Warning:

AU & OOC


At Night in My Bedroom

Chapter VI (Final Chapter)

a Naruto Fanfiction by FernMaiden (was dinemica)

Genre: Romance/Drama

Rated: T

Disclaimer: Naruto originaly created by Masashi Kishimoto

2016


3 tahun kemudian.

Seorang gadis terlihat sedang berbaring tengkurap di atas tempat tidurnya. Selimut—yang ia ingat menyelimuti tubuhnya semalam—kini sudah terlipat-lipat di atas kakinya saat ia membuka mata, memperlihatkan tubuh bagian atas gadis itu yang hanya ditutupi piyama tipis berlengan pendek. Ia hadapkan wajahnya ke arah jendela-jendela yang membatasi kamarnya dengan beranda. Angin membelai lembut rambutnya yang lurus dan berwarna merah muda, hembusannya membuat tubuhnya bergidik. Bola mata gadis itu yang serupa dengan emerald mengintip dari balik kelopak matanya dan segera disambut oleh cahaya matahari yang masuk melalui kaca-kaca jendela dan pintu beranda kamar itu. Gadis itu mengerang pelan seraya mengerjapkan kedua matanya.

"Selamat siang, Sakura-chan," sapa seorang wanita paruh baya yang sedang mengibaskan gorden serta membuka jendela-jendela kamar gadis itu. "Sebentar lagi sudah saatnya makan siang, Sakura-chan harus bangun."

Gadis yang dipanggil Sakura-chan hanya menatap wanita paruh baya itu dalam diam.

"Nah, lihatlah! Ruangan ini jadi jauh lebih baik kalau disirami cahaya matahari seperti ini, bukan begitu? Sakura-chan harus sering-sering membuka jendela dan pintu beranda juga, agar udara dari halaman belakang bisa masuk."

Sakura kembali menutup matanya dan menyahut dengan erangan pelan, "…Hngg."

Tawa pelan terdengar dari wanita paruh baya itu, "Pasti lelah sekali ya setelah beberapa hari ini jaga malam di rumah sakit,"

"Hm…"

Wanita paruh baya itu menghampiri Sakura dan duduk di sisi tempat tidurnya. Dibelainya wajah anak semata wayangnya itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Terima kasih, Sakura-chan, karena sudah bekerja keras."

"Hm… bu,"

"Ya?"

"Lapar,"

Suara tawa kembali terdengar dari ibu Sakura, "Kalau begitu, ayo bangun, Sakura-chan! Ibu buatkan menu makan siang kesukaanmu. Ibu dan Ayah akan menunggu di bawah untuk makan bersama, ok?"

Sakura mengangkat sebelah tangannya dan membentuk huruf 'O' dengan ibu jari dan telunjuknya.

Sesaat setelah ibu Sakura meninggalkan ruang kamar, nada dering telepon memecah keheningan di ruangan itu. Sakura mencari-cari dimana letak ponselnya dengan malas. Saat tangannya baru akan meraih ponselnya, nada dering itu berhenti dan sunyi kembali menyelimuti ruang tidur itu. Sakura mengambil ponselnya dengan sebelah tangan lalu memeriksa dari siapakah panggilan yang tak terjawab itu. Sebuah nama terpampang di layar ponselnya diikuti dengan sebuah pesan baru yang datang dari orang yang sama.

Haruno-san, kau dimana? Kenapa tidak mengangkat teleponku? Haruno-san, ini gawat! Aku terlanjut bilang bahwa kau akan datang untuk kencan dengan Sasori-senpai siang ini. Sekarang Sasori-senpai sedang menuju restoran tempat kalian akan bertemu. Bagaimana ini? Maafkan aku, Haruno-san, aku tidak tahu kalau Senpai akan seagresif ini (cry).

-Tenten

Pesan itu cukup mampu membuat mata Sakura terbelalak dan membuat rasa kantuknya hilang seratus persen. Dengan cepat, Sakura menekan tombol untuk menghubungi Tenten via telepon. Setelah menunggu beberapa saat, terdengar suara seorang gadis yang panik dari seberang telepon, "Ah, Haruno-san! Bagaimana ini? Aku benar-benar minta maaf! Sasori-senpai tidak akan membiarkan aku sendiri, jadi aku tidak sengaja bilang iya padanya."

Sakura menghela napas berat, "Tenten, aku sudah menggantikan shift-mu, inikah caramu membalasku? Ah, hatiku terasa sakit."

"Haruno-san, aku benar-benar minta maaf! Apa yang harus aku lakukan? Atau kita abaikan saja?"

"Ah, kita akan melalui masa-masa sulit di rumah sakit jika berbuat buruk pada senpai,"

"Nah, itulah maksudku! Lagipula, Haruno-san, bukankah tidak apa-apa kalau kau pergi menemuinya sekali ini? Maksudku, Haruno-san sedang tidak dekat dengan siapapun akhir-akhir ini, bukan? Dan selama ini Haruno-san selalu mengabaikan senpai, tapi laki-laki itu tetap saja mengganggumu seperti orang gila. Jadi, bukankah tidak masalah jika Haruno-san pergi sekali ini lalu tolak dia untuk selamanya, bagaimana?"

Sakura mendesah frustasi mengingat kelakuan seniornya satu ini yang sedang ia bicarakan dengan Tenten. Belum genap setahun Sakura mulai meniti kariernya sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit ternama di Konoha, alih-alih mendapatkan kesulitan saat melakukan pekerjaan, Sakura malah mendapat masalah dari seniornya yang selalu menggodanya sejak pertama kali mereka bertemu. Sasori-senpai adalah seorang dokter yang tampan dan berbakat. Namanya juga sudah dikenal baik di lingkungan rumah sakit dan pasien. Namun, yang jadi masalah adalah kelakuannya yang sedikit playboy dan ambisius. Sudah banyak rekan-rekan kerja wanita Sakura di rumah sakit yang merasakan berada di posisi yang sama dengannya sekarang, hanya saja, semuanya selalu menerima tawaran kencan Sasori-senpai dengan mudah karena ia terkenal sebagai Mr. Perfect dan sosoknya serupa dengan pangeran impian. Hanya Sakuralah satu-satunya yang menolak mati-matian ajakan kencan seniornya itu. Hingga pada akhirnya hari ini, Sasori-senpai memanfaatkan Tenten yang polos untuk membujuk agar Sakura setuju pergi kencan dengannya.

"Tenten, aku hanya ingin hari libur yang damai hari ini,"

"Maafkan aku, tapi bukankah ini ide bagus? Tolak dia dengan benar hari ini, Haruno-san. Aku jamin, selanjutnya dia tidak akan mengganggumu lagi."

"Menurutmu begitu?"

"Hm! Betul sekali!"

