan Sakura terangkat, bersiap menampar wajah Naruto.

Namun pergelangan tangannya tertahan oleh cengkeraman tangan Naruto.

Alih-alih ikut emosi, Naruto justru tersenyum. "Ck ck, jangan bersikap kasar." Naruto mengecup pergelangan tangan Sakura di genggamannya. Sontak, Sakura menarik tangannya kasar—lalu menggosokkan pergelangan tangannya di kain pakaiannya.

Sakura mendengus. Napasnya memburu. Ia masih ingat betul bagaimana tadi Naruto bersikap tak senonoh padanya, ia ingat betul bagaimana napas keduanya sempat bergumul beberapa menit tadi.

"Taruhan pertama, berhadiah dance denganmu. Lalu di taruhan kedua, kau dengan mudahnya meminta aku tak akan menyentuhmu lagi jika kau berhasil mengalahkanku dalam permainan darts tadi."

Sakura mendongak tajam pada Naruto.

Naruto hampir menyentuh dagu Sakura kalau Sakura tak menepis tangan Naruto kasar—lagi.

"Sayangnya, permainan kacangan seperti itu adalah nilai yang rendah untuk membuatku berhenti menyentuh gadis yang sudah jadi teritoriku."

"Kau mimpi!"

Naruto tertawa. "Kuberi penawaran lain."

Sakura terdiam.

"Berhenti menyelidikiku lagi, dan aku akan berhenti melayangkan jemari dan mulutku di permukaan tubuhmu, Sakura-chan."

Naruto menarik tubuhnya menjauh dari tembok, lalu melangkah mendekat pada Sakura. Sakura sontak mundur selangkah.

"Semakin kau mendekat padaku, aku tak akan bisa menjaga reaksi tubuhku sendiri."

Entah sadar atau tidak, wajah pucat Sakura mulai menunjukkan rona gelap.

"Itu kesepakatan dariku. Ingat itu."

Lalu ponsel Sakura berdering.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Hinata menanti suara di seberang teleponnya. Sambungan itu hampir terputus dalam satu nada panggil lagi kalau Sakura tidak mengangkatnya barusan. Bernapas lega, Hinata tersenyum senang. Ia segera duduk bersandar di sofa dengan sebuah majalah di pangkuannya lalu mengecilkan volume acara televisi yang sedang ditontonnya.

"Sakura-chan?"

Napas Sakura di seberang sana sedang memburu.

"Err, kau tak apa, Sakura-chan?"

"Ada apa?"

Baiklah. Hinata kenal betul nada suara macam ini. Sakura sedang dalam mood yang buruk. "A-ano, itu, aku melihat ada sebuah wacana di majalah. Sebuah acara pameran sekaligus gathering para kolektor barang antik."

"Memangnya ada apa?"

"Aku menemukan nama Sai di dalam deretan penyelenggara. Kau masih ingat, kan?"

"Tentu saja."

"Sejujurnya, aku tertarik untuk menyelidikinya, Sakura-chan. Apa kita bisa …"

Sakura mendesah cepat. Suaranya masih terdengar memburu. Napas sahabatnya itu sedang tak beraturan, ditambah lagi suara dari seberang yang terkadang terdengar bisik oleh suara musik—entah apa. "Hubungi Shikamaru. Mungkin ia bisa meminta Kiba atau Kankurou untuk bertugas di sana dan membawa kita masuk ke dalam acara itu."

Hinata hanya bisa mengangguk. "Akan kuhubungi Shikamaru."

"Iya."

"Sakura-chan?"

"Apa?"

"Kau ada di mana? Di sana bising sekali."

'Hey, Sir. Kalian sudah selesai? Cepat sekali?'

Hinata terhenyak, mendengar suara samar—yang ia tebak sebagai suara lelaki dari tawa dan dengungan di sekitarnya—yang barusan tertangkap ponselnya. "Sakura-chan?"

"Aku tak apa-apa. Aku akan pulang sebentar lagi."

"Ba-baiklah."

Dan sambungan itu terputus. Hinata menatap ponselnya dengan bingung.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

'Hey, Sir. Kalian sudah selesai? Cepat sekali?'

Sakura melirik tajam pada sang bartender dan beberapa orang di counter bar yang tertawa kecil menatap penampilannya yang sedikit acak-acakan. Melangkah cepat, Sakura mengabaikan suara menjijikkan dari para lelaki asing di bar sana.

Naruto melempar cengirannya dan melambaikan tangannya. Ia melangkah tenang di belakang Sakura, mengikuti Sakura keluar dari bar itu. "Yo, aku pergi dulu."

