The Way I Love You, chapter 1

Disclaimer : always belong to Kishimoto Sensei ne~

Pair : SasuNaru

Rated : T

Genre : family dan romance mungkin?

Warning : AU. DON'T LIKE, DON'T READ! Shounen Ai, Yaoi, Typo, OOC, gaje, berantakan, amburadul, dll, dkk, dst.

Author Notes : Ide dadakan seperti fic-fic sebelumnya. Semoga idenya bisa diterima dan dipahami.. *sadar diri kalau ide selama ini abal dan membingungkan* Seperti biasa, saya ulang warning di atas, biar ga ada reader yang 'nyasar' : DON'T LIKE DON'T READ! .

Enjoy It!

#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#*#

Dengan langkah ringan, dua lelaki itu memasuki halaman sebuah kediaman yang tak bisa dibilang sederhana. Si lelaki pirang bahkan sudah berdecak kagum sedari tadi.

"Tadaima.." ucap lelaki berambut hitam kebiruan sembari membuka pintu.

"Okaeri.. Kau sudah datang, Sasuke?" balas seorang wanita anggun dari dalam rumah.

"Hn. Ayo masuk, Dobe," ucap lelaki bernama Sasuke sembari menginjakkan kaki di lantai kayu khas kediaman Uchiha.

Lelaki bernama Namikaze Naruto –yang tadi dipanggil 'Dobe'– menggembungkan pipinya sebal sebelum akhirnya mengikuti langkah lelaki di hadapannya. Mereka menuju ruang keluarga, yang ternyata sedang 'dikuasai' kakak Sasuke, Uchiha Itachi.

"Hei, kau jadi pulang ternyata, Otouto," sapa Itachi sembari menatap adik satu-satunya itu. "Dan selamat datang di kediaman Uchiha, Naruto."

Naruto tersenyum manis dan membungkukkan badannya sesaat. Lelaki pirang itu sudah mengenal Itachi dengan baik, karena Itachi adalah seniornya –juga senior Sasuke– di kampus, dan Itachi juga adalah kekasih kakak sepupunya, Deidara. Sasuke mempersilakan Naruto duduk di sofa yang ada, berhadapan dengan Itachi yang nampak asyik menyaksikan acara televisi.

"Ah, sayang sekali Dei-chan tak bisa ikut menginap disini. Padahal pasti seru kalau kita berempat bisa menghabiskan liburan bersama," keluh Itachi.

"Hn. Dan kalian akan mengganggu tidurku setiap malam dengan suara-suara 'aneh', " celetuk Sasuke yang segera mendapat balasan lemparan majalah dari Itachi.

"Jangan katakan hal seperti itu di depan pacarmu, Otouto!"

Naruto hanya terkikik pelan melihat pertengkaran kecil kedua Uchiha muda itu. Tak lama kemudian, Mikoto, ibu Sasuke, datang sembari membawa nampan berisi empat gelas jus dan kue kering.

"Ah, ini kah Naruto yang sering diceritakan Sasuke?" tanyanya sembari memindahkan isi nampan ke atas meja.

"Eh? I-iya, namaku Namikaze Naruto. Yoroshiku onegaishimasu," ucap Naruto gugup sembari bangun dan membungkukkan badan sesaat.

"Kau boleh memanggilku 'kaasan' kalau kau mau, Naruto," balas Mikoto sembari tersenyum manis, membuat wajah Naruto dihiasi semburat merah tipis.

"Tousan belum pulang, kaasan?" tanya Sasuke kemudian.

"Belum, tapi dia berjanji akan makan malam bersama kita di rumah. Kau menginap berapa hari disini, Naruto?"

"Umm.. Rencananya sih hanya tiga hari, tapi Sasuke memaksaku menginap seminggu," jawab Naruto sembari melirik kearah Sasuke yang asyik menenggak jus tomatnya.

"Kita kan memang libur seminggu, Dobe. Lagipula, masa kau menginap di hotel, padahal aku yang mengajakmu ke kota ini," ucap Sasuke.