Sakura mengerang pelan seraya memijit dahinya, "Baiklah… tapi, hanya makan siang. Bukan kencan. Bilang begitu padanya."

"Terima kasih, Haruno-san! Baiklah, aku akan menghubungi Sasori-senpai. Oh, tempat bertemunya di restoran eropa yang ada di jalan utama kota."

"Yaa, baiklah,"

"Haruno-san, semoga berhasil! Kalau begitu aku tutup teleponnya."

Sakura mengerang seraya melempar ponselnya dan menghepaskan kembali tubuhnya ke atas tempat tidur. Pikirannya tiba-tiba melayang pada seorang pria lain yang sudah lama ia tidak dengar kabarnya. Ia raih kembali ponselnya untuk memeriksa akankah ada panggilan maupun pesan dari pria itu. Namun, sama seperti hari-hari sebelumnya, ia tidak menemukan apapun. Sakura menghela napas berat dan kembali melempar ponselnya.

"Ah, si bodoh itu…"

Sesak.

Itulah satu kata yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi saat ini di terminal kedatangan bandara Konoha. Kerumunan memenuhi bagian dalam terminal di bandara itu, bahkan hingga ke pintu keluar. Kebanyakan di antara mereka adalah kaum hawa yang datang dengan penuh persiapan. Mereka membawa alas duduk, makanan, minuman, gadget, dan yang terpenting adalah kamera. Beberapa di antara kerumunan itu bahkan terlihat sedang sibuk menyetel kamera profesionalnya dan sesekali mencoba mengambil gambar. Ada yang duduk-duduk sambil mengobrol dengan temannya, ada yang sibuk dengan gadgetnya untuk mengupdate situasi mereka saat ini ke sosial media, ada juga yang tak sabaran dan beberapa kali berusaha untuk mengintip ruangan yang menjadi arah darimana datangnya penumpang pesawat yang akan tiba siang ini.

Di antara kerumunan itu juga terdapat petugas keamanan yang berseragam maupun tidak berseragam, dilengkapi dengan handsfree di telinga mereka. Mata mereka waspada terhadap gerak-gerik kerumunan yang hampir didominasi oleh wanita-wanita muda itu, sambil sesekali berbicara melalui handsfree.

Saat itulah, suasana yang semula tenang tiba-tiba berubah menjadi gaduh. Banyak di antara kerumunan itu yang mulai berteriak dan ada yang dengan sigap berlari berusaha mendekati pintu ruangan yang menjadi arah datangnya penumpang pesawat yang baru tiba. Namun, ada hal yang kompak mereka lakukan bersamaan, yaitu mengangkat tinggi-tinggi cheering slogan, bersiap-siap melempar hadiah, dan siap siaga untuk memotret baik dengan kamera ponsel, digital, maupun profesional.

Kegaduhan semakin menjadi-jadi ketika sebuah rombongan keluar dari ruangan itu. Dimulai dengan pria-pria tinggi dan berbadan tegap yang membawa troli berisi barang-barang berat dan koper-koper besar, diikuti dengan lima orang pemuda lainnya dengan pakaian yang trendy dan fashionable, lengkap dengan aksesoris seperti masker, topi dan kacamata, serta tas ransel tergantung di bahu mereka. Teriakan di antara kerumunan itu makin terdengar jelas ketika lima pemuda itu keluar dari ruangan dan mulai berjalan menuju pintu keluar bandara.

Seorang wanita muda berusia dua puluhan, berdiri di sisi jalan yang akan dilalui oleh kelima pemuda itu. Seorang pria tinggi berbadan tegap berusaha menahan wanita itu agar tidak mendekati kelima pemuda yang akan lewat. Wanita itu meronta berusaha lolos dari pria tegap yang meghalanginya. Usahanya semakin keras ketika kelima pemuda keren itu mulai berjalan mendekati posisi dimana wanita itu berdiri. Menyerah dengan kekuatannya yang tak sebanding dengan pria tegap dihadapannya, wanita itu mulai berteriak sekuat tenaga seraya mengangkat tinggi-tinggi sebuah banner di atas kepalanya dan memegang kamera ponsel yang sedang merekam di tangannya yang lain. "Kiba-san! Kiba-san! Lihat kemari! Kiba-san!"

Teriakan wanita itu teredam diantara teriakan-teriakan lainnya yang lebih keras. Wanita itu mulai menangis, namun tidak berhenti berteriak.

Salah satu dari lima pemuda itu melihat kondisi gadis itu dan memutuskan untuk berjalan lebih dekat ke arahnya. Namun, langkahnya dihalangi oleh seorang pria berambut putih dengan masker menutupi wajahnya.

"Jangan ceroboh, Kiba." Pria itu berkata dari balik maskernya.

Pemuda yang dipanggil Kiba itu nyengir dan menyahut, "Tenang Kakashi, aku tidak akan terlalu dekat."

Kiba kembali berjalan lurus menuju pintu keluar, hanya saja, matanya tertuju pada wanita yang sedang menangis itu. Kiba melepas sebelah earphone yang terpasang di telinganya sedari tadi untuk mendengarkan musik, langkahnya melambat, lalu berkata pelan pada wanita itu, "Hey, hey, jangan menangis, oke?"

Tangis wanita itu sontak berhenti dan wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut yang amat sangat. Bibirnya bergetar, sebuah kata terucap dengan terbata, "Ki-ki… Ki… Ki-kib… Kib…"

Kiba nyengir melihat tingkah wanita itu dan memutuskan untuk menggodanya dengan mengikuti gaya bicaranya yang terbata-bata, "Ki-ki… Ki… Ki-kib… Hahaha," tawa renyahnya yang khas membahana di antara suara teriakan kerumunan itu. Kerumunan itu terdiam sejenak saat mendengar suara tawa Kiba sebelum akhirnya teriakan kembali menggemparkan terminal kedatangan di bandara itu.

Kiba menyilangkan tangannya lalu memperagakan gestur seperti sedang menangis pada wanita itu, seolah berkata 'jangan menangis' kemudian ia kembali berjalan mempercepat langkahnya ke arah pintu keluar.

Sesampainya di luar bandara, kelima pemuda itu diarahkan untuk masuk ke sebuah mobil van yang sudah siap berangkat. Lima pemuda itu, Kiba, Shikamaru, Naruto, Sai, dan Sasuke, dengan sigap masuk ke dalam mobil van lalu diikuti oleh manajer mereka, Kakashi, yang kemudian menutup pintu. Mobil pun mulai melaju meninggalkan kerumunan yang masih setia berdiri sambil melambai-lambai ke arah mobil mereka.

Naruto dan Kiba, yang duduk di kursi paling belakang bersama Shikamaru, berbalik menatap kerumunan itu melalui jendela seraya ikut melambaikan tangan.

