Disclaimer : Konomi Takeshi
Characters : Ohtori Choutarou, Kabaji Munehiro, dan Hiyoshi Wakashi, a.k.a Trio Sophomore Hyoutei Gakuen
Ratings : T for safety
Warnings : Nothing.
Random Notes: Gw pernah menemukan doujinshi di mana Fuji pindah ke Rikkai, dan gw berpikir "Apa banget deh ni Doujin!" Terus barusan aja gw membaca translation wawancara Konomi di fanbook 40.5 dan TERNYATA KONOMI EMANG BERENCANA BIKIN FUJI PINDAH KE RIKKAI. Untung dibatalin, kalau ga gw udah… ga tau deh XD Bisa misuh-misuh sampe gila LOL
~*~x*~*~~~x*~~~*
"Bagaimana cara kita merekrut anggota klub baru tahun ini?"
Pertanyaan itu dilontarkan seorang Ohtori Choutarou di hadapan kedua sahabatnya, Hiyoshi Wakashi dan Kabaji Munehiro. Hening menyambut pertanyaan yang tersusun dari 9 kata itu, sehingga Ohtori nyaris bisa mendengar kata-katanya bergema di dalam ruangan luas nan mewah yang mereka gunakan untuk rapat mengurus registrasi anggota baru –ruangan yang di tahun sebelumnya mereka kenal sebagai ruangan pertemuan anggota tim regular. Hiyoshi mengangkat alis berwarna kuning gelapnya, sementara Kabaji hanya memandang pemuda jangkung berambut keabu-abuan itu dengan tatapan datarnya yang biasa.
"Maksudku, kau dengar kan kata-kata Atobe-buchou padamu, Hiyoshi!" Ohtori menatap sahabat sejak SD-nya, mata cokelatnya berkilau dengan semangat, "Buatlah Hyouteimu sendiri! Hyoutei-mu sendiri yang baru! Begitu katanya. Jelas kita harus melakukan sesuatu yang berbeda! Sesuatu yang tidak pernah ada di dalam sejarah klub tennis Hyoutei sebelumnya!"
Hiyoshi terdiam. Ia meletakkan perlahan tumpukan kertas biodata para pendaftar tim tennis Hyoutei di atas meja obsidian seharga sekitar 10 juta yen itu, dan menyenderkan punggungnya, membiarkan dirinya tenggelam ke dalam sofa yang luar biasa empuk tersebut.
"Aku berpikir soal itu, tapi…" Hiyoshi menggaruk kepalanya, "Aku sama sekali belum menemukan, bagaimana cara terbaik untuk mengetes anggota baru… Maksudku, kita jelas tidak mau menggunakan cara lama 'anak kelas 1 latihan dasar dan hanya anak kelas 2 yang bisa ikut tes reguler'… Tidak ada lagi cara seperti itu, kan? Kita semua setuju dengan motto Atobe-san bahwa berapa pun umurmu, kau bisa memanjat naik ke atas jika kau memang mampu. Ya kan?"
"Tentu saja!" Ohtori berkata, "Kita semua selalu percaya akan hal itu!"
Kabaji pun memberikan anggukan kecil sebagai jawaban.
"Tapi mengetes satu per satu anggota baru…" Hiyoshi menghela napas, "Itu kan tidak mungkin…"
Ohtori mengerjapkan mata, "Kenapa tidak mungkin?"
Hiyoshi menatap kedua pasangan mata cokelat bulat itu, ingin memastikan apakah kata-kata yang baru saja dilontarkan dari bibir Ohtori itu cuma bercanda saja, atau dia benar-benar memaksudkannya.
"Ohtori?" Hiyoshi menunjukkan wakilnya setumpuk besar kertas, "Kertas ini ada sekitar 200 lembar… kau tahu ini apa?"
"Ya, itu kertas pengisian formulir registrasi anggota baru," Ohtori mengangguk, tersenyum.
"Benar," Hiyoshi melotot, "Kau tahu jelas ini apa. 200 lembar, Ohtori. Kau tahu itu berarti 200 orang?"
