Halo~
Pertama-tama saya mau minta maap dulu kalo ada kekurangan kata-kata, atau mungkin aneh. Ini alurny ngga jelas. Tapi latarnya ini tahun 1942. Untuk translationnya, ada dibawah *g pake google translate* . Saya ngga mau lama-lama, makanya saya langsung to the point ke konfik nya Indonesia & Belanda.
Enjoy~
Hetalia © Himaruya Hidekaz
Indonesia / Kirana Kusnapaharani © C.A
Tuhan...
Sudah lebih dari tiga ratus tahun aku tinggal bersama pria bernama "Belanda". Jujur, aku tak tahan lagi. Setiap kata yang ia tuang laksana seribu keris menancap tepat di hatiku, setiap tatapan yang ia timpakan selalu membuatku merinding. Dahsyat. Tak sedikitpun ilmu kebal yang ia pelajari, namun mengapa pria ini begitu kuat? Aku tak tahu. Pria ini begitu egois, posesif, keji, dan jalang! Dia kira aku takut dengan tubuhnya yang besar , otot-otot yang terbentuk dengan sempurna , serta rambut coklat spike yang berbentuk seperti tulip itu? Tidak! Aku bersumpah. Suatu saat nanti dia akan pergi dari tanahku! Tanah yang dilintasi oleh garis khatulistiwa. Tanah yang dianugerahi lebih dari tujuh belas ribu pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Pasti...
"Indie! Ik wil graag een kopje koffie. Sekarang!" perintah Belanda dari kantornya. Amboi. Kusut wajahku begitu ia memerintahkan sesuatu kepadaku. Aku bukan pembantunya. Aku benci ketika ada seseorang memperlakukanku seperti itu. Mau tak mau harus kuturuti perintahnya. Segera aku beranjak lalu pergi ke dapur lalu menyiapkan segelas kopi untuk lelaki itu. Aku geram. Geram sekali. Ratusan tahun diperlakukan begini oleh Belanda. Kekayaanku dikuras habis. Kukira maksud kedatangannya kemari hanya untuk menolongku dari Portugis. Namun, ia hanya menginginkan aku dan hartaku saja. Hanya demi keinginan duniawi semata.
Ku bawakan secangkir kopi ke kantornya, kemudian meletakkannya di atas meja. Aku memandang lelaki itu sinis, sementara ia sedang sibuk menulis surat kepada baginda ratu nya. Hanya untuk memecah keheningan aku berkata, "Ini kopinya, Kompeni." Kemudian aku berbalik ke pintu, langsung ia membalas, "Oi, Indie, sudah kubilang, jangan panggil aku 'kompeni'! Kunt u spreek Nederlands?" Satu, aku tahan kekesalanku, kemudian membalas, "Ik spreek bijna geen Nederlands. Ik spreek Indonesisch. Lagipula, kau tadi juga bicara bahasaku kan?" Belanda mengalihkan pandangannya dari kertas itu, "Ja, ok. Aku bicara dengan bahasamu. Sedikit saja..." Dia mengangguk pelan.
"Tak bisa. Pakai bahasaku. Lihat dimana kau berpijak. Tanah siapa ini..." balasku lagi.
"Wie is hier de baas? Aku. Jangan cari masalah denganku, Indie." Belanda menarik pipa rokoknya.
"Oh, tidak. Aku tidak mencari masalah. Dan ini bukan masalah siapa yang menjadi 'boss' disini! Ini masalah TANAH DIMANA KAU BERPIJAK, kompeni. Tanah ini sudah dipijak dari kakek-kakek-ku hingga aku! Kau disini hanya sebagai 'penumpang'." Dua, aku sangat ingin melawannya.
"Je hebt niet gelijk! Ik heb jou alles gegeven! Wat mankeer je?"
"Harusnya kau yang salah, kompeni! Aku yang memberikan SEGALANYA untukmu! Aku? Aku tidak apa-apa! Aku hanya ingin satu hal."
"Satu hal? Wat zal het zijn?"
"Kemerdekaan."
Belanda terkejut. Sungguh suatu permintaan yang begitu sulit baginya. Aku tidak tahu mengapa ia enggan membebaskanku. Tuhan, kapan aku akan bebas dari lelaki ini?
"Jij zou graag vrijheid? Nee... Dat is onmogelijk. Tapi... Akan kuberikan lain kali. Namun, untuk saat ini tidak." Ia kembali menghirup pipa rokoknya, kemudian menghembuskannya.
Tak mau lagi aku percaya
pada semua kasih sayangmu
Tak mau lagi aku tersentuh
pada semua tersentuh pada semua pengakuanmu
Kamu takkan mengerti rasa sakit ini
Kebohongan dari mulut manismu...
Mendengar hal itu, kekesalanku berubah jadi amarah. Aku berusaha dengan kuat agar amarahku itu tak tumpah dalam sekejap. Ratusan tahun aku pendam harapan untuk merdeka. Ratusan tahun aku memegang harapan itu. Telah lama aku menunggunya, namun betapa bodohnya aku percaya pada penjajah. Sungguh bodoh.