Melangkah sembari merutuk kesal, ia akhirnya berhasil menghirup udara luar bar—sejuk rasanya. Cepat, Sakura berbalik ke belakang, menatap tajam Naruto dan mengacungkan tangannya. "Jangan mengikutiku!"

"Yakin tak mau kuantar pulang?"

"Jangan bermimpi!"

Sakura segera berbalik dan berlari ke jalanan. Ia bergegas pergi dan mencari sebuah taksi agar bisa segera menghilang dari jangkauan mata Naruto. Naruto tersenyum sembari mengusap bibirnya. Ditatapnya sosok taksi yang akhirnya menghilang dari pandangannya. Naruto mengeratkan jaketnya. Dikenakannya tudung miliknya dan ia segera berlari ke arah tempat parkir, mencari sepedanya.

"Besok kau tidak bisa datang?"

"Aku harus mengurusi acara yang pernah kuceritakan itu, Sayang."

Naruto menghentikan langkahnya di balik salah satu mobil. Ia melirik sesaat ke sumber suara—yang volumenya makin jelas. Lelaki itu? Sepasang kekasih—satunya adalah Yamanaka Ino. Naruto ingat betul siapa perempuan itu. Kasus yang menimpa keluarga gadis itu membuat namanya dan Sasuke jadi tercemar. Sedang apa mereka di sini? Naruto mengedarkan pandangannya. Tampaknya, pasangan itu baru saja menyelesaikan makan malam di restoran samping bar yang tadi dikunjungi Naruto.

"Kan ada EO yang menanganinya."

Lelaki berwajah pucat itu tersenyum pada Ino. "Tapi aku tetap harus datang untuk menemui beberapa orang. Tak apa, kan? Akan ada banyak kolega sesama penggemar benda antik di sana. Kau tahu profesi sampinganku sebagai pelukis."

Naruto terhenyak. Ia ingat kecurigaan Sasuke tentang keterlibatan orang dalam saat terjadi pembunuhan kepala keluarga Yamanaka. Lelaki berwajah pucat itu mencurigakan. Lebih dari itu, tuduhan Sasuke tentang adanya Akatsuki makin terlihat jelas.

Naruto ingat suara Sakura saat perempuan itu berbicara di telepon tadi. Hebat baginya, ia masih bisa mencuri pandang ke arah bibir Sakura, dan untunglah ia bisa menangkap sebagian pembicaraan Sakura meski suara pub tadi benar-benar bising.

Naruto merogoh kantongnya. Sebuah ponsel butut ia keluarkan dari sana.

"Ya, Naruto?"

"Sasuke. Kita ada tugas baru."

Dengan itu, Naruto melangkah menjauh dari area parkiran mobil.

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Hinata mengedipkan matanya. Kontak lens berwarna aqua yang ia kenakan sontak membuat mata lebarnya ikut menyipit. Takjub, hanya dengan sapuan make up dan wig cokelat pendek, wajahnya tak lagi menjadi rupa seorang Hyuuga Hinata. Semua atribut yang biasanya membuat ia mudah dikenali sebagai seorang Hyuuga langsung musnah begitu saja dengan sapuan dandanan dari Sakura.

Gadis bersuara lembut itu mendesah pelan. Ia menatap Sakura yang memasang jepit antara rambut asli dan wig yang dikenakannya dengan sedikit kasar.

"Ah!"

Mata Sakura melotot. "Astaga, apa aku melukaimu, Hinata-chan? Maaf!"

Hinata menggeleng. Ia menatap sekilas sosok bayangannya di cermin meja rias kamarnya sebelum menatap lagi Sakura. "Kenapa a-aku harus didandani seperti ini?"

"Karena kau semakin gendut."

"Eh?" Wajah Hinata memerah.

Sakura mendesah. "Semalam aku menemukan banyak bungkus bakpao dan makanan lain di ruang tengah. Apa yang membuatmu frustrasi sampai kau tiba-tiba banyak makan di malam hari?"

"A-anoo…."

Sakura mencubit pipi Hinata. "Ah, pipimu makin chubby. Kau jadi makin menggemaskan dan tidak mirip denganku."

Hinata menghela napas.

"Tadinya kan kau harus menyamar jadi kembaranku dan kita bisa menggunakan identitas dua polisi wanita anak buah Shikamaru yang berada di divisi pencurian. Tapi kita sama sekali tak mirip. Alhasil, kita harus mengubah rencana. Kau harus berpura-pura jadi tamu sementara aku tetap datang sebagai detektif kiriman Shikamaru yang semua identitasnya palsu."

"Begitu, ya?"

Sakura hanya bisa menghela napas.

"Ngomong-ngomong, kenapa semalam, k-kau kelihatan … er, kesal?" tanya Hinata. "Dan apa itu plester kecil di bawah telingamu, Sakura-chan?"