"Ya, aku tahu, Hiyoshi-kun," Ohtori tersenyum, seolah mengetes 200 orang calon anggota secara langsung adalah hal paling normal dilakukan di dunia ini.
"Dan kau tidak baru saja mengatakan kita harus mengetes mereka, 200 orang ini, secara langsung, untuk menentukan siapa yang layak masuk tim yang memerlukan pelatihan dasar atau tim yang bisa mengikuti tes regular. Kau tidak baru saja mengatakan itu, kan?" Mata hitam Hiyoshi membesar, berusaha meyakinkan diri bahwa teman jangkungnya itu tidak segila itu. Tidak segila yang ia kira.
"Itu yang baru saja kukatakan, Hiyoshi-kun!" Ohtori menepukkan kedua tangannya, tersenyum gembira, "Kau memang sahabatku yang baik, sangat mengerti aku,"
Kabaji memandang Hiyoshi yang terpaku menatap Ohtori dengan mata melotot dan mulut terbuka, dan wajah Ohtori yang berseri bahagia, sangat senang dengan idenya. Dan ia bangkit, berkata pelan, "Aku akan membuat teh,"
Cowok besar itu berjalan menuju ke dapur kecil yang terletak di sudut gedung klub mereka yang luas dan megah. Ia mengambil sebuah kaleng teh –teh kesukaan Hiyoshi maupun Ohtori. Ia akan mencampurkan sedikit mint untuk cangkir Hiyoshi dan menambahkan susu di cangkir Ohtori. Ia berhitung mundur di dalam pikirannya, dan saat perhitungannya mencapai angka 0, suara Hiyoshi bergema, "KAU GILA? MENGETES 200 ORANG?"
"Bukankah itu sangat menarik?" Ohtori berkata senang, "Aku sangat tak sabar dan ingin mencoba sendiri secara langsung melawan anggota-anggota baru kita!"
"Kita cuma 3 orang," Hiyoshi berkata, masih terperangah dengan ide gila sahabatnya, "200 dibagi 3… Setiap orang harus melawan setidaknya 66 orang!"
"Bukankah seru?" Ohtori menjawab dengan senyum riang, "Aku sudah lama sekali tidak bermain tennis. Aku bahkan dengan senang hati akan melawan 200 di antara mereka!"
Hiyoshi terpaku di hadapan wajah penuh senyum Ohtori. Ia menunduk, sedikit putus asa menghadapi sahabatnya yang terlalu positif itu.
"Hiyoshi-kun juga pasti, ingin mencoba sendiri bagaimana anggota-anggota baru itu, kan?"
Telinga Hiyoshi sedikit terangkat dengan kalimat itu. Hiyoshi berdehem, wajahnya memerah. Sedikit tepat sasaran. Ohtori dan kemampuan sialannya bisa membaca pikiran Hiyoshi dengan tepat.
"Ya kan~?" Ohtori tersenyum lebar. Hiyoshi mengernyitkan dahinya, dan kembali berdehem, "Y-Yah,"
Ohtori tetap memasang senyumnya sampai Kabaji kembali dan meletakkan dua cangkir teh di hadapan sahabatnya. Ia menatap Hiyoshi yang masih berusaha menghindari tatapan berbinar Ohtori, dan akhirnya berkata, setelah beberapa saat keheningan.
"Hiyoshi-san, aku setuju dengan Ohtori-san,"
Suara rendah itu membuat Hiyoshi menoleh.
"Tapi…" Hiyoshi tetap berusaha menimpa keinginnanya untuk bermain tennis dengan kelogisan, "200 orang itu terlalu… Kantoku akan…"
"Aku yang akan bicara dengan Kantoku!" Ohtori meyakinkan dengan senyumnya yang selalu manjur untuk temannya sejak SD itu, "Tenang saja!"
"Dan urusan pengumuman… Lalu bagaimana dengan anggota lama…?" Hiyoshi menggaruk kepalanya.
