A/N: Ok, readingnya istirahat dulu ya. Soalnya Lily sedang ngambek gak mau baca buku.. hehe

Aku gak tahu sih mau nulis semua di buku atau gak, hehe kayaknya banyak yaa.. tapi InsyaAllah di tulis semua.

Makasih ya buat yang mau nge-Review, buat yang baca juga makasih.

Ok, Read n Review Please


Slytherin dan Konfrontasi

"APA!" James berkata lebih keras dari yang dia harapkan. "Kau bercanda Lils? Apa kau tidak ingin tau?" Dia memandang sekeliling dengan gusar. Tidak percaya dengan pendengarannya.

Yang lainnya masih melongo kaget.

Lily memandang James, kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menatap buku yang tergeletak di meja. Dia berujar lirih "Tidak."

"Lily Evans… tidak mau membaca buku?" Aku tidak menyangka akan melihat moment seperti ini." Sirius ternganga takjub, dia melongo dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Moony" Sirius menoleh ke arah Remus dan mencubit pipinya Remus keras-keras.

"Sirius!" Remus mendelik kesal.

"Ternyata bukan mimpi."

Lily memutar bola matanya. Dia menghela nafas, kemudian berkata, "Aku tidak mau membaca cerita dimana anakku disiksa! Aku bisa menerima kalau aku mati. Tapi aku tidak bisa menerima Tuney membuat anakku mati pelan-pelan." Suaranya agak bergetar karena marah, dia mendelik memandang mereka semua, seakan mereka sedang mencoba menantangnya berduel.

Mereka semua meringis. Tidak mungkin berdebat dengan Lily saat ini. Kemungkinan terbaik adalah mereka hanya akan kehilangan 1 kaki, 1 tangan dan mungkin jika nasib mereka baik mereka masih akan memiliki gendang telinga. Singkatnya mereka masih ingin hidup.

Remus mengakui buku tersebut tidak menyenangkan. Yeah mungkin hanya satu hal yang menyenangkan. Voldemort musnah dan Harry berhasil selamat. Ok baiklah, itu dua hal. Tapi selain itu tidak ada yang menyenangkan. Kalau dia jadi Lily memang lebih baik tidak usah membaca lagi. Dia kepengen meninggal dengan tenang, syukur-syukur kalau itu cepat dan tidak sakit. Dia nyengir agak bersalah, pikirannya sudah melantur-lantur tidak karuan.

James dan Alice saling lirik, bagaimana caranya membuat Lily mau membaca lagi. Lily sangat keras kepala sulit sekali mengubah pendiriannya.

Setelah kesunyian yang rasanya bagai ribuan tahun dan lirikan-lirikan yang membuat sakit mata, mereka mendengar sebuah suara. Suara langkah kaki sedang mendekat. Mereka menoleh ke arah suara itu. Waspada.

Alice berpikir apakah ada yang berusaha memata-matai mereka atau orang tersebut mendengar percakapan mereka? Rasanya tidak mungkin , Lily sudah merapalkan mantra aneh buatan Snape, jadi tidak mungkin ada yang mendengar meskipun mereka berteriak-teriak. Ok ralat sedikit, Lily yang berteriak-teriak.

Frank menjulurkan lehernya, berusaha melihat siapa itu. Alice mengikutinya.

Langkah tersebut makin keras dan terlihat bayang-bayang makin mendekat. Sepertinya lebih dari satu orang.

Mereka mengeluarkan tongkat sihirnya. Waspada. Siapa tahu itu adalah Pelahap Maut atau Volemort sendiri. Mungkin dia tahu tentang buku Harry Potter ini dan berniat merebutnya. Mereka semua menegang, menunggu.

"Apa yang kalian lakukan?" Sebuah suara tegas menegur mereka. "Kenapa kalian mengeluarkan tongkat sihir?" Mcgonagal menyipitkan matanya, curiga.

"Tidak boleh menggunakan sihir di perpustakaan!" Madam Pince berkata galak sambil memplototi mereka semua.

"Haaaah." Mereka semua mendesah lega. Frank dan Alice merosot di kursi.

Lily yang pertama menguasai diri "Maaf Profesor, Madam Pince ,kami kira er.. Voldemortt," wajahnya memerah karena malu.

Profesor Mcgonagall berjengit matanya membelalak kaget.

Madam Pince mendesis, "Jangan ucapkan nama itu." Dia menatap liar seluruh perpustakaan dan rak-rak buku. Seakan berharap Voldemort melompat menyerbu perpustakaan, mencekik mereka karena telah lancang menyebut namanya.

