Disclaimer: Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira, Il Mio Amore © Ileyra
Avviso: Soft Shonen-ai, a lot of OOC, some OCs, totally AU.
Appaiamento: Definitely D18, 6927 with slight 6918 and a hint of G27.
Ambiente: Italy
Capitolo 1. Siamo Incontra
...dan di sanalah takdir mempertemukan kita...
Hal yang pertama kali ia lihat saat membuka mata adalah langit yang gelap, seolah-olah baru saja terbakar sampai hangus. Suara gemuruh petir terdengar menggelegar di telinganya, meninggalkan suara dengungan sesaat. Matanya yang perih berkeliling melihat sekitar. Ah, nampaknya ia berada di sebuah celah di antara dua gedung yang tinggi.
Beberapa detik kemudian, laki-laki bersurai hitam itu masih saja terbaring di sana, di atas beton dingin yang kotor. Setetes air jatuh ke wajah dan mengalir dengan lembut lewat pipinya.
Hujan...
Dengan menggunakan sisa tenaga terakhir, pria muda itu mencoba berdiri. Ia hampir saja terjatuh bila tangan kanannya tak refleks berpegangan pada sebuah tiang.
Sakit...
Tubuhnya terasa lemas dan tercabik. Hujan yang cukup deras membasahi semua permukaan kulit pucatnya, membuat lelaki itu sedikit menggigil kedinginan.
Apa yang terjadi?
Ya, hal yang ia coba lakukan sekarang adalah mengingat kejadian yang ia alami sebelum tergeletak seperti mayat. Tapi sakit kepala yang menusuk-nusuk sama sekali tidak membantu memorinya.
"Aku akan menemukanmu Kyouya...meski lari ke ujung dunia...atau sembunyi di balik bayang-bayang kegelapan pun, tangan ini akan selalu menjangkaumu. Kau tahu...?"
"Uukh..." kepalanya berdenyut-denyut saat sebuah suara tiba-tiba terdengar jelas di bawah alam sadarnya, seperti sebuah telepati yang berusaha untuk mengambil alih kendali otaknya. Serta merta Hibari bersandar pada salah satu dinding yang dingin dan licin. Kemudian tubuhnya merosot...dan merosot... dan merosot...hingga akhirnya jatuh terduduk sambil memegangi kepala dengan kedua tangan. Rasa sakitnya tajam sekali.
"Aku masih bisa melihatmu di sana Kyouya..."
Hibari mendongak, mendesis pelan ke arah sesuatu yang tak nampak di depannya, "Berisik..."
"Kau sendirian lagi kan? Kesepian lagi kan?"
"Apa maumu?!"
Hibari memaksa tubuhnya untuk berdiri. Memerintah kakinya untuk pergi dari sana sejauh mungkin. Dan dia bersyukur karena usahanya itu berhasil. Beberapa orang berpayung menjerit kaget saat Hibari tiba-tiba muncul begitu saja dari gang sempit dengan keadaan yang berantakan.
"Lari pun percuma Kyouya..."
Alih-alih mempedulikan beberapa orang yang memandanginya dengan ketakutan, Hibari memacu kakinya menerobos hujan. Berusaha kabur dari suara-suara samar yang menggaung di benaknya. Suara asing itu terus menerus terdengar ke manapun ia pergi. Seolah-olah ada speaker kecil yang menempel di telinganya. Beberapa kali ia mendengar hinaan, ejekan, kritikan, tak lepas dari caci maki yang pedas.
"Hei! Lihat-lihat kalau jalan!" Seru salah satu pejalan kaki yang secara tak sengaja ditabrak oleh Hibari hingga nyaris terjatuh. Tapi apa pedulinya? Hibari tidak ingin repot-repot kembali dan minta maaf, dia malah mempercepat larinya sebelum timbul masalah.
Hibari berhenti di depan toko kue sambil menarik nafas. Tangan kirinya menempel pada kaca etalase toko untuk tetap menjaga keseimbangannya. Sakit kepala dan suara menjengkelkan itu masih membuntuti, membuatnya frustasi.
