Disclaimer: Masashi Kishimoto
Warning: AU, OOC
Last chapter: Kesalahan besar yang telah ia pebrbuat, tak mungkin bisa dimaafkan oleh Hinata. Apa mungkin ia harus rela melepas Hinata demi kebahagiaannya?
Tangan putih Sasuke meremas stir mobil dengan perasaan geram. Kedua rahangnya di tekan. Bibirnya yang bergetar mengucapkan sebuah kalimat.
"Bila kau akan jauh lebih bahagia bila tanpa aku, aku rela melepasmu."
.
.
.
Sasuke berjalan angkuh ketika berpapasan dengan Mikoto di ruang tamu rumahnya. Berbagai pertanyaan dicecar sang ibu atas keterlambatannya pemuda yang baru sampai di rumah ini. Namun tidak sedikit pun dihiraukan Sasuke. Pria berambut hitam itu tetap melangkah acuh melewati Mikoto. Bagai yang ada di hadapannya itu hanya benda mati yang tak berarti.
Bagi seorang Ibu, Mikoto jelas bersedih dengan sikap putra bungsunya yang semakin jauh dari tata krama keluarga. Ia pun mengerti bahwa ini adalah kesalahannya sendiri karena telah menjauhkan Sasuke dari Hinata. Bagaimanapun, Mikoto merasakan bahwa putra bungsunya yang arogan telah banyak berubah dengan keberadaan Hinata. Dan kini, ia sendiri yang memisahkan mereka. Memisahkan Sasuke dari orang yang dicintainya, menjerumuskan Sasuke kembali ke dalam lubang dalam yang bahkan ujungnya sendiri tak terlihat karena diselimuti kegelapan. Mikoto merasakan perbedaan itu. Namun, sebagai seseorang Uchiha sepertinya, ego jelas tidak bisa dihilangkan.
Hinata. Gadis Hyuuga yang menurutnya tidak spesial itu adalah satu-satunya orang yang dapat mengembalikan sifat baik Sasuke –terutama terhadapnya. Tapi sekali lagi, ia tidak akan melakukan itu semua.
.
-o.o.o.o.o-
.
Setelah memasuki kamar dan menguncinya, Sasuke merebahkan tubuh di atas kasur untuk sekedar melepas lelah. Ia mulai memijit dahinya seraya memejamkan mata. Pening yang menggerogoti kepala terasa berdenyut dan siap memecahkan otaknya. Ia juga berharap begitu. Setelah otaknya pecah, ia tidak bisa mengingat apapun –termasuk Hinata. Sebisanya ia menenggak minuman beralkohol yang dibelinya di Bar sehabis melihat Hinata bersama pemuda itu di toko perhiasan.
Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Bayang-bayang itu tidak bisa hilang. Ia kira, dengan sudah lama ia tidak minum minuman yang beralkohol, ia bisa menghilangkan pikiran itu barang sejenak. Ia kira, dengan kunjungannya ke Bar dan bermain bersama wanita-wanita cantik bisa membuatnya melupakan Hinata walau hanya sebentar.
Tapi Sasuke salah. Ia keliru. Dan kini ia sadar, sekeras apapun ia mencoba untuk melupakan Hinata, ia tak mungkin bisa. Karena Hinata lah wanita yang pertama menarik perhatian Sasuke. Hinata lah wanita yang pertama yang bisa meluluhkan hatinya yang sedingin es. Hinata lah wanita pertama yang mengajari Sasuke arti cinta. Ia tidak yakin bila nanti ia akan mendapat wanita yang lebih sempurna seperti Hinata. Ia tidak yakin karena Hinata lah cinta pertamanya.
Merasa usahanya sia-sia, ia beranjak dari posisinya, berubah menjadi duduk di tepi ranjang. Tangannya mulai bergerak membuka laci di lemari kecil, samping tempat tidur. Mengeluarkan sebingkai foto, dan memandangnya secara bekelanjutan. Jemari tangannya bergerak meraba permukaan kaca. Di mana terpajangnya dua wajah pasangan serasi yang tengah tersenyum. Sang wanita tersenyum malu dengan rona merah di wajahnya. Pandangan wanita itu menghindari sorot kamera. Sedangkan pria yang merangkul pinggangnya hanya tersenyum tipis menatap kelakuan sang wanita.
