Author's Note:
Sebenarnya ini fanfic request dari Ditdit... tapi... yah, maaf, Dit, aku tahu aku gagal memuaskan hatimu! T.T
T-tapi baca sajalah dulu! DX *ditampol*


Disclaimer:
I do not own Naruto.


"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet."
- William Shakespeare, Romeo and Juliet, 2.2


A Naruto Fanfiction
Based on 'Love Story' by Taylor Swift

Love Story
-Part 1-

By: Ange la Nuit


Uchiha Sasuke, tokoh utama kisah ini, tengah duduk berpangku kaki di sofa yang berada di ruang tengah Kediaman Uchiha, memandang lurus ke arah balkon yang pintunya terbuka lebar di depannya. Satu tangan menumpu dagunya, dan mata onyx hitamnya memandang tanpa ekspresi pada balkon kosong dengan pintu-pintu kaca lebar yang tirai-tirai halusnya kini melambai ke arahnya karena tiupan angin, angin musim panas yang tentunya terus masuk dan menyapanya.

Musim panas datang lagi.

Ya, lagi. Sejak saat itu. Musim panas enam tahun yang lalu, musim yang menjadi setting waktu pertemuan pertama mereka.

Tanpa sadar Sasuke memejamkan mata mengingat hari itu.

Sebuah malam musim panas di tanggal 23 Juli, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-17. Ah, sweet seventeen, kata mereka, tahun di mana seharusnya ia berbahagia karena dianggap telah dewasa dan bisa menentukan semuanya dengan tangannya sendiri.

Tapi… apa yang bisa ia nikmati, sebenarnya?

Mungkin kata mereka ia adalah putra bungsu keluarga kaya yang menjadi salah satu dari dua keluarga kaya penggerak utama kota ini. Mungkin kata mereka ia hidup bahagia. Mungkin kata mereka ia telah dewasa dan punya hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Mungkin, dan berbagai macam kata mungkin lagi yang terus saja mereka katakan. Karena nyatanya, mereka salah.

Sasuke tidak lebih dari sebuah boneka yang digerakkan oleh orangtuanya, tertindih oleh bayangan kakaknya, dibebankan dengan nama besar keluarganya. Ia tidak punya kesempatan untuk bisa menikmati waktunya sebagai seorang pemuda biasa yang punya kebutuhan untuk bersosialisasi dengan teman seumurannya. Tidak, ia tidak punya satu pun teman sejati, jika semua para penjilat berkedok teman itu disingkirkan dari sisinya. Dan ia bahkan tidak punya hak untuk menolak pesta ulang tahunnya sendiri. Demi mempererat jalinan sosial yang telah ada, kata sang ayah.

Dan di sanalah Sasuke berdiri, di sudut balkon gelap itu, menghindari pestanya sendiri. Ia berdiri bersandar dengan kedua tangan yang berada di depan dada. Menghirup udara malam musim panas yang terus bertiup ke arahnya. Menatap pada langit polos tanpa bintang yang kalah oleh terangnya sinar lampu-lampu kota.

Ia bosan. Sungguh bosan. Ia ingin masuk lalu tidur saat ini juga di dalam kamarnya. Tapi… habislah dia kalau ayahnya tahu! Jadi seperti inilah caranya melarikan diri; secara tidak langsung bersembunyi di sudut, membiarkan para tamu—yang sebagian besar adalah teman-teman penjilatnya atau anak dari para penjilat ayahnya—menikmati pesta ini sesuka hati mereka.

Dipandanginya halaman rumahnya yang lengang… wajar, mengingat pesta ini memang diadakan di dalam kediaman mereka, di ballroom tingkat satu maupun dua. Perhatian Sasuke lalu tertuju pada sebuah Ferarri berwarna oranye cerah yang tiba-tiba saja bergerak masuk ke halaman dan berhenti sangat dekat dari balkon tempat ia berada sekarang.

…itu bukan tempat parkir, pikir Sasuke segera saat itu, sembari terus memandang aneh ke arah sang mobil yang kelihatannya enjoy saja berada di bawahnya.

