Setelah melihat salah satu PV Spice yang di lantunkan oleh Kagamine Len, saya jadi pengen membuat hubungan incest antara kembar Kagamine. Baiklah, saya mencoba yang terbaik. Semua ini berdasarkan PV Spice, ada yang di tambahin, ada yang di kurangin (perhaps). Menerima Flame yang tidak berbahasa kayak orang kampungan. Membutuhkan kritik dan saran membangun. Ya, kalau ga membangun juga gapapa, yang penting R/R :*

Even We are a Twins © minamicchi

Vocaloid © YAMAHA Corp.

Rated T+

Warning: AU, OOC, Timeline tidak jelas, dan masih banyak ketidak-jelasan dalam fic ini.


Kagamine Len

Aku Len. Kagamine Len. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku memiliki saudara kembar, asal kau tahu. Seorang perempuan, dan aku mencintainya, kakak kembarku sendiri.

"Len!"

Pikiranku yang melayang kemana-mana kembali ke dunia nyata setelah mendengar teriakan cempreng gadis yang selalu berjalan di sampingku. Ya, hanya dia yang selalu di sebelahku. Kami tak pernah terpisahkan.

"Apa kau tidak mendengarkanku! Kau mengacuhkanku! Len jahat!"

Tidak, kau lah yang jahat. Kau sendiri mangacuhkan perasaanku, kan?

Kedua pipi nya menggembung dan terlihat merah merona. Bukan karena malu, tapi karena marah. Baiklah aku tahu, kalian sudah mengerti.

"Maaf, maaf, Rin…" aku mengeluarkan cengiran bersalah sambil mengelus kepalanya. Tinggi nya berbeda tujuh senti dariku. Wajahnya masih menunjukkan ia masih ngambek. Aku tersenyum lebih berperasaan.

"Maaf, ya, Rin."

Dan berhasil. Bibir cemberutnya menghilang namun masih belum tergantikan dengan senyuman. Senyuman yang paling aku sukai di seluruh dunia.

"Len, kau memikirkan apa? Rasanya, akhir-akhir ini kau berubah…" Rin tampak khawatir saat menanyakan itu. Matanya mengatakan, 'aku merasakannya'.

"Berubah bagaimana maksudmu?" aku berusaha memutar-mutarkan pembicaraan. Rin terdiam, seperti berusaha mencari kata-kata yang tepat, tapi sepertinya gagal.

"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku tahu! Kita kan kembar, jadi aku tahu kalau kau sedang merasa tidak enak. Kau tidak mau bercerita padaku?" langkah kaki Rin menjadi cepat dan ia berhenti di depanku.

Hei, jangan tiba-tiba berpindah dari sebelahku, dong!

Ah, matanya.

Aku tidak bisa melawan.

Sungguh, aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk mencintainya.

Tuhan…

"Bukan apa-apa, Rin. Jangan khawatir. Kalau ada apa-apa, aku kan selalu cerita padamu." Rin masih menatapku ragu.

"Aku tidak apa-apa, sungguh." Kukeluarkan senyumku untuk meyakinkannya. Sebenarnya, aku sedang tidak ingin tersenyum. Rasanya berat untuk tersenyum di saat seperti ini. Saat kau sedang merasa kacau dengan perasaanmu sendiri.

"'Selalu?' Len, kau, kan tidak pernah curhat lagi padaku sejak lima tahun yang lalu, saat kita pertama kali masuk SMP. Mungkin kau tidak menyadarinya." Rin mengakhiri pembicaraan itu dengan memutar badan dan berjalan kembali menuju sekolah.

Di belakangnya, aku tertegun. Benarkah begitu? Sudah selama itu kah aku tidak membuka diri lagi kepada Rin? Mungkin begitu, karna sewaktu kami masuk SMP, banyak anak-ingusan-bodoh yang mengincar Rin-ku. Meskipun Rin tidak menanggapi mereka, aku tetap tidak suka. Aku tidak cemburu, karna setiap saat akulah yang selalu berada di sampingnya. Aku tidak mau perasaan terlarang ini di sadari Rin. Hei, kami kembar, jangan lupa. Kami memiliki kontak batin. Rin bisa saja tahu tentang perasaanku ini.

Aku memasukkan kedua tanganku ke saku celana dan mulai melangkah, menyusul Rin.

Hah…


Beberapa bulan berlalu. Di awal semester ini, sekolah kami kedatangan guru baru. Guru kimia. Seorang laki-laki muda yang baru saja lulus dari universitas terkenal. Guru baru muda yang tampan, yang menjadi santapan murid-murid perempuan di sekolah kami. Tapi, tetep, gue yang paling ngetop satu sekolahan.

"Len, bagaimana liburanmu kemarin? Ku dengar kau pergi ke Sapporo bersama keluargamu, ya? Bagaimana Sapporo sekarang?" Neru, gadis berambut emas panjang memulai pembicaraan itu. Sebagai kepribadian yang di kenal supel dan ramah, tentu aku harus meladeni gadis judes yang katanya ketua Kagamine Len FC. Sungguh memalukan.

"Ahahaha, Sapporo tidak ada yang berubah di Sapporo. By the way, tahu darimana kemarin aku ke Sapporo?"

"Kami kan, memata-matai rumahmu 24 jam." Jawabnya jujur tanpa tahu malu. Aku sweatdrop.

"Serius?"