"Hinata..."
Pandangan Sasuke mulai buram.
Tes...
Tetes air asin itu mendarat dengan tepat di permukaan bingkai yang berlapis kaca.
"Apa yang bisa aku perbuat untuk membuatmu kembali padaku?"
.
-o.o.o.o.o-
.
Pernikahan Sai dan Hinata sudah dilaksanakan lima bulan lalu. Tak banyak mengundang orang, hanya keluarga dan teman-teman dekat. Neji beserta Hanabi telah memberikan restu pada Hinata yang telah menjelaskan maksud yang sebenarnya. Mereka mendukung rencana Hinata seratus persen. Bila dibutuhkan, mereka siap membantu.
Usia kandungan Hinata telah memasuki bulan ketujuh. Hinata dianjurkan istirahat untuk mempersiapkan kelahirannya. Perutnya semakin membesar dan terasa berat. Namun Hinata kini tengah terlihat di sebuah Toko Peralatan Bayi. Menyongsong hari kelahiran anak pertamanya, Hinata datang seorang diri. Sai sedang sibuk-sibuknya di Studio. Kemahiran fotography-nya juga semakin diakui sang bos dan pelanggan lain. Jika Hinata meminta Sai untuk menemaninya ke toko ini, ia pasti bersedia dan meminta cuti pada Kabuto untuk hari ini. Tapi itu tidak dilakukan Hinata. Ia tidak ingin merepotkan Sai. Ia juga merasa masih sanggup untuk melakukan ini sendirian.
Memilah-milah baju yang jadi favoritnya, ia mengambil baju warna biru tua yang berhasil menarik hati calon ibu ini.
Menurut hasil USG, janin Hinata berjenis kelamin laki-laki. Pasti tampan. Seperti ayahnya.
Hinata mencelos ketika pikiran itu melintas begitu saja. Seperti ayahnya—seperti Sasuke. Ia kembali menatap baju dengan ukuran kecil itu di tangannya.
Biru tua. Warna favorit Sasuke setelah hitam.
Dengan cepat ia gantung kembali baju tersebut ke asalnya. Tanpa pikir panjang, ia ambil warna coklat. Ketika hendak membayarnya ke kasir, Hinata terhentikan oleh sebuah suara yang menarik pendengarannya. Ia menoleh cepat menemukan sepesang suami-isteri yang mesra. Sang suami mengelus perut istrinya yang sama besarnya dengan Hinata. Do'a-do'a yang berarti baik dipanjatkan pria yang terus mengelus dan mengamati perut istrinya—berharap anak mereka yang akan segera lahir, diberi karunia oleh Tuhan dan diberikan jalan yang terbaik.
Hinata membuang muka dengan perasaan tak karuan. Sedih pastinya. Tapi ia sendiri juga tahu ia tidak akan bisa seperti itu.
"Seandainya...," gumamnya lirih. Ya, seandainya Uchiha tidak menaruh dendam pada Hyuuga, tdak akan terjadi seperti ini. Seandainya Sasuke tidak pernah mempermainkannya, mugkin ia tidak akan sakit hati. Seandainya keluarganya tidak meminta Hinata untuk balas dendam, mungkin Hinata bisa menerima tawaran Sasuke untuk lari bersamanya.
Ya... seandainya. Seandainya saat itu Hinata menolak perbuatan itu, ia tidak akan pernah merasa semenderita ini. Seandainya ia tidak pernah ditakdirkan untuk memiliki cinta yang begitu besar untuk Sasuke, mungkin ayahnya tidak akan meninggalkannya secepat ini.
.
-o.o.o.o.o-
.
Waktu terus berlalu ketika usia kandungan Hinata telah menginjak bulan kesembilan. Daun-daun yang berguguran mengiringi persalinan Hinata di Rumah Sakit Tokyo. Ketika Hinata mengeluh mulas, Sai segera melarikannya ke Rumah Sakit. Hinata akan segera melahirkan anak pertama. Seharusnya kejadian ini menjadi kejadian yang paling mengharukan sekaligus menegangkan untuk sang suami. Tapi tidak begitu untuk Sai.