Mereka semua meringis melihat reaksi Prof. McGonagall dan madam Pince.

Beberapa detik kemudian McGonagall menguasai diri, mungkin dia berpikir anak-anak didiknya sudah gila, terlalu paranoid. "Miss Evans, apa kalian pikir aku akan membiarkan Kau-Tahu-Siapa jalan-jalan di kastil? melompat melalui rak buku dan mengutuk kalian?" Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka semua menunduk malu.

James dan Sirius hanya meringis.

"Baiklah aku rasa detensi kali ini sudah cukup." McGonagall memandang berkeliling rak-rak buku yang bukunya sudah tertata rapi. "Bukankan begitu, Irma?

Madam Pince berdehem mencoba menguasai diri. Dia melirik buku-buku yang sudah tertata rapi, kemudian mengangguk puas.

McGonagall tersenyum penuh pengertian kepada mereka semua dan berkata "Kurasa kalian butuh istirahat, kalian bisa ke Aula besar untuk makan malam." Kemudian dia menambahkan agak cemas. "Jika kalian merasa agak kurang sehat mungkin kalian bisa ke Madam Pomfrey"

"Tidak, kami baik-baik saja." LIly menjawab cepat.

"Mungkin kami hanya butuh makan malam Profesor." kata Alice.

"Baiklah, pergilah."

Mereka mengangguk dan segera berlalu dari perpustakaan.

"Sepertinya membaca buku Harry Potter membuat kita jadi.. er."

"Paranoid," celetuk James.

"Yeah."

"Ayo kita ke aula besar aku sudah lapar sekali." Sirius berkata sambil memegangi perutnya yang keroncongan.

"Dasar kau ini." James meninju lengan Sirius.

xxx


Aula besar masih begitu lengang tak banyak anak yang pergi makan, pastilah mereka masih dalam perjalanan pulang dari Hogsmade. Severus membatin kecut, dia tak bisa ke Hogsmade hari ini, padahal ada sesuatu yang harus dia lakukan.

Severus menghantamkan dirinya ke dalam kursi, dia menatap makanan di depannya dengan liar dan merasakan air liurnya hampir menetes. Dia mulai meraih semua makanan yang ada dalam jangkauannya, mengendus sepotong ayam di tangannya dan mendengkur senang. Dia mulai mengisi penuh-penuh piringnya dan mulai menyumpal mulutnya dengan sup bawang, daging asap, ayam dan banyak lagi. Satu belum habis tertelan, dia sudah memasukkan yang lain.

Di sebelahnya Avery dan Mulciber juga mulai membantai makanannya. Serakus dan secepat mungkin. Bersendawa keras-keras dan mulai memasukan makanan lain lagi. Mereka kelaparan. Oke Ralat.

Mereka sangat kelaparan.

Bellatrix menatap jijik mereka semua, dia menyibakkan rambutnya dengan angkuh dan mulai mengisi piringnya. Dia memakannya seanggun mungkin sesuai tata krama darah murninya yang berharga. Walaupun dia mengakui dia juga merasa sangat lapar, tetapi dia tak akan merendahkan dirinya selevel gelandangan jalanan yang kurang makan. Mereka menjijikkan.

Seorang pemuda berambut hitam cepak mendatangi gerombolan itu. Dia berjalan agak pongah, wajahnya tampan, dengan bola mata hitam. Dia menyeringai menatap teman-temannya. Ibunya pasti akan mati jantungan jika melihat dia makan seperti mereka. Dia duduk di depan Severus.

"Lapar berat?" tanya pemudai itu sambil mulai mengisi piringnya.

Avery dan Mulciber hanya mengagguk sekilas dan melanjutkan kegiatan membantai makanan mereka.

Severus mendongak dan berkata dengan mulut masih penuh "Sanghhat." Dia menelan makanannya dan meneguk jus labunya. "Sangat.. lapar.."

"Bagaimana detensinya?" tanya pemuda itu cerah.

Severus mencibir "Kau tahu bagaimana Filch kan?". Dia mengerucutkan bibir, kesal.

Pemuda itu nyengir. Tentu saja semua orang tahu bagaimana Filch dan sikapnya yang anti terhadap murid-murid. Sudah rahasia umum bahwa Filch itu Squib. Dia benci melihat murid-murid dan selalu berusaha keras untuk memberi detensi kepada mereka. Dan detensinya kebanyakan harus mengeluarkan 'sedikit' tenaga.