"Tidak." Neru masih mempertahankan senyuman nya. Aku menghelas nafas lega diam-diam. Dasar gadis freak!

"Hahaha, Neru, tidak baik mempermainkan idola kita ini." Haku, ketua kelas kami. Ia datang mengahampiri aku dan Neru. Gadis yang cantik tapi kalem, juga dewasa. Dia terlihat seperti ibu-ibu di mataku. Ah, maksudku, karena sifatnya yang keibuan. Tapi gadis ini sangat ceroboh. Dia mudah sekali tersandung sesuatu yang kasat mata maupun tidak.

"Haku juga senang, kan, bermain dengan Len?" Neru tampak membela diri. Haku menatap ke arahku dan tersenyum. Ya, dia memang selalu tersenyum.

"Ya, aku suka 'bermain' dengan Len." Ujarnya dengan sejuta makna di baliknya. Aku membalas senyumannya itu.

"Shion-sensei!"

Aku memutar kepalaku tiba-tiba. Gerakanku yang mengejutkan itu membuat kedua gadis di depanku ikut mengok ke arah pintu kelas.

"Itu Rin dan Shion-sensei."

"AKhir-akhir ini bukankah ia jadi lebih dengan Shion-sensei?"

"Eeeh, serius? Shion-sensei menanggapi Rin? Wah, senpai kelas tiga bisa ngamuk, nih." Neru mengatakannya sambil mengeluarkan cengiran khasnya. Aku tidak mengalihkan pandanganku dari Rin.

Rin.

Memang benar, Rin jadi lebih dekat dengan sensei baru itu. Rin sepertinya jatuh cinta pada laki-laki itu. Lihat, wajahnya terlihat tersipu-sipu dan bahagia saat berbicara dengan orang itu. Rin tidak pernah berekspresi seperti itu ketika bersamaku. Memang, dia sering tertawa bahagia di depanku. Tapi, itu adalah wajah seorang perempuan yang sedang jatuh cinta. Tidak mungkin ekspresi itu di berikan kepadaku.

Pikiranku terasa kacau. Kalau orang sedang kacau, memikirkan apapun jadi tidak benar, kan? Aku tidak sadar saat Haku pamit ke toilet. Tak lama, ada pesan masuk ke ponselku.

Kalau kau tak ada acara, temani aku nanti malam di tempat biasa, ya.

Aku terdiam. Ketika aku menoleh lagi ke arah Rin, ia sedang berjalan bersama Shion-sensei, entah ke mana. Melihat itu, pikiranku semakin kacau. Aku membuang pandanganku ke LCD ponsel. Tanpa pikir panjang, aku mengetik balasan untuk Haku.

Aku bisa. Tunggu aku jam 9 malam, tidak apa-apa, kan?

Sejak masuk SMA, aku mulai tidak tahan berada di rumah. Aku mulai tidak bisa menahan gejolak di dadaku bila dekat Rin. Sungguh, aku tidak tahan untuk memeluknya, dan berteriak di di depan wajahnya kalau aku sangat mencintainya lalu menciumnya dengan seluruh perasaanku.

Karena itu, aku mulai mencari sebuah permainan. Permainan yang bisa mengalihkan perasaan dan segala hasratku terhadap Rin. Tidak bisa dengan sekedar mematikan hati dan perasaan bila sedang di rumah. Akupun mulai ikut berbagai ekskul. Selalu pulang malam.

Sebisa mungkin, aku menghindari Rin.

"Ayo masuk." Suara Haku yang lembut menyadarkanku. Akhir-akhir ini, aku jadi lebih sering bengong, tapi sepertinya tidak mengurangi ketampananku. Buktinya Haku jadi sering memanggilku ke rumahnya kalau sepi.

Aku masuk dan melepas sepatu ku.

"Kali ini bilang apa sama orang tuamu?" tanya Haku sambil menyuguhkan sekaleng coca cola. Aku tertawa sambil membukan segelnya.

"Sepertinya mereka sudah tidak peduli lagi denganku. Katanya, 'Ya, sesukamu lah.'"

Haku ikut tertawa. "Benar tidak apa-apa begitu? Nanti kau tidak boleh keluar malam lagi, lho." Haku mulai pindah ke pangkuanku dan mengelus rambut pirangku.

"Tenang saja," aku meletakkan kaleng coca cola di atas meja kecil di sampingku dan memeluk pinggang Haku. Ia sedikit menggeliat kegelian.

"Kalau tidak boleh, aku tinggal kabur dengan cara lompat dari jendela kamarku atau tidak pulang ke rumah sepulang sekolah. Aku bisa kan, kabur ke rumahmu?" mataku menggerling nakal.

Haku tertawa kecil. "Aku suka 'Len anak nakal'."

Tak lama, lidah kami saling bertautan.


"Len, kenapa sih, Len jadi jarang di rumah begini?"

Rin menatap foto dirinya dan Len ketika mereka baru masuk SMA. Kedua tangannya yang di tangkupkan kini menyangga dagunnya. Matanya terpejam.

"Aku kangen Len yang dulu…"


To Be Continue

Ano, begini, saya tidak pintar mengakhiri satu chapter. Jadi, kalau readers merasa bête dengan ending chapter 1 yang seperti ini, maaf… *pundung*

Ayo, berikan Review kalian! Keluarkan uneg-uneg kalian terhadap fict ini!