Ini memang menegangkan karena inilah hari perjuangan Hinata antara hidup dan matinya. Perjuangannya sebagai seorang ibu. Namun ini tidak terasa mengharukan. Walaupun status Sai sebagai suami Hinata, anak yang akan segera lahir ke dunia itu bukanlah darah daging Sai. Tidak ada ikatan batin sedikitpun dengannya. Walaupun begitu ia tetap prihatin. Ia tetap mengharapkan keduanya berakhir selamat.
Sai tidak diperbolehkan masuk ke dalam ketika para perawat dan dokter akan segera membantu persalinan putera pertama mereka. Ia ditahan dan akhirnya hanya duduk di jejeran kursi tunggu depan ruangan dengan perasaan khawatir.
Sai mulai berkeringat dingin ketika Hinata mulai berteriak dari dalam. Ia jadi memikirkan saat ibunya melahirkannya dulu, sama seperti Hinata. Melahirkan puteranya, Sai, tanpa pria yang seharusnya menjadi ayah Sai selama ini. Hinata masih beruntung karena ada pria yang mendampinginya yaitu Sai sendiri. Sementara ibu Sai? Ia hanya sendirian tanpa figur suami yang bisa menjadikannya ayah untuk Sai. Sai tidak pernah mengenal ayah selain seorang pria yang beberapa waktu lalu dikabarkan meninggal dunia di tengah skandalnya dengan perusahaan Hyuuga.
Ayah yang telah meninggalkannya besera ibunya sendirian. Ayah yang dibencinya.
"Ibu... akan aku balaskan dendam Ibu...," gumamnya lirih beserta sorot marah yang kentara di wajah pucatnya.
.
-o.o.o.o.o-
.
Sasuke menghela napas lelah ketika ia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan langkah pelan. Tidak ada gunanya ia di sini. Hanya menonton adegan romantis Sakura dan Naruto saja.
Pada awalnya ia kemari juga diajak Naruto karena hari ini adalah hari pertama Sakura praktek sebagai dokter gigi. Sasuke beserta pacar Sakura itu mengucapkan selamat atas keberhasilan wanita berambut merah muda itu. Namun setelah prakteknya selesai, mereka malah bermesraan berdua di ruangan Sakura. Dan di sini lah Sasuke sekarang. Melangkah untuk pulang.
Saat ia melewati ruang bersalin, ia dikagetkan oleh suara teriakan yang terasa familiar baginya. Padahal ruang bersalin masih harus masuk ke dalam dan teriakan itu biasanya tidak pernah sampai terdengar ke lorong koridor seperti ini.
Ia berhenti, masih mematung disitu. Tiba-tiba perasaannya mulai tidak enak. Otak cerdasnya mencoba menghitung. Ia terbelalak ketika menyadari sesuatu.
Mungkinkah?
.
-o.o.o.o.o-
.
Hinata berteriak kencang memanggil sebuah nama di antara kesakitannya. Ia mengejan demi mengeluarkan bayi tidak berdosa yang menjadi satu-satunya alasan ia masih mencoba bertahan hidup samapai saat ini.
'Kaasan, apa aku dapat sekuat Okaasan? Apa aku sanggup?'
"Sasuke...!" Hinata berteriak memanggil nama yang sudah dua kali disebutnya.
Keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya. Ia mencengkram sprai ranjangnya kuat-kuat. Matanya terpejam menahan nyeri yang luar biasa. Sementara dokter dan beberapa perawat memberi aba-aba dan mencoba menyemangati Hinata yang masih harus berjuang demi kelahiran putera pertamanya.
.
-o.o.o.o.o-
.
Ia berjalan mendekati pintu dari sumber suara yang didengarnya. Perlahan, ia membuka pintu tersebut, masuk, dan menutupnya pelan. Di lorong ini tidak ada siapapun kecuali dirinya sendiri.