"Kalau berhenti aku bisa menangkapmu, Kyouya..."
"Berisik!"
Hibari kembali berlari namun tak lama kemudian berhenti lagi karena tenaganya mulai hilang. Tubuhnya merinding, entah karena terlalu lelah atau kedinginan. Ia mulai berjalan tanpa arah sambil memeluk dirinya erat-erat. Langkah yang gontai dan nafas yang terlalu cepat membuat Hibari tak menyadari bahwa ia tengah menyebrangi sebuah jalan raya.
"Aku masih bisa melihatmu di sana..."
Berisik! Kubilang berisik! Bersisik! Berisik! Beri—
"HEEEI! AWAAASS!"
'CKIIIITT—BRAAAK'
"..."
.
.
.
Hibari membuka mata pelan-pelan.
Benaknya segera terisi dengan berbagai macam pertanyaan. Apa dia sudah mati sekarang? Apa dia sudah berada di alam lain? Barusan ia yakin kalau sebuah mobil sedan hitam melaju kencang ke arahnya. Dengan kecepatan seperti itu, direm sekuat apapun mustahil akan berhenti.
Namun ketika ia menoleh, seorang laki-laki berambut pirang keluar dari mobil hitam yang menabrak tong sampah besi sampai penyok dan berlari menghampirinya dengan panik. Kedua tangannya kuat menggenggam lengan Hibari.
"Kau terluka?" tanyanya. Hibari menangkap sosok pria yang lebih tinggi darinya itu. Mata emas yang bersinar cemerlang membuatnya yakin kalau dia masih ada di bumi sekarang. Dia masih hidup.
"Kau baik-baik saja?" tanya laki-laki itu lagi, tapi Hibari masih diam, terkejut karena suara yang sedari tadi meracuni otaknya itu sudah hilang sekarang, tergantikan oleh suara lembut milik pria di depannya. Hibari hanya sanggup mengangguk pelan sesaat sebelum pandangannya menjadi blur dan kesadarannya mulai lenyap. Tapi tubuhnya yang kehilangan tenaga tak jatuh di atas aspal keras, melainkan ke sebuah pelukan hangat yang entah mengapa, membuatnya merasa aman. Kendati dengan mata tertutup, Hibari masih bisa mendengar suara laki-laki itu berteriak-teriak meminta pertolongan.
.
.
.
Untuk kedua kalinya Hibari membuka mata setelah kehilangan kesadaran. Tapi syukurah, kali ini langit yang cerah menyambutnya, disertai kicauan burung yang bersahut-sahutan. Udara segar keluar masuk dari jendela dengan tirai putih berkibar-kibar di bingkainya. Ahh...panorama yang tipikal di Italy.
"Oh, sudah bangun rupanya?" tanya seseorang dari arah pintu masuk. Hibari bangkit lalu menoleh pelan. Laki-laki berambut pirang dengan wajah original itu—dia orang yang menabraknya kemarin, yah—nyaris menabraknya. "Bagaimana perasaanmu?"
"..." Hibari diam. Laki-laki itu memandanginya dengan heran lalu datang menghampirinya sambil menyunggingkan senyum polos.
"Ah, tenang saja, aku bukan orang jahat." Katanya. "Namaku Dino."
"..." Hibari masih diam, dan hal ini membuat Dino semakin kebingungan.
"Hei, kau baik-baik saja kan?"
Hibari mengangguk.
"Kau bisa bicara tidak?"
Hibari mengangguk lagi.
"Baiklah, siapa namamu?"
"..." Hibari kembali diam, dan kali ini Dino pun diam. Oh man, nampaknya ini akan sulit.
"Hibari..." tiba-tiba saja laki-laki yang duduk di tempat tidur itu bergumam pelan, nyaris tak terdengar. "Hibari Kyouya."