"Jangan memanggilku 'Dobe', Teme! Memang kenapa kalau aku menginap di hotel? Toh aku tak akan memintamu untuk membayar biayanya," sungut Naruto.

"Aku yang mengajakmu mengunjungi kota ini, jadi aku bertanggung jawab kalau sampai sesuatu terjadi padamu. Lebih baik kau tinggal disini, toh kaasan dan tousan tidak keberatan," Sasuke membalas lagi.

Naruto hanya merengut kesal. Dia memang bukan berasal dari kota ini. Kota ini adalah tempat asal Sasuke, sementara Naruto berasal dari kota dimana mereka menjalani aktifitas kuliah. Liburan persiapan UAS kali ini, Sasuke mengajak Naruto ke kota asalnya, karena Naruto meminta Sasuke untuk membantunya belajar. Wajar Naruto meminta bantuan Sasuke, lelaki emo itu adalah pemengang IP tertinggi di kelasnya.

"Kami ke kamar dulu untuk menyimpan barang-barang kami dan beristirahat, kaasan. Kami akan turun saat makan malam," ucap Sasuke sembari membawa tasnya dan menarik tangan Naruto.

"Permisi, bibi.." pamit Naruto.

Mereka segera naik ke lantai dua dan masuk ke kamar Sasuke. Sebenarnya ada kamar tamu, tapi berhubung mereka akan belajar bersama, maka Sasuke memutuskan agar Naruto tidur di kamarnya.

Mikoto memperhatikan Sasuke dan Naruto sampai keduanya naik ke lantai dua. Dia lalu menatap Itachi yang asyik menonton acara musik sembari ngemil.

"Ternyata selera kalian mirip; lelaki dengan rambut pirang dan mata biru," cetus Mikoto, membuat Itachi tersedak.

Buru-buru Itachi menyambar gelas jus miliknya dan meminumnya. Dia lalu menatap ibunya yang tengah duduk santai sembari membaca majalah wanita.

"Apa kaasan keberatan dengan pilihan kami?" tanyanya takut-takut.

"Hmm.. Kaasan tidak bisa keberatan dengan pilihan kalian. Selama kalian bahagia dan bisa mempertanggung jawabkan keputusan kalian, kaasan akan mendukung. Lagipula kalian bukan lagi anak kecil. Kalian pasti tahu apa yang terbaik untuk kalian kan?"

"Syukurlah.. Aku kira kaasan keberatan dan tidak merestui kami," tutur Itachi sembari mengelus dada. "Tapi kaasan.. Naruto itu.." Itachi menggantungkan ucapannya.

"Hn? Kenapa dengan Naruto?" tanya Mikoto heran.

"Ah, tidak. Biar Sasuke yang menjelaskannya nanti."

.

Acara makan malam kali ini amat ramai dan ceria. Sasuke baru menyadari kalau ternyata ayahnya, Uchiha Fugaku, mempunyai selera humor yang sesuai dengan selera humor Naruto.

"Jadi kau satu kelas dengan Sasuke, Naruto?" tanya Fugaku.

"Tidak, paman. Sasuke kan di kelas unggulan A1, sedangkan saya di kelas A2," jawab Naruto sopan.

"Oh, begitu. Tapi kalian sama-sama masuk kelas unggulan A kan?"

"Err.. memang sih. Tapi A1 itu unggulan pertama, dan kelasku hanya unggulan kedua."

"Kenapa kau tidak masuk ke kelas A1 saja, Naruto? Padahal IP-mu di semester-semester awal kan jauh dari kata buruk," tanya Itachi santai.

"Ah, itu.. aku tidak percaya diri untuk masuk ke kelas A1 yang 'penuh tekanan'. Belum lagi jadwal kuliahnya selalu mepet. Kelas A2 lebih santai, walaupun sama-sama kelas unggulan."

"Hn. Bilang saja kalau kedisiplinanmu payah, Dobe," celetuk Sasuke cuek.