"Terima kasih semuanya! Kita sampai dengan selamat! Bye, byeee," seru Naruto dengan senyum lebar di wajahnya.

"Bye, bye, my babes! Bye, bye!" Kiba menyahut diikuti dengan tawanya yang membahana di dalam mobil itu.

Shikamaru menghela napas melihat kelakuan dua rekannya itu, "Berhentilah melakukan itu, mereka tidak akan bisa melihat kalian."

"Ah, kau benar," jawab Naruto dengan nada kecewa. "Tapi bukankah tadi keren sekali? Mereka tadi ada ratusan, mungkin ribuan! Sambutan mereka meriah sekali, fans kita memang yang terbaik! The best, The best!"

"Akhirnya, kita tiba di Konoha setelah sekian lama. Dilihat dari sambutannya, mereka pasti rindu sekali dengan kita. As expected, our babes," Kiba menimpali.

"Mereka benar-benar keren, aku tidak sabar untuk tampil di depan fans kita lagi atau hanya sekedar menyapa. Tapi, masalah yang paling utama sekarang adalah jet lag," sahut Sai yang duduk di kursi tengah, bersebelahan dengan Sasuke.

"Nah, itu dia," Shikamaru mengerang pelan. "Aku tidak sabar bertemu tempat tidurku."

"Bahkan, Sasuke saja sudah kembali tidur," ujar Sai sambil meraih topi yang dikenakan Sasuke seraya tertawa saat melihat vokalisnya itu sudah kembali terlelap di kursinya.

"Aku curiga dia tadi berjalan juga sambil tidur, matanya setengah terpejam seperti ini, hahaha!" Naruto tertawa sambil memperagakan matanya yang hanya terbuka setengah dengan mulut terbuka.

Kiba yang duduk di belakang kursi Sasuke menendang-nendang kursinya dan menggodanya, "Hoi, hoi, bangun! Hei, pasti foto-foto preview dia yang akan beredar hari ini jadi yang paling jelek, karena tadi dia juga tidak pakai masker, hahaha!

"Seperti zombie," sahut Shikamaru seraya tertawa mengejek.

"Plant versus Zombie, aao… aaaa… aeiei…" balas Naruto yang langsung memperagakan cara berjalan zombie di salah satu game terkenal itu sambil duduk.

Kakashi, yang duduk di kursi paling depan, tertawa pelan melihat keempat pemuda di belakangnya yang sedang mengejek vokalis band mereka itu. "Sudah, anak-anak. Jangan ganggu dia,"

"Kakashi, sekarang kita langsung ke asrama, kan?" Sai bertanya sambil mencondongkan tubuhnya ke kursi Kakashi.

"Tentu." Jawab Kakashi yang disambut dengan seruan gembira dari member The Mozzart Effect lainnya.

Asrama yang menjadi tempat tinggal bersama member band The Mozzart Effect adalah sebuah rumah di kawasan elite Konoha. Kawasan residensial itu terkenal tertutup dan memiliki lingkungan yang asri serta sunyi. Shino Entertainment, perusahaan yang menjadi agensi dari The Mozzart Effect, memilih rumah di lokasi itu karena keamanannya yang terjamin dan tidak bisa sembarang orang masuk ke kawasan itu. Hanya penghuni dengan kartu tanda pengenal yang bisa melewati gerbang utama. Hal ini dilakukan oleh perusahaan agar member The Mozzart Effect senantiasa aman dari serbuan penggemar yang membahayakan, layaknya kejadian beberapa tahun lalu ketika The Mozzart Effect baru saja debut.

Saat itu, member ditempatkan di asrama berupa apartemen yang terletak di pusat kota. Entah bagaimana caranya, banyak penggemar yang mengetahui lokasi itu dan tak segan untuk mengunjungi member di asrama. Awalnya, hanya beberapa penggemar yang mampir untuk menitipkan kado pada petugas di lobby apartemen. Namun seterusnya jumlah penggemar yang berkunjung semakin banyak dan tak hanya sekedar ingin menitipkan kado, tetapi juga menunggui member di lobby utama hingga larut malam. Puncaknya ialah insiden ketika beberapa penggemar berhasil melabui petugas dan pergi ke kamar tempat member The Mozzart Effect tinggal. Hal itu tidak hanya membuat penghuni yang lain terganggu, tapi juga meninggalkan trauma tersendiri bagi para member.

Namun, ketika kini member The Mozzart Effect telah pindah ke tempat yang lebih baik, mereka bisa bernapas lega karena bisa mendapatkan kembali privasi mereka. Seperti Kiba, yang dulunya tidak bisa memiliki binatang peliharaan, kini ia bisa memelihara seekor anjing yang diberi nama Akamaru, dan bahkan bisa mengajaknya jalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya tanpa takut ada penggemar yang membuntutinya. Dan Naruto, yang tidak pernah bisa diam di tempat, kini bisa bermain-main dengan bebas di sekitar asrama mereka.

Pagi ini, The Mozzart Effect baru saja kembali setelah menyelesaikan rangkaian tour mereka di beberapa benua. Sudah tiga tahun sejak pertama kali mereka debut internasional dan sekarang mereka telah menyelesaikan promosi dan tour mereka. Setelahnya, mereka memutuskan untuk pulang ke tempat asal dan kembali berkarier di Konoha. Namun, sebelum mereka memulai kembali pengerjaan album baru, agensi memutuskan untuk memberikan waktu libur bagi semua member The Mozzart Effect dan juga para staff dan team yang bekerja untuk band tersebut.

Waktu terbang yang lama dan perbedaan waktu membuat member The Mozzart Effect merasa sedikit kelelahan dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Sesampainya di asrama, semua member langsung pergi ke kamar mereka masing-masing, kecuali Sasuke yang segera berganti pakaian dan mencari kunci mobilnya.

"Sasuke, mau kemana?" tanya Kakashi yang menyadari bahwa Sasuke tengah memegang kunci mobil di tangannya serta beberapa paper bag di tangannya yang lain.

"Rumah Haruno." Jawab Sasuke singkat.

Naruto yang baru saja keluar dari kamarnya tak sengaja mendengar percakapan itu. "Wah, wah, Sasuke ternyata tidak sabaran ya," ujarnya diselingi tawa. "Tapi, sebaiknya istirahatlah dulu. Memangnya kau tidak mengantuk? Hoaam… aah, sial aku 'ngantuk sekali. Hei, Sasuke, aku saja baru akan menemui Hinata besok pagi."

Sasuke mengacuhkan perkataan temannya dan langsung pergi menuju garasi tanpa memedulikan tatapan dari manajernya serta rekan bandnya itu, "Aku pergi."