"Kurasa… Aku bisa mengurus… pengumumannya…" Kabaji berkata perlahan, dengan senyum tipis yang langka di atas bibirnya.
Hiyoshi melirik ke arah kedua sahabatnya. Sial, mereka terlalu bersamangat. Mata cokelat Ohtori tidak pernah bersinar seterang itu kecuali saat ia memenangkan pertandingan bersama Shishido, dan senyum tipis Kabaji sesungguhnya menawarkan banyak pengharapan pada Hiyoshi.
"Sial… Hah!" Dengan wajah sangat merah, akhirnya buchou baru itu menghela napas keras, "Baiklah! Tahun ini, kita akan mengetes satu persatu anggota yang akan masuk!"
"HORE!" Ohtori berseru gembira, "Asyiiik!"
Kabaji melebarkan senyumannya, sementara Hiyoshi masih menghela napas terus, menyembunyikan dirinya yang sebenarnya juga bersemangat di dalam hati.
XXXX
Kelas di istirahat siang yang selalu kosong, seharusnya menjadi waktu dan tempat favorit seorang Hiyoshi Wakashi untuk membaca novel horror kesayangannya tanpa gangguan. Sayangnya bagi si buchou, hari itu ia kedatangan tamu.
"Hei, Hiyoshi, apa-apaan ini, kudengar kau bersama dengan Ohtori-kun dan Kabaji akan mengetes satu persatu semua yang akan masuk klub tennis?"
Hiyoshi mendongak dari Gakuen Nanafushigi-nya –ia memang sudah membacanya berkali-kali, hampir seratus kali sejak dia kelas 4 SD sampai sekarang, namun ia tetap tidak bosan –dan menyipitkan matanya, menatap sosok di hadapannya. Tiga orang yang paling menyebalkan : Miura, Kusamoto dan Honda. Saat ia berhasil menggantikan Shishido-san masuk ke regular, tiga bebek cerewet ini yang paling sinis. Hiyoshi menghela napas, memutuskan ia harus mengucapkan selamat tinggal sementara pada cerita Hanako dan bilik toiletnya yang manis… Urusan dengan mereka bertiga tidak pernah bisa singkat.
Pemuda berambut kuning itu mendongak, balas menatap ketiga pasang bola mata yang sedang memelototinya itu dengan mata hitam pekatnya yang tajam, "Ya. Itu benar. Aku sendiri yang menempel pengumumannya di papan gedung klub tennis,"
Meski Kabaji yang membuatnya. Tapi pengumuman itu mendapatkan ijin Hiyoshi. Dan yang membuat Hiyoshi agak kaget, ijin kantoku juga.
Ohtori benar-benar murid kesayangan Kantoku. Seperti yang bisa diduga dari pianis terbaik di sekolah… Hiyoshi berpikir, mengingat Ohtori yang dengan tenangnya berkata padanya pagi ini saat mereka berada di depan loker sepatu masing-masing, "Kantoku bilang, ide kita sangat menarik! Asal kita bisa memikirkan caranya agar berjalan lancar, beliau setuju!"
"Kalian sudah baca pengumumannya kan? Tes akan dilakukan oleh buchou, Hiyoshi Wakashi, fukubuchou Ohtori Choutarou, dan kelas 3 ex-regular Kabaji Munehiro. Lalu bersamaan dengan pengumuman tersebut, ada juga peringatan bahwa semua murid kelas 2 dan 3 yang dulu adalah tim tennis Hyoutei pun akan dites ulang, jadi mereka harus mendaftar ulang jika tidak mau dinyatakan keluar dari klub. Dan di dalam catatanku…" Hiyoshi meraih notes dari dalam tasnya, membaliknya dengan cepat dan mengetuk tiga kolom kosong di barisan paling bawah dengan jarinya, "Cuma kalian bertiga yang belum mendaftar ulang. Apa kalian berniat keluar dari klub?" Hiyoshi bertanya, menjaga tampang datarnya.
Miura membuat seringai sinis, "Kau… sombong sekali, ya? Mentang-mentang dulu kau regular, kau merasa kau tidak perlu dites ulang juga?"