"Aku tidak pernah terlambat masuk kuliah ataupun membolos, Teme! Kedisiplinanku tidak payah!" sergah Naruto.

Fugaku menatap heran kearah keduanya. Naruto yang mendapatkan tatapan seperti itu jadi salah tingkah.

"Ma- maaf, paman. Kata-kataku tadi tidak sopan," ucap Naruto.

"Tidak, tidak."

"Eh?"

"Aku hanya kaget.. Baru kali ini aku melihat sifat Sasuke yang kekanakan," tutur Fugaku. "Ternyata Mikoto benar, kau dan Deidara-san telah merubah Sasuke dan Itachi menjadi lebih 'hidup', " lanjutnya sembari menatap Mikoto dan tertawa pelan.

Sasuke dan Itachi, yang mendengar perkataan ayah mereka, saling melirik dan mengangkat sebelah alis.

# # #

"Gochisousama deshita~" seru Naruto sembari menepuk-nepuk perutnya yang sudah penuh. Sasuke mendengus pelan.

"Kau jauh-jauh ke kota ini, tapi tetap saja memakan makanan tidak sehat seperti ini. Baka Dobe."

"Ramen itu sehat, Teme! Seleramu saja yang payah, tidak bisa menikmati kelezatannya," cibir Naruto.

Hari ini Sasuke mengajak Naruto mengelilingi kota. Karena hari ini adalah hari pertama mereka 'libur', jadi mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari semua hal yang berkaitan dengan kuliah mereka. Selesai makan siang, mereka pergi ke arena game online dan menghabiskan waktu disana hingga sore hari tadi.

"Apa tidak apa-apa kita tidak ikut makan malam di rumahmu, Teme?" tanya Naruto khawatir karena mereka belum juga pulang, padahal ini sudah pukul tujuh malam.

"Hn. Aku sudah bilang kalau kita pulang terlambat."

"Oh, baiklah. Lalu kita mau kemana, Teme?"

"Di alun-alun kota ada pasar malam. Kupikir kau akan menyukai tempat itu."

Mata biru Naruto langsung berbinar begitu mendengar kata 'pasar malam'. Dengan semangat dia menarik tangan Sasuke dan segera memintanya menunjukkan jalan ke alun-alun kota.

"Waaah~" Naruto menatap takjub alun-alun kota yang diubah sedemikian rupa sehingga menjadi pasar malam yang indah dan ramai.

"Benar kan perkiraanku," cetus Sasuke begitu melihat reaksi Naruto.

"Ayo kita masuk, Teme!" ajak Naruto yang lagi-lagi menarik tangan Sasuke.

.

Sasuke memapah Naruto ke kamar mereka di lantai dua. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan mereka baru sampai di rumah. Keadaan sudah sepi, mungkin semuanya sudah tidur. Beruntung Sasuke selalu membawa kunci duplikat, jadi mereka tak perlu menggedor pintu.

"Naruto, kau kenapa?" tanya Mikoto yang melihat Naruto menaiki tangga dipapah Sasuke.

"A- ah, tidak apa-apa, bibi. Hanya sedikit sakit karena terlalu lelah," jawab Naruto yang terkejut.

Mikoto membantu Sasuke dan membukakan pintu kamar. Sasuke mendudukkan Naruto diatas tempat tidur, kemudian dia berlutut di depan lelaki pirang itu.

"Kaasan, tolong ambilkan es atau alkohol," ucap Sasuke.

"Iya, tunggu sebentar ya," Mikoto segera turun ke lantai dasar dan mengambilkan apa yang diminta anaknya.

Dengan perlahan, Naruto melipat celana jeansnya sembari meringis pelan. Ternyata kakinya memang tidak bisa digunakan terlalu lama. Sasuke membantu Naruto melepas rangka penyangga yang digunakan oleh Naruto untuk membantunya berjalan.

"Aku kan sudah mengingatkanmu berkali-kali, Dobe," ucap Sasuke kesal.

"Aku tidak apa-apa kok, Teme. Kau tidak perlu sekhawatir itu," balas Naruto yang masih menahan sakit.

