Author's Note:
Thanks for d' reviews, pals! *peluk berjamaah*
Setelah terbangun karena mimpi aneh saya semalam, akhirnya, here it is, the last chap of Love Story. Bener-bener song-fict terPENDEK yang pernah saya buat ya?/plak
OK. Chapter ini didedikasikan untuk ambuku sayang alias ambudaff dan juga Kak Ren a.k.a UchihaLovesUzumaki, suami saya, *pasang perisai dari kunai yang beterbangan* yang entah sadar atau tidak berhasil membuat mood saya buat nulis naik lagi.
Dan, oh, tentu saja, untuk semua yang sudah membaca sampai last chapter ini. Kufufu, aku cinta kalian~ *sends kisses* *dicelup ke laut beramai-ramai*
Disclaimer:
I do not own Naruto, nor making any money from this fic.
Naruto is respectively belongs to Kishimoto Masashi-sensei.
"Where is my lord? I do remember well where I should be, and there I am—where is my Romeo?"
- William Shakespeare, Romeo and Juliet, 5.3
A Naruto Fanfiction
Based on 'Love Story' by Taylor Swift
Love Story
-Part 3-
By: Ange la Nuit
Sasuke lagi-lagi membuka mata yang sedari tadi ia pejamkan.
Ingin rasanya ia menghentikan kenangannya dengan pemuda pirang itu sampai di sini. Sungguh, ia mau berhenti mengingat semuanya sampai di sini.
Karena ia sama sekali tidak mau lagi mengingat bagaimana rasa detak jantungnya yang berdebar sangat keras dan juga keringat dingin yang segera membasahi dirinya malam itu. Ia tidak mau mengingat seberapa besar inginnya ia agar mobil itu tidak berhenti di sana, melainkan berbelok dan membawanya pergi jauh dari rumah. Ia sama sekali tidak ingin mengingat bagaimana paniknya ia saat Naruto tetap memutuskan untuk keluar dari mobil yang telah berhenti di pinggir jalan, membukakan pintu bagiannya, lalu menuntunnya melangkah perlahan di atas aspal menuju ayah dan orang-orang kepolisian yang jelas tengah memandangi mereka.
Genggaman tangan Naruto di tangannya waktu itu, saat ia hampir tertunduk saat berdiri hanya semeter dari ayahnya itu, memang bukan sesuatu yang buruk. Tapi…
"Selamat malam, Uchiha-sama," kalimat Naruto waktu itu bahkan masih jelas terdengar di kepalanya hingga kini.
Kala itu, dirasakannya genggaman tangan Naruto pada telapak tangan kirinya dieratkan, entah untuk menguatkan Sasuke, atau mungkin menjadi penguat dirinya sendiri. Sasuke tidak tahu. Ia hampir tak mampu berpikir. Dan rasanya ia bahkan tidak mampu untuk mengangkat pandangannya untuk menatap orangtuanya itu. Dari sudut penglihatannya… hanya Naruto saja, hanya Naruto yang tetap menegakkan lehernya dan memandang seorang Uchiha Fugaku tepat di mata.
Biru dan onyx.
Mata biru langit yang tenang, terus beradu pandang dengan sepasang mata lain berwarna hitam kelam yang sangat jelas dipenuhi dengan amarah sekarang, meski wajah itu masih tanpa ekspresi.
Lalu saat mereka menyadari bahwa tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut Fugaku mereka terima bahkan setelah beberapa puluh detik berlalu, Naruto memutuskan untuk melanjutkan.
"Maafkan saya, Uchiha-sama," kalimat itu keluar bersamaan dengan Naruto yang bergerak menunduk dalam—masih tanpa melepaskan genggaman tangannya dari Sasuke. "Maafkan saya yang telah mengajak anak anda keluar dari rumah tanpa izin. Mohon maafkan saya."
Ia pasti tak akan dimaafkan—pikir Sasuke saat itu—jika ini Uchiha Fugaku yang ia kenal, pria yang telah menjadi ayahnya selama bertahun-tahun, mereka tidak mungkin dimaafkan. Setidaknya, bukan sekarang.