Di ujung lorong, ada sebuah pintu yang pria itu duga sebagai tempat bersalin wanita yang dicintainya, Hinata. Ia menelan ludah, keringat dingin mengucur dari pelipisnya ketika teriakan-teriakan itu terdengar semakin jelas di telinganya. Jerit kesakitan menyerukan namanya. Sasuke yakin itu benar-benar Hinata.
Pandangan Sasuke begitu nanar. Hinata dalam kesakitan. wanita itu harus menahan kesakitan. Demi seorang bayi yang menantikan kehidupan. Hinata sedang melawan maut demi melahirkan anak mereka.
Sasuke dikagetkan saat pintu bersalin dibuka seketika oleh seorang perawat yang terlihat panik.
"Anda suami dari Hinata-san?" tanya perawat itu. Sasuke hanya diam tak mengerti. Perawat itu melanjutkan pertanyaannya lebih jelas, "Anda yang bernama Sasuke?" Suster itu mengira bahwa nama yang disebutkan pasiennya adalah suami pasien tersebut.
Pria bermata onyx ini tidak ingin membuang waktu lagi dengan menjelaskan yang sebenarnya. Karena itu, Sasuke hanya mengangguk.
"Hinata-san memanggil nama Anda berkali-kali. Belau sepertinya membutuhkan keberadaan Anda di sampingnya."
"Bawa saya sekarang juga, Suster!"
Suster tersebut memprsilahkan Sasuke masuk setelah memberikan pakaian steril.
Sasuke melangkah dengan kaki gemetar melihat apa yang sesuatu yang amat mengerikan. Baru kali ini ia merasa setakut ini—takut kehilangan. Oleh karena itu, ia mendekat ke ranjang tempat Hinata. Ia ambil tangan wanita itu yang berkeringat dan bergetar hebat. Biarlah walau Hinata mencengkram tangan Sasuke sampai berdarah demi menahan sakitnya yang tak terbendung. Yang penting Sasuke ada di sini, menyemangati Hinata dan ada untuknya.
.
-o.o.o.o.o-
.
Perempuan berambut panjang itu masih berbaring lemah dengan mata sayu yang terus memperhatikan Sasuke dan seorang bayi yang baru saja dilahirkannya. Peluh masih nampak di wajahnya yang pucat.
"Putera kita," bisik Sasuke tepat di samping Hinata yang masih memperhatikannya bersama putera mereka. Hinata melirik pada bayi di gendongan Sasuke tanpa mengatakan apapun. Namun tersirat kesedihan di matanya.
Mungkin hari ini ia bahagia. Karena ia baru saja melahirkan anak pertamanya, dan sang ayah dari bayi ini ada di sampingnya. Namun ketika mengingat hari esok ketika putranya tidak akan bisa mengenal Sasuke sebagai ayahnya, tak urung Hinata bersedih. Ia tetap harus melaksanakan rencananya. Ia tak boleh bersikap senang atas kehadiran Sasuke, kehadiran pria itu, atau pun cinta yang terpancar tulus darinya.
"Kau sudah memberinya nama?" tanya Sasuke, halus. Hinata tidak ingin mendengar nada Sasuke yang halus itu. Seumur hidupnya, ia hanya sekali mendengar nada yang begitu lembut yang membuatnya percaya pada Sasuke.
Hanya sekali. Di malam itu yang menjadi titik utama dari kehidupan putera pertamanya. Malam yang sangat berarti bagi Hinata, namun tak ingin diingatnya. Malam yang menjadi kesalahannya.
"Sudah...," jawab Hinata lemah. "Namanya Tadashi."
"Nama yang bagus."
"Itu pemberian suamiku. Bagus bukan?" tanya Hinata setengah menyindir.
Dan perubahan Sasuke bisa dilihat Hinata dari tubuhnya yang terlihat mengejang. Wajah yang sebelumnya cerah berkat pertemuan yang tidak terencanakan, kembali kaku seperti hari-hari sebelumnya saat dirinya tanpa Hinata. Padahal sebelumnya ia sudah berandai-andai dengan nama Uchiha sebagai marga anak tersebut. Baru ia ingat bahwa Hinata sudah bersuami dan memiliki keluarganya yang baru. Dan ini menegaskannya, bahwa Hinata tidak mungkin lagi ia miliki.