Setelah Sasuke memasukkan barang bawaannya di kursi penumpang bagian belakang, ia segera duduk di balik kemudi dan membawa mobilnya melaju keluar dari garasi asramanya. Dikeluarkannya ponsel dari saku jaket lalu ia tekan tombol power. Awalnya, ia hendak menghubungi Sakura terlebih dahulu, namun pada akhirnya ia mengurungkan niatnya.

Mobil yang dikendarai Sasuke melaju semakin lambat ketika memasuki jalanan pusat kota yang kini tengah berada di jam makan siang. Mobil Sasuke berjalan perlahan bersama mobil-mobil lainnya, membentuk barisan yang rapi dan tertib. Sasuke berdecak melihat kemacetan yang dialaminya, "Persetan dengan krisis ekonomi," ujarnya pelan. "Buktinya, semua orang pergi mengendarai mobil."

Beberapa kali Sasuke mencoba untuk berganti jalur agar setidaknya bisa melaju sedikit lebih cepat, namun usahanya tak membuahkan hasil. Sasuke menghela napas dan memilih untuk sabar menghadapi kemacetan ini. Tangannya yang semula memegang setir kini terkulai di atas pahanya. Kakinya dengan sigap bergantian menginjak pedal gas dan rem. Bosan melihat pemandangan mobil-mobil di depannya, Sasuke mengalihkan pandangannya ke jalur pedestrian di sekitarnya. Ia tatap toko-toko dan restoran disekelilingnya yang kini ia sadari sudah berubah. Padahal, ia hanya pergi selama tiga tahun, namun banyak juga tempat-tempat yang mengalami perubahan. Sasuke memandang sekelilingnya dengan terpana.

Tatapannya tiba-tiba terpaku pada sesosok gadis dengan rambut pajang sebahu yang berjalan sambil menunduk melihat ponselnya. Gadis itu mengenakan terusan dengan panjang tepat di atas dengkulnya, dilengkapi cardigan, heels, dan tas selempang kecil. Rambutnya yang merah muda ia biarkan terurai dan sesekali tangannya menyelipkan beberapa helai ke belakang telinganya ketika hembusan angin menyapu rambutnya menutupi wajah. Mata onyx Sasuke tidak sekalipun melepaskan pandangan pada sosok itu, bahkan hingga figurnya perlahan hilang ketika memasuki sebuah restoran.

Sasuke terkesiap ketika bunyi klakson dari mobil-mobil yang berada di belakang mengejutkannya. Ia segera menjalankan kembali mobilnya, namun matanya kembali memandang tempat dimana gadis itu menghilang. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Sasuke memutuskan untuk membelokkan setir mobilnya dan memasuki area parkir sebuah restoran eropa.

Sakura berjalan menyusuri jalur pedestrian di pusat kota. Kakinya mulai pegal setelah berjalan dari rumahnya menuju stasiun, lalu kini ia harus berjalan lagi menuju restoran tempat ia dan Sasori berjanji akan bertemu. Dalam hati ia menyesali keputusannya untuk menggunakan sepatu dengan hak tinggi. Meski tidak seberapa tinggi, namun cukup membuat dirinya yang tidak terbiasa menggunakan sepatu model ini harus menahan rasa sakit di kakinya.

'Tapi, kalau pakai walking shoes, tidak akan cocok dengan dress ini.' gumamnya dalam hati.

Sakura memperlambat langkahnya ketika menyadari ia telah memasuki area yang didominasi oleh restoran. Jalanan kota di sebelahnya kini terlihat padat dan orang-orang ramai lalu-lalang memasuki restoran untuk makan siang. Sakura meraih ponselnya dan membuka sebuah aplikasi chatting. Dilihatnya sebuah foto yang dikirimkan oleh Sasori kepadanya saat ia masih di dalam kereta. Sebuah foto bagian depan restoran yang menjadi tempat mereka bertemu. Sesekali Sakura memeriksa sekekelingnya untuk menyocokkan bangunan di sekitarnya dengan foto yang dikirimkan oleh Sasori. Ketika Sakura menemukan tempat yang dimaksud, ia segera mengetik sebuah pesan kepada Sasori.

Senpai, aku hampir sampai.
-Sakura

Sakura mempercepat langkahnya menuju restoran itu sambil sesekali menunduk melihat layar ponselnya dan membetulkan rambutnya yang tertiup angin. Ketika ia memasuki restoran itu, seorang waiter menyambutnya dengan ramah dan menanyakan berapa kursi yang ia butuhkan. Sakura balas tersenyum dan menjawab bahwa ia kemari untuk menemui seseorang dengan nama Sasori. Waiter tersebut tampak mengerti dan langsung mengantarnya ke meja tempat Sasori menunggu. Sakura menggigit bibir bawahnya ketika melihat sosok Sasori yang sedang duduk memunggunginya. Seketika, perasaan tidak enak menyergapnya.

"Permisi, Monsieur. Mademoiselle yang Anda tunggu sudah datang. Mari, silahkan," ujar Waiter itu sambil menunduk seraya menarik kursi di depan Sasori untuk Sakura.

Sasori menoleh ke belakang dimana Sakura berdiri, lalu segera bangkit dan tersenyum padanya, "Ah, kau sudah di sini, Sakura-chan."

Sakura membalas dengan menundukkan kepalanya sedikit lalu duduk di kursi yang telah disiapkan oleh waiter itu.

"Silahkan, Mademoiselle, pesanan Anda." Ujar Waiter seraya menyodorkan menu kepada Sakura.

Sakura dengan kikuk menerima daftar menu lalu membaca satu per satu hidangan yang terpampang di daftar. Tatapan bingung jelas terpancar di wajahnya. Jantungnya berdegup sedikit lebih kencang ketika ia menyadari bahwa ia belum pernah melihat jenis hidangan di restoran macam ini. 'Gawat, aku harus pesan apa.' Ia berbisik di dalam hati.

"Ah, kopi saja! Kopi!" seru Sakura tiba-tiba.

Sasori menatapnya dengan bingung, "Sakura-chan tidak akan makan siang?"

"Ano, sebetulnya aku sudah makan siang di rumah," jawab Sakura pelan. "Maafkan aku, Senpai. Tapi, ibuku tadi sudah menyiapkan makan siang… jadi… aku—"

"Tidak masalah. Kalau begitu, kami pesan kopi,"

"Ah, Senpai pesanlah makan siang. Aku akan menemani Senpai makan."

Sasori tertawa pelan melihat tingkah Sakura, "Begitukah? Hm, kalau begitu kami pesan kopi, Crème Brulle untukku, dan Chocolate Souffle untuk gadis cantik ini."

"Baik, ditunggu pesanannya. Saya permisi." Balas Waiter yang kemudian melangkah pergi menjauhi meja Sasori dan Sakura.

