A/N: Hi Minna! Ini Fic pertama Ran. Mohon dimaklumi kalau ada kesalahan-kesalahan yang membuat Minna merasa terganggu selama baca Fic ini. Dan lagi, Fic ini Ran dedikasikan buat NekoTama-chan sebagai ucapan terima kasih karena sudah memberikan banyak saran dan juga karena semua hal yang telah diajarkannya pada Ran. Ran juga akan berusaha semampu Ran untuk membuat Fic ini jadi Fic yang tidak membuat Minna kecewa.
Enjoy!
Disclaimer: Ran does not own Gakuen Alice. Tachibana Higuchi sensei does.
Summary: Dua tahun lalu, dia telah kehilangan orang yang penting dalam hidupnya. Laki-laki yang pernah dicintainya telah pergi untuk selamanya. Sekarang, Sakura Mikan, Mahasiswi di Universitas Alice, dapat kesempatan untuk bertemu orang itu lagi. Atau begitulah pikirnya…
Two Years Earlier.
Seorang laki-laki berambut raven sedang terbaring lemah di sebuah kamar dengan tempat tidur kecil yang cukup untuk menopang berat badannya. Di hidungnya tertempel Infus untuk bantuan pernafasannya, dan di samping tempat tidur terdapat sebuah meja dengan monitor yang mengamati perkembangan detak jantungnya. Di sekelilingnnya putih, dengan dinding bewarna putih, juga gorden putih yang membuatnya cocok dengan warna bagian dinding bersamaan dengan warna selimut yang digunakan untuk menjaganya agar tetap hangat.
Di sampingnya, tampak seorang wanita berambut sama dengannya sedang menggenggam tangannya yang lemah dengan erat, seolah tak mau tangan tersebut hilang dari genggamannya sewaktu-waktu. Wanita tersebut memandang wajah sang laki-laki—yang kini sedang tertutup matanya—dengan pandangan mata yang basah dan penuh kekhawatiran sebelum menutupnya perlahan. Bertahanlah, bisiknya dalam hati, berdoa agar keajaiban datang menghampirinya dan mengabulkan harapannya.
Bertahanlah…aku mohon…bertahanlah. Jangan tinggalkan aku sendiri…buka matamu…kumohon…
Seolah mendengar doa wanita tersebut, sang lelaki membuka matanya perlahan, mengedipkan matanya untuk beberapa saat agar dapat mengatur penglihatannya dengan jelas. Hal pertama kali yang ia lihat dengan bola mata crimson-nya itu adalah seorang wanita yang sedang menggenggam erat tangan kirinya dengan kedua tangannya, yang begitu kecil jika dibandingkan dengan tangan laki-laki tersebut.
Mata wanita tersebut terpejam, tidak merasakan kalau orang yang berbaring di sampingnya telah membuka mata. Air mata mengalir dari sudut matanya, membasahi pipi dan jatuh ke tangan laki-laki yang digenggamnya itu. Walaupun sudah berusaha untuk menahan air matanya untuk tidak keluar, tetapi tetap saja gagal. Menahan air mata untuk tidak jatuh sungguh sangatlah tidak mudah baginya.
Terutama di saat tahu seseorang yang ia sayangi akan pergi meninggalkannya.
Selamanya.
Lelaki tersebut memperhatikan wanita yang ada di sampingnya secara seksama dengan kedua bola matanya yang berwarna merah yang bagaikan nyala api. Perlahan, namun pasti, dia tersenyum lemah sambil menggerakkan jemarinya untuk balik menggenggam jari kecil yang menggenggam tangannya.
"Ibu…" bisiknya lemah.
Wanita yang dipanggilnya 'ibu' itu langsung membuka matanya dan menolehkan kepalanya dengan cepat setelah mendengar suara orang yang sedang ia tunggui itu, memanggil dirinya. Matanya terbelalak kaget melihat laki-laki berambut raven di sampingnya akhirnya membuka mata, menatapnya sambil tersenyum lemah. Dia tak bisa lagi menahannya, dan akhirnya air matapun berlinangan. Dia tersenyum cerah dengan penuh kegembiraan meskipun bulir-bulir air mata telah membasahi pipinya. "Kau…bangun...akhirnya kau bangun…" ujarnya, mengangkat sebelah tangannya untuk membelai pipi laki-laki itu dengan lembut.
"Bagaimana…aku bisa disini…?"
"Ibu yang membawamu kesini," jawab wanita tersebut—yang diketahui bernama Kaoru—masih menyadari air matanya terus bercucuran. "Waktu itu ibu baru saja pulang selesai bekerja dan…ibu menemukanmu di rumah terbaring di lantai…kau kehilangan kesadaranmu," tambahnya. Wajah yang tadinya dipenuhi senyum kegembiraan—meskipun pipi dibasahi air mata—berubah menjadi wajah dengan senyuman rapuh yang penuh kesedihan. Apa boleh buat, 'kan? Kaoru benar-benar khawatir dengan keadaan anaknya itu.