Segera tanganku menghantam meja dengan kuat. Belanda kaget. Kemudian dengan tegas aku katakan, "Aku ingin kemerdekaan! Aku ingin lepas dari cengkraman penjajah sepertimu!" mataku melotot tajam, menusuk tepat di mata lelaki itu. Tak mau kalah, ia pun membalas, "Kalau kau bersikap begini, bagaimana kau bisa mendapat kemerdekaanmu? Kau ingin kita cerai?"
...Cerai... Sungguh kata yang tidak mengenakkan. Aku tahu, Tuhan murka akan perceraian. Namun, aku ingin cerai karena aku tak tahan. Hubungan kami takkan bisa lama. Karena dia PENJAJAH, bukan SUAMI. "Baik! Aku minta cerai. Ceraikan aku sekarang juga!" jelasku. Belanda langsung meraih rambutku kemudian menariknya dengan kuat, "Kalau begitu, kalahkan aku , Indie!" tegasnya.
"Namaku INDONESIA, kompeni! Aku tak tahan dengan perlakuanmu selama lebih dari tiga ratus tahun ini! Aku ingin aku dan rakyatku merdeka!"
"Het kan me niet schelen! Bent u kwaad?"
"Tentu saja aku marah, Belanda! Di kepalaku, ada satu kalimat yang selalu membuatku ingin bebas darimu..."
"Wat is dat?"
"DE VRIJHEID OF DE DOOD!" Kulantangkan suaraku. Belanda terbelalak. Tangannya yang tadi menggenggam rambut panjangku kini makan melonggar, kemudian ia lepaskan. Ia diam dan malah membalikkan tubuhnya. Aku diabaikan. Tak tahan aku membendung air mataku, perlahan ia mengalir. Makin lama, makin perih hatiku, makin deras pula air mata ini mengalir.
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
"Indie..." Belanda menghela napas, "Aku tak mau kehilanganmu..." Segera ia memelukku dengan erat. Perlahan ia mengelus rambutku dengan lembut, lembut sekali, "Permintaanmu... belum bisa kuterima... Aku belum yakin kau bisa menjadi sebuah negara. Ik ben bang... Aku takut kau jatuh ke tangan orang lain..." lanjutnya. Sepintas aku tersentuh. Namun aku tahu dia berbohong. Bagaimana tidak, lebih dari tiga ratus tahun dia berkata hal yang sama. Mana mungkin aku percaya. Segera aku lepas dari pelukannya, lalu lari keluar. "Indie!" teriak Belanda seraya ingin menghentikan langkah kakiku. Aku lari saja.
Tak mau lagi aku terjerat
Pada semua janji-janjimu
Tak mau lagi aku terpaut
Pada semua permainanmu
Saking kesalnya, aku berlari jauh hingga ke pesisir pantai. Kemudian melanjutkan kembali pelarianku hingga ke Borneo dengan menggunakan kapal. Ya, aku tahu itu sangat jauh. Aku tak peduli. Biarlah dia mencariku hingga ke ujung dunia, ke dasar samudra pasifik, atau bahkan ke dunia sana. Belanda, aku sudah muak denganmu!
Bertahun-tahun bersama
Kupercayaimu
Kubanggakan kamu
Kuberikan segalanya
Aku tak mau lagi...
Ku tak mau lagi...
Di pesisir pantai Borneo, aku menikmati hari tenangku. Dimana aku tak mendengar suara Belanda, melihat batang hidungnya, atau merasakan kehadirannya. Nun jauh disana, aku melihat sebuah kapal asing berlayar menuju pantai Borneo ini. Makin ia mendekat makin terlihat jelas bendera yang berkibar di atas kapal itu. Ya, bendera putih dengan bundaran merah ditengahnya. Sebuah negara dari timur kini akan menginjak tanah zambrud khatulistiwa di tahun 1942 ini. Siapa dia? Dan apa maksud kedatangannya?
- Bersambung
NOTES
1. Ik wil graag een kopje koffie = Aku mau kopi
2. Kunt u spreek Nederlands = Tak bisakah kau bicara bahasa Belanda?
3. Ik spreek bijna geen Nederlands = Aku hampir tak bisa bahasa Belanda
4. Ik spreek Indonesisch = Aku bicara bahasa Indonesia
5. Wie is hier de baas = Siapa disini boss nya?
6. Je hebt niet gelijk! Ik heb jou alles gegeven! Wat mankeer je? = Kamu salah! Aku berikan segalanya untukmu! Kamu maunya apa sih?
7. Wat zal het zijn = Apa yang kamu mau?
8. Jij zou graag vrijheid? Nee... Dat is onmogelijk = Kau mau kemerdekaan? Tidak... Itu tidak mungkin
9. Het kan me niet schelen! Bent u kwaad? = Aku tak peduli! Kamu marah?
10. De Vrijheid of de dood = Merdeka atau mati
11. Wat is dat = apa itu
12. Ik ben bang = Aku takut