Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning : Gender bender, sedikit Ooc, dan miss typo,

Ini merupakan translate dari fic pertamaku, be happy naruko. Semoga kalian menikmatinya!


Chapter 1: 17 tahun

malam semakin larut, Konoha terlihat damai malam ini dan juga sangat sibuk. Seluruh kota terlihat sibuk menghadapi festival besok. Festival yang diadakan setiap tahun di Konoha dalam rangka memperingati hari dimana Konoha diselamatkan oleh Hokage keempat. Hari dimana Kyubi menyerang dan menghancurkan kota, sehingga hokage keempat dan istrinya Uzumaki Kushina, harus merelakan nyawanya dan merelakan anaknya tercinta, Uzumaki Naruto, untuk dijadikan Jinchuriiki dihari anak itu baru lahir. Beberapa tahun yang lalu, Konoha selalu merayakannya tanpa 'pemeran utama'. Sang Uzumaki yang telah menjadi penyelamat kota. Mereka terlalu sibuk menyalahkan Kyubi yang kini ada dalam tubuh sang bocah. Mata hati mereka tertutup oleh kebencian. Mereka tidak pernah sadar bahwa mereka telah menghancurkan hidup sang bocah itu sendiri, sang bocah penyelamat desa ini.

Tapi kemudian, bocah pirang itu hanya menunjukkan keramahan. Ia selalu terlihat ceria meski seluruh desa membencinya. Ia tak pernah berhenti berteriak mengatakan 'aku akan menjadi Hokage yang hebat! Believe it!'. Ia dan seluruh semangat serta kebaikan hatinya sekali lagi menyelamatkan desa saat Pain –ketua Akatsuki- menyerang desa dan menghancurkannya. Kemudian dengan kebaikan hatinya pulalah ia menjadi salah satu pahlawan yang dikagumi banyak orang kini. Uzumaki Naruto telah menjadi shinobi terhebat dan sebentar lagi –perlahan tapi pasti- ia akan menjadi hokage terhebat seperti ayahnya, Namikaze Minato.

Seluruh penduduk desa menjadi merasa bersalah, bukan karena pemuda itu mengatakan bahwa ia sakit hati dengan perilaku mereka selama ia hidup, tapi karena malah pemuda itu tak pernah menyinggung masalah itu, mengenai luka yang diterimanya dari kebencian para penduduk desa, ia hanya menunjukkan keramahan yang seperti biasa dan keceriaan yang selama ini ia tunjukkan. Karena itulah, tahun ini, mereka akan merayakannya dengan penuh kemeriahan. Tentu dengan menjadikan 'sang penyelamat' menjadi benar-benar seorang 'hero' untuk desa ini. Mereka ingin menebus semua kesalahan mereka. Mereka akan menjadikan besok adalah hari terindah bagi sang Kyubi container itu. Ia memang layak, sejak dulu, hanya mereka terlalu buta oleh kebencian

Setiap orang di desa itu terlihat sibuk mempersiapkan acara besok. Semua orang terlihat senang. Tersenyum dan bahagia. Mereka tak sabar melihat kebahagiaan di wajah sang 'pahlawan' mereka. Mereka menyiapkan semua ini tanpa sepengetahuan Uzumaki Naruto, 'sang pahlawan'. Mereka ingin memberi kejutan, festival ini juga bertepatan dengan ulang tahun pemuda itu yang ketujuh belas. Mereka harus menjadikannya hari yang tak terlupakan oleh pemuda berambut pirang yang telah mencerahkan Konoha.

Sementara para penduduk desa sedang sibuk dan larut dalam kebahagiaan, di sudut desa itu, sebuah apartemen kecil yang dihuni seorang pemuda berambut pirang terlihat sepi. Pemilik kamar itu duduk di sebuah kursi kecil dekat tempat tidurnya. Ia menutup matanya, menyandarkan kepalanya ke dinding dan berusaha berpikir. Sebutir air mata mengalir dari matanya yang tertutup. Hatinya sakit, sangat sakit. Besok, ulang tahunnya yang ke tujuh belas dan itu akan menjadi hari terburuk dalam hidupnya. Karena semua mimpi buruknya akan terjadi besok seperti yang dikatakan sang ayah.

"Saat umurmu mencapai 17 ... Jutsu yang kami pakaikan padamu akan musnah Naruto... maafkan kami.."