Sasuke menyimpan rangka penyangga itu di bawah tempat tidurnya. Dengan perlahan, dia memijat kaki Naruto yang terlihat membiru. Naruto hanya mampu meringis dan menahan sakit. Rasa sakitnya makin hari makin bertambah parah.

"Ini es-nya, Sasuke. Ya ampun, kakimu sampai biru-biru begitu. Kalian habis darimana memangnya?" tanya Mikoto khawatir.

"Kami hanya jalan-jalan ke pasar malam kok, bibi. Kakiku mungkin kelelahan, jadi—auch!" ringis Naruto begitu Sasuke menempelkan es yang sudah dibungkus kain ke kakinya.

"Kau yakin ini tidak perlu dibawa ke rumah sakit?" tanya Mikoto lagi.

"Kalau besok masih seperti ini, aku sendiri yang akan menyeretnya ke rumah sakit. Kaasan tenang saja," tutur Sasuke datar.

"Lebih baik bibi tidur duluan, aku tidak apa-apa kok. Aw!" ucap Naruto yang kembali meringis.

"Baiklah. Kalau ada apa-apa, segera ke kamar kaasan ya. Oyasumi.."

Mikoto melangkah meninggalkan kamar. Sasuke masih mengompres kaki Naruto. Setidaknya cara ini bisa sedikit meredakan rasa sakit. Beberapa saat kemudian, Naruto menepis lembut tangan Sasuke.

"Aku sudah baik-baik saja, Sasuke."

"Hn."

Sasuke lalu bangkit dan segera mengganti bajunya dengan piyama, begitu pula Naruto. Sasuke lalu menggelar futon dan membiarkan Naruto tidur di tempat tidurnya, seperti kemarin.

"Kenapa kau tidur dibawah, Teme? Tempat tidurmu kan cukup untuk ditempati berdua," tanya Naruto yang sudah membaringkan tubuhnya.

"Lalu?"

"Kau kan bisa tidur disebelahku."

"Dan kau mau 'sesuatu' terjadi selama kau tidur, hn?" tanya Sasuke dengan seringai di bibirnya.

"A- apa? Dasar Teme mesum!"

Naruto melemparkan bantal kearah Sasuke dengan kesal, kemudian menyembunyikan tubuh –beserta wajahnya yang memerah– dibalik selimut. Sasuke menangkap bantal itu dan mendengus geli.

# # #

Seperti sore-sore sebelumnya, sore ini pun Sasuke memulai aktifitas 'mengajar'nya. Sudah empat hari Naruto menginap di rumahnya. Sejauh ini Naruto bisa beradaptasi dan dekat dengan anggota keluarganya, karena pada dasarnya Naruto adalah anak yang supel.

Dengan sabar Sasuke menjelaskan mengenai Syntax dan Linguistik. Jurusan Sastra yang mereka pilih ternyata memang cukup menyulitkan bagi Naruto yang sebenarnya lemah dalam hal hafal-menghafal.

"Jadi, yang harus kau perhatikan adalah.." Sasuke melirik kearah Naruto yang menyandarkan tubuh bagian atasnya ke meja. "Dobe?"

Tak ada respon. Sasuke menusuk-nusukkan ujung bukunya ke bahu Naruto, namun tetap tak ada respon.

'Apa dia tidur?" batin Sasuke.

"Sasuke.. Aku.. Ukh.." rintih Naruto pelan, namun masih terdengar oleh Sasuke.

"Kau kenapa, Dobe?" tanya Sasuke sembari memegang bahu Naruto. "Panas. Dobe, badanmu panas!" seru Sasuke.

"Kakiku.. Ukh.."

Sasuke segera menarik lengan Naruto dan memapahnya. Lelaki pirang itu kemudian dibaringkan di atas tempat tidur. Wajah Naruto memerah dan beberapa bulir keringat membasahi dahinya. Sementara itu, mulutnya masih merintih.

"Kakimu sakit lagi, Dobe?"

