Judul: Man in Memories

Fandom: Gintama

Disclaimer: Hideaki Sorachi

Genre: Crime

Rating: T

Charas: Okada Nizou & Takasugi Shinsuke

WARNING: Possible OOC-ness, Two-shot

NOTE: Mengambil setting ketika Benizakura Arc, sebelum Itou Arc di fic Gintama saya yang lain (I untuk Idealisme)

Bisa dibilang fic ini adalah retelling dari Benizakura Arc, dalam versi gubahan oleh saya dan disajikan dalam bentuk kepingan penggalan adegan.. (lagi demen gaya nulis begini) Maap kalo bikin bingung atau semacamnya, ego saya lagi maunya bikin fic model begini v_v *headdesks*

Ch 1 & 2 berada pada time-line yang sama. Ch 3 nanti penutupnya :)

Please enjoy..


Man in Memories


.

Pernahkah kau perhatikan ngengat di malam hari?

Mengepakkan sayap tipisnya ia melayang di udara yang dingin, menembus kegelapan malam.

Apa yang ia cari?

Cahaya yang berkerlip samar dari lampu neon kota.

.


"Nizou."

Nizou mengangkat sebelah alisnya sedikit, tak menyahut.

"Hei! Mana jawabanmu?" suara gadis pirang yang memekik itu kembali mengusik gendang telinga Nizou.

Nizou mengusap katana panjangnya dengan tenang, masih membungkam.

"Ni—"

"Takasugi-sama memanggilmu," sebuah suara lain memotong ucapan sang gadis pirang beryukata merah muda itu. Kali ini suara seorang laki-laki.

Nizou melirik sedikit, "Kenapa tidak dia saja yang kemari?" timpalnya tak acuh.

"Berani sekali kau—!"

"Beliau sedang menunggu di ruang bangau bersama Bansai," lagi-lagi laki-laki dengan air muka datar itu menyela sang gadis.

Dengan satu decakan keras, Nizou bangkit berdiri dan perlahan mulai melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruang aula itu. Meninggalkan kedua rekannya yang masih mematung di atas keset pintu raksasa itu.

"Kijima, berhati-hatilah dalam berbicara. Seorang gadis tidak sepantasnya berteriak-teriak seperti barusan itu," sang pria bermuka datar kembali membuka suaranya setelah Nizou hilang dari pandangan.

"Tsk. Aku benci tingkah sok gentleman-mu itu, Takechi. Tapi aku lebih benci pada si Nizou itu," gadis beryukata seksi yang dipanggil Kijima itu mendengus ke arah berlalunya Nizou sesaat sebelumnya.

"Jangan khawatir, jika soal membenci laki-laki itu, aku juga tidak berbeda denganmu," Takechi melangkahkan kakinya ke tengah aula. "Tapi tak perlu diragukan lagi kemampuan berpedangnya. Coba kau lihat, menebas dalam satu sabetan dan tujuh orang langsung terpenggal tepat di leher."

Kijima menatap ke arah yang tengah dipandangi Takechi. Genangan darah di lantai menjadi alas dingin bagi tujuh mayat pria tak dikenal yang terkulai terpotong-potong di atasnya.

"Takasugi-sama tidak suka pembantaian yang tidak perlu. Yang begini hanya membuat masalah yang tidak perlu bagi kita. Apa si Nizou itu tidak mengerti?" Kijima menggeram.

"Jangan khawatir. Selama dia masih berguna, maka Kiheitai akan menggunakannya. Ketika ia tidak dibutuhkan lagi, Takasugi-sama pasti akan menyuruh salah satu di antara kita untuk menghabisinya," Takechi menyeringai samar.

Kijima menelan ludah.

"Kenapa? Kau takut, Kijima?"

"Sembarangan! Aku…Aku hanya berpikir! Yah, paling-paling si Bansai yang dapat jatah menyenangkan itu," sungut Kijima.

"Aku tidak habis pikir. Bukan hanya pada Nizou, kau juga bersikap seolah membenci Bansai. Jangan-jangan kau juga benci padaku?" Takechi berujar datar.