Karena itu, rasanya Sasuke tidak mempercayai pendengarannya sendiri saat ia mendengar ayahnya berkata…
"Bangkitlah."
Kata itu sungguh membuat Sasuke terkejut. Ia segera mengangkat dagu, mendapati Naruto yang kembali berdiri sempurna, menegakkan tubuhnya dan berikutnya, Sasuke bergerak untuk memandang sang ayah—semuanya karena ia masih tak percaya. Didapatinya sang kepala keluarga Uchiha tengah memandang ke arah tangan kirinya, tangan mereka, yang masih juga bertautan hingga kini. Sasuke masih saja kesulitan untuk membaca ekspresi apa yang terlukis di wajah ayahnya… di matanya, saat pria itu memandangi tangan mereka.
"Lepaskan."
Satu kata itu, juga pandangannya yang belum juga berpindah arah, cukup untuk membuat Naruto paham tentang apa yang barusan diinstruksikan pada mereka. Dan pemuda pirang itu memilih untuk menurut. Segera dilepaskannya tangan Sasuke, membuat pemuda berpiyama biru ini sempat merasa ingin berseru padanya untuk mengembalikan posisi tangan mereka ke semula dan tidak melakukan itu lagi.
Dan setelahnya, dalam hitungan detik, suara pukulan—suara daging yang tertumbuk oleh kepalan tangan seseorang—terdengar memenuhi udara.
Saat Sasuke merasakan pipi kirinya memanas, dindingnya mulutnya yang berdarah, dan ia yang kini telah tersungkur serta terduduk di tanah, barulah ia menyadari bahwa ayahnya baru saja meninjunya. Keras.
Dengan rasa tidak percaya, kejut, maupun pahit yang terus memenuhi dirinya, Sasuke menengadahkan kepalanya, menatap Naruto yang justru tengah memandang penuh khawatir padanya namun belum sempat melakukan apa-apa—karena sepertinya yang terkejut karena pukulan barusan bukan Sasuke saja. Sasuke lalu menggerakkan lehernya lebih jauh, mendapati sang ayah yang memelototi Naruto dengan segenap kemarahannya.
"Menjauh dari Sasuke!" seruan itu membuat Naruto menoleh memandang ayah Sasuke lagi.
"Jangan pernah—jangan sekali-kali kau tunjukkan wajahmu di hadapannya lagi!"
Selama sekian detik, Sasuke melihat Naruto bergerak membuka mulutnya, seakan ingin berbicara pada Fugaku, mengatakan sesuatu pada pria itu. Namun… hanya sekian detik itu saja. Karena di detik berikutnya, pemuda itu mengalihkan pandangan mata birunya ke arah Sasuke yang masih terduduk di tanah dan—pandangan mata mereka bertemu.
Sakit? Pahit? Apa sebenarnya yang ada di mata beriris biru safirnya?
Sasuke tidak mampu menerjemahkan arti dari pandangan Naruto padanya kala itu. Sama sekali tidak. Bahkan di saat Naruto menghentikan pandangan mereka dengan kembali menatap sang kepala keluarga Uchiha, Sasuke masih tidak mengerti apa yang ada di pikirannya. Sama sekali tidak mengerti, sampai di detik ia mendapati Naruto kembali menunduk sejenak pada Fugaku. Dan ia berbalik. Berjalan. Menjauh dari tempat Sasuke berada sekarang.
"N-Naruto!" ia berseru segera. Sasuke mencoba bangkit dengan bertumpu pada lutut dan tangannya di atas aspal yang kasar, dengan tertatih mencoba mengejar langkah Naruto.