"Ok, emm...Hibari...apa kau punya nomor yang bisa dihubungi? Keluargamu mungkin sudah cemas sekarang." Tanya Dino sambil mengeluarkan HP-nya, siap-siap untuk mencatat nomer.
"Aku tidak punya keluarga..."
"Oh? Kau tinggal sendiri?"
Hibari tak menjawab, matanya menyipit memandangi selimut yang menutupi kakinya. Sementara kedua tangannya mengepal. Dino yang melihat reaksi itu mulai mengambil kesimpulan bahwa Hibari mungkin memiliki pengalaman buruk dengan 'keluarga'. Mungkin juga ia baru saja kabur dari keluarganya.
"Baiklah, maaf." Sahut Dino sambil memasukkan HP ke dalam saku celananya. "Kalau begitu—aku akan mengantarmu pulang ke rumahmu."
"Aku juga tidak punya rumah..."
"Hah?"
"Aku tidak punya apapun."
Tidak punya keluarga dan tidak punya punya rumah? Apa dia gelandangan? Tapi—rasanya mustahil.
"...Kau serius?"
Hibari men-death glare Dino dan hal itu cukup untuk membuatnya yakin.
"Ba-baiklah kalau begitu kita sarapan dulu, kau lapar kan?"
.
.
.
Beberapa menit kemudian Hibari yang masih mengenakan piyama kebesaran duduk di meja makan tanpa mengatakan apapun. Dino menyuguhkan sepiring pancake panas padanya. Ah, aromanya sedap, membuat Hibari sadar bahwa ternyata ia memang sedang lapar.
"Mau teh, kopi, atau susu?" tanya Dino bak seorang pelayan.
"Teh."
"Baiklah."
Selesai menuangkan teh ke dalam cangkir Hibari, Dino mengambil tempat duduk bersebrangan dengannya.
"Jadi, kemarin kau kenapa?" tanya Dino sambil melahap pancake dalam suapan besar. Mulutnya langsung saja terisi penuh.
"Tidak apa-apa." Jawab Hibari sambil menyeruput teh di depannya. "Hanya terlibat perkelahian biasa."
"Owh." Dino mengangguk mengerti sambil terus menghabiskan sarapannya. Sementara Hibari yang makan dengan anggun memperhatikan setiap sudut ruangan. Rumah ini cukup luas sebenarnya, dan daripada disebut rumah, bangunan bak kastil ini lebih cocok disebut mansion. Berbagai furniture mewah mendominasi setiap rungan sehingga memberi kesan kalau Dino adalah orang kaya.
Terlalu kaya.
"Kau tinggal sendiri?" tanya Hibari.
"Yap."
"Di rumah seluas ini?"
"Yah."
Percakapan mereka terhenti sesaat sampai Dino menghabiskan kopinya dalam sekali teguk.
"Omong-omong tadi kau biang kau tidak punya rumah, kan? Kalau mau, kau boleh tinggal di sini bersamaku." Kata Dino sambil tersenyum. Hibari mengalihkan pandangan dari potongan terakhir pancake-nya dan menatap Dino dengan curiga.
"Kau mengizinkan orang asing sepertiku tinggal bersamamu?"
"Ya, habis kalau sendirian agak sepi juga sih..."
"Aku bisa saja merampok rumah ini, atau membunuhmu, lalu membawa kabur semua hartamu."
Dino tertawa.
"Kau tidak akan melakukannya."
Mata Hibari memicing dan menatap tajam Dino, hanya menatap, bukan death glare. "Kenapa kau sangat yakin kalau aku tidak akan melakukannya? Kau tidak tahu siapa aku."
"Aku yakin kau tidak akan melakukannya. Kalau kau berniat mengambil hartaku, pasti sudah kau lakukan dari tadi, Hibari." Jawab Dino sambil senyam-senyum.
"... Jangan panggil aku dengan nama margaku." Jelas Hibari sambil melahap suapan terakhirnya.
"Kenapa?"
Hibari mengeluarkan death glare.
