Sebuah cerita...
Cerita lama yang sama...
Atau...
Mungkin cerita ini sedikit berbeda
Awal&akhir
Muncul&lenyap
Hitam&putih
Tap
Tap
Tap
Tap
Tap
Seperti sebuah langkah kaki...
Membentuk jejak baru dan meninggalkan yang lama.
Waktu&harapan
Atau mungkin...
Tes
Tes
Tes
Tes
Mengukir cerita di penglihatan dengan air mata
Air mata yang terus terjatuh tanpa bisa berhenti
Maupun...
Air mata kering yang tak akan pernah bisa jatuh
Mengukir dan memerangkap sebuah kisah
di kelopak mata...
Mungkin kali ini...
Hitam&emerald suram
_._._._
Onyx&shade of green
Cold&emptiness
All about...
them
E
N
I
G
M
A
Drowns in J y f i c i a
A world of forever and never
2010
By: Kiran-Angel-Lost
Disclaimer : Masashi-san owns Naruto story ever after.
Rated : T
Genre : Fantasy/Romance
Warning : OOC, AU, OC, So many strange words, etc.
Pairing : SasuSaku, NaruHina, ShikaTema, SaiIno, NejiTen
The empty place
Desperation dances with devotion. Because I've been lost
This is the place where I belong. Fight the reality
Kingdom of fantasies
Cause I wonder
If this world still has a place for me
We beg for
Forgotten drama in old theater
Unsold story
Let me drown
Let me stay for a while in this world
My imaginary world
-kirangelost's old note-
Summary:
Dulu ketika aku masih berumur 9 tahun, aku menemukan sebuah buku tua di loteng rumah kakek. Buku itu bukan sebuah cerita dengan gambar manis serta sapuan kuas yang lembut. Buku itu menceritakan sebuah negeri...negeri yang jauh. Tentang lautan tak terbatas, dua bulan dan dua matahari. Menceritakan tentang makhluk-makhluk yang kuyakin tak pernah ada...sampai setahun yang lalu aku bisa melihat teman sekelasku sama dengan makhluk-makhluk itu.
Kemudian aku tahu ada yang salah dengan negeri yang seharusnya tidak ada itu...begitu pula denganku, kurasa ada yang salah denganku...
Chapter 1
The Main Character
Sakura POV
"SAKURA—"
Aku menggeliat sebentar. Rasa malas untuk keluar dari selimut hangat ini belum mau meninggalkanku. Dan kamarku—maksudku loteng ini cukup dingin untuk membuatku gemetar. Hari ini hari Jumat, hari terakhir sekolah. Entahlah, aku harus bahagia atau tidak, maksudku jika kau 'anak sekolahan' maka mungkin kau akan bahagia, tapi jika kau—maksudku aku, tidak. Tentu lagipula...
"SAKURA! Kau dengar tidak, hah!"
Aku menarik napas panjang.
"Ya, Bibi Keiko! Aku turun!"
Aku menegakkan tubuhku, udara dingin menggelitik pipiku. Tapi kesegarannya membuat dada terasa lega. Ini belum musim gugur jadi udara belum 'sangat dingin' dan ditambah tidak ada pemanas di kamar—maksudku loteng ini. Kegiatan menyibak selimut menjadi lebih berat dari pada harus dipaksa mengerjakan essay berlembar-lembar oleh teman sekelasku.
Aku menuju cermin dan menyisir rambutku sebentar, menggelungnya dengan agak berantakan, dan memakai kaca mataku. Lantai kayu tak berkarpet ini benar-benar mengirimkan rasa dingin sampai ke ubun-ubunku. Aku tak pernah pakai kaus kaki, entahlah kadang rasa dingin yang menggelitik ujung kakiku ini membantuku untuk tetap terjaga di pagi buta seperti ini.
Aku mengganti piyama hijauku dengan sweater tebal dan rok di bawah lutut. Harus kuberi tahu, rokku dari kain flanel ini tetap tidak membantu.
"SAKURA—" Kali ini suara Paman Ben yang cempreng terdengar—cempreng untuk ukuran laki-laki.