"Naruto!" Sasuke memanggil lagi, sama sekali tidak menghiraukan seruan ayahnya atas namanya sendiri yang terdengar seolah sayup dari belakangnya. Tapi…
Naruto tidak juga berhenti. Tidak berhenti. Pemuda berambut pirang itu terus saja melangkah hingga ia mencapai sisi pintu pengendara dari mobil Ferrari oranye miliknya, membuat Sasuke mempercepat langkahnya untuk meraih kerah depan t-shirt hitam Naruto, dan mendorong pemuda itu ke sisi mobil dengan keras.
"Jangan pergi seenaknya begitu, idiot!" Sasuke menggeram emosi. Kedua mata onyx-nya memandang tajam pada pemuda yang masih terkejut karena gerakannya itu.
"Kau bilang—" Sasuke terhenti sejenak, ia meringis kesal, matanya masih saja memandang tajam pada Naruto. "—kau bilang… ini kisah cinta, 'kan? Kalau memang begitu… bawa aku, bodoh! Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya kabur. Bawa aku pergi. Bawa aku pergi dari rumah ini…" …bawa aku pergi dari tempat penuh kepalsuan ini. Kumohon, katakan 'ya'.
Sasuke bahkan tidak menyadari bahwa ia telah menyandarkan kepalanya di bahu Naruto meski tangannya masih terus mencengkram baju pemuda itu. Matanya terasa panas. Sangat panas. Apakah dia akan menangis? Jangan. Tidak sekarang. Jangan sekarang.
"Apa kau bisa menunggu?" kalimat itu datang bersamaan dengan satu sentuhan lembut di belakang kepalanya. Jemari tangan kanan Naruto ternyata telah meraih rambut hitamnya lembut, sementara tangan kiri pemuda itu telah berada di pinggangnya... memeluknya.
"…Bisakah kau menungguku, Sasuke?"
Pemuda yang ditanyai menegakkan lehernya, memandang lagi pada mata berwarna safir dari orang yang tiba-tiba saja telah menjadi segalanya baginya itu.
"Aku bisa," jawabnya yakin, melihat dan merasakan Naruto bergerak menarik kepalanya untuk menempelkan dahi mereka. Dipejamkannya matanya. "…Aku akan menunggu, Naruto."
"Kalau begitu,"—pemuda pirang itu bergerak meraih bibirnya dalam kecupan singkat—"tunggulah aku. Tunggulah, Sasuke."
Dan setelah itu, Naruto melepaskan pelukan maupun sentuhannya pada Sasuke. Sang Namikaze muda lalu masuk ke dalam mobilnya, dan menjalankan mobil itu meninggalkan lingkungan kediaman Uchiha.
Meninggalkan Uchiha Sasuke yang berdiri terpaku, tak menyadari bahwa itu adalah pertemuan terakhir mereka hingga bertahun-tahun yang akan datang.
Juga meninggalkan Uchiha Fugaku dan para polisi, yang masih saja memandang tidak percaya pada apa yang telah mereka saksikan dengan mata kepala mereka sendiri.
Sasuke merubah posisinya lagi, ia bangkit dari baringnya dan bergerak duduk di atas sofa beludru berwarna biru tua bergaya vintage itu. Disandarkannya punggungnya di sana, dan ia mengaitkan jemarinya. Dipandangnya hampa balkon kosong itu.
Tentu ia juga masih ingat semua yang terjadi setelah malam terakhir pertemuannya dengan Naruto itu.
Tahun-tahun di mana ibunya menyalahkan dirinya sendiri dan menangisi apa yang ia sebut sebagai orientasi seksual putranya. Sementara ayahnya sendiri terus saja menasehatinya dengan kalimat-kalimat keras dan tajam, lalu kakaknya… kakaknya yang hanya bisa diam menanggapi semua itu. Tidak menyalahkan. Tapi juga tidak melindungi.
Tahun-tahun di mana… Sasuke terkurung di dalam rumahnya, dipaksa untuk menemui psikiater dan bahkan berkali-kali menjalani terapi untuk bisa kembali 'normal'—menurut sudut pandang orangtuanya. Bukan menurut dirinya.