Naruto membuka matanya yang sejak tadi terpejam dan mengangguk lemah. Dia sedang berusaha menahan rasa sakit yang semakin menjadi di kakinya. Ternyata pain killer yang rutin diminumnya beberapa hari terakhir tak bisa meredakan rasa sakit ini.

"Kau tunggu disini!" perintah Sasuke, kemudian lelaki pucat itu melesat keluar dari kamar, menuruni tangga, dan berjalan tergesa ke dapur.

"Ada apa, Sasuke?" tanya Mikoto yang heran melihat sikap anaknya yang memindahkan banyak es dari kulkas ke mangkuk.

"Naruto demam. Sepertinya karena sakit di kakinya yang makin menjadi," jawab Sasuke sekenanya, sebelum kembali melesat ke kamar.

Mikoto pun mengikuti langkah anak bungsunya. Dia terkejut ketika melihat Naruto yang berbaring dengan nafas memburu dan wajah memerah. Dengan nalurinya sebagai seorang ibu, wanita itu segera mengambil plester kompres dan menempelkannya di dahi Naruto. Dia juga memeriksa suhu tubuh Naruto dengan termometer.

Sasuke sendiri mulai melipat celana panjang selelah kiri yang dikenakan Naruto sebatas lutut. Perlahan, dia melepas rangkaian rangka titanium yang terpasang disana.

"Sasuke.. Kaki Naruto.." Mikoto tak bisa melanjutkan pertanyaannya. Dia terkejut ketika melihat alat yang digunakan Naruto untuk menyangga kakinya.

.

Fugaku duduk berhadapan dengan anaknya. Dia baru pulang beberapa saat yang lalu, kemudian dia mendengar cerita Mikoto kalau Naruto sakit. Sasuke sudah bisa menebak topik pembicaraan yang akan mereka bahas kali ini. Pasti tentang—

"Sebenarnya kaki Naruto kenapa, Sasuke?"

—masalah ini.

Sasuke menatap lurus ayahnya. Dia memang tidak bercerita mengenai Naruto yang memiliki sedikit perbedaan dengan orang-orang pada umumnya. Toh dia pikir kalau hal itu tak penting untuk diketahui orang lain. Tapi sekarang dia harus menceritakannya panjang lebar.

"Kakinya cidera. Tulang keringnya patah karena kecelakaan setahun yang lalu."

"Maksudmu Naruto cacat?"

Sasuke menatap tajam ayahnya. Dia tak pernah suka kalau ada yang berkata kalau Naruto cacat—walaupun kenyataannya bisa dibilang seperti itu.

"Apa itu penting, tousan?"

Fugaku menghela nafas berat. Dia sendiri cukup terkejut ketika mendengar ucapan Mikoto kalau Naruto selama ini menggunakan rangka penyangga untuk membantunya berjalan. Selama Naruto di rumah ini, Fugaku sama sekali tak melihat kalau Naruto memiliki masalah dengan kakinya. Naruto bahkan sama hyperaktifnya dengan remaja lain.

"Kenapa kau tidak memberitahukan kami tentang kekurangan Naruto, Sasuke?"

"Karena kalian tak perlu mengetahuinya. Kupikir kalian akan berfikiran dan bersikap sama seperti orang-orang jika mengetahui keadaan Naruto yang sebenarnya."

"Dan kalau aku memang berfikiran dan bersikap sama seperti mereka?"

"Aku akan menyimpulkan kalau tousan akan memintakku untuk menjauhi Naruto dan mengakhiri hubungan kami."

Mereka kembali terdiam. Sasuke memang sengaja tidak memberitahukan hal ini. Dia takut, dia terlalu takut hal ini akan mengganggu dan mengacaukan hubungan yang sudah dijalinnya selama hampir satu tahun ini.

"Dan kalau aku melakukan itu, kau pasti tahu kalau itu adalah untuk kebaikanmu sendiri. Aku tak ingin kau menyesal di kemudian hari karena hal ini."

TBC