Entahlah apa yang dilihat Bibi Keiko pada Paman Ben, dia tidak kaya, maksudku sebelum mereka merebut harta orangtuaku tentunya, juga tidak tampan, kepribadian? Ugh, apa kau pernah melihat orang begitu tergila-gila dengan pekerjaan di real estate padahal sama sekali tidak punya bakat jual menjual, dan kecanduan rokok tembakau mahal tapi malas membersihkan mulut. Sejak dulu aku selalu berusaha untuk tidak menyebutnya Paman-Napas-Naga-Parfum-Tembakau. Tapi, yah kurasa julukan itu terlalu panjang.
"Aku segera turun!" seruku sambil menuruni tangga menuju dapur. Saat itu Bibi Keiko juga baru keluar dari kamarnya, berjalan seperti zombie dengan masker hijau dan baru saja membuang mentimun yang tadi diletakkan di kedua matanya.
"Sakura, pagi ini aku ingin salad, astaga akhir-akhir ini lingkar pinggangku bertambah!" katanya sambil mengencangkan ikatan kimono tidurnya. Bahan satin mahal.
Aku mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "Mungkin Anda terlalu banyak makan acar pada pesta di tempat Mrs. Fuller kemarin!" lanjutku, membuka jendela-jendela dengan tergesa-gesa."Yah, kurasa kau benar, tapi pie-pie serta bacon itu benar-benar menyiksaku, apa jadinya jika tidak ada acar-acar itu. Tapi kurasa cocktail juga termasuk yang dapat dipersalahkan!" Bibi Keiko menjawab sambil gemetar dibuat-dibuat. Seakan membayangkan acar itu yang memakannya, bukan dia yang memakan acar-acar itu.
Aku mencoba untuk memasang muka simpati atas permasalahan rutin menu Bibi Keiko, dan bukannya memutar bola mata bosan.
Bibi Keiko dulu ada seorang artis opera, dengan wajah oriental dan suara seriosa membuatnya mendapat peran khusus. Wanita asia yang cantik, dan berakhir menikah dengan Paman Ben, seorang pegawai real estate yang gagal.
Aku menuju dapur dan berkutat dengan kesibukanku. Setiap pagi-pagi sekali aku harus memasak dan membersihkan seluruh rumah yang cukup besar ini. Lebih tepatnya aku membersihkan rumahku. Seharusnya.
Tapi mereka merebut hak asuhku, satu paket dengan harta orangtuaku. Jangan berpikiran, seperti di cerita-cerita Cinderella, atau gadis malang lainnya. Karena walaupun mereka begitu menyebalkan dan menyiksaku secara mental dan maupun fisik, aku tak pernah menangis di pojokan dan berusaha kabur atau sejenisnya. Mungkin ini telah menjadi kebiasaan. Kebiasaan untuk membuat rasa sakit ini menjadi hal biasa. Bahkan ketika aku disuruh membersihkan halaman ketika hujan deras, mengumpulkan semua telur-telur paskah sisa milik Ema—dia sepupuku yang saat ini kuliah di Pricenton, seorang diri ketika yang lain berpesta. Bahkan ketika kamarku dipindahkan di loteng. Aku sudah terbiasa membunuh rasa sakit ini.
Setelah selesai makan—aku makan di urutan terakhir. Aku mengganti baju ke seragam dan segera menyambar tasku. Bus sekolah sudah menunggu. Kupaksa tubuhku untuk bergerak lebih cepat sambil memberikan senyum kecil kepada Mr. Fuller—supir bus ini. Tasku yang berat serta buku-buku ini membuatku cepat lelah. Mereka—teman-temanku sudah sibuk bercanda. Tapi ketika melihatku mereka hanya memandang sinis dan segera menggeser duduknya, agar tidak ada kursi kosong. Hasilnya, seperti biasa aku akan duduk di paling belakang.
Aku tidak menangis. Sudah kubilang aku belajar untuk membuat segalanya seperti normal dalam pandanganku, walaupun dulu hampir setiap malam aku menangis. Aku menarik napas panjang, membetulkan sweater-ku yang kusut ketika Haruna menunjukku dengan ujung jarinya yang dicat ungu mengkilap.
"Heh, Haruno, essay-ku!"