"Kalau memang ada yang bisa mengalahkanku, tentu saja aku akan langsung memasukkan orang itu ke regular," Hiyoshi menjawab dingin, "Begitu juga jika ada yang mengalahkan Kabaji dan Ohtori. Jika ada lebih dari 5 orang bisa mengalahkan kami, tentu saja kami akan menyelenggarakan pertandingan lagi untuk menentukan siapa yang benar-benar layak masuk regular. Meski kemungkinan itu terjadi adalah sangat kecil,"
Hiyoshi berusaha tidak tertawa ketika melihat Kusamoto bergetar dengan amarah. Kusamoto menaikkan kacamatanya, menarik bibirnya erat-erat dan berkata dengan suara tertekan, "Maksudmu, kemungkinan dari sekitar 300 orang, kurang dari 5 di antaranya bisa mengalahkan kalian?"
"Yap," Hiyoshi tersenyum, "Itu yang baru saja kumaksudkan. Kalau kalian memang merasa jumlahnya seharusnya lebih, buktikanlah, jangan berusaha mengancamku di kelas seperti ini," Hiyoshi melirik pada sekitar tujuh orang yang berkumpul di luar pintu kelasnya, "Dan… aku pernah mengalahkan 15 murid terhandal ayahku dalam 10 menit. 10 orang awam yang tidak tahu cara berkelahi tidak akan membuatku berkeringat… setetes pun,"
Hiyoshi berharap ia punya kamera dan bisa menjepret ekspresi tiga cowok itu saat mendengarnya berkata begitu. Ohtori akan menyukainya. Honda yang pertama berbalik, berteriak ketus padanya sebelum berlalu, "Dasar sial! Lebih baik kami keluar dari tim tennis daripada punya buchou pongah sepertimu!"
"Ah, benar nih?" Hiyoshi mengerjapkan mata, "Soalnya kalau benar, akan kucoret nama kalian sekarang juga. Nanti sore harus kuserahkan pada kantoku,"
Tiga orang itu hanya mendelik dan berlalu. Hiyoshi mengerjapkan mata sekali lagi sebelum mengangkat bahu. Ia memutar pen di antara jarinya, sebelum membuat dua garis silang besar di atas tiga nama di kolom kelas 3.
"Tetap masih ada tiga ratus enam puluh tujuh orang yang harus dites," Hiyoshi meringis, mengacak rambut berbentuk tudung jamurnya. Ia menghela napas, sebelum menarik keluar kembali novel favoritnya dari balik laci mejanya, dan mulai membaca lagi.
XXXX
"Aaaah~"
Ohtori Choutarou tersenyum. Punggungnya tersender nyaman pada batang pohon yang kokoh yang berdiri di halaman belakang gedung SMP Hyoutei Gakuen. Pemuda berambut keperakan itu menikmati bayangan dedaunan yang melindunginya dari sinar matahari, dan sekarang ia sedang duduk setengah berbaring, dengan kaki panjangnya terjulur santai. Sesungguhnya, sinar matahari tidak terlalu terik, dan cuaca cukup hangat, karena musim semi masih berkuasa di atas daratan Tokyo. Namun tetap saja, berada di bawah pohon terasa begitu nyaman…
…Dan…membuatnya sedikit mengantuk…
Saat nalurinya untuk menutup mata tiba, nalurinya sebagai murid baik membanjiri kepala Ohtori.
"Tidak boleh ya, tidur sekarang~ Aku tidak akan bisa bangun saat bel nanti…" Ohtori menghela napas, merengut dan menegakkan tubuhnya kembali. Ia menolehkan kepalanya pada sosok besar yang duduk di sampingnya, yang juga sedang bersender pada pohon sambil menjahit sesuatu dengan cekatan di tangannya.
"Kabaji-kun, kau sedang membuat apa?" Ohtori bertanya, memiringkan kepalanya untuk bisa melihat apa yang sedang Kabaji buat lebih baik. Mata cokelat itu membulat kagum saat melihat bahwa Kabaji sedang menjahit sebuah boneka beruang. Ohtori segera berkata gembira, "Manisnya~ Apa itu? Kabaji membuat boneka beruang untuk siapa?"