"Baiklah, kalau begitu—Kyouya?"
Hibari mengangguk.
"Jadi, bagaimana dengan tawaranku?" tanya Dino. "Kalau kau menolak, aku terpaksa menyerahkanmu ke kantor polisi."
Alis Hibari mengerut. Ia tak percaya karena si pirang itu menawarinya tempat tinggal begitu saja tapi mendengar kata 'kantor polisi' membuat otot-ototnya menegang. Lagipula ia tak memiliki pilihan lain, masih untung ada yang mau menampungnya. Kalau ia melewatkan kesempatan ini, maka ia terpaksa harus melawan nasib dengan menggelandang.
"Kalau begitu aku akan tinggal di rumahmu untuk sementara waktu."
"Kenapa hanya sementara? Kalau Kyouya, selamanya pun boleh."
Hibari mengangkat wajah untuk menatap mata emas Dino. Sang Italian itu benar-benar bersungguh-sungguh memintanya untuk tinggal bersama. Kalau untuk sementara sih wajar. Tapi selamanya? Kok malah Hibari yang jadi curiga yah?
"Tadi siapa namamu?" tanya Hibari.
"Dino. Dino Cavallone."
Dino...
Hibari mengulang nama itu dalam hati. Nama yang mudah diingat dan mudah diucapkan.
Dino diam memperhatikan Hibari yang masih kusut dari ujung kepala sampai ujung kaki. Beberapa detik kemudian ia tertawa kecil. "Kau tahu, aku seperti memungut anak kucing yang tersesat—"
"..."
"—dan aku memeliharanya di rumahku sekarang," lanjut Dino.
"Aku bukan peliharaan!" geram Hibari. Dino tertawa pelan sambil nyengir. Apa-apaan cowok pirang itu? Kalau ternyata alasan mengapa Dino mempersilakan Hibari untuk tinggal bersamanya adalah karena ia menganggap bahwa Hibari itu hewan peliharaan, sepertinya Hibari lebih rela untuk hidup menggelandang.
"Ah, tentu saja bukan." Dino cepat-cepat menyanggah begitu ia menangkap sinyal-sinyal maut dari tatapan tajam Hibari. "Hanya saja—saat aku melihatmu tak sadarkan diri, kau terlihat seperti sedang kesepian."
"Aku tidak kesepian, aku hanya tidak ingin berada di antara kumpulan orang."
"Oh..."
Hibari tidak merespon dan Dino pun kembali diam. Kemudian setelah beberapa saat tanpa obrolan, Dino bangkit dari tempat duduknya, mengambil piring bekas sarapan mereka berdua. "Sekarang kau mandilah, aku akan mengajakmu ke luar."
"Ke mana?"
"Membelikanmu pakaian, kau akan tinggal di rumahku, tidak mungkin kau akan memakai bajuku terus-terusan kan?" tanya Dino. Setelah itu ia pergi sambil membawa piring dan cangkir kotor.
Hibari memperhatikan sosoknya dari belakang. Sosok Dino yang tinggi dan kokoh. Ia melihat berbagai figur dari punggungnya. Figur seorang kakak, seorang saudara, seorang sahabat—dan seorang pelindung yang bisa diandalkan. Namun yang paling membedakan Dino dari semua orang adalah sikapnya yang dewasa, bahkan ketika menghadapi perilaku egois Hibari. Tanpa sadar pandangan Hibari melembut, lalu ia bergumam pelan.
"Semoga saja...dia bisa menerimaku."
Dino menoleh, "kau mengatakan sesuatu, Kyouya?"
"Ya," sahut Hibari sambil berdiri. "Di mana kamar mandinya?"
Siamo Incontra : Kita bertemu
Khusus fic ini Ley pengen banget banyak pake bahasa Italy, ya soalnya latarnya aja udah di Italy gtu kan? Tadinya mau dipublish besok, taunya udah selesei sekarang, yo wess...Ley Publish...^^
Minta reviewnya yah? Yah? Yah? X3