Aku memandang lurus ke matanya yang memakai softlens biru yang juga memandangku dengan tajam sekaligus mengejek. Aku hanya mengangguk, dan mulai meraih tasku.
Aku mengeluarkan tumpukan kertas itu dengan hati-hati.
"Ingat, jika kurang dari B, kau tahu akibatnya!" katanya sambil kembali duduk dengan teman-temannya. Aku duduk kembali dengan tenang. Haruna adalah anak seorang senat, berwajah oriental sama sepertiku. Entah, sejak kapan dia juga ikut membenciku.
Tapi, aku tidak peduli. Aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Seburuk apa pun mereka memperlakukanku, aku tidak pernah merespon. Bukannya aku tidak bisa, sejujurnya aku hanya tidak mempunyai keinginan untuk merubah semua ini. Hal ini sudah menjadi suatu keseimbangan dalam hidupku. Seburuk apa pun kapal yang berlayar, asalkan masih tetap mengapung, tidaklah jadi masalah. Dan jika ada satu hal yang membedakanku dengan yang lain adalah kekuatanku. Jangan tertawa. Sejak kecil aku memang sudah punya rahasia kecil ini. Aku bisa menggerakkan benda-benda dan melihat hal-hal yang seharusnya tidak kulihat. Mungkin kita bisa menyebutnya cenayang. Ya, aku adalah gadis cenayang.
Pandangan orang lain tentangku pun membentuk imej-ku. Gadis dingin, tak suka bergaul dan luar biasa cerdas. Misterius, mungkin. Aku tidak khawatir, karena aku lebih merasa nyaman ketika aku sendirian. Dan lagi, aku bisa melihat makhluk-makhluk itu, saking terbiasanya sampai-sampai aku tidak akan menunjukkan ekspresi apa pun. Seperti saat ini, bus ini melewati Wostville Manor. Sebuah mansion tertua dan terbesar di daerah ini. Sunyi, kosong dan ditinggalkan. Setiap pagi aku selalu melihat gadis kecil itu duduk di ayunan. Aku memandang gadis itu lewat jendela bis. Bayangannya bisa kulihat lewat celah-celah pagar besi yang tinggi.
Dia bukan manusia.
Sudahlah.
Bangunan Widelake Highschool sudah terlihat. Bus berhenti di depan gerbangnya dengan decitan keras. Anak-anak lain segera berteriak dan berlari ke luar, melambai pada temannya yang telah menunggu di halaman. Dihiasi senyuman dan cengiran lebar.
Aku mengangkat tas dan bukuku dan mulai melangkah turun.
Aku memang sudah terbiasa dengan kesunyian
Tapi sekarang aku jadi khawatir kalau kesunyian ini pun
mulai bisa bicara
Waktu makan siang adalah waktu yang cukup menarik bagiku. Mungkin karena aku bisa melihat semua orang ini berada pada suatu tempat yang sama, walaupun pada golongannya masing-masing.
Aku melangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa, menuju sebuah meja di pojok ruangan, aku tidak perlu mencari meja kosong karena tak pernah ada yang menempati meja ini. Meletakkan nampanku, dan mulai memakan roti isiku.
Aku makan dengan tenang ketika suasana segera dirusak oleh sebuah keributan, maupun teriakan. Terdengar sesuatu menabrak meja dengan keras. Hal itu segera disambut teriakan nada tinggi para gadis.
Dengan malas aku mengikuti juga pandangan anak-anak lain yang tertuju pada obyek di lantai. Seorang anak laki-laki berambut kelabu tua yang tersungkur di lantai. Hidung dan bibirnya berdarah, sedangkan matanya seperti sebuah kuali kebencian yang mendidih.
"Brengsek kau Uchiha!" umpatnya tertahan, mengusap mulutnya dengan punggung tangan, dan bangkit, menopang tubuhnya dengan siku. Kakinya masih gemetar. Sedangkan sosok di depannya hanya memandang dingin, tangan yang kelihatannya tadi untuk memukul ia masukkan pada saku celananya. Tubuhnya yang tinggi seperti mengintimidasi orang di depannya.
"Kau yang memintanya, Sakon!" Suara dalam sekaligus sedingin es itu akhirnya menjawab.