Sakura meraih lehernya. "Digigit nyamuk."

"Oh."

"Ayo, kita harus segera bersiap pergi. Aku harus berangkat bersama dengan Kankurou."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

"Fox."

Sasuke melirik pintu pantry. Ia menanti sosok Naruto masuk dari sana. Sasuke memencet pengeras suara microdot di telinganya sebelum akhirnya sebuah suara lain membuatnya menoleh.

Lelaki berambut klimis pirang, dengan kacamata berbingkai hitam tebal juga berseragam layaknya office boy membuka pintu dan bergerak mendekat padanya. Ditentengnya nampan dengan gelas bening kosong lalu disodorkannya pada Sasuke.

"Giliranmu."

Naruto menatap sosok Sasuke dalam busana satpam yang dikenakannya. Dengan cekatan, Sasuke meraih gelas itu dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan. Pemuda raven itu lalu mendekat pada salah satu loker dan mengeluarkan sebuah tas wanita dari dalamnya. Dirogohnya cepat, dan sebuah bedak sampai di tangannya.

Sasuke membuka compact powder itu lalu meniupkan serbuk halusnya pada permukaan luar gelas.

Beberapa sidik jari tercetak samar di sana.

"Apa orang itu sudah tidur?"

Naruto melangkah pelan sambil mengunci pintu ruangan. Dilepaskannya kacamata tebal itu lalu telunjuknya bergerak ke arah matanya, menggeser dan membenahi kontak lens cembung berwarna cokelat yang dikenakannya. "Ya. Mudah sekali membuat sasaran tidur."

Sasuke meraih beberapa plester bening di tangannya dan merekatkannya di permukaan gelas. Ia lalu meraih sebuah sarung tangan khusus milik WinterFoxy untuk meng-copy sidik jari yang ada.

"Giliranku ke ruangannya."

"Jangan lupa, brankasnya ada di samping kiri kursinya, yang berada di tingkat lemari paling bawah, tak jauh dari filling cabinet."

Sasuke mengangguk. "Tunggulah di ruangan sekretaris. Pura-puralah membersihkan sesuatu dan tahan perempuan sekretaris itu kalau ia sudah kembali."

"Berapa lama?"

"Menurut perkiraanku, wanita itu akan kembali sepuluh menit lagi. Butuh waktu yang tak sedikit untuk membuatnya turun dari lantai delapan ke lantai dasar sementara aku telah mematikan jalur lift gedung ini."

"Bagus," ujar Naruto sembari melempar cengirannya. "Cepat temukan undangannya agar kita bisa segera datang ke acara itu."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Sebuah jaguar hitam berjalan memutari gedung lalu menjemput sosok lelaki yang mendadak muncul dari balik semak-semak. Dengan gerakan cepat, lelaki itu berhasil masuk ke dalam mobil. Lelaki itu melirik sang sopir yang tersenyum padanya.

"Lama, Sasuke?"

Sasuke mendecih. "Mobil siapa ini? Dan jelaskan padaku kenapa kau lama sekali?"

"Aku hanya memberimu waktu untuk menyempurnakan penyamaranmu sebelum masuk ke gedung. Bagaimana pun, wajah bos yang undangannya kita curi itu sulit untuk ditiru."

"Berterimakasihlah pada topeng karet ini, sekaligus kebiasaan lelaki itu yang senang memakai kacamata hitam dan kumisnya yang tebal."

Naruto tertawa kecil. "Aku harus memastikan mendapatkan mobil paling bagus untuk kuparkir dari lobi ke tempat parkir."

"Hn. Dan penyamaran kita sempurna sekarang."

.

o.O.o.O.o.O.o.O.o.O.o.O

.

Hinata berjalan pelan menuju pintu masuk gedung. Ia melirik ke kanan, menatap sosok Sakura yang meliriknya dan berdiri bersama Kankurou di sana. Sial. Kenapa ia harus sendirian? Ia tak terbiasa ikut campur dan ia telah lama tak merasakan masuk gedung dan bercampur baur dalam acara besar orang-orang terhormat.

Sudahlah, yang penting ia masuk dulu ke dalam gedung ini.

Melangkah pelan sambil mengangkat gaun silk yang dikenakannya, Hinata mengangkat wajahnya. Saat itulah sebuah mobil menghentikan gerakannya tepat di sampingnya. Hinata menoleh, dan ditatapnya sosok lelaki berkumis bertubuh jangkung turun dari mobil.

'Tamu?' batin Hinata. Gadis itu berhenti melangkah. Ditatapnya sosok itu baik-baik.