"Aku ingin sekali makan siang denganmu, tapi berhubung kau sudah makan, kita makan dessert bersama saja, oke?"

Sakura sedikit tersipu malu melihat seniornya yang kini sedang duduk di hadapannya, tersenyum manis dan berbicara dengan suara yang lembut. "Um, maaf Senpai. Aku tidak melakukannya dengan sengaja. Ini benar-benar mendadak dan aku sudah terlebih dulu janji akan makan siang dengan Ibu dan Ayahku. Maaf juga karena aku sangat, sangat, sangat terlambat," ujar Sakura seraya menundukkan kepalanya beberapa kali untuk meminta maaf.

Sasori tersenyum melihat juniornya itu, "Tidak masalah. Aku juga terkejut ketika Tenten bilang kau akan datang hari ini."

"Ah, soal itu—"

"Hari ini pasti hari keberuntunganku karena Sakura-chan mau makan siang denganku. Wah, aku sangat bahagia,"

Sakura bisa merasakan pipinya menghangat saat melihat Sasori mencondongkan tubuh ke arah Sakura sambil tersenyum manis dan menatapnya dalam-dalam. Sakura segera mengalihkan pandangannya ke sekelilingnya untuk menghindari kontak mata dengan Sasori. Saat itulah Sakura menyadari bahwa restoran tempat mereka makan ini lumayan sepi pengunjung, padahal sekarang masih jam makan siang.

Sakura kembali menatap pemuda di depannya, "Apa Senpai sering ke sini?"

"Hmm, ya, beberapa kali. Kau menyukainya? Aku suka tempat ini karena tidak terlalu ramai dan makanannya juga enak. Tunggu sampai kau mencoba Chocolate Souffle, itu adalah yang terbaik di Konoha."

"Benarkah?" tanya Sakura yang dijawab dengan anggukan oleh Sasori.

Selama menunggu pesanan mereka datang, mulanya Sakura berpikir bahwa mereka akan terjebak dalam kecanggungan. Namun, hal itu sama sekali tidak terjadi. Mereka berbincang dengan sangat baik meski Sasori yang dominan dalam percakapan mereka. Kini, Sakura perlahan memahami mengapa banyak rekan-rekannya dan juga pasien yang menyukai ketika berada di dekat Sasori.

Selain tampan, Sasori juga pandai berbicara dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Sakura yang awalnya sangat ingin bersikap dingin dan buru-buru pergi dari tempat ini, kini merasa sangat nyaman berbincang dengan Sasori. Sesekali Sasori melontarkan lelucon yang mampu mengocok perut Sakura. Sampai di sini, Sakura menyadari bahwa ia dan Sasori ternyata memiliki selera humor yang sama. Hanya satu hal yang ia sayangkan dari seniornya ini, yaitu sifatnya yang ambisius dan playboy. Seandainya saja Sasori mau serius dengan satu wanita saja, dia akan benar-benar menjadi Mr. Perfect, pikir Sakura.

Ketika pesanan datang, Sasori dan Sakura segera menikmati hidangan yang mereka pesan sambil sesekali bercanda dan berbincang. Melihat suasana yang mulai menyenangkan dan nyaman bagi Sakura, Sasori memanfaatkan kesempatan ini untuk menggoda gadis itu dengan berpura-pura membersihkan sisa makanan di sudut bibir Sakura. Sasori terkekeh melihat pipi Sakura yang memerah karena perbuatannya itu.

Sasori dan Sakura melanjutkan berbincang-bincang meski hidangan mereka telah tandas sambil sesekali bercanda. Terkadang mereka juga membahas hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan bidang kedokteran. Sampai akhirnya ketika Sasori meminta izin untuk pergi ke toilet dan meninggalkan Sakura duduk sendirian. Saat itulah Sakura sadar bahwa ia telah kelewatan.

"Ah, apa yang aku lakukan! Aku tidak menyangka akan senyaman ini," ujarnya pelan sambil memukul-mukul pelan kepalanya. Sakura menghela napas panjang, "Setelah ini, aku akan tegas mengatakan bahwa hubungan kami hanya bisa sebatas senior-junior saja. Ya, kali ini aku akan benar-benar mengatakannya dan pergi! Yup!"

Sakura terkesiap ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi menunjukkan adanya pesan baru yang masuk melalui aplikasi chatting. Berhubung ia sedang sendirian sekarang, Sakura memutuskan untuk langsung memeriksanya. Sakura memasukkan password untuk mengunlock ponselnya lalu tertegun memandang wallpaper yang terpampang di layar. Wallpaper ponselnya sekarang ialah foto seorang vokalis dari sebuah band terkenal di mancanegara, The Mozzart Effect. Foto tersebut diambil tahun lalu ketika vokalis itu sedang dalam kunjungan singkatnya ke Konoha. Sasuke—nama dari vokalis itu—terlihat sedang menyuap es krim dengan Sakura bersandar di bahunya. Sakura tersenyum mengingat momen saat mengambil foto tersebut, Sakura memaksa Sasuke untuk pergi makan es krim dengannya meski Sakura tahu bahwa kekasihnya itu tidak menyukai makanan manis. Tetapi pada akhirnya Sasuke setuju dan bahkan mereka sempat berfoto bersama, sebelum akhirnya Sasuke pamit untuk kembali pergi.

Tak mau mengingat kenangan ketika mereka berpisah kembali tahun lalu, Sakura buru-buru membuka aplikasi chatting di ponselnya dan memeriksa pesan baru yang masuk. Sekali lagi, Sakura terkesiap, tubuhnya menegang ketika ia membaca nama pengirim pesan tersebut. Jantungnya berdegup kencang ketika membaca isi pesannya.

Sasuke:
Aku sudah kembali ke Konoha.

Sakura bisa mendengar teriakan di dalam kepalanya saat membaca pesan itu. Kapan? Mengapa aku tidak tahu? Ah, benar aku sudah lama tidak mengecek website mereka dan akun-akun fanbase di Instagram, aku jadi tidak tahu kalau mereka kembali. Astaga, astaga, bagaimana ini?! Ah, aku sangat senang sampai gemetaran… Aku harus balas apa? Uhh, Sasuke… dia kembali… Apa dia langsung ke rumahku? Itu tidak mungkin, kan? Tapi tahun lalu begitu, dia langsung mengejutkanku seperti itu, apa tahun ini juga? Ah! Laki-laki macam apa dia, tidak menghubungiku sekian lama, sekarang dia menghubungiku seperti ini. Kenapa? Apa dia tidak berhasil mengencani model cantik bule di sana? Jadi dia kembali kepadaku? Ah, rasanya jantungku mau lompat keluar!

"Sakura!"