.
-o.o.o.o.o-
.
Pemuda bermata onyx itu tidak beranjak dari posisinya walaupun bayi mereka telah diambil alih seorang perawat yang akan mengantarkannya ke ruangan khusus bayi. Ia masih menemani Hinata di situ dan Hinata tidak terlihat keberatan. Sebenarnya Hinata hanya tidak ingin berdebat dan membuang energinya yang sudah habis. Ia juga tidak ingin memusingkan pikirannya dengan bersusah-susah mengusir Sasuke.
Seorang suster keluar dari ruangan Hinata dan bertemu pria berambut hitam bermata senada dengan pria yang barusan masuk menemani Hinata di ruangannya. Ciri-ciri fisiknya memang mirip dengan pria barusan, hanya kulit pria ini lebih cerah dari yang satunya. Suster tadi berpikir dalam hati, sebenarnya siapa ayah dari bayi yang sekarang berada di kotak yang di dorongnya saat ini? Ataukah pria ini adalah salah satu kerabat dari pria yang dipanggilnya masuk ke dalam tadi?
"Suster, bagaimana kondisi istri saya?" tanya pria yang baru saja kembali dari toilet itu.
"Anda istri Hinata-san?" tanya suster itu dengan kening berkerut.
"I-ini putra Hinata? Ini anakanya?" Sai tidak menanggapi pertanyaan suster barusan dan malah tertarik dengan seorang bayi berambut gelap yang terlihat rapuh itu.
"Iya. Anda suami Hinata-san?" suster tadi mengulangi pertanyaannya.
"Iya, Suster."
"Lho, bukannya suami Hinata-san itu Sasuke-san? Sekarang ia ada di ruangan Hinata-san, menunggunya ketika Hinata-san memanggil namanya. Saya kira Sasuke-san suami Hinata-san," ucap suster dengan mata coklat itu, gamblang.
"Begitu?" tanya Sai dengan pandangan kosong.
"Benar. Saya permisi ke ruangan khusus bayi dulu."
Sai mengangguk ketika suster tersebut melangkah kembali.
Pria berambut hitam pekat itu tidak tahu harus berbuat apa. Kini ia hanya menatap Hinata yang masih terbaring tak berdaya, dan Sasuke yang duduk di sampingnya seraya menciumi punggung tangan gadis itu, dari celah pintu ruangan.
Hinata yang sempat melihatnya dari tempat tidur pun memanggil dengan suara yang masih lemah, "Sai-kun?"
Sontak pria di sampingnya mengarahkan pandangan menuju pintu ruangan yang berada di belakangnya.
Sai mendekat, ia mengambil tempat di sisi lain Hinata yang kosong—bersebrangan dengan Sasuke. Pandangannya dingin terhadap Sasuke, namun pandangannya hangat terhadap Hinata. "Kau sudah mendingan, Hinata? Masih sakit?" suaranya khawatir.
Hanya anggukan lemah yang ia terima. Tentu sakit rasanya. Setelah menjalankan persalinan normal, ia harus sakit kembali oleh jahitan di daerah sensitifnya. Sai semakin mendekat. Tak menghiraukan Sasuke sama sekali yang hanya menatapnya diam. Ia mengecup lembut kening Hinata membuat pria yang berada di samping lain cemburu.
Sasuke tahu di mana perannya saat ini. Ia lebih terlihat seperti pengganggu di antara sepasang suami-isteri di hadapannya. Bahkan semenjak kedatangan Sai ke ruangan ini, Sasuke tidak disapanya samasekali. Ini juga membuktikan bahwa Sai tidak pernah mengharapkannya ada.
.
-o.o.o.o.o-
.
Hinata menatap refleksinya di cermin sekali lagi. Wanita 22 tahun ini merapikan kerah kemejanya yang agak kusut. Rambutnya yang diikat tinggi membuatnya terlihat lebih fresh. Ia terlihat seperti empat tahun lalu. Sosok seorang ibu jelas tidak dapat terlihat dengan kasat mata jika tidak mengenal Hinata lebih dalam.