Tahun-tahun di mana beberapa dari penjilatnya terlihat semakin 'palsu' di hadapannya, karena mungkin sesungguhnya mereka jijik mengetahui rahasia umum tentang hubungan Sasuke dengan sang pewaris Namikaze.
Serta, tentu saja, itulah tahun-tahun di mana… tahun-tahun di mana ia terus berusaha menunggu kembalinya pemuda itu, kedatangan dari orang yang paling ia cintai—yang tidak juga menampakkan dirinya di hadapan Sasuke… hingga detik ini.
Sasuke menyisiri rambutnya dengan jemari tangan kanannya, dan dihembuskannya nafas panjang.
Ia telah lelah menunggu. Sangat, sangat lelah.
Bertahun-tahun sudah ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa suatu saat Naruto akan kembali. Suatu saat, Naruto akan benar-benar kembali ke hadapannya, menjemputnya, dan membawanya pergi meninggalkan rumah ini, keluarga ini, dan segala kepalsuannya.
Sasuke tidak bisa berhenti begitu saja. Tapi keyakinannya juga sudah semakin luntur dari hari ke hari. Bagaimana, bagaimana ia bisa terus percaya… pada seseorang yang tidak saja tak muncul di hadapannya, tapi juga tak pernah lagi menghubunginya lagi?
'Akankah Naruto benar-benar kembali nantinya?'
Hingga musim panas ketujuh yang ia injak sejak pertemuannya dengan sang Namikaze muda, pertanyaan itu belum juga terjawab.
Ia bahkan hanya pernah sekali dua kali mendengar kabar tentang pemuda itu. Salah satunya, bisik mereka di belakangnya beberapa bulan lalu, pelan tapi pasti Naruto mulai mengambil alih posisi penting di perusahaan keluarga Namikaze, dan suatu saat akan mewarisi semuanya. Sementara ia sendiri, belum juga berhasil menerima kembali kepercayaan sang ayah padanya yang telah hilang meski berhasil menempati posisi sebagai CEO di Sharingan Co., perusahaan keluarganya itu, dengan usahanya kerasnya sendiri.
Sasuke menghela napas panjang lagi.
Mungkin, katanya pada dirinya sendiri, mungkin ini adalah saatnya berhenti.
Inilah saat baginya untuk berhenti menunggu Naruto dan mengambil 'istirahat' untuk tubuh maupun jiwanya yang lelah. Dan ia beruntung, karena di saat seperti ini, ia bisa mendapatkan cuti selama beberapa hari di tengah hari kerja. Sasuke memang masih belum mengerti kenapa di tengah kesibukan perusahaan mereka untuk menghadapi rapat penting—rapat untuk penggabungan perusahaan dengan salah satu perusahaan besar di Konoha yang belum mereka sebut namanya—Sasuke malah diberikan cuti oleh ayahnya. Dan ia jelas tak akan membuang kesempatan yang sangat jarang diberikan padanya itu.
Inilah saat baginya untuk benar-benar beristirahat dari semuanya… dari kenangan seorang pemuda yang seharusnya dilupakannya, dari musim panas yang akan menjelang lagi… dan dari sebuah balkon kosong yang rasanya tidak juga berhenti berada di dalam ruang pandangnya.
Sasuke pun memejamkan matanya sejenak. Lalu beranjak dari sofa, meninggalkan ruang dan balkon itu menuju kamarnya.
Hanya sehari setelahnya, Sasuke telah berada di kota Otto, salah satu kota tetangga Konoha, berukuran kecil dan juga berkembang sangat pelan jika dibandingkan dengan kota asalnya itu, tetapi memiliki pemandangan yang hijau dan indah. Sasuke kini berjalan di salah satu trotoarnya, sesekali memandang pada toko-toko ataupun rumah jasa lainnya yang berada hanya semeter dari sisi kirinya, berniat untuk kembali ke mansion keluarga Uchiha yang menjadi tempat menginapnya selama beberapa hari ini.