Sakura sontak berdiri ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Ditatapnya pria berambut merah di depannya yang sedang balas memandangnya dengan tawa. "Ah, Sasori-senpai…"

Sasori tidak kuasa menahan tawa melihat Sakura yang semula mematung di kursinya, kini melompat berdiri. "Sakura-chan, kau baik-baik saja? Kau terlihat terkejut sekali, hahaha,"

"Maaf, Senpai, aku hanya… uhh…"

"Tidak masalah, ayo silahkan duduk lagi. Hahaha…"

Sakura kembali duduk di kursinya seraya mengutuk dirinya yang telah bertingkah aneh.

"Kau baik-baik saja? Sepertinya ada sesuatu di ponselmu. Kau menatapnya sampai bola matamu seperti mau keluar," ujar Sasori sambil menyingkirkan rambut Sakura yang menutupi wajahnya dengan sebelah tangan.

Sakura dengan refleks menepis tangan Sasori, "Aku baik-baik saja, Senpai. Maaf aku tidak menyadari Senpai sudah kembali."

"Tidak masalah. Nah, sampai mana kita tadi? Ah, mengenai—"

Sakura tidak mendengar kelanjutan dari perkataan Sasori karena ponselnya kini berbunyi lagi menandakan ada pesan yang masuk. Sakura membaca pesan itu yang ternyata dikirim oleh orang yang sama dengan sebelumnya.

Sasuke:
Sakura, sudah makan siang?
Ayo makan siang bersama
Aku di jalan, sedang menjeputmu

Sakura buru-buru mengetik balasan tanpa memedulikan Sasori yang masih berbicara di depannya.

Sakura:
Syukurlah, kau sampai dengan selamat
(read)
Aku sudah makan siang
(read)
Bagaimana dengan makan malam?
(read)

Sakura bisa melihat bahwa saat ini Sasuke pasti juga sedang memegang ponselnya karena pesan yang dikirim Sakura segera dibaca oleh Sasuke.

Sasuke:
Makan siang?
Barusan kau hanya makan dessert, apa itu makan siang?
Kau diet?

Sakura terkesiap membaca balasan pesan itu, "Eeh?!"

Sakura sontak menutup mulutnya dan menatap Sasori yang sedang balas memandangnya dengan tatapan bingung.

"Sakura-chan? Ada masalah?"

"A-ah… itu… uhh, bukan apa-apa, Senpai,"

"Begitu? Aku terkejut kau tiba-tiba berteriak," jawab Sasori diselingi tawa renyah. "Sakura-chan, setelah aku mengobrol denganmu, aku jadi tahu bahwa Sakura-chan adalah orang yang lucu sangat menyenangkan. Ekspresi dan tingkahmu yang tiba-tiba sangat menghiburku. Sakura-chan juga terlihat menikmatinya… Bagaimana kalau besok kita seperti ini lagi?"

Sakura menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi ketika Sasori kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Sakura, "Ano… Senpai, soal itu…"

Tiba-tiba ponsel Sakura kembali berdering, Sakura membaca pesan baru yang terpampang di layar ponselnya.

Sasuke:
Pesanku tidak dibalas?
Wah,
Wah, wah, Sakura
Apa yang sedang kau lakukan
Dengan

Sakura memutuskan untuk mengacuhkan pesan itu untuk sementara dan menyelesaikan urusannya dengan Sasori terlebih dahulu. Sakura kembali menatap pria di hadapannya yang kini tengah memperhatikan ponsel yang ada di genggaman Sakura. "Senpai, maafkan aku—"

Ponsel Sakura kembali berdering. Sakura melirik pesan baru yang kembali masuk.

Sasuke:
…pria berambut merah itu?

"EEH?!" seru Sakura tepat setelah membaca pesan itu. Rasa terkejutnya bertambah ketika Sasori meraih ponsel dari genggamannya. "Ah, Senpai—"

Sakura cepat-cepat menekan tombol lock ponselnya dan berusaha melawan cengkaraman Sasori, namun Sasori yang lebih kuat darinya berhasil merebut ponsel itu dari tangan Sakura.

"Aku penasaran, siapa yang mengganggumu sampai kau tidak fokus pada kencan kita hari ini? Hm?" gumam Sasori seraya menekan tombol lock pada ponsel Sakura. "Ah… Password?"

Sakura tidak menjawab pertanyaan seniornya itu dan berusaha meraih ponselnya kembali. Namun, Sasori segera melompat berdiri dan mengangkat ponsel Sakura dengan sebelah tangannya. Sakura ikut berdiri. Perbedaan tinggi badan yang mereka miliki membuat Sakura harus melompat untuk menggapai ponselnya, saat itulah tiba-tiba kakinya terkilir akibat melompat-lompat dengan mengenakan heels. Sakura kehilangan keseimbangannya dan terjatuh. Namun, Sasori, dengan sigap menangkap tubuh Sakura dengan sebelah tangannya dan mendekap Sakura agar kembali berdiri. Selama beberapa saat, Sakura dan Sasori saling bertukar pandangan.

"Sakura-chan," Sasori memecah keheningan di antara mereka dengan suara lirih. "Passwordmu?"

Tenggorokan Sakura terasa tercekat melihat wajah Sasori yang begitu dekat dengan wajahnya, ditambah dengan suara Sasori yang terdengar lirih dan lembut.

Tiba-tiba, seorang pemuda merebut ponsel itu dan menarik tangan Sakura hingga terlepas dari dekapan Sasori. Tindakan itu sontak membuat Sakura dan Sasori terkejut. Sakura kembali kehilangan keseimbangannya akibat tarikan yang tiba-tiba dan hampir jatuh terjerembab, namun, berhasil di tahan oleh pemuda yang mengenakan topi dan masker itu. Pemuda itu menghela napas, lalu menggendong tubuh Sakura dengan kedua tangannya.

"Maaf, Tuan Rambut Merah," ujar pemuda itu dari balik maskernya. "Tapi, aku harus membawa pergi gadis ini sekarang. Permisi."

Pemuda itu mencondongkan tubuhnya ke atas meja tempat Sakura dan Sasori menikmati hidangan mereka lalu meraih tali dari tas selempang Sakura dengan jemarinya, kemudian berusaha berjalan secepat mungkin meninggalkan restoran tanpa memedulikan Sasori yang berseru memanggil mereka.

...

Sasuke mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh menyusuri jalanan kota yang kini sudah mulai lengang. Diambilnya jalur menuju lokasi kantor agensinya. Sasuke berusaha untuk tetap fokus menyetir dan tidak mengalihkan pandangannya dari jalan, namun hawa yang tidak enak semakin terasa dari kursi di sebelahnya. Sasuke mendengus kesal, "Berhenti menatapku, bola matamu bisa keluar nanti."

"…Wah, aku tidak percaya ini," jawab seorang gadis yang sedari tadi tak kunjung melepaskan tatapannya dari Sasuke. "Ini benar kau, Sasuke."