"Huh! Selain Takasugi-sama, semua laki-laki dalam pasukan Kiheitai ini payah.

.


Nizou melangkah menyusuri lorong temaram yang diterangi lentera dan lilin di sepanjang jalannya. Di kanan-kirinya para penjaga berdiri tegap berjejer hingga ke depan sebuah ruangan.

Samar-samar suara petikan senar shamisen bergaung di telinganya. Tak salah lagi. Alunan melodi memuakkan ini. Kawakami Bansai—pikirnya.

Sampai di hadapan pintu geser bercorak bangau, Nizou menggeser pintu itu tanpa sedikitpun niat bersopan santun.

"Kau memanggil?" ujarnya ketika daun pintu terbuka lebar, dan menampakkan sesosok bayangan pria berkimono magenta bercorak kupu-kupu keemasan di ujung ruangan.

Petikan shamisen terhenti di tengah nada yang mengambang di udara. Nizou melirik pada sosok lain berbalut pakaian serba biru yang tengah duduk bersila di atas tatami memegang shamisen itu, dengan sudut matanya.

"Kalau kau memanggilku untuk mendengarkan lagu murahan Bansai atau semacamnya, kukatakan saja, aku sama sekali tidak tertarik," Nizou menatap tajam pada sang pemetik shamisen yang dipanggil Bansai itu.

Bansai tak menghiraukan cemoohannya. Nizou mendecak secara imajinatif.

"Kudengar kau membawa orang lagi ke dalam kapal diam-diam," suara tenang namun karismatik yang menyeruak dari ujung ruangan mengalihkan perhatian Nizou.

Nizou mengangkat bahu, "Mau bagaimana lagi, darahku bergolak panas kalau tidak membantai selama berhari-hari," ujarnya tanpa rasa penyesalan sama sekali.

"Kalau begitu….mau coba sesuatu yang lebih menarik?" sosok berkimono magenta itu mengepulkan pipa tembakaunya perlahan.

Nizou mengerutkan keningnya. Ia sudah siap menerima ceramah tentang betapa berbahayanya melakukan penculikan atas warga Edo untuk kemudian dibantai di dalam kapal pesiar Kiheitai. Sama sekali tak terpikir pimpinannya itu malah akan menawarinya sesuatu.

Menatap bola mata pimpinannya itu dalam-dalam, ia tahu ada sesuatu yang besar yang akan terjadi. Pecahan kaca hitam itu berkilat dengan suatu gairah terselubung. Sebelah matanya dibalut perban, namun ia tahu bahwa bola mata itu menampakkan refleksi yang sama dengan yang satunya. Kegilaan.

Saat-saat dimana seorang Takasugi Shinsuke mengisap pipa tembakaunya sembari menikmati cahaya bulan di balik bingkai jendela oval-nya, adalah penantian terhadap pertunjukan dalam festival yang disukainya.

"Bansai," Takasugi memberi kode pada Bansai yang masih terduduk di atas tatami.

Dengan sigap, Bansai beranjak berdiri. Menghampiri sebuah pintu geser lain di dinding samping ruangan. Membukanya nyaris tanpa suara, ia mengeluarkan sesuatu yang diselubungi kain beludru berwarna merah pekat dengan sulaman naga emas di permukaannya.

Nizou mengerutkan keningnya.

"Benizakura," Takasugi menarik sudut bibirnya.

.


"Takasugi-sama!" Kijima setengah berteriak. "K-Kenapa… Kenapa Nizou? Dia itu berbahaya! Bukan tak mungkin dia malah mengkhianati kita. Tapi Anda malah memberikan Benizakura padanya. Kenapa?"

"Kijima, tenanglah. Aku juga tidak berbeda denganmu, merasa kesal karena orang macam Nizou yang diberi kepercayaan oleh Takasugi-sama, tapi kita tidak boleh berteriak-teriak di lorong. Sangat tidak sopan."

"Diam kau, Takechi! Aku sedang bicara pada Takasugi-sama!" tandas Kijima yang masih dibalut amarah.