Laki-laki berambut raven tersebut mendesah. "Jangan menangis bu…" pintanya pelan, tidak ingin melihat tangisan di wajah ibunya yang penuh luka dan rasa khawatir. Dia paling tidak bisa menghadapi seseorang yang menangis di hadapannya. Apalagi orang itu adalah ibunya. Dan melihat ibunya menangis seperti itu hanya akan menambah hatinya jadi semakin teriris dari yang sudah-sudah.
Tapi, mau bagai mana lagi? Dia tahu, dan ibunya, Kaoru, juga sudah tahu.
Bahwa hidupnya tak akan lama lagi.
"Kenapa…" mulai Kaoru, "Kenapa kau…tidak mengatakannya pada ibu…? Kenapa kau…bisa-bisanya kau…menyembunyikannya dari ibu…" katanya lagi di sela-sela isakkannya dengan suara berat yang membawa kekecewaan sekaligus ketakutan. "Kenapa…?" Kaoru berhenti sebentar sebelum menghela nafasnya cepat. "Ryu…"
Ryu menutup matanya sesaat sambil mengusap tangan ibunya—yang sedang ia genggam—dengan lembut untuk menenangkan ibunya. Meskipun dia tahu hal itu mungkin tidak akan mempan, tapi dia harus melakukannya. Paling tidak dia mencoba.
Ibunya benar-benar sudah tahu keadaannya yang sebenarnya.
"Maaf…" kata Ryu. "Bukan maksudku untuk menyembunyikannya dari ibu…aku hanya tidak mau…semua orang khawatir dengan keadaanku yang lemah, terutama ibu, Mikan…dan juga 'dia'." kata-kata bagian akhir berubah menjadi bisikan untuk dirinya sendiri, ia membuka matanya, menatap ibunya tepat di mata.
"Tapi, paling tidak, katakan pada ibu! Ibu…kalau kau tidak mengatakannya pada ibu…ibu…!" Suara isakkan Kaoru meninggi, "Ibu nggak akan tahu kalau kau sedang menderita! Ibu nggak akan tahu kalau kau kesakitan sendirian…" Kaoru menggigit bagian bawah bibirnya untuk menahan isakkannya. "Ibu juga…terlalu bodoh sampai-sampai tidak menyadari penderitaanmu…ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan ibu…ibu…ibu memang bodoh!" lanjutnya dengan cepat, menutup kedua matanya dengan erat. Kaoru tahu, berapa kalipun dia ingin menyalahkan dirinya, tak 'kan ada yang bisa berubah. Semua yang ia lakukan dan apapun yang ingin ia katakan saat ini tak 'kan merubah apapun. Tak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain meminta maaf. "Maafkan ibu…maaf…"
Dan baginya, kata-kata yang terlontar dari mulutnya barusan juga tidak akan membuat semuanya baik-baik saja. Dia hanya ingin anaknya itu tahu kalau dia benar-benar menyesali kebodohannya. Tidak menyadari sakit yang selama ini diderita anaknya. Dia tak ingin ini semua terjadi, juga tidak rela semua ini terjadi.
"Ibu…sudahlah…tak ada yang menyalahkan ibu. Aku sama sekali tidak menyalahkan ibu…tak ada—" Ryu mengambil nafas panjang, dan kemudian menghembuskannya perlahan. "—Tak ada yang perlu disalahkan. Semua sudah jadi takdirku…semua yang sudah kulalui selama ini sudah jadi garis hidupku…kesedihan, kegembiraan, penderitaan, dan bahkan rasa sakit yang aku alami sekarang ini sudah jadi bagian dari perjalannanku." Kaoru mengangkat wajahya perlahan hanya untuk melihat Ryu ternyata juga sedang memandanginya sambil tersenyum, membuat wajahnya—yang walaupun sedikit lusuh—terlihat bersinar. Senyuman hangat yang tertempel di wajah tampan itu begitu membuatnya semakin mempesona. Menghangatkan siapapun yang melihatnya.
"Aku senang sekali bisa melewatkan waktuku bersama ibu, bisa tinggal sama-sama ibu…" lanjut Ryu. "Aku selalu bersyukur karena aku memiliki ibu yang selalu menyayangiku, tidak masalah apapun yang terjadi. Aku juga bersyukur karena aku memiliki seseorang seperti Mikan yang selalu ada di sampingku." Ryu tertawa kecil dengan lembut lalu memandang ke arah langit-langit, matanya menerawang jauh mengingat memori bahagia yang terus melekat di pikirannya. "Seharusnya aku mengatakan ini pada orangnya langsung, tapi… Aku mencintai Mikan dari dasar hatiku yang paling dalam. Mikan adalah anugrah bagiku. Mikan yang ceria, selalu semangat, optimis, baik hati, juga sangat aktif…dan senyumnya yang khas itu…membuat perasaanku padanya semakim dalam setiap kali melihatnya." Meskipun masih lemah, Ryu tetap berusaha untuk bicara. Ada banyak sekali hal yang ingin ia sampaikan dalam keadaannya yang seperti ini.