Bulir air mata makin membanjiri pipinya dimana terdapat 3 goresan di tiap sisinya itu. Ia membuka matanya, lalu mengamati kamar yang telah dihuninya selama 17 tahun –kurang sehari- itu. Tak ada sampah, semua rapih , sangat rapih... ia baru saja membersihkan semuanya. Termasuk semua barang-barang yang akan diperlukan olehnya. Yah, yang diperlukannya. Karena ia bermaksud pergi dari desa ini malam ini juga. Ia melirik jam di meja dekat tempat tidurnya itu. Pukul 9 malam.

Belum... sedikit lagi...

Ia menunggu sambil kembali menutup matanya. Keramaian desa malam itu justru menyakiti hatinya. Mengingatkannya pada masa lalu yang menyakitkan, masa lalu dimana setiap tahun di acara itu pasti rumahnya akan menjadi tempat sampah, penuh coretan dan ia sendiri akan dilempari apa saja yang busuk dan tidak pantas. Menyakitkan, sangat menyakitkan. Ulang tahunnya menjadi trauma tersendiri bagi dirinya. Makanya, selama ini ia tak pernah menganggap ulangtahunnya ada. Ia mengubur semua mimpi buruk itu dengan terlihat ceria dan bahagia. Tidak memperdulikan tatapan penuh kebencian yang diberikan oleh para penduduk desa. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia menangis, hatinya terluka, sangat terluka. Ia masih bisa bertahan sebelumnya. Tapi hari ini, ia tak kuat lagi. Besok, jutsu yang diberikan ayahnya akan sirna. Yah, jutsu untuk mengelabui semua orang bahwa ia adalah laki-laki. Dan semua itu akan sirna besok. Dan ia terlalu lemah –mental- untuk menghadapi mimpi buruk itu.

Ia tak tahu bahwa ia adalah perempuan. Benar, ia perempuan, ia terlahir sebagai perempuan, namun kedua orang tuanya memasang jutsu untuk menjadikannya laki-laki. Hasilnya, ia hidup sebagai laki-laki selama 16 tahun tanpa ia sendiripun mengetahui hal ini. Ia tersenyum miris saat mengingat pembicaraan dengan sang ayah. Ia bahkan baru tahu siapa orang tuanya saat ia berusia 16 tahun. Saat percakapan itu... percakapan yang telah menghancurkan seluruh pertahanan hatinya.

"Pe..perempuan...?" tanya Naruto. Sang hokage keempat mengangguk, wajahnya terlihat sedih, menyiratkan rasa bersalah yang besar pada putra –putri- satu-satunya yang ia miliki.

"Maafkan kami Naruto... kami harus melindungimu... dan satu-satunya cara adalah membuatmu terlihat sebagai laki-laki... dan jutsu itu akan musnah di hari ulang tahunmu yang ke 17..." Minato menatap Naruto. Ia terlihat sangat merasa bersalah telah menjerumuskan putrinya sendiri pada kenyataan yang menyakitkan ini.

"Tapi... kenapa?... kenapa harus seperti ini?" tanya Naruto lagi.

"Percayalah Naruto, suatu saat kau pasti tahu alasannya. Aku tak punya banyak waktu untuk menjelaskannya padamu. Yang pasti sebentar lagi kau pasti tahu" ucap sang ayah. Ia masih terlihat bersalah.

Naruto terdiam sesaat, lalu tersenyum pada ayahnya. "Yah... aku percaya...aku tahu kalian pasti punya alasan yang kuat... aku.. aku... akan baik...baik saja.." ia memaksakan senyum khasnya plus cengirannya yang ceria.

Minato tersenyum sedih menatap anak satu-satunya itu kemudian Ia mendekapnya. "Naruto... berbahagialah setelah ini... kau pantas untuk bahagia..".. ia tersenyum dan menatap putrinya itu.

Naruto tersenyum sedih. "Pasti Oto-san...aku akan bahagia..."

.

.

.

Naruto terbangun dari tidur singkatnya. Ia segera mengambil barang yang telah dipersiapkan sebelumnya, sekilas ia melirik jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 11.45 malam. Naruto hanya punya waktu 15 menit untuk keluar dari desa ini sebelum ia berusia 17 tahun. Ia memastikan bahwa ia telah mengunci pintu kamarnya itu dan berjalan menuju jendela kamar. Ia memanjat jendela kamarnya menuju atap kemudian menggunakan jutsu untuk menghilangkan keberadaan cakranya. Ia mengendap-ngendap keluar dari desa itu dengan sempurna.