"Memangnya apa yang dia suruh?" Pemuda itu bertanya setelah sebelumnya dia menelan kentangnya.

Severus mendengus "Membersihkan Trophi dan piala-piala."

"Tanpa Sihir." Avery menambahkan sebal.

Mulciber menggeram kesal dan menggeretakkan buku-buku jarinya.

Pemuda itu meringis "Pastilah ada hampir 500 piala dan Trophi disana, eh?"

Bellatrix mendengus kesal."Ciih, tenagaku sudah kuhabiskan untuk pekerjaan tolol dan tak berguna! Membersihkan tropi? Apa dia pikir kita keturunan kotor campuran? Setara peri rumah? Dan demi Pangera kegelapan yang agung, memakai cara Muggle? Tanpa sihir? Menjijikkan!" Belatrik mendesis jijik, "Apa kata leluhurku! Tanganku terlalu beharga untuk mengerjakan pekerjaan sampah semacam ini!" Dia mengibaskan tangannya seolah ada kotoran yang menempel.

"Demi Pangeran kegelapan?" Pemuda itu mengernyit "Jadi kau sudah positif akan menjadi pelahap maut Bella?"

"Tentu saja!" Bellatrix memandangnya dingin, seolah pemuda itu mencemoohnya. Ekspresinya melunak, penuh damba. "Itu impianku." Kemudian dia menyeringai kejam. "Aku tak sabar menyingkirkan para darah lumpur kotor."

Mulciber dan Avery saling berpandangan, mereka berdua mengangguk kemudian mengeluarkan seringai kejam dari mulutnya.

Severus menambahkan sangat pelan sehingga hampir tak terdengar "Kecuali Lily." Kemudian secara otomatis dia melirik meja Gryffindor, mencari Lily. Tak ada. Mungkin masih di detensi. Detensi apa yang diberikan McGonagall untuk Lily? Severus berharap bukan yang berat, dia tak tega melihat Lily menderita. Dia tak peduli bila si Potter brengsek itu di umpankan ke dalam segerombolan tarantula sekalipun, tapi tidak Lily. Gadis itu terlalu berharga. Jika bukan gara-gara Potter brengsek itu, dia pasti masih berteman dengan Lily. Mungkin juga mereka akan menjadi sepasang kekasih, kemudian menikah dan hidup di rumah kecil yang tenang, bersama anak-anak mereka. Huh! Apa yang sedang dia pikirkan? Enyahlah pikiran tolol! Dia menggeram kesal. Merasa marah terhadap dirinya sendiri, terhadap Potter, terhadap keadaan. Dia mengutuk semuanya.

"Ada apa Sev?" Pemudai itu mengernyit melihat ekspresi Severus.

"Tidak apa-apa, Reg." Severus menggeleng. Dia menghindari tatapan Regulus dengan mengambil puding dan mulai menyumpal mulutnya kembali.

"Bukankah kau juga begitu, Regulus?" tanya Bellatrix acuh. "Ingin menjadi Pelahap Maut." Dia memandang regulus melalui sudut matanya.

"Yeah," Dia nyengir, "Aku tidak sabar untuk bergabung."

"Baiklah, ayo kita bersulang." Regulus berkata sambil mengangkat piala. "Untuk Pangeran Kegelapan."

Yang lain menyeringai dan meng-koor mengikuti. "Untuk Pangeran Kegelapan."

xxx


Aula besar mulai dipadati anak-anak yang lain. Bergerombol-gerombol mereka masuk, tertawa-tawa, saling mengejek dan saling pamer produk zonko yang mereka beli. Aula besar mejadi agak riuh dan berisik.

"Ayo kita kembali ke ruang rekreasi," Mulciber berkata dengan suara khasnya yang mirip geraman.

Mereka mengangguk dan mulai berdiri. Kemudian mulai melangkah keluar dari Aula besar. Mereka hampir bertabrakan di koridor dengan murid lain yang ingin menuju Aula.

"Oh, kalian." Seorang laki-laki berambut hitam lurus berkata dengan dingin.

"Sirius." Regulus berkata tak kalah dinginnya.

"Oh, hallo sepupu." Belatrik berkata dengan suara riang kekanakan.

"Apa maumu Bella?"

"Ck ck ck... mana sopan santunmu sepupu?" Bellatrix berdecak menggurui. "Betapa hancur hati Bibi Walburga jika melihatmu... dan pilihan teman-temanmu." Dia mengendik meremehkan kepada Lily. Kemudian berkata, "Darah lumpur." Dia mendesis jijik.