Sasuke ikut terdiam. Ia menatap sosok perempuan asing di hadapannya dengan curiga. Seingatnya, tak ada wanita berwajah seperti ini dari list tamu yang ia cari semalam. Siapa dia?

Naruto sempat terdiam namun ia cepat bergerak saat merasa sebuah limosin perak bergerak di belakang mobil yang dikendarainya. Ia bisa melihat bocah valet parking yang lain mendatangi calon mobil tamu di belakangnya.

Sementara Hinata, entah setan apa yang merasuk otak gadis itu, tangan Hinata terangkat, seolah akan menggapai wajah lelaki berkacamata di hadapannya.

'Kumis … palsukah?'

Mata Sasuke melebar di balik kacamata pekat yang ia pakai. Ia segera menepis tangan Hinata dengan kuat saking kagetnya.

Dan high heels—yang menyiksa kaki Hinata sejak sore itu dengan sukses membuatnya tergelincir. Hinata oleng. Saat itulah limosin silver itu bergerak ke arahnya.

Tiiiinn!

BRAKK!

Mata Sakura melotot. 'HINATA!'

Tubuh gadis indigo itu tersenggol bodi limosin silver yang melaju dengan cukup keras. Dalam sekejap, Hinata ambruk di lantai luar lobi. Gadis itu tak bergerak. Sasuke melotot dan hampir tak bisa berkata apa-apa.

Kerumunan orang—satpam gedung menghampirinya dan Hinata. Sang sopir limosin ikut turun mengecek Hinata. Diam-diam, Sakura menarik Kankurou untuk menghampiri Hinata. Cemas menyergap dadanya dengan sangat. Sakura kebingungan, ketakutan.

"Nona?" panggil seorang satpam sambil mengguncang tubuh Hinata.

"Tuan?" Kini sang satpam menatap Sasuke dalam sosok penyamarannya.

"Maaf. Dia…." Keringat bercucuran membasahi kening Sasuke. "Dia istriku! Maaf, biar kuurus dia!"

Dalam sedetik, Sakura melotot.

"Sebaiknya ia dibawa ke dalam. Kami akan menyediakan ruangan untuk Tuan.…"

"—Hajime Seichiro," ralat Sasuke cepat.

"Kami akan menyediakan ruangan untuik Anda dan istri Anda, Hajime-san."

Sakura meremas pergelangan tangan Kankurou. Ia hanya bisa menatap Hinata yang pingsan dari balik tubuh para satpam dan pihak acara gedung. Mendadak darahnya berdesir. Ia takut … terjadi apa-apa pada Hinata. Ia telah berjanji pada Neji bahwa ia akan menjaga Hinata—dulu. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Ide ini buruk sekali. Harusnya ia yang bertukar posisi dengan Hinata. Sakura merutuk. Rasa khawatir membuatnya ingin menerjang kerumunan dan menarik tubuh Hinata. Matanya mendadak memanas. Ia hampir menangis. "Hinata …," bisiknya pelan. Kankurou meraih ponselnya, bersiap menghubungi atasannya.

Sakura hampir menangis lagi.

Namun air matanya tertahan, saat tanpa sadar, ia menatap dua jari tangan kanan Hinata—yang tergantung di udara ketika ia digendong oleh lelaki tamu berkumis yang mengaku suami Hinata—bergerak pelan …

… dan membentuk sandi permainan semasa Sakura dan Hinata masih bersekolah dulu.

Sandi singkat.

'Percaya padaku, Sakura-chan.'

.

.

.

.

.

TBC


A/N:

FINALLY! HAHAHAHA! Akhirnya Night lanjut juga ini penpik. Astaganagaaa~ beberapa waktu lalu, Night sempet cengok pas ngecek FNE, ada penpik yang di-update setelah lebih dari satu tahun lamanya. Daku gak mau kek gituuuu~

Maka daku berusaha untuk kembali mengais ide-ide lama untuk para multichapter yang sempat terhiatus (?)

Dan inilah langkah pertama: UPDATE CATCH YOU CATCH ME!

Daku ini susaaaah banget nepatin janji. Sumpah deh. Selalu adaaa aja kendala buat update. Padahal daku juga dongkol kalau ada penpik favorit yang gak kunjung lanjut. Tapi apa daya. Kini daku sedang mencoba memperbaiki semuanya ^^

Semoga tidak ada yang acakadut di chapter kali ini.

Maaf, daku baru bisa menampilkan lime di NaruSaku-nya. SasuHina sih jelas ada, tapi nantiiiiiiii~~~ *nanti kapan ya?* :D

HAPPY BIRTHDAY, HYUUGA HINATA! Semoga cepet jadian sama Neji #eh

#dibazooka

REVIEW?

.

.

.

.

.

V