Nafasnya kini memburu, 2 menit lagi ia berusia 17 tahun. Ia berjalan cepat sambil berusaha menenangkan kondisi tubuhnya yang semakin tak bisa diajak kompromi itu. Pandangannya mulai kabur. Ia berjalan melewati semak-semak di hutan dekat desa konoha itu. Merasa tak sanggup lagi untuk berjalan, ia menyandarkan tubuhnya di pohon besar dan berusaha untuk menormalkan pandangannya. Tubuhnya kini penuh rasa sakit. Ia tak tahan lagi, pandangannya semakin kabur, ia merasa sekitarnya semakin berputar-putar dan ia masih bisa menangkap sosok kodok besar sebelum akhirnya ia pingsan karena rasa sakit yang dirasakannya.

.

.

.

6 jam kemudian...

Naruto mengerjapkan matanya, yang kemudian disambut oleh suasana klasik sebuah kamar berdinding kayu. ia berusaha mengingat hal terakhir yang terjadi sebelum ia pingsan. Namun nihil, ia tak mendapat petunjuk apapun yang membuatnya berada di kamar ini.

"Kau sudah bangun Naruto-chan?" sebuah suara lembut yang ramah menyentakkan naruto dari pikirannya tentang keberadaannya sekarang. Ia menoleh ke arah sumber suara. Shima –Toad sennin- sedang memandangnya dengan ramah.

"Nenek Shima?" ucap Naruto akhirnya. Shima berjalan menuju tempat tidur dimana Naruto berbaring. Melihat Shima berjalan ke arahnya, Naruto berusaha untuk bangun yang hanya berakhir pada rasa sakit pada seluruh badannya. "Jangan dipaksakan Naru-chan, badanmu sedang berusaha untuk terbiasa dengan kondisi yang baru setelah 17 tahun" jelas Shima.

Mendengar kata-kata dari Shima membuat Naruto teringat sesuatu yang menjadi alasan utamanya berada di tempat ini. Ia meneliti badannya sekarang, kulitnya tetap berwarna kecoklatan, hanya terlihat lebih lembut dan halus, tangannya sedikit mengecil, rambutnya mulai memanjang sebahu, wajahnya semakin membulat dan ia sekarang mempunyai ...dada!

Nenek Shima tersenyum melihat Naruto mulai menganalisa 'tubuh' barunya. Pemuda –eh- gadis itu terlihat bingung dan sedikit syok dengan apa yang ditemukannya dari hasil analisa pada tubuhnya itu. Naruto mengepalkan tangannya kuat-kuat saat menyadari perasaannya berkecamuk karena perubahan yang menyayat hati dan membuat dirinya percaya bahwa hidupnya benar-benar penuh kekacauan. Nenek Shima menggenggam tangan gadis bermata biru itu dan berusaha menenangkannya, ia tahu bahwa Naruto pasti sedikit terguncang. Meski gadis itu sudah tahu hal ini akan terjadi sejak tahun lalu dan pasti telah mempersiapkan mentalnya, tetap saja kenyataan itu sangat berbeda saat ia dihadapi. Seketika mental dapat jatuh ketika kita menghadapi masalah itu.

"Naru-chan... aku tidak mau berbicara banyak... tapi berusahalah, dan percayalah pada orang tuamu bahwa mereka tak pernah bermaksud jahat saat memutuskan untuk menggunakan jutsu itu padamu.."

Naruto tertunduk lesu, "A..aku tahu... aku percaya... hanya saja... ini .. sedikit berat..." ucapnya menahan sesak di dadanya dan air mata yang telah tergenang sejak tadi di matanya.

Nenek Shima hanya tersenyum sedih melihat gadis di depannya terlihat rapuh. Ia teringat betapa cerianya gadis ini sebelum mengetahui kenyataan bahwa ia adalah perempuan. Ia juga ingat bahwa gadis ini telah berhasil melewati kesulitan hidupnya dengan senyum yang tak pernah hilang. Ia selalu bersemangat dan ceria meski semua orang di desa itu membencinya yang merupakan seorang wadah dari siluman berekor 9, Kyubi.