Sebuah siulan mengalihkan perhatian Kijima dan Takechi. "Apa cuma segitu saja rasa percaya kalian terhadap keputusan Takasugi-sama?"

"Bansai…" Kijima mengepalkan tangannya. Menggigit bibir bagian bawahnya geram.

"Kijima, Takechi," sebuah suara karismatik menyeruak tensi menyesakkan di antara ketiga samurai itu.

Kijima menatap Takasugi dengan penuh pengharapan atas penjelasan dari junjungannya itu.

"Tempat yang paling sesuai bagi Nizou adalah medan pertempuran yang berhujan darah…" Takasugi menatap pemandangan tengah kota yang terang dengan kerlipan lampu neon warna-warni, di balik kaca jendela besar di samping lorong temaram itu.

Kijima mengerutkan keningnya, namun tak berkata-kata lagi ketika detik berikutnya Takasugi melangkahkan kakinya menjauh darinya.

"Bansai," kini Kijima menatap ke arah yang dipandangi Takasugi sesaat sebelumnya. "Pedang macam apa…Benizakura itu sebenarnya?"

Bansai menyandarkan tubuhnya di bingkai jendela di belakangnya dan melipat kedua tanagnnya di dada. Melirik pada pemandangan kota yang sama yang tengah dipandangi Kijima di belakangnya.

"Sesuatu…yang hanya diperuntukkan bagi Hitokiri Nizou."

.


"Katsura Kotarou? Benar-benar…Katsura Kotarou?" suara Kijima sedikit bergetar.

"Bansai, apa hal ini sudah sampai di telinga Takasugi-sama?" Takechi menoleh cepat ke arah Bansai sang pembawa berita mengejutkan.

"Aku tidak akan mengatakan hal ini pada kalian jika belum kukatakan pada Shinsuke," Bansai menjawab nyaris tanpa emosi. Raut mukanya dengan sempurna tertutupi oleh kacamata goggle biru gelapnya.

"Nizou sudah keterlaluan. Habis sudah nyawanya…" Takechi menghela napasnya.

"Hm? Kenapa aku mendapat kesan bahwa kau berpikir Shinsuke marah besar?" Bansai mengangkat sebelah alisnya sedikit.

Kijima mengibaskan tangannya di udara, "Apa otakmu tumpul? Jika kita bermusuhan terang-terangan dengan kelompok Jouishishi sekarang, semua rencana Takasugi-sama bisa hancur berantakan! Si goblok Nizou itu malah buat kekacauan dan main-main dengan Katsura Kotarou! Katsura Kotarou yang itu! Apa dia sudah gila?"

"Kijima, perhatikan ucapanmu. Seorang gadis tidak sepantasnya bicara kasar seperti itu, dalam situasi seperti apapun," celetuk Takechi menepuk pundak Kijima, masih dengan gaya bicaranya yang datar.

"Persetan! Pokoknya, kalau kita mendapat serangan dari komplotan anak buah Katsura, bisa-bisa pemerintah mencium keberadaan kita di teluk Edo ini! Shinsengumi saja sudah cukup merepotkan, apalagi ditambah kelompok Jouishishi! Dan jangan sentuh aku walau dengan ujung jarimu sekalipun, brengsek!" Kijima menepis tangan Takechi di pundaknya.

"Kau tahu, dengan sikapmu yang seperti itu, tidak heran Takasugi-sama memasukkanmu ke dalam Kiheitai. Kurasa beliau sama sekali tidak menganggapmu perempuan," timpal Takechi lagi yang disambut letusan senapan mesin di udara.

Pertengkaran rutin di markas Kiheitai itu sudah menjadi santapan Bansai sehari-hari. Tanpa mengindahkan kedua rekannya yang tengah saling mencela itu, ia bergumam perlahan, "Betulkah hanya karena tidak mau membuat permusuhan yang tidak perlu…?" sangat pelan hingga seolah hanya untuk dirinya sendiri. Senyum tipis tersirat samar di wajahnya.