'Mikan… Jiwa dan juga ragaku… Milikku...' batin Ryu sambil tersenyum bangga. Tapi, tiba-tiba sesuatu membuat senyumnya perlahan-lahan sirna. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya, dan bodoh sekali bagi Kaoru kalau dia tidak menyadari perubahan yang ada di wajah Ryu yang secara tiba-tiba itu.
"Ryu…"
"Ibu…aku…" tapi Ryu tidak melanjutkan kata-katanya. Ryu tak mau membuat Ibunya semakin bersedih.
Penyakit kankernya sudah mencapai di stadium akhir. Dan itu artinya, tak ada lagi harapan buat Ryu. Awalnya, semenjak tahu dirinya terkena kanker, Ryu tetap berpikir optimis.
Dirinya akan baik-baik saja.
Dirinya akan terus baik-baik saja.
Tak akan ada yang bisa menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya saat itu.
Tapi, kenyataan disadarinya. Bahwa manusia suatu saat akan menemui ajalnya, cepat atau lambat. Dan dirinya pun harus mengerti dan merelakan itu semua. Tubuhnya yang semakin melemah membuktikan teori itu. Dan rasa optimis yang dibangunnya pun semakin lama semakin runtuh. Di saat itulah Ryu mulai menyerah dan menjauhi dirinya dari apapun yang ada di sekitarnya. Dengan kata lain, dia mengasingkan dirinya sendiri.
Takut, kalau ia tak bisa melepaskan apa yang sudah dimilikinya. Kasih sayang yang diterimanya, cintanya, ikatannya dan semua yang menjadi kekuatannya.
Ibunya
Mikan, kekasihnya
Teman-temannya
Dan 'dia'…yang selau ditunggui kedatangannya.
Tapi, ketakutannya itu sama sekali tak beralasan, begitulah pikirnya sampai suatu hari. Apa yang dia pikirkan? Dia memiliki Ibu yang selalu sungguh-sungguh menyayanginya dengan sifat keibuannya—yang walaupun terkadang dengan sifat kekanak-kanakannya. Mikan yang selalu di sampingnya, memberinya kekuatan dengan senyumannya, juga teman-teman yang selalu mendukungnya. Walaupun mereka—dulunya—tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi cepat ataupun lambat, mereka semua akan tahu. Contohnya seperti sekarang ini, Ibunya telah menemukan kebenarannya, dan juga teman-temannya akan datang dengan berita tentang penyakitnya.
Dan dia harus menghadapi hari dimana dia harus melepaskan semuanya. Mereka semua juga harus merelakan dirinya, Seperti dirinya yang mulai merelakan semuanya.
Moving On
By
Ran Ishibazaki
Chapter 01
Present Time.
"Mikan…"
Seorang gadis berumur 19 tahun sedang berdiri di depan sebuah makam. Di belakanganya tampak beberapa orang sedang berdiri tidak jauh dari tempat sang pemilik rambut panjang sepinggang berwarna brunette tersebut. Mereka baru saja selesai berziarah ke makam orang yang pernah ada dalam mengisi waktu mereka. Makam orang yang dulunya selalu bersama-sama mereka dan juga makam orang yang yang dulunya sang brunette cinta.
Sekarang pun…perasaan itu masih sama.
"Aku masih ingin disini," jawab sang brunette.
Mereka berempat memandangi gadis yang ada di depan mereka dengan pandangan yang penuh arti. Yuka menepuk bahu Kaoru yang ada di sampingnya, membuat Kaoru mengalihkan pandangannya dari Mikan ke juniornya yang berambut brunette sebahu itu. Yuka menganggukan kepalanya, mengisyaratkan Kaoru kalau Mikan akan baik-baik saja. Ia lalu membalikkan badannya menghadap kedua sahabat Mikan dan juga memberikan anggukan kepala pada mereka, memberikan isyarat yang sama.
Gadis berambut raven menghela nafasnya. "Mikan, apa tidak apa-apa kalau kau sendirian?" Mikan menganggukkan kepalanya tanpa menghadap sahabatnya itu. "Kalau kau mau, aku akan di sini menemanimu."