Sasuke memutar bola matanya dan berdecak. Mobil Sasuke kini memasuki tempat parkir Shino Entertainment dan terus melaju hingga Sasuke menemukan tempat parkir yang tepat—dekat dengan pintu masuk gedung dan sepi. Berhubung lahan parkir kantor agensinya ini terletak di basement dan butuh tanda pengenal untuk melewati gerbangnya, Sasuke yakin tidak akan ada penguntit yang akan tiba-tiba muncul dan menangkap basah dirinya dengan Sakura.

Setelah Sasuke memarkir mobilnya dengan aman, ia melepaskan sabuk pengaman lalu balas menatap gadis di sebelahnya yang masih juga terpana memandangnya. "Bola matamu akan sungguh-sungguh keluar sekarang,"

Sakura tertawa mendengar ucapan Sasuke, lalu memandang ke jok belakang mobil, "Apa itu?"

"Hadiah,"

"Untukku?"

"….Bukan."

Senyum di wajah Sakura hilang, digantikan dengan raut wajah yang kesal, "Wah, kau ini benar-benar,"

"Kau sudah nakal hari ini, jadi tidak ada hadiah."

"Terserah, Tuan Penguntit!" goda Sakura sambil berpura-pura kesal dan menyilangkan tangannya di depan dada.

"Aku tidak menguntitmu, kau yang datang ke restoran tempat aku makan."

"Uchiha Sasuke? Vokalis The Mozzart Effect? Makan sendirian di restoran eropa pada jam makan siang dimana semua orang sedang berhamburan di sekitar? Aku ragu,"

"Lagipula," sahut Sasuke cepat seraya menghela napas. "Siapa dia?"

"Sasori-senpai, dokter senior di departemen rumah sakit tempat aku bertugas."

"Jelas dia menyukaimu."

"Ah, apakah aku magnet bagi pria tampan?" Sakura tertawa sejenak lalu wajahnya berubah serius. "Aku bercanda. Dia gila."

"Dia menggodamu secara terang-terangan."

"Sudah, ah, aku jadi merinding,"

"Tapi kau menyukainya, kan?" Sasuke menatap Sakura dengan tatapan yang dalam dan tajam. Sakura membalas dengan bertingkah seolah-olah sedang berpikir. Sasuke mendengus melihat reaksi Sakura yang bermaksud menggodanya itu.

Suara tawa renyah Sakura memenuhi mobil Sasuke, "Aku bercanda," ujarnya di sela-sela tawa. "Omong-omong, apa yang akan kita lakukan di sini?"

"Awalnya, aku ingin ke rumahmu, tapi ternyata kau sedang bermain di luar,"

Tiba-tiba, Sakura bisa merasakan bahwa perasaan Sasuke benar-benar tidak baik sekarang. Ia baru saja melakukan perjalanan jauh dan hal pertama yang ia pikirkan ketika sampai adalah Sakura, alih-alih mereka bisa melepas rindu, Sasuke malah menemukan dirinya sedang makan siang dengan laki-laki lain. Semarah apapun Sakura karena lagi-lagi Sasuke tidak menghubunginya dalam waktu yang lama lalu tiba-tiba muncul begitu saja di depannya, namun perasaan Sasuke yang sekarang tetap jauh lebih buruk bukan?

Dengan ragu-ragu, Sakura mencoba meraih tangan Sasuke, namun ia urungkan niatan itu. Sebagai gantinya, Sakura mencubit lembut lengan jaket yang dikenakan Sasuke. "Hei, kau tahu aku tidak akan berbuat seperti itu padamu, bukan?" ujarnya dengan suara yang pelan dan lembut.

"Hn," sahut Sasuke singkat sambil menatap lurus ke depan. Ia alihkan pandangannya kepada Sakura, ditatapnya wajah gadis itu dengan seksama seolah mencari perubahan yang dapat terjadi selama setahun terakhir ini sejak terakhir ia melihatnya. "Apa yang akan terjadi… seandainya aku tidak kembali hari ini?"

Sakura balas menatapnya dengan tersenyum lembut. "Tidak akan ada yang terjadi." Jawabnya. "Dia hanya senior di tempatku bekerja, hari ini kami hanya makan siang dan aku berencana mengatakan padanya bahwa hubungan kami tidak bisa lebih. Itu saja."

Sasuke mengulurkan tangannya untuk meraih helaian rambut Sakura lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Ibu jari Sasuke membelai dahi Sakura dengan lembut, membuat pipi gadis itu merona. Melihat wajah Sakura yang memerah, Sasuke memutuskan untuk menggodanya, "Sakura…" Sasuke memanggil dengan lirih.

Sakura yang terlanjur terbawa suasana berusaha sekuat tenaga membalas, "…Hm?"

"Di dahimu ada jerawat."

"Sial!" seru Sakura yang sontak menarik diri dan menutupi dahinya. "Ini karena aku kurang tidur, tahu, kurang tidur!"

Sasuke membalas dengan tersenyum tipis dan kembali duduk tegap di kursinya. Tiba-tiba ia rasakan kepala Sakura bersandar di bahunya, aroma khas shampoo yang Sakura gunakan menguar dari rambut merah mudanya. Sasuke balas menyandarkan kepalanya di atas kepala Sakura. Sebelah tangannya meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya lembut.

"Syukurlah, sekarang kau sudah kembali." Ujar Sakura seraya menghela napas lega. "Kurasa aku bisa hidup sekarang."

Hening menyelimuti mereka. Kedua insan itu kini sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dalam keheningan, banyak sekali kalimat yang berputar-putar di dalam kepala Sasuke namun tak satu pun dari mereka yang bisa ia ucapkan. Jelas sekali, bahwa alasan mengapa Sasuke segera pergi untuk melihat Sakura hari ini karena ada yang ingin ia sampaikan langsung pada gadis itu. Sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan di telepon maupun pesan singkat. Sesuatu yang hanya bisa ia sampaikan ketika mereka akhirnya bertemu. Namun, sekarang, ketika gadis itu tepat di sampingnya, Sasuke hanya diam seribu bahasa.

Pikirannya kembali melayang pada insiden siang tadi, ketika ia duduk sambil memerhatikan interaksi antara Sakura dengan pria rambut merah di restoran itu. Tentu saja, Sakura bukanlah gadis yang akan mengkhianatinya dan lagipula laki-laki itu terlihat bukan tipe Sakura. Namun, tetap saja apa yang ia lihat tadi membuat dirinya tidak nyaman, bahkan hingga sekarang hal itu tetap mengganggunya. Skenario yang ia bayangkan ketika ia akan bertemu Sakura hari ini pupus sudah karena pria rambut merah itu. Jika saja mereka tidak terlalu dekat seperti tadi, kekacauan tidak akan terjadi dan Sasuke serta Sakura tidak akan terjebak dalam keheningan di dalam mobil Sasuke seperti ini.