.


Rasa sakit luar biasa itu kembali menyerang sekujur tubuhnya. Meraung keras, Nizou menekan lengannya erat, berusaha menghentikan rasa sakit yang tak kunjung berhenti menggerogoti tangan kanannya tanpa ampun.

"Kau sudah kembali," sebuah suara yang begitu akrab di telinganya menyeruak.

Nizou sedikit tersentak. Kondisinya saat ini membuatnya tak sadar dengan keadaan di sekelilingnya sama sekali.

Diliriknya sang pemilik suara dengan ekor matanya. Tampak sesosok pemuda berambut hitam berkimono magenta bercorak kupu-kupu emas, tengah bersandar di daun pintu besar beberapa meter di belakangnya.

"Hai," ujar Nizou setengah bercanda. Namun suaranya mengkhianatinya. Terdengar erangan kesakitan keluar dari mulutnya.

"Tampaknya Benizakura mulai menguasai tubuhmu?" sosok berkimono magenta itu melangkahkan kakinya mendekat pada Nizou yang masih berjongkok lemas di lantai gudang penuh sarang laba-laba itu.

"Huh. Dalam mimpimu!" Nizou menggeram. "Bukan Benizakura yang akan menguasaiku… Akulah yang akan menguasainya," tambahnya dengan tawa bangga.

"Lalu dengan kewarasanmu itu kau membunuh dia? Perlu kuragukan apa kau memang masih waras atau tidak," Takasugi—sosok berbalut kimono magenta itu—melangkah semakin mendekat.

"Jangan buat aku tertawa. Semua yang ada dalam kelompok Kiheitai-mu ini memang tidak ada yang waras, bukan? Shinsuke?" Nizou menyeringai.

Takasugi menarik sudut bibirnya.

"Lalu? Apa kau datang kemari untuk memarahiku karena aku telah membunuh kawan lamamu itu?" Nizou mulai lagi.

Takasugi tak menyahut. Menghentikan langkahnya.

"Rambut panjangnya yang begitu halus itu membuatku ragu, apa betul dia itu laki-laki? Heh, Shinsuke?" Nizou kembali menyeringai. "Tadinya kupotong rambutnya itu sebagai memento bagimu, tapi sudah terlanjur kuberikan pada kawanmu yang satu lagi. Shiroyasha, eh? Apanya yang 'Shiroyasha', dia hanyalah anjing pecundang sekarang. Ah, aku juga sudah menghabisinya, ngomong-ngomong."

Takasugi masih membisu. Menatap Nizou dengan sebelah bola matanya yang menyorot dingin.

"Tindakan gegabahmu itu dapat memancing perhatian pemerintah dan Shinsengumi," setelah tenggelam dalam hening untuk beberapa saat, akhirnya Takasugi angkat bicara.

"Aku tidak takut pada Shinsengumi," tukas Nizou tanpa pikir panjang.

"Tinggal masalah waktu saja hingga kita hancurkan Shinsengumi. Tapi sekarang bukan saat yang tepat memancing pertarungan yang tidak perlu," Takasugi berujar tenang.

Nizou tak menimpali. Bukannya ia tak mengerti. Ia paham betul bahwa tindakannya membunuh Katsura Kotarou dan Sakata Gintoki akan berpengaruh besar pada gerakan Kiheitai berikutnya.

"Kalau kau sudah mengerti, lalu kenapa kau lakukan?" suara Takasugi kembali memecah kesunyian di antara mereka.

Nizou membelalakkan matanya. Menyeringai, ia menyahut, "Seperti biasa. Kau paling hebat dalam membaca pikiran orang lain, Shinsuke."

Dalam sekelebat cahaya, bunyi keras dentingan pedang beradu menggema ke seluruh penjuru ruangan.

Kedua bola mata Nizou terbelalak lebar.

Takasugi menarik pedangnya yang teracung tepat di atas kepala Nizou. Seringai tipis terpatri di wajah tenangnya.