Klik! (Snapshoot)
Nama : Uchiha Sasuke
Umur : 17 tahun
Tinggi : 175 cm
Gol. Darah : AB
Ciri-ciri : Rambut raven, mata onyx, luar biasa tampan(bahkan dengan cara yang gelap), acuh tak acuh, dingin, arogan dan egois.
Hobi : Menyendiri, berkelahi, makan tomat.
Otak : Jenius
Sikap : Terburuk
Keterangan : 112 kali menolak gadis, 14 kali hampir dikeluarkan dari sekolah (jika saja ayahnya bukan kepala sekolah). Mengirim 54 musuhnya ke UGD rumah sakit.
Titel : School heartthrob (tergolong dalam badboys). Menang berkelahi walaupun itu 1 lawan 15. Teme (Naruto).
"Astaga, Teme,oh...shit...Guru Kakashi berjalan ke arah sini!" Seorang anak laki-laki rambut pirang yang berisik memegang kepalanya dengan frustasi.
"Hn..."
"Arghh, kau...!"
Klik! (Snapshoot)
Nama : Uzumaki Naruto
Umur : 17 tahun
Tinggi : 172 cm
Gol. Darah : O
Ciri-ciri : Rambut pirang terang, mata biru langit, cukup tampan(bahkan saat dia bertingkah konyol), berisik, pantang menyerah, setia pada sahabat. Terlalu bersemangat. Kurang bisa menahan emosi. Selalu membuat orang lain jadi temannya.
Hobi : Makan Ramen, makan ramen, makan ramen
Otak : Tidak punya harapan
Sikap : Hiperaktif
Keterangan : Bertunangan dengan Hyuuga Hinata, 19 kali nilai E, terlibat 34 perkelahian karena membela Sasuke.
Titel : Dobe (Sasuke). Sahabat terdekat Sasuke. Idiot.
"Uchiha Sasuke, aku ingin penjelasan!" kata suara tajam itu dari belakang.
"Huahh...ehh...Guru Kakashi!" Naruto tergagap sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Melirik ke arah sahabatnya yang masih memasang muka tanpa ekspresi.
Klik (Snapshoot)
Nama : Hatake Kakashi
Umur : 27 tahun
Tinggi : 182 cm
Gol. Darah: O
Ciri-ciri : Rambut putih perak (dan bukan karena tua), memakai topeng aneh yang menutupi separuh wajahnya, pintar dan berbakat, guru yang bijaksana, humoris, selalu terlambat, penggila buku-buku rated-M
Hobi : Membaca buku dan terlambat
Otak : Jenius
Sikap : Tenang
Keterangan : Masih single (soalnya Guru Kurenai diambil Guru Asuma), guru yang dekat dengan murid-muridnya terutama Sasuke dan Naruto.
Guru Kakashi tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi nampak dari matanya tercermin rasa frustasi yang cukup jelas. Tangannya naik dan mengusap-usap rambutnya sendiri dengan perasaan tak keruan.
"Sudah berapa kali minggu ini?" tanya Kakashi lagi, seakan bertanya apa cuaca hari ini? Tangannya turun untuk meraih pundak Sasuke. Sasuke memandang gurunya dengan tatapan sangat terganggu, dan mengirimkan pandangan 'lebih baik tangan ini menyingkir'. Guru Kakashi hanya tersenyum kecil masih bergeming.
"Sasuke, apa yang harus kukatakan pada ayahmu, apa yang harus kukatakan pada dewan sekolah untuk menutupi semua tindakanmu?"
"Lepaskan tangan Anda!"jawab Sasuke dingin.
"Nah, nah kenapa kau selalu tidak sopan pada gurumu ini, jangan hanya karena uang jajanmu lebih banyak dari pada gajiku kau bisa seenaknya!". Guru Kakashi menelengkan kepalanya sedikit untuk mengawasi keadaan sekitar. Dan menarik napas panjang ketika menyadari seluruh siswa sudah melihat ke arahnya.
"Lepaskan!"
"Iya iya, dimana Sasuke keponakan kecilku dulu yang sangat lucu, memakai popok dan naik kuda poni!" tukas Guru Kakashi sambil nyengir lebar, menarik tangannya dari pundak Sasuke ketika mata Sasuke menyipit sebagai hasil perkataannya tadi.