…mobil itu mungkin palsu, tambahnya lagi dalam hati. Memangnya ada berapa banyak Ferarri yang tersebar di Jepang dengan harganya yang selangit itu? Warna oranye pula! Paling-paling itu hanya mobil tiruan buatan—entah buatan pabrik gila mana di Jepang. Yang pasti warna oranye sama sekali bukan warna yang menjual, menurut Sasuke.

Tak lama, pintu mobil terbuka dan menampilkan sesosok pemuda berambut pirang berkemeja biru muda dengan setelan celana hitam yang bisa dipastikan merupakan pengendara dan mungkin pemilik mobil itu. Hanya selangkah setelah sang pemuda keluar dari mobil dan menutup pintu, ia menoleh ke atas dan pandangan mereka bertemu.

Sebuah lambaian tangan dan cengiran lebar segera menyambut mata onyx Sasuke, membuatnya menggerutu sembari membuang muka.

Satu lagi penjilat datang ke pesta—dan sialnya, kali ini ia tahu posisi Sasuke. Yang mengherankan, di saat Sasuke melirik ke bawah dan mencari sosok pemuda itu tanpa sadar, yang ia temukan hanyalah Ferarri yang terparkir manis… tanpa sang pemilik. Sasuke mengerutkan dahi, tapi toh tetap bersyukur pemuda itu tak lagi ada di sana menanti balasan untuk lambaian tangannya.

Sasuke lalu menghembuskan nafas panjang dan bersandar di balkon dengan punggungnya. Dipandanginya cahaya yang menerangi ruang luas di tingkat dua melalui pintu kaca berlapis tirai transparan ini. Tentu ia juga melihat tamu-tamunya malam ini: para gadis-gadis penjilat dan gaun-gaun terbuka mereka, bercengkrama dengan sesama mereka, atau dengan pemuda-pemuda penjilat dan tuxedo tebal mereka. Sasuke agak heran mengapa mereka bisa mengenakan pakaian yang begitu kontras, para gadis dengan punggung dan dada yang hampir terbuka lebar, dan para lelaki dengan baju yang entah seberapa banyak lapisannya. Sasuke sendiri memilih untuk mengenakan jas putih simple dengan celana kain berwarna sama, lengkap dengan sebuah kemeja berwarna hitam.

Ngomong-ngomong soal kemeja, ternyata ada pula satu pemuda yang hanya memakai kemeja biru berlengan panjang yang dipakai tanpa dimasukkan di dalam celana, tidak pula dilengkapi dengan jas sehelai—hei! Itu pemuda yang TADI! Dan sekarang, pemuda berambut keemasan itu terus berjalan, sesekali melempar senyum ke arah penjilat lain, dan… Sasuke ingin menelan ludah melihat rute pemuda itu: lurus ke arah balkon tempatnya berada.

Sasuke segera berbalik kembali, memunggungi pintu kaca tinggi yang menghubungkan balkon ini dengan ruang tengah. Betapa ia mengutuk si pemuda pirang yang seenaknya memarkir di atas rumput halaman rumahnya, lalu memandang ke atas dan melambai ke arahnya, lalu masuk dan berjalan dalam pestanya, lalu—

"Hi, sweetie~!"

Si bungsu Uchiha sukses terpaku.

What. The. Heck?

Sasuke segera berbalik lagi, kali ini demi menatap tajam pada pemuda berkemeja biru yang berdiri penuh percaya diri dengan tangan yang berada di dalam saku. Apa-apaan…?

"Maybe you need some glasses or what, honey," balas Sasuke sarkastis, agaknya benci harus menggunakan bahasa Inggris pada pemuda ini, belum lagi ditambah kata 'honey'—tapi entah kenapa harga diri Uchihanya menyuruhnya begitu! Yeah, mungkin sedikit balasan setimpal untuk kata 'sweetie' tadi. "I'm NOT a girl, for your info, if you couldn't see me clearly."