Sejenak, ia juga melemparkan pandangannya pada jalan yang berada di sisi kanannya. Jalan ini tak begitu besar, hanya berupa jalan satu jalur berlapis aspal, dan tidak pula ramai oleh kendaraan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa Sasuke tidak memilih untuk berkendara di dalam kota ini. Tetapi sebenarnya, ia memang hanya ingin mencoba melupakan semua kepenatannya dan menikmati pemandangan alam yang disajikan di tempat ini. Adanya pepohonan yang berbaris dan hutan yang berada di seberang jalan, angin sore yang hangat, dan juga langit yang mulai berwarna kemerahan.
Ah, Sasuke baru menyadari bahwa hari telah senja.
Dan ia juga baru menyadari, bahwa dari segelintir kendaraan yang telah melewati jalan di sisi terotoarnya, ternyata salah satunya telah berhenti tak jauh di depannya.
Sasuke menatap kendaraan itu sejenak, dan langkahnya segera terhenti.
Benda itu memang tak lagi berwarna sama—kini telah berwarna hampir sepenuhnya hitam, dengan sedikit aksen oranye di bagian roda dan tepinya. Namun dari bentuknya, Sasuke segera mengenali benda itu. Benda itu. Mobil oranye bermerek Ferarri yang menjadi tempat duduknya enam tahun lalu demi melihat bintang di pinggir kota Konoha. Mobil oranye yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang karena kecepatannya—dan juga karena keberadaannya kini. Mobil oranye… dari seorang pemu—ah, bukan, bukan pemuda, tapi seorang lelaki muda berambut pirang yang kini baru saja keluar dari mobilnya. Berdiri di sisi benda berwarna oranye hitam itu. Dan menatap ke arahnya.
Dengan perlahan, meski rasanya sangat kaku, Sasuke kembali menggerakkan kakinya untuk melangkah ke arah lelaki yang satu tanpa melepas tatapan mereka.
Sementara lelaki pirang yang mengenakan kemeja oranye itu, terlihat menyampirkan jas hitamnya di bahu dengan tangan kanan, dan menggerakkan tangan kiri untuk dimasukkan ke dalam saku celana. Satu senyum indah darinya terarah kepada Sasuke.
"Hi, Juliet. Long time no—" kata 'see' tak berhasil keluar dari bibir lelaki bermata biru itu, karena satu tinju keras keburu menghantam pipi dan rahangnya, membuatnya jatuh terduduk dengan bagian depan tubuh yang menghadap sang pemukul.
Pupil Naruto melebar tak percaya. Ia memandang pada lelaki yang satu, yang telah memukulnya itu, mendapati lelaki bermata onyx itu agak terengah setelah berjalan cepat ke arahnya dan memukulnya barusan. Namun, ia hanya bisa memandang sejenak. Karena setelahnya, lelaki yang sama segera merunduk, berlutut dan meraih kerah kemeja oranyenya dengan kedua tangan.
"KEMANA SAJA KAU, IDIOT!" serunya di depan wajah Naruto.
Mata onyx itu memandang amat tajam pada mata biru safir sang Namikaze yang masih tak mampu berkata-kata.
"Kemana saja kau? Aku menunggu tapi kau tidak datang! Bertahun-tahun aku tetap menunggumu tapi kau tidak juga muncul di hadapanku! Apa-apaan kau ini? Kau pikir menunggu itu menyenangkan, hah? Kau pikir—" Sasuke terhenti sejenak, "Kau pikir, sendirian itu—akh, damn it!"
Lelaki bermata onyx itu segera melepaskan genggamannya pada Naruto dan bangkit berdiri, berbalik memunggungi lelaki yang tersungkur di atas tanah itu. Sasuke mencengkram kepalanya maupun rambutnya sendiri dan menggeram frustasi. Ia terus berusaha keras untuk menetralisir semua emosinya, apalagi saat ia merasakan betapa panasnya matanya sekarang.
Jangan secengeng itu, Sasuke! Demi Tuhan, kau itu lelaki! Jangan menangis! …Jangan menangis untuk orang brengsek seperti lelaki pirang itu.