Tapi kemudian Guru Kakashi mencondongkan tubuhnya dan berbisik "Jika kau tidak bisa mengendalikan amarahmu, bagaimana kau bisa mengendalikan kekuatanmu" dengan begitu ia berlalu sambil berteriak. "Ayo semuanya drama selesai, kembali makan!"
Kemudian semuanya sudah kembali makan, suasana tegang mulai mencair.
Sasuke dan Naruto duduk kembali, Naruto mulai berceloteh tidak jelas sembari melahap ramennya yang tadi sempat terlupakan. Sedangkan Sasuke hanya duduk memangku dagunya dengan tangan.
"Khau kenaffa, afiir-afhir ini fau tamphakh mafin sefam safa( kau kenapa, akhir-akhir ini kau tampak makin seram saja)!" kata Naruto masih dengan mulut penuh ramen. Mata birunya mengawasi sahabatnya itu dengan tajam. Walaupun wajahnya masih rileks tapi pandangan matanya mengandung keseriusan yang jarang ditunjukkannya. Sasuke hanya memandang sahabatnya dengan jijik, berusaha menutupi ekspresinya yang sempat kaget, dan rahangnya yang sempat mengeras karena sulit berkata-kata.
"Fangan fau (jangan kau)..."
"Telan dulu makananmu, dobe!" potong Sasuke dengan dahi mengerinyit jijik. Tangannya ia silangkan di depan dada, disusul wajahnya yang sudah kembali stoic.
Naruto hanya memandang sebal, tapi menelan juga seluruh ramen di mulutnya, sekarang pandangannya berubah, tegas dan meminta. Sasuke hanya menarik napas panjang.
"Teme!"
"Aku merasakannya, Naruto!" Onyx Sasuke menutup seperti berusaha fokus untuk merasakan sesuatu. Kali ini alis Naruto naik tanda tak mengerti.
"Aku bisa merasakan ada kekuatan lain di sekolah ini!" jawab Sasuke disambut oleh tubuh Naruto yang menegang.
"Jangan bercanda, maksudmu salah satu dari anak-anak ini?" tanya Naruto lagi dengan pandangan tak percaya. Tangannya tergenggam erat di atas meja.
"Ya!"
"Tapi siapa?"
Aku menahan napas mendengar pembicaraan mereka. Bukannya maksudku untuk menguping, tapi aku punya kemampuan yang lebih dalam indera. Sehingga dalam jarak seperti ini aku tetap bisa mendengar perkataan mereka.
Ya, mereka juga bukan manusia—Sasuke dan Naruto, mereka bukan manusia, mereka mengeluarkan aura kuat yang aneh. Tapi yang paling membuat sesak adalah aura Sasuke. Dia seperti bisa menebarkan jaring-jaring, seperti seekor laba-laba. Jika kau terperangkap di dalamnya, kau tidak akan selamat.
Napasku tertahan ketika tiba-tiba Sasuke menyapu seluruh ruangan dengan pandangan matanya dan menangkap mataku sedang menatap mereka. Jantungku langsung berdentum tak keruan, secepat yang kubisa aku mengalihkan pandanganku darinya ke makanan di depanku. Bisa kurasakan wajahku memanas, onyx itu benar-benar seperti menyeretku.
"Teme, hoii!" tanya Naruto.
Bisa kurasakan telapak tanganku mulai berkeringat dingin. Walaupun aku sudah tidak memandang mereka tapi aku masih memasang pendengaranku.
"Kau...kenapa dengannya?" tanya Naruto lagi dengan nada tidak sabar.
"Tidak, tapi kurasa dia tadi memandang ke arah sini!" jawab Sasuke, bisa kurasakan nada suaranya diselipi rasa was-was.
"Aku tidak kaget, gadis mana sih yang tidak memandang ke arahmu!" kata Naruto dengan nada sebal."Tapi.."sambung Naruto."Dia agak mirip denganmu!"
"Hn...maksudmu?" tanya Sasuke dengan nada berusaha untuk tidak tertarik, walaupun gagal.
"Dia sama sepertimu, tidak pernah tersenyum!"