"Benizakura sangat hebat bukan, Nizou?" ujar Takasugi, masih dengan seringai di bibirnya. "Baiklah. Menarilah bersama Benizakura hingga kau puas."

Nizou mengerutkan keningnya. Menatap Takasugi yang menyarungkan katana panjang bergagang violetnya dengan tenang.

"Pada akhirnya pertempuran melawan Zura dan Gintoki pasti tak akan terelakkan. Tak masalah apakah melawan Jouishishi atau Amanto duluan. Pada akhirnya semuanya akan kita habisi. Hanya saja," Takasugi terhenti sejenak, "lain kali jangan pernah bertindak tanpa persetujuanku dulu. Kebebasan yang kuberikan juga punya nilai, Nizou."

Nizou menelan ludah. Kata-kata yang meluncur tenang dari bibir pimpinannya itu seolah kalimat peringatan biasa, namun ia paham benar bahwa hal itu bukanlah suatu gertak sambal belaka. Satu kesalahan berarti mati. Begitulah aturan main dalam Kiheitai.

Membalikkan badannya, Takasugi mulai melangkahkan kakinya menuju pintu keluar dari gudang senjata itu. Nizou tak mampu berkata-kata, hanya menatap dalam bisu punggung Takasugi yang menjauh darinya tanpa suara.

Tepat ketika Takasugi mencapai pintu keluar, ia menoleh sedikit pada Nizou di belakangnya.

"Ah, dan satu hal lagi," ujarnya menatap Nizou dari balik celah bahunya. "Jangan pernah sebut mereka sebagai kawan lamaku."

Nizou menahan napas.

Menghilang dari pandangan, suara Takasugi terdengar samar namun tajam dan cukup terdengar oleh Nizou, "Hubunganku dengan mereka tidaklah dapat semudah itu dirangkai dalam kata sederhana macam itu."

Nizou mengibaskan Benizakura di tangannya dan menghancurkan tumpukan peti di ujung ruangan.

Erangan penuh amarah bergema membelah malam.

.


"Katsura Kotarou, lalu Sakata Gintoki. Berikutnya… Sakamoto Tatsuma? Sampai sejauh mana si Nizou itu akan Anda biarkan bertindak sesukanya?" Bansai menyesap cangkir tehnya perlahan.

"Kurasa berita ini belum sampai pada Tatsuma. Jika ia mendengar hal ini, ia pasti sudah datang ke bumi dengan kapal penjelajah galaksinya bersama dengan ratusan tentara untuk membalas dendam," Takasugi mengepulkan asap pipa tembakaunya perlahan. "Mengetahui ada benda asing mendekati atmosfer bumi, pemerintah akan tersadar dan mempersiapkan bala tentara—termasuk para anjing Shinsengumi—untuk menghancurkan kita sekaligus dengan pasukan Tatsuma. Sekali tembak dua burung jatuh."

"Lalu kenapa Anda masih tenang-tenang saja? Pertempuran besar sudah di depan mata. Dan ini semua gara-gara si Nizou itu," Bansai tak menyembunyikan raut muka tak senangnya.

Takasugi menarik sudut bibirnya sedikit, "Walaupun tingkahmu biasa saja di hadapan Kijima dan Takechi, rupanya kaulah yang paling tidak tahan dengan tingkah Nizou."

Bansai tak membantah. Menelan ludahnya.

"Hei, Bansai," Takasugi mengisap pipa tembakaunya dengan santai. "Apa kau pikir Zura dan Gintoki benar-benar sudah mati?" lanjutnya dengan seringai di bibirnya.

Kedua kelopak mata Bansai terbelalak lebar.

.

.

TBC



End Note:

Kiheitai butuh lebih banyak screentime! :O

(…totally a useless author's note)

.

Trivia:

Anggota Kiheitai terkadang memanggil Takasugi dengan sebutan Takasugi-sama, Shinsuke-sama, atau Shinsuke saja.

.

Keterangan:

Tsujigiri: Pembantaian secara random dengan tujuan mencoba ketajaman pedang baru

Hitokiri: Assassin (Pembantai)