"Juliet." Kata itu terdengar di telinganya, dari belakangnya. Sangat tenang, penuh dengan pengendalian, membuat Sasuke hampir terpaku karenanya.
"Juliet, kumohon, berbaliklah."
"Idiot!" Sasuke berseru segera, "Apa maumu sebenar—!"
Kata-katanya terhenti saat ia membalikkan tubuhnya.
Terhenti. Benar-benar terhenti. Kini giliran pupil mata onyx-nya yang melebar saat ia mendapati lelaki berambut pirang berantakan itu telah berlutut menghadap ke arahnya… memandangnya tepat di mata, dengan satu kotak beludru hitam berisikan cincin perak di atas genggaman tangan kanannya.
Waktu maupun jantungnya kini terasa bergerak lebih lamban… terlebih saat ia mendengar kalimat lain dari lelaki itu.
"Marry me, Juliet."
Kata-kata itu benar-benar membuat Sasuke terpaku. Tetapi, Naruto belum juga berniat untuk berhenti.
"Menikahlah denganku… dan kau tidak akan sendirian lagi," lelaki muda berambut pirang itu melanjutkan, pandangan mata birunya terus terikat dengan sang Uchiha muda. "Aku mencintaimu, Sasuke, dan itulah satu-satunya hal yang kutahu. Aku sudah berbicara dengan ayahmu, dan—sungguh, aku benar-benar bersyukur bisa berhasil memberikan apa yang ia mau demi mendapatkanmu…"
Lelaki itu terhenti sejenak, dan ia tersenyum.
"Jadi, sekarang kau bisa langsung memilih gaun putihmu untuk hari pernikahan kita, sekaligus juga untuk perayaan merger perusahaan Namikaze dan Sharingan."
Sasuke baru akan membuka mulutnya saat ia kembali disela oleh kata-kata sang Namikaze.
"It's a love story, right?" ia bertanya, "…so please, Juliet, just say 'yes'."
Senyum itu hilang dari bibir Naruto, tapi mata birunya memancarkan permohonan mendalam, permohonan yang begitu jujur terlihat di tengah tatapan lurusnya untuk Sasuke.
Untuk sejenak, Sasuke masih membatu di tempatnya berdiri. Tetapi setelahnya, lelaki yang ditanyai itu akhirnya mengambil satu langkah maju mendekati Naruto. Ia lalu menunduk, meraih kotak cincinnya.
"Sudah kubilang…" ia terhenti sejenak, memandangi cincin di kotak dalam genggamannya, "…aku bukan Juliet, idiot," lanjutnya sembari bergerak untuk ikut berlutut di hadapan lelaki pirang itu.
Naruto tertawa renyah.
"Sudah kubilang juga kau tetap Juliet bagiku, brengsek!"
Kemudian, Sasuke tak lagi membuang waktu. Sudah cukup baginya, bagi mereka, menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa keberadaan satu sama lain. Dan karena itu, ia segera meraih tubuh pemuda itu dalam pelukannya, melampiaskan seluruh perasaannya tanpa kata lewat pelukan mereka.
Dipejamkannya matanya, dan ia berkata lagi, "Aku juga tidak sudi memakai gaun apapun saat kita menikah, utsuratonkachi."
"No way!"—Naruto segera balas memeluknya erat—"Mana ada cerita Romeo dan Juliet yang Julietnya tidak memakai gaun di hari pernikahan mereka?"
Dan tawa kecil itu lepas begitu saja dari mulut Sasuke tanpa bisa ditahannya.
"...Idiot!" seru Sasuke saat tawanya itu terhenti.
"...You really are the dumbest person I've ever met—" ia berlirih sembari mengeratkan lagi pelukannya pada lelaki itu, "—Romeo."
-
Fin
-
.
.
.
Komentar, saran maupun kritik dan juga penunjukkan typos sangatlah diharapkan.
So, review if you don't mind, pals! =)