"Kenapa aku bisa disini nenek Shima?" tanya Naruto kemudian, yang menyadarkan nenek kodok itu dari lamunannya. "Eh? Ng.. Fukusaku memerintahkan Gamatora untuk mengawasimu sejak kemarin. Ia merasa kau akan butuh bantuan sehingga perlu ada seseorang yang siap selalu" jelasnya.

"Aku sudah mengganti pakaianmu dan... tenang saja, tak ada yang tahu kau berada di sini" ucapnya lagi sambil berjalan menuju pintu.

"Istirahatlah dulu, aku akan membuatkan makanan untukmu" kata Nenek Shima sebelum keluar.

.

.

.

Di Konoha jam 7 pagi

Sakura, Sai dan Kakashi berada di depan apartemen Naruto sekarang, "Yosh! Kita bawa Naruto menuju acaranya!" ucap Sakura semangat, ia benar-benar bahagia hari ini. Untuk pertama kalinya, ulangtahun Naruto –sahabatnya- akan dirayakan bersama seluruh penduduk desa Konoha. Ia terlampau senang hingga menghabiskan malamnya kemarin bersama para penduduk desa untuk mempersiapkan festival sekaligus ulangtahun Naruto. Mereka bertiga kemudian berjalan menuju kamar Naruto.

KNOCK!KNOCK!

"Naruto! Apa kau sudah bangun?" panggil Sakura yang kini berada di depan pintu kamar Naruto sedangkan Sai dan Kakashi di sebelah kiri dan kanannya. Tak ada jawaban dari dalam kamar itu. Sakura melirik ke arah Kakashi dan Sai dengan wajah sedikit khawatir, kemudian ia mulai mengetuk pintu itu lagi.

KNOCK! KNOCK!

"Naruto! Ini aku ,Sai dan Kakashi-sensei, boleh kami masuk?" ucap Sakura lagi, namun kemudian tak ada jawaban lagi, setelah melirik Sai dan Kakashi, Sakura akhirnya memutuskan untuk masuk saja, ia mulai memutar knob pintu itu, namun ,KLIK! Terkunci.

Ia menoleh pada Kakashi dengan wajah panik yang tak dapat ia sembunyikan lagi. "Ka..Kakashi-sensei... pintunya terkunci.." ucapnya pada pemuda berambut perak itu. "Apa kau yakin? Ia tak pernah mengunci pintunya di pagi hari bukan?" tanya Kakashi dan hanya dijawab oleh anggukan Sakura serta wajah paniknya. Sakura berpindah posisi ke arah samping agar Kakashi mengambil posisi di depan pintu itu.

Kakashi mengetuk pintu itu lagi. "Naruto? Ini aku, Kakashi, apa kau di dalam? Buka pintunya?" ia memasang telinganya di depan pintu untuk mencari suara yang dapat memberikan tanda bahwa pemuda berambut pirang itu ada di dalam, namun.. nihil. Tak ada jawaban dan tak ada tanda-tanda bahwa ia ada di dalam kamarnya.

Mereka bertiga saling berpandangan, masing-masing dengan perasaan yang sedikit khawatir. "Ada apa Kakashi-sensei?" tanya Sai, wajah tanpa ekspresi itupun mau tak mau sedikit memperlihatkan tanda khawatir. Kakashi menggelengkan kepalanya, "Aku tak tahu... sepertinya ia tak ada di kamarnya" ucapnya pelan.

"Apa maksudnya? Dia tak ada disini? Lalu, dimana dia?" tanya Sakura yang kini tak bisa lagi menyembunyikan rasa khawatirnya. Entah kenapa, perasaannya mengatakan, sesuatu telah terjadi dan ia mungkin tak bisa bertemu dengan Naruto lagi.

"Entahlah Sakura... kurasa satu-satunya cara saat ini hanya mendobrak pintu ini.. perasaanku sedikit tak enak" ucapnya lagi, Sakura hanya mengangguk, ia juga berpikiran yang sama, bahkan Sai pun terlihat menyetujui mereka. Ada yang aneh...

Sebelum Kakashi melakukan atau mengatakan sesuatu, Sakura sudah memukul dan menghancurkan pintu kamar Naruto dan dengan perlahan ia masuk, dua orang yang lain hanya bisa terpana antara kagum dan kaget ... mereka mengikuti langkah Sakura yang mulai memasuki dan memeriksa ruangan Naruto.