Mikan menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Hotaru. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Lagipula bukannya kamu bilang hari ini ada urusan yang ingin kamu selesaikan? Pergilah. Ruka juga ikut, 'kan?" ujarnya, lagi-lagi tidak mengalihkan pandangannya pada makam di depannya.
Laki-laki berambut blonde di samping Hotaru, kekasihnya, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Eer…yah, begitulah… Ada sedikit yang memang harus diselesaikan," katanya tertawa kecil yang terdengar nervous.
"Hmm… Pergilah, aku tidak apa-apa. 'Kan sudah kukatakan, aku baik-baik saja."
Hotaru memutar matanya, meskipun suara yang keluar dari mulut sahabatnya itu terdengar ceria, namun orang bodoh pun tetap saja akan tahu kalau keceriaan itu dipaksakannya. Dasar idiot keras kepala, pikirnya. Dia tahu Mikan tak akan berhenti kalau sifat keras kepalanya sudah menguasai dirinya. Sekalinya tersulut, api yang ada dalam dirinya tak akan padam.
"Baiklah kalau itu maumu. Tapi ingat, Mikan sayang, setelah selesai, kau harus segera pulang. Kau tahu, sepertinya cuaca hari ini sedang tidak mendukung," ujar Kaoru, yang dari tadi terdiam, dengan lembut senyuman kecil menghiasi wajahnya.
Mikan tidak menjawab. Perlahan akhirnya ia membalikkan badannya, menghadap orang-orang yang menemaninya itu dengan senyuman lebar di wajah. "Jangan khawatir, bibi. Aku baik-baik saja. Aku janji akan segera pulang setelah selesai!" Kali ini suara yang keluar adalah suara murni dipenuhi keceriaan. Tak ada kebohongan yang terlihat di wajah putih cantik yang bagaikan salju itu, bibir merah yang merona, dan mata hazel yang membuat orang yang memandangnya tenggelam masuk ke dalamnya.
Sayangnya, orang-orang yang sudah cukup baik mengenalnya pasti tahu, mana senyuman yang kesedihannya disembunyikan dan mana senyuman ceria yang benar-benar tulus dikeluarkan.
Dan mereka semua tahu arti di balik senyuman itu.
Yuka angkat bicara, "Baiklah, kami akan meninggalkanmu disini. Jika terjadi sesuatu, kau harus segera menghubungi kami, Mikan."
"Baik!"
"Jangan pulang terlalu lama, sepertinya hujan akan turun hari ini."
"Baik!" Yuka memandangi anaknya yang masih tersenyum lebar dalam diam. Meski anaknya itu terkadang ceroboh, tapi siapa sangka dia mampu memainkan sebuah peran. Tentu saja Yuka tahu bagaimana perasaan gadis di depannya itu. Karena dia adalah seorang ibu yang akan selalu tahu perasaan sang anak walaupun dilihat dari segi manapun juga. Dan status ibu itulah yang menjadi jembatan penghubung antara ikatan Mikan dan juga dirinya.
Mikan pun tahu maksud dari pandangan yang ibunya berikan padanya. Senyum lebar di wajahnya ia gantikan dengan senyuman kecil yang lembut karena pandangan itu. "Percayalah bu, aku baik-baik saja…" ujarnya pelan.
"Yuka…"
Yuka melirik ke arah suara yang memanggil dirinya. Kaoru menganggukkan kepalanya yang mana dibalas anggukan sama oleh Yuka. Ia kembali memberikan fokusnya pada Mikan sebelum menghela nafasnya dan tersenyum kecil. "Segera hubungi ibu kalau terjadi apa-apa."
Mikan menganggukkan kepalanya sekali. "Aku mengerti." Ia memperhatikan Yuka membalikkan badannya dan berjalan menuju gerbang keluar daerah pemakaman diikuti Kaoru dan dua sahabatnya. Mikan membalikkan badannya kembali memandangi makam di depannya.
"Ja ne, Mikan," ia mendengar Hotaru yang mulai menjauh memberikan salam perpisahan.
"Ja... Hotaru," jawabnya, meskipun yang dijawab tidak mendengar suaranya. Setelah memastikan tak ada lagi tanda-tanda keberadaan ibunya, Kaoru, Hotaru dan juga Ruka, Mikan kembali terfokus pada makam yang ada di depannya.
Tanpa Mikan ketahui, sesosok laki-laki berambut raven sedang berdiri dengan tenang—atau bisa dibilang bersembunyi—di bawah pohon besar yang tidak jauh dari tempat ia memandangi makam tersebut, memperhatikan semua yang terjadi dari awal hingga sang brunnete sendirian dengan mata crimson gelap yang dingin dan tenang.
Sudah lama ya... Mikan.
A/N: Yup, Natsume bakal muncul di Chapter berikutnya! Dan Ran akan senang sekali kalau readers bersedia me-review. :)
Ran Ishibazaki.