Kemeja putih dan rok hitam selutut membungkus tubuhnya dengan rapi. Pakaian formal sengaja dikenakannya untuk memasuki Uchiha Hotel yang telah dijanjikan Mikoto dua tahun lalu. Tentu Sai mempertimbangkan waktu dua tahun ini setelah ia memperhitungkan segalanya. Agar Hinata bisa dengan cepat melaksanakan tugasnya setelah beres masa persalinan dan masa asi ekslusif selama enam bulan untuk putera mereka. Tadashi mereka titipkan kepada Hanabi sementara mereka sedang bekerja.
Setelah Sai mengantarkan Hinata sampai ke Kantor, barulah ia pergi untuk menuju tempat kerjanya sendiri. Hinata melangkah memasuki Lobby Hotel yang terkesan mewah dengan cat krem dengan aksen gold dan coklat. Memasuki lantai paling atas, di mana staf setinggi Direktur berada.
Di depan pintunya tertera nama Uchiha Sasuke beserta jabatan yang ia dapat. Namun sebelum masuk, Hinata menemui seseorang wanita berambut merah yang ada di kursi sekertaris di depan pintu sang direktur.
"Saya mau menemui Uchiha-sama. Apa Beliau ada di ruangannya?"
Wanita berambut merah itu menatapnya sengit. Mata tajam di balik lensa kacamata itu mendelik tak senang. Lalu pandangannya beralih pada map yang berada di tangan Hinata.
"Anda mau melamar pekerjaan? Bisakah Anda menyimpannya di sini saja? Saya akan menyampaikannya pada Sasuke-sama nanti."
"Saya sudah diterima di sini atas pernyataan Mikoto-sama. Saya hanya akan memberikan data diri. Kalau begitu, saya serahkan saja kepada Anda." Hinata meletakan mapnya di meja sekertaris Sasuke itu. Kemudian ia berbalik hendak pergi dan menunggu panggilan berikutnya.
Mengerti dengan nama 'Mikoto' yang notabene pemilik Uchiha Corporation, Karin segera memanggil wanita itu kembali. Dia pasti bukan orang sembarangan.
"Anda silahkan masuk ke ruangan Sasuke-sama," ucap Karin setelah memberi informasi pada Sasuke lewat telepon. Setelah mendengar apa yang disampaikan Karin, Sasuke mempersilahkan wanita yang katanya dimasukkan oleh Mikoto ke Hotel ini menjadi pegawainya.
Pintu diketuk oleh Hinata sebanyak tiga kali. Terdengar suara Sasuke yang mengingatkannya pada kejadian-kejadian lalu. Namun ia coba mengenyahkan bayang-bayang. Ia yang kemarin bukan lagi dia yang sekarang. Semuanya telah berubah saat Uchiha menjungkirbalikkan keadaan ekonominya.
Hinata memutar kenop pintu, mendorongnya, dan masuk ke dalam. Gadis itu menutup pintunya kembali. Di ruangan ini hanya ada dirinya dan Sasuke.
"Silahkan duduk." Sasuke mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen yang dikerjakannya, menuju wanita berkemeja putih bersama mapnya.
Mata onyx Sasuke melebar menatap wanita itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya dengan poni yang setia membingkai wajahnya sedari dulu. Mata lavender pucat yang hanya dimiliki oleh satu keluarga, Hyuuga.
Hyuuga Hinata. Mengapa ia bisa ada di sini?
-TBC-
Yang udah ripyu chapter kemarin:
Vipris, Rei-no-otome, Seichi, Hyuuga Haura, Uzumaki Panda, KatouChii, Chai Mol, SasuHina-Fans, Upe Jun, harunaru chan muach, Satsuki-chan, Masahiro Night Seiran, Kurochi Agitohana, mayra gaara, Pitophoy, UZUMAKI YUKI, Uchiha Kagoure chan, Michle, Haruno Aoi, Tsuki Hikari Kagayaku, rasni, .in.
Arigatou gozaimasu...
Review lagi ya... ^^