"Ka..Kakashi-sensei..." ucap Sakura, Kakashi menoleh, gadis itu terlihat pucat karena panik, "Ruangan ini... bersih..." jelasnya, entah kenapa kebersihan ruangan itu menjadi pertanda buruk bagi mereka, mungkin karena selama ini yang mereka tahu adalah Naruto sangat jarang membersihkan kamarnya. "Se..sesuatu telah terjadi...Naruto! Naruto! Dimana kau?" teriaknya panik sambil memeriksa setiap ruangan yang ada di kamar itu. Ia juga memeriksa setiap tempat yang mungkin memberi petunjuk, seperti laci-laci dan lemarinya.

"Ada apa Sakura?" tanya Kakashi yang menyadari raut wajah Sakura semakin panik saat ia memeriksa lemari pakaian Naruto. Sakura menoleh dan memperlihatkan kepanikannya,"Pakaiannya... banyak yang tak ada.." ucapnya kemudian.

Mereka bertiga diam untuk beberapa saat, lalu ucapan Kakashi membuat mereka bergerak menuju kantor Hokage "Naruto menghilang, kita harus melaporkannya pada nona Tsunade".

"Nona Tsunade!"ucap Sakura yang dengan segera menerobos masuk ke dalam kantor hokage, mengabaikan seluruh tata krama yang seharusnya dilakukan, tapi ini menyangkut Naruto, di hari ulangtahunnya. Tsunade yang berada di meja kerjanya itu mengernyitkan kening, lumayan terganggu dengan sikap 'tidak sopan' yang dilakukan tim 7 itu, sementara Shizune berada tepat di sampingnya. Sai dan Kakashi sudah berdiri disamping Sakura, bersiap jika perempuan itu menjadi lebih histeris dan tak bisa menjelaskan detilnya pada sang Hokage.

"Ada apa? Aku tidak akan mengampuni kalian jika berita yang kalian bawa itu tidak sepenting menjaga tata krama untuk tidak langsung menerobos masuk ke dalam kantor ini" ucap Tsunade dingin sambil menatap Sakura. Ia bisa menangkap semburat panik di wajah gadis berambut pink itu.

"A..Na..Naruto..." ucap Sakura yang terlihat sangat panik itu, Sai mengambil inisiatif untuk mencoba menenangkan gadis itu, dengan menepuk pundaknya dan menatap lembut. Kakashi mengambil alih tugas menjelaskan perkara pada sang Hokage. "Ia menghilang" ucapnya singkat yang menyebabkan mata Tsunade membelalak lebar tak percaya, seketika itu ia lalu berdiri dari tempat duduknya.

"A..apa? bagaimana bisa?" tanyanya lagi, Kakashi menggeleng, "Kami tak tahu, nona Tsunade, kamarnya kosong, seluruhnya bersih dan beberapa pakaiannya hilang... dugaan terburuk saat ini... ia pergi dengan kemauannya sendiri... dan entah kemana.." jelasnya.

Hening sesaat di kantor itu, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. "Shizune" panggil Tsunade.

"ya , Hokage-sama?" ucap perempuan berambut hitam itu.

"Kirim ANBU untuk membantu Tim 7 mencari lokasi Naruto!" perintahnya. "Baik, Hokage-sama" ucapnya. Tsunade lalu berbalik ke arah tim 7 di depannya. "Kakashi! Kuperintahkan tim 7 untuk mencari Naruto!" Kakashi mengangguk "Very well, Hokage-sama" dan merekapun meninggalkan ruangan sehingga tersisa sang hokage sendiri yang ada di kantor itu.

Tsunade terduduk lemas di kursi kerjanya. Wajahnya ia tundukkan kebawah, dahinya menyentuh jari-jarinya yang kini bertautan untuk menyanggah kepalanya.

Dimana kau Naruto? Kenapa kau pergi di hari ulangtahunmu? Apakah kau tidak sanggup lagi berada di sini? Apakah desa ini terlalu menyakitimu?...


A/N : mungkin rada sedikit berbeda, soalnya kosa kata dalam bahasa Inggris dan Indonesia tentu tak akan sama sehingga beberapa kata perlu ditambahkan di dalamnya.

Yosh! Mind to Review?