"Hn..."
Dan bisa kurasakan onyx itu memandang ke arahku lagi.
-TBC—
"Apakah kau ingat kapan terakhir kali kau tersenyum?"
"Ya"
"Kapan?"
"Saat kau tersenyum"
Terimakasih telah membaca ! ^_^
Check it out please! =D
Hai, minna-san. (melambai-lambai gaje)
Wah, saya sampai lupa berapa lama saya hiatus. Hehehe.
I'm back! *ga ada yang peduli tuh!*
Yah, saya kembali. Dan membawa fic abal yang lainnya, fic ini menceritakan tentang dunia ajaib bernama Jyficia dan Sakura sebagai tokoh utama. Ini dunia ciptaan saya sendiri. Nanti istilah-istilahnya juga saya buat sendiri. Yah, masih banyak kekurangan dan kesalahan memang, tapi saya akan mencoba untuk memperbaikinya.
Tentang fic ini: Sebenarnya saia ragu-ragu untuk menentukan watak Sasu dan Saku di sini, berbeda dari fic saya yang lain. Di sini Saku juga ikut jadi gelap, OOC memang, tapi saya akan berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya natural. Yah, mungkin memang saya kurang suka jika membuat SasuSaku itu kenal dan punya hubungan, kebanyakan fic saya pasti mereka enggak kenal dulu, baru nanti punya hubungan. Tapi sebenernya saya juga pengen membuat kisah tentang kehidupan cinta mereka(langsung kenal begitu). Hehehe. Gomen jika mengecewakan.
Dan jangan tanya kenapa saya suka membuat cerita tentang anak yang terlupakan di sekolah, tentang abuse, haduh, mungkin karena orang terlupakan itu kadang menarik imajinasi saya. Hehehe. ^^v
Bahasa di sini enggak seserius yang The Desire Is Over, atau puitis seperti A little World, maupun terlalu ringan seperti It's not ur show... Semoga tidak membuat pusing dan bosan. POV kebanyakan orang pertama, hehehe saya merasa asyik menulis dari POV Sakura di sini *apa'an?* soalnya beda banget sama sifat saya yang cerewet dan suka ketawa. Yap, sekian bacotan ga jelas saya. Untuk kapan fic lain diupdate. Just see my profil, ne, If you don't mind! Hehehe.
Kritik dan saran diterima!^^
PLEASE
R.E.V.I.E.W!
Your reviews make me write! ^_^
So..KEEP OR DELETE?
Thanks for everything! Ganbatte!
SPOILER CHAP 2!
Apakah aku pernah bilang bahwa aku juga mempunyai kekuatan untuk memindahkan barang. Yah, kurasa sekarang aku harus menggunakannya.
Aku memandang seorang teman sekelasku di tubrukkan berkali-kali di rak buku di depanku. Nafas serta detak jantungku sendiri sudah tidak beraturan. Aku pura-pura tidak peduli. Di ruang seni tidak terpakai seperti ini biasanya terjadi kekerasan yang tidak diketahui para guru. Anak-anak kaya itu kadang-kadang bisa meyakinkanku bahwa mereka benar-benar punya sakit mental. Seperti Tayuya yang ada di depanku ini, kudengar orangtuanya bercerai dan dia disiksa secara mental oleh Ibu tirinya, sebagai hasilnya dia melampiaskan dengan cara seperti ini.
Kakiku benar-benar sudah gemetar.
"Kumohon, ma..af ..akh.."jerit gadis itu tertahan dengan berlinangan air mata.
Brukk!
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya. Aku yakin punggung gadis itu sudah memar-memar. Tapi yang membuat tubuhku membeku adalah patung gips yang cukup besar di atas rak itu. Yang bergeser sedikit demi sedikit ke tepi. Pelan tapi pasti karena bentuk lantai yang agak miring.
Brukk!
Brukk!
"Arrgh...maafkan aku Tayuya!" isak gadis itu.
Apa yang harus kulakukan, apakah aku harus menggunakan kemampuanku.
Dan patung gips itu semakin ke tepi dan semakin ke tepi.
Ap- Apa!
Terdengar bunyi patung berderit menggesek tepian atas rak dan jatuh...