Para Gryiffindor dan Severus menegang.

Severus membelalak kepada Bellatrix. Dia mengutuknya dalam hati. Dia tidak suka ada yang memanggil Lily dengan sebutan Darah lumpur. Dia harus bicara kepada Bellatrix nanti.

Mulciber dan Avery mendengkur senang. Ekspresi mereka lapar.

"Jaga kata-katamu BLack." kata Remus keras.

Bellatrix mendengus jijik "Sebelum kau menyuruhku menjaga kata-kataku, kenapa kau tidak urus saja pakaianmu?" Dia memandang Remus dari atas kebawah, menatap jijik bajunya yang sedikit agak lusuh. "Dan apa itu yang kau pakai? Jubah bekas ayahmu? Kuduga bahkan pakaian dalammu pun bekas!" dia memandang Remus meremehkan.

"Jaga mulutmu!" Tukas James dan Sirius marah.

Bellatrix mengacuhkan James dan Sirius. Dia memandang Remus, lebih tajam dari sebelumnya. "Oh ya, apa benar desas-desus yang kudengar selama ini?"

"Apa?" Remus berkata, suaranya agak kasar.

Mata Bellatrix menyipit waspada "Bahwa kau adalah Manusia Serigala." Kemudian dia menyeringai kejam. "Seandainya itu benar, bahkan kau lebeih rendah dari Darah lumpur. Seharusnya kau di asingkan dan di buang. Seharusnya kau bersama kelompokmu yang lain. Sesama pencundang." Dia mengakhiri kejam.

Remus mengejang. Matanya berubah merah menatap Bellatrix. Buas.

Bellatrix mundur sedikit, merasa agak gentar. Mungkinkah gosip Manusia Serigala itu benar? Dia akan mencari tahu hal itu.

"Kau salah." James berkata keras. "Remus bahkan lebih normal daripada dirimu Black."

Bellatrix menoleh kepada James. "Potter..Potter.. Potter... aku pikir kau oke." Bellatrix menyibakan rambutnya dengan angkuh. "Kau Darah Murni. Sama sepertiku. Seharusnya kau lebih bijaksana. Berteman dengan Darah lumpur dan Manusia Serigala? Menjijikkan." Dia memandang Sirius "Kalian berdua sama saja. Harusnya kalian lebih bijak memilih teman, kalian telah menodai ras penyihir. Penghianat!"

"Itu bukan urusanmu Bella!" kata Sirius marahl. "Urus saja urusanmu sendiri, dan kudengar kau akan menjadi Pelahap Maut, eh? Geng gila yang ber-idialis konyol, aku bahkan ragu kalau pemimpin geng kalian punya darah semurni yang dia banggakan, bahkan aku kira comberan pun lebih murni daripada darah Voldemort."

Para Slytherin menegang.

"Jaga bicaramu Sirius!" Bentak Ballatrix marah. "Tidak boleh ada yang meragukan Pangeran Kegelapan dan jangan berani menyebut namanya dengan mulut kotormu itu!"

Dia mengeluarkan tongkatnya begitu juga Sirius. Mereka saling mendelik satu sama lain.

Yang lainnya mulai mengeluarkan tongkat, waspada terhadap kutukan yang mungkin akan diluncurkan lawan. Mereka semua siap berduel.

...

Seorang gadis bermata abu-abu, ber-rambut hitam panjang bersandar di koridor menuju Aula besar, dia mengamati mereka sedari tadi. Dia memperhatikan tongkat sihir telah dicabut dan mereka telah bersiap mengutuk, dia memutuskan menghampiri mereka. Langkahnya anggun tapi gesit. Rambutnya melambai-lambai saking cepatnya dia berjalan. Sekejap saja dia sudah berada di hadapan mereka.

Gadis itu memegang tangan Bellatrix, "Sudah hentikan Bella."

Bellatrix mendesis marah, "Mereka telah menghina Pangeran Kegelapan, dan mereka harus menerima balasannya!"

Gadis itu menatap Bellatrix dan Sirius. "Sudahlah, para Profesor akan segera datang sebentar lagi. Kita bisa terkena masalah."

"Ayo kita pergi." Regulus mengusulkan.

Avery dan Mulciber ragu-ragu. Tapi kemudian mereka berdua melangkah pergi.

Bellatrix memberikan pandangan menghina kepada para Gryffindor, dan kemudian ikut berlalu.