Yang ia dapatkan setelahnya hanyalah sebuah cengiran.

"I knew," balas pemuda itu, "just wanna see your reaction, Uchiha-sama,"—cengiran itu semakin lebar di tiap langkah yang pemuda pirang ini ambil untuk mendekatinya—"tak kusangka kau orang yang seperti ini. Dan—oh, ya, omong-omong, aku bukan 'madu'." Ditambah dengan satu garukan di kepala rambut pirang itu yang jelas dibuat-buat, juga sebuah cengiran usil.

Kernyitan di dahi Sasuke belum juga hilang, malah semakin dalam. Terus dipandangnya tajam pemuda yang kini berdiri tepat di sebelahnya, dengan posisi yang hampir serupa, bersandar dengan kedua tangan di depan dada, menatap lurus ke halaman luas keluarga Uchiha.

"…Siapa kau?" tanya Sasuke tajam, tidak menyurutkan kadar acid dari tatapannya pada pemuda yang satu.

"Hmm…" gumam pemuda itu selama beberapa detik, "pengembara, mungkin."

Sasuke mendengus dan membuang muka.

"Kau mabuk," katanya segera. Setidaknya itu kesimpulan yang ia dapatkan dari semua keanehan pengunjung yang satu ini—ya, pengunjung, ia bukan sekedar penjilat ternyata.

"Mabuk?" pemuda itu bertanya, "lalu gadis-gadis yang meminum wine hingga setengah botol di dalam sana kau sebut apa?"

Sasuke memutar bola matanya dalam kekesalan.

"Bukan aku yang menyiapkan itu, bodoh," balasnya.

Ya. Mungkin ini memang pestanya, mungkin ini memang acaranya, tapi jika bukan dia yang menikmatinya… sebenarnya ini acara untuk siapa? Yang ia inginkan hanyalah menghabiskan ulang tahunnya dengan beberapa kue dan bergelas-gelas jus tomat sembari menikmati angin malam musim panas bersama teman-temannya—itu pun kalau ia punya orang-orang yang bisa ia sebut teman. Oh, sungguh sangat tidak Uchiha.

Sasuke baru sadar ia tak kunjung mendapatkan balasan.

"…kau melarikan diri dari pestamu, Mr. Bastard?" dengarnya. Lagi-lagi Sasuke mengernyitkan dahi kesal karena pemuda ini, tepatnya karena kata terakhir. Belum lagi ia membuka mulutnya untuk membalas, sang pemuda pirang kembali melanjutkan, "dua bulan lagi, aku mungkin akan melakukan hal yang sama… aku baru sadar balkon bukan pilihan yang buruk. Tapi angin musim gugur pasti dingin, ne?"

Sasuke menoleh… dan terpaku.

Terpaku mendapati dirinya ditatap begitu dalam oleh pemuda itu. Terpaku mendapati mata pemuda pirang itu yang berwarna biru langit jernih, sangat indah dan memukau. Terpaku mendapati sesuatu, sesuatu yang ada di balik mata biru itu, sesuatu yang selama ini hampir tak pernah ia dapati lagi dari mata orang-orang di sekitarnya… pengertian. Ia mengerti apa yang Sasuke rasakan.

"Siapa… kau?" tanya Sasuke lagi, kali ini tanpa nada tajam maupun sinis dalam suaranya. Ia terus mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah familiar ini sebenarnya? Sayangnya ia tidak juga mengingat hal itu, apalagi menemukan nama pemuda ini dalam ingatannya.

Pemuda berkulit kecokelatan itu lalu tersenyum manis.

"Namikaze Naruto," katanya, "salam kenal, sweetie."

Tak pelak, Sasuke tersentak mendengar nama itu.

Siapa yang tidak mengenal nama Namikaze? Namikaze adalah satu-satunya keluarga yang dianggap bisa sejajar dengan keluarga Uchiha, dari segi popularitas ataupun kekayaan. Bahkan, bisa dibilang, keluarga Namikaze adalah keluarga yang telah