Seharusnya, Sasuke bisa bertemu dengan Sakura di rumahnya, dan rencananya akan berjalan mulus. Tetapi sekarang setelah rencananya berantakan, Sasuke tidak punya pilihan lain selain memanfaatkan waktu yang mereka miliki sekarang. Besok belum tentu mereka bisa menghabiskan waktu berdua seperti ini. Lagipula, insiden dengan pria rambut merah tadi juga menyadarkan Sasuke bahwa apa yang ingin ia katakan tidak bisa ditunda lagi meskipun sekarang tidak sesuai dengan rencana dan suasananya sedang tidak mendukung.

Sasuke menggenggam tangan Sakura lebih erat seraya menghela napas berat. "Sakura," panggilnya dengan suara yang pelan, memecah keheningan di antara mereka.

"…Ya?"

"Haruskah kita menikah?"

"Apa?" Sakura segera menarik diri dan menatap Sasuke lekat-lekat. Kerutan di dahinya mempetegas kebingungan yang ia rasakan.

Sasuke balas menatap Sakura, "Aku hanya berpikir… ini sudah saatnya."

Sakura terpaku dan matanya mulai berkaca-kaca. Jantungnya berdegup lebih keras dari sebelumnya. Untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apapun. Tenggorokannya terasa tercekat dan pikirannya buntu. Sakura bertanya-tanya di dalam hati apakah Sasuke sedang menggodanya atau ia serius? Namun, ia tahu persis bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lelucon. Sakura berusaha mengontrol emosinya, lalu kembali memandang Sasuke dengan lembut, "Sasuke, tapi kariermu… dan semua penggemar—"

"Aku masih bisa bernyanyi meskipun aku sudah menikah, Mozzart Effect akan baik-baik saja. Agensiku juga sudah mengetahui hubungan kita sejak lama, jadi mereka pasti akan mengurus ini dengan baik."

Sakura berusaha menelan air liurnya, tatapannya bingung, "Tapi, tetap saja, Sasuke… banyak orang akan—"

"Kali ini tidak bisakah kau egois, Sakura?" Sasuke menggenggam tangan Sakura lebih erat. "Selama ini kau sudah banyak mengalah dan berkorban. Kau memikirkan aku, band, agensi, dan penggemarku, semua orang kecuali dirimu. Kau bahkan kesulitan menghindari pria rambut merah tadi karena kau memikirkaan perasaannya, bukan? Tidak bisakah kau memikirkan dirimu sendiri sekarang?"

Sakura tertegun mendengar ucapan Sasuke. Perasaan hangat dan bahagia tiba-tiba merasukinya hingga tingkatan dimana air matanya mulai menetes tanpa bisa ia kontrol. "Kau tahu? Aku… belum memikirkannya hingga sejauh ini," jawabnya lirih seraya menunduk menatap tangan mereka yang saling bertautan. "Aku tidak menyangka akan secepat ini… tapi, aku… ingin terus bersamamu dalam waktu yang lama,"

Sasuke mengulurkan tangannya untuk meraih wajah Sakura dan membuat gadis itu menatapnya, "Apa itu artinya 'iya'?"

Senyuman lebar terulas di bibir Sakura, sejenak ia tatap bola mata pemuda di hadapannya itu dengan seksama. "…Ya."

Sasuke membalas dengan seulas senyum tipis lalu meraih Sakura dalam dekapannya. Sasuke bukanlah seorang laki-laki yang romantis maupun berpengalaman dalam menjalin hubungan dengan seorang gadis. Sakura adalah satu-satunya gadis yang ia kencani. Dalam waktu yang sangat lama mereka telah bersama, Sasuke telah melalui banyak hal bersama Sakura dan juga mendapatkan banyak pelajaran. Jika dulu Sasuke tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika Sakura menangis, kini kedua tangannya secara otomatis melingkari tubuh gadis itu dan sesekali membelai punggungnya dengan lembut.

Sasuke memejamkan matanya. "Terima kasih…" ujarnya seraya menghembuskan napas lega. "Ini tidak akan mudah… aku tidak bisa berjanji bahwa aku akan membuatmu bahagia selamanya. Setelah ini banyak hal yang akan terjadi… aku… ingin melaluinya denganmu."

Mendengar pernyataan Sasuke membuat Sakura tertawa di sela-sela isak tangisnya. Dari banyak hal yang ingin ia ucapkan untuk membalas pemuda itu, Sakura memilih sebuah kalimat yang sangat ingin ia katakan sejak sekian lama.

"Terima kasih… karena kau telah kembali, Sasuke."

Bertahun-tahun telah berlalu sejak pertama kali Sasuke dan Sakura saling mengenal. Dimulai dari masa-masa di sekolah menengah atas hingga kini mereka telah menjalani pilihannya masing-masing. Sasuke menekuni bidang yang ia sukai sedangkan Sakura yang telah berhasil menyelesaikan studinya dengan baik. Meski jalan yang mereka pilih kerap menuntut untuk berpisah, namun, baik Sasuke maupun Sakura tak pernah kehabisan cara menemukan jalan kembali untuk bersama.

Satu lagi memori tercipta hari ini di antara dua insan yang saling bertolak belakang itu meski harus bersembunyi dan dilakukan dengan sederhana. Di dalam mobil, tanpa cincin, atau pun musik romantis yang mengiringi mereka. Namun baik Sasuke maupun Sakura akan mengingatnya sebagai satu dari banyak kenangan indah yang mereka miliki selamanya.

FIN


A/N:

Inilah final chapter yang saya janjikan! Jujur, saya kurang puas, sih. Cerita ini sebetulnya cukup menarik bila dikembangkan lagi. Tapi, apa boleh buat? Final Chapter tetaplah Final Chapter! Haha!

Chapter ini mencapai 6000+ words, dua kali lipat daripada chapter-chapter sebelumnya. I hope you guys satisfied :')

Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam pengetikan maupun kalimat. Maaf juga saya tidak bisa balas review chapter kemarin satu-satu, I have no more free time for it, holiday udah end buat saya huhuhu.

Anyway, thank you buat para readers yang sudah mengikuti FF ini dan memberikan review serta saran dan kritik, I really appreciate that. Satu review pun sangat berharga bagi saya dan itulah alasan saya bisa melanjutkan ANIMB sampai selesai :')

So, one last time for ANIMB, I would like to ask the readers about what do you think of this chapter, also for the whole story. I will wait for your review and comments! Also, I am open up for any criticism, in fact I really need it in order for me to be a better writer.

Last, I hope you guys enjoy this. Have a great day, everyone!