Severus melirik Lily sebentar, matanya hitamnya beradu dengan mata hijau zambrud Lily. Mereka berpadangan. Kemudian Severus mengalihkan pandangannya dan melangkah pergi.

Regulus menatap Sirius. Sesaat dia terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian dia mengurungkannya.

Gadis itu melempar pandangan sekilas kepada para Gryffindor, matanya beradu dengan mata hitam Sirius.

"Ayo kita pergi," Regulus menatap gadis itu. Gadis itu mengalihkan padangannya dan menatap Regulus. Dia mengangguk dan melangkah pergi bersama Regulus. Berlalu mengikuti Bellatrix dan yang lain kembali ke ruang rekreasi Slytherin.

xxx


Severus berjalan cepat, jubah hitamnya berkibar-kibar dibelakangnya. Dia berhenti di depan dinding batu berukir. Agak tergesa dia mengucapkan, "Salazar Slytherin."

Dinding batu itu membelah, memperlihatkan sebuah ruangan remang kehijauan. Ruangan itu masih lengang, tampak beberapa anak duduk di depan perapian bercakap-cakap dan tertawa. Beberapa melambai kepadanya, dia tidak mempedulikan mereka. Dia harus menemukan seseorang. Matanya menyapu seluruh ruangan. Kemudian dia menemukan sosok itu, berjalan menuju kamar anak perempuan.

"Tunggu Bella." Severus berkata setengah berteriak, dia melangkah cepat dan menghadang langkah Bellatrix.

Bellatrix memandangnya tak berminat. "Apa maumu?"

"Sudah berkali-kali kuingatkan kau!" Severus mendesis marah. "Jangan pernah memanggil Lily Darah Lumpur!"

"Oh, jadi... Snevilus... kau masih saja berharap pada si jalang itu?"

"Tutup Mulutmu! Atau kau akan menyesal!" Severus mendelik memandang Bellatrix.

Bellatrix menatap meremehkan dia berkata sinis, "Coba saja. Aku mau lihat." Kemudian matanya menyipit, dia menyeringai kejam. "Mungkin gadismu jalangmu itu sudah pernah tidur bersama Potter, kulihat mereka sekarang semakin dekat. Kau sudah tamat Snape!"

"TUTUP MULUTMU! Severus menggeram marah. Dia mengeluarkan tongkat sihirnya, bunga api merah memercik-mercik dari ujung tongkatnya. Dia berkata dengan suara rendah berbahaya "Jangan pernah menyebut Lily seperti itu!"

Bellatrix juga mengeluarkan tongkat. Waspada. "Cih! Apa yang kau harapkan?" Dia menatap Severus tajam, seringai keji dibibirnya, "Kau berharap aku mau bersujud di kaki perempuanmu itu? Menganggapnya seperti ratu? Memujanya? Dia tak lebih dari darah Lumpur! Darah Kotor! Busuk! Turunan sampah!"

"Cru..."

"Hentikan!" Regulus berteriak.

"Apa yang kalian berdua lakukan!" Gadis itu membelalak melihat mereka berdua.

Regulus segera berlari menuju Bellatrix dan Severus.

"Hentikan!" Regulus berdiri diantara mereka berdua, "Apa yang kalian lakukan? Kita sama-sama di Slytherin. Tak seharusnya kita saling bermusuhan." Dia menatap tajam mereka berdua.

"Cih." Bellatrix memberikan tatapan menghina kepada Severus kemudian dia berbalik dan pergi ke kamar anak perempuan.

Severus berdiri mematung menatap kepergian Bellatrix. Apakah dia telah salah memilih teman. Dia mengibaskan perasaannya jauh-jauh, jalannya sudah benar. Tinggal sedikit lagi. Kemudian dia berjalan menaiki tangga menuju kamar anak laki-laki, mengabaikan omelan Regulus di belakangnya. Dia perlu sendirian.


A/N: ok, akhir dari chapter ini. Apa ada yang terganggu dengan kata jalang? Aku minta maaf yaa, jika ada kata-kata lain yang agak kurang baik. Ini rattingnya K sih..

O iya besok udah ramadhan lagi.. waktu berlalu bagai kejapan mata ya *ngomong apaan sih aku :p

Sebelum puasa, aku minta maaf kalau punya kesalahan ma kalian. Selamat menunaikan ibadah puasa buat umat Islam. Buat yang tidak, selamat liburan yaa. Libur kan?