"Untuk adik perempuanku," Kabaji menjawab singkat tanpa melepaskan pandangannya dari boneka yang sedang dijahitnya. Namun ia tersenyum sedikit, dan berkata lembut, "Terima kasih pujiannya,"
Ohtori tersenyum, "Ah… Adik perempuan Kabaji pasti senang sekali, punya kakak yang bisa membuatkannya…" Ohtori berkata sambil menghitung dengan jarinya, "…bisa membuatkan bentou, kue dan manisan juga bisa, lalu boneka, juga berbagai benda imut lainnya…"
Kabaji tersenyum lagi, dan melanjutkan menjahit. Ohtori masih terus memandangi bagaimana jari Kabaji dengan cekatan membawa jarum itu menembus permukaan tangan boneka yang sedang berusaha direkatkannya dengan tubuhnya, dan sejujurnya agak kaget ketika Kabaji tiba-tiba saja berkata dengan suara rendahnya, "Kalau Ohtori-san mau… aku… bisa membuatkan untuk Ohtori-san,"
"Heee…hontou?" Ohtori mengerjapkan matanya dengan senang, "Aku mau! Aku pasti akan menyimpannya dengan baik…"
Kabaji hanya tersenyum lagi. Ia memikirkan beruang seperti apa yang cocok untuk Ohtori…
Kedua anak itu tidak sadar, bahwa ada tiga sosok yang mengawasi mereka jauh di atas mereka, berdiri di sisi jendela lantai 3. Kusamoto, Murai dan Honda menatap satu sama lain dan menyeringai.
XXXX
Kabaji Munehiro tidak pernah suka bicara, bahkan setelah ia belajar bagaimana caranya. Bukan karena ia tidak bisa, sungguh. Ia memang tidak suka melakukannya.
Saat ia di Inggris, semua orang di sekitarnya terlalu banyak bicara. Ayah ibunya berteriak pada satu sama lain hampir setiap hari, dengan bahasa Jepang yang tidak ia mengerti. Kalau ia ingin bicara saat mereka sedang berteriak, ia akan dimarahi. Ia mulai takut untuk berbicara sejak saat itu.
Teman-temannya di sekolah saat di Inggris berteriak padanya setiap hari, mengomentari penampilannya yang besar, wajahnya yang pendiam, suaranya yang berat dan rendah meski ia masih sangat kecil, hobinya yang aneh karena ia lebih suka mengamati boneka daripada bermain bola dan mobil-mobilan. Mereka kesal melihatnya terus diam, namun akan memukulnya kalau ia bicara. Ia memutuskan sejak saat itu, bahwa diam selalu adalah pilihan terbaik.
Saat ia berumur 5 tahun, keluarganya yang berteman akrab dengan keluarga Atobe-san memperkenalkannya dengan Atobe. Atobe Keigo adalah orang yang selalu yakin dengan apa yang ia bicarakan. Atobe adalah pembicara yang handal, bisa membuai semua orang dengan caranya bicara dan perkataannya, bahkan saat ia berusia 6 tahun. Sangat berbeda dengannya.
Dan sejak saat itu, ia menemukan dirinya selalu mengikuti Atobe.
Atobe mengajaknya melakukan banyak hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, dan tak peduli apapun yang dikatakan orang, bahwa ia seperti pembantu Atobe, bahwa ia hanyalah seperti seorang pesuruh semata, ia menghormati dan menyayangi teman sejak kecilnya itu. Terutama, karena Atobe mengajarinya bermain tennis.
Ia bertemu dengan banyak orang. Banyak orang mengenalnya. Beberapa berusaha mengajaknya bicara, dan ia selalu merasa bersalah bahwa ia tidak bisa menjawab banyak, karena ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Namun beberapa orang bisa mengerti dan tetap mengajaknya bicara, dan ia sangat bersyukur karena itu.
Hiyoshi Wakashi dan Ohtori Choutarou.
Saat ia sampai di Jepang, ia menemukan bahwa ia tetap sendirian. Ia bahkan sedikit sulit mengerti apa yang dikatakan orang lain padanya, sebab beberapa berkata dengan amat cepat dan beberapa menggunakan kata-kata non formal yang tidak ia mengerti. Ketika akhirnya ia mulai menerima kenyataan bahwa apa pun yang terjadi, ia akan tetap sendirian, dua anak itu menyapanya.
Ohtori berkata padanya dengan bahasa Jepangnya yang begitu taat pada tata bahasa, bahkan meski saat itu ia masih berumur 12 tahun. Mata cokelatnya bersinar-sinar saat ia bertanya dengan senyumnya yang manis, "Aku Ohtori Choutarou, dan ini Hiyoshi Wakashi… Kabaji-kun suka main tennis juga kan? Kapan-kapan kita main bersama, ya!"
"Tunggu, bukan itu yang ingin kau katakan tadi, kan!" Hiyoshi menyela. Saat itu, bahkan matanya sudah setajam sekarang. Ia menoleh pada Kabaji, dan mulai berbicara meski Ohtori mulai gelagapan dengan muka merah meminta sahabatnya berhenti, "Anak ini tadi bilang padaku begitu banyak hal. Katanya ia mau menanyakan hobimu, keluargamu, bagaimana pengalamanmu di Inggris, makanan kesukaanmu, pelajaran kesukaan… Dan banyak lagi. Katanya ia mau kita berteman dan sebagainya,"
Kabaji mengerjapkan matanya. Berteman? Tak pernah ada orang yang mengajaknya 'berteman'. Ia bahkan tidak mengatakan apa-apa pada kedua anak itu, dan mereka mengajaknya berteman…? Kabaji diam saja, dan saat itu Ohtori maju, menatapnya dengan mata berbinar.
"A-anoh…" Ohtori berkata malu-malu, wajahnya sedikit bersemu merah, "Maaf… sebenarnya memang itu maksudku. Kabaji-kun… selalu… sendirian. Boleh kan kalau kita berteman?"
Kabaji masih terdiam. Hiyoshi melirik Ohtori yang mulai cemas, lalu kembali menatap Kabaji dan berkata dengan kedua tangan di dalam saku celana, "Kecuali kau tipe-tipe orang yang lebih suka sendirian atau semacam itu… Dia ini sama sekali tidak memaksa, dia tidak akan mengganggu hidupmu lagi dan…"
Dan di sana ia mulai merasa bahwa kalau kali ini ia tetap diam seperti biasanya, kesempatannya untuk benar-benar memiliki teman sepanjang hidupnya akan hilang begitu saja. Namun karena ia tetap tidak bisa menentukan kata yang tepat untuk dikatakan, ia mengulurkan tangannya.
Ia nyaris yakin bahwa Ohtori dan Hiyoshi akan menganggapnya aneh dan pergi, karena itu yang biasanya terjadi. Namun di luar dugaan, senyum cerah menghampiri bibir cowok mungil berambut keperakan di hadapannya, dan selanjutnya, jabatan hangat dari sebuah tangan dengan jemari pianis mungil menghampiri tangannya yang besar.
Ohtori tersenyum, "Kita berteman!"
Dan ia melihat bahkan Hiyoshi pun tersenyum padanya. Kabaji merasakan sebuah perasaan aneh di dalam dirinya, yang dulu tidak pernah ia rasakan sekalipun sepanjang hidupnya. Rasanya sangat panas, berasal dari dadanya, dan kemudian naik ke wajahnya.
Detik berikutnya yang ia tahu, Ohtori tertawa, dan Hiyoshi juga menyeringai geli.
"Kabaji-kun… mukamu memerah!"
XXXX
"Ohtori, apa itu ikan asin lagi?" Hiyoshi bertanya, menatap pada bekal Ohtori.
Ohtori tersenyum riang, "Iya. Aku suka ikan asin~!"
"Kau cuma makan ikan asin terus. Sarapanmu ikan asin di dalam roti, makan siangmu ikan asin di dalam onigiri, makan malammu ikan asin dalam sup miso," Hiyoshi berkata sambil menyuap telur dadar gulung ke dalam mulutnya, "Pantas kau cuma tambah besar ke atas saja,"
Ohtori melirik Hiyoshi, kemudian berkata sambil mencapit ikan asin dengan sumpitnya, "Hiyoshi-kun iri, karena paling pendek dibandingkan aku dan Kabaji-kun,"
Kabaji hanya tersenyum melihat Hiyoshi-kun yang shock, lalu mengunyah dengan kesal. Ia ingat bahwa saat kecil, jika Hiyoshi meledek Ohtori, anak itu akan membuat wajah sedih, sebelum akhirnya menangis jika digoda lebih lanjut. Pertama kali, Kabaji sama sekali tidak mengerti apa enaknya membuat temanmu menangis. Hiyoshi malah selalu terlihat puas jika Ohtori mulai menangis. Namun suatu hari, Hiyoshi-kun berkata dengan puas, "Kalau dia sudah mulai menangis, hanya aku yang bisa membuatnya berhenti," Sejujurnya, seringai Hiyoshi waktu itu agak mengerikan. Lalu ketika mereka mulai masuk SMP, tepatnya beberapa lama setelah Ohtori mulai bermain doubles dengan Shishido-san, Hiyoshi mengeluh pada Kabaji, "Anak itu, sekarang kalau aku ledek tidak menangis lagi. Malah membalas. Hiih, sebal. Makanya aku bilang dia tidak seharusnya terlalu dekat dengan Shishido-san,"
Sejujurnya, waktu itu Kabaji sampai tertawa kecil.
Kalau ada yang bisa dilakukan Hiyoshi dan Ohtori, tapi tidak bisa dilakukan Atobe-san, adalah membuat Kabaji merasa bahwa ia boleh tertawa, boleh berbicara, dan boleh mengeluh.
"Ikan asin… aku… suka," Kabaji bergunggam dengan senyum.
Ohtori tertawa cerah, "Benar kan! Hiyoshi-kun, kalau kau mau tinggi, kau harus makan ikan asin," Ohtori tersenyum manis. Hiyoshi-kun menyipitkan mata, menyerah.
"Oh ya, tadi ada yang terjadi," Hiyoshi-kun berkata pada kedua sahabatnya, "Miura, Kusamoto dan Honda mendatangiku,"
"Hm… hm?" Ohtori mengerutkan dahinya, pipinya gembung dengan nasi dan ikan asin.
"Mereka semacam tidak setuju dengan proses pemilihan regular baru," Hiyoshi mengangkat bahu, "Mereka merasa kita sombong karena kitalah yang mengetes mereka. Kadang orang benar-benar lupa kedudukan mereka,"
Kabaji menatap Hiyoshi, mengingat wajah Miura, Kusamoto dan Honda. Tiga orang itu ya. Mereka memang paling banyak tingkah sejak kelas 1. Ia menunduk dan mengambil sepotong sandwich lagi dari dalam kotaknya, sambil memikirkan bahwa jika mereka bertiga berani mengganggu Ohtori dan Shishido, ia akan bertindak. Untuk apa seseorang diberi kekuatan yang begitu besar dari Tuhan kalau tidak dimanfaatkan dengan baik?
"H-He…" Ohtori terdiam. Kabaji menatapnya. Ohtori menunduk, menatap nasi dengan lauk ikan asin dan salad di pangkuannya, kemudian mendongak dengan cemas, "Hiyoshi-kun… apa akan baik-baik saja?"
Hiyoshi melotot, "Sekarang kau tanya begitu? Kau pikir ini ide siapa?"
"Tapi Hiyoshi-kun kan sudah setuju!" Ohtori sedikit mundur dan merasa bersalah, namun tetap bertahan dengan wajah merengut.
Hiyoshi menghela napas, melipat tangannya di depan dada dan berkata bangga, "Tidak akan ada apa-apa. Aku sudah berhasil membuat mereka kapok…"
"Benar?" Ohtori-kun memiringkan kepalanya, "Kau bukan cuma memamerkan kau bisa melawan anak buah ayahmu dalam 10 menit itu kan?"
Hiyoshi terdiam sesaat, karena memang itu yang ia lakukan. Namun kemudian ia menghela napas, menatap Ohtori lekat-lekat, "Tentu saja tidak! Tenang saja. Kau bersamaku selama bertahun-tahun, kau tahu kan aku bisa melindungimu?"
"Iya sih," Ohtori menggaruk pipinya. Kabaji mau mengatakan sesuatu seperti 'ada aku juga', namun ia terlalu malu, jadi ia hanya diam. Tanpa ia sangka, Ohtori tersenyum sambil menatapnya dengan mata cokelatnya yang berbinar, "Kalau tidak ada Hiyoshi-kun pun, ada Kabaji-kun. Pasti akan baik-baik saja!"
Kabaji mengerjapkan mata.
"Nah, benar sekali. Sekali tebas dengan tangan Kabaji, tiga orang itu pasti terlempar jauh," Hiyoshi memainkan sumpitnya, dan menatap Kabaji sambil tersenyum, "Ya kan?"
Kabaji tersenyum juga, "Usu," Ia berkata perlahan, namun berbeda dengan biasanya ia menjawab Atobe, kali ini sebuah senyuman merekah di atas bibirnya.
XXXX
PRAAAAK!
Bunyi itu menggaung di dalam ruangan kedap suara itu. Semua ruangan kelas di lantai 4 dibuat kedap suara, sebab itu memang lantai khusus untuk pelajaran dan murid jurusan Musik. Tongkat baseball yang tadi baru saja menciptakan bunyi itu ketika ia diayunkan untuk merusak pintu salah locker dari deretan locker-locker yang berdiri di dalam ruangan itu, dijatuhkan ke lantai, membuat bunyi keras.
"Tas violin cokelat kemerahan," Suara mencemooh itu berkata, sementara tangannya meraih ke dalam isi locker yang sudah babak belur, "Ya, tak salah lagi. Lihat, namanya ditulis dengan jelas di sini,"
Suara lain berkata, "Ya, kalau begitu benar,"
"Hahaha! Untung kau anggota orkestra, ya, Kusamoto. Jadi tidak ada yang curiga ketika kau meminjam kunci ruang locker alat musik murid," Suara lain menyusul. Honda, duduk di atas meja dengan cengiran puas di wajahnya, berkata pada Kusamoto sambil menepuk pundak pemuda berkacamata itu keras-keras.
"Begitulah," Kusamoto meraih violin yang disodorkan oleh Miura. Ia melihat permukaan kayu gelap mengilat violin itu, dan menghela napas, "Bahkan melihat violinnya membuat aku mengingat senyum menjijikan anak itu. Berlagak manis dan baik pada siapa saja. Membuat mual,"
"Ohtori kan?" Miura berkata sinis, "Aku ingin memeriksa isi celananya. Kadang tingkahnya membuatku ragu ia laki-laki,"
Honda tertawa terbahak, dan mengangkat tangannya pada Miura. Miura terkekeh, menepuk tangan Honda yang terbuka lebar.
Kusamoto menjatuhkan violin itu ke lantai, dan meraih tongkat baseball yang terserak di lantai.
"Dan ia masih bisa menyombong di klub tennis… Hanya karena kebetulan ia dipasangkan dengan Shishido-senpai sehingga ia bisa menang di pertandingan doublesnya," Kusamoto berkata, kacamatanya berkilat, "Ya, buat orang seperti dia…" Seringai yang muncul di atas bibir pemuda berkacamata itu melebar saat ia mengangkat tongkat baseball tinggi-tinggi, "Perlakuan yang cocok adalah seperti ini…"
Sorry harus diputus di sini ^^/ Saya harap kalian menikmati chapter ini, nantikan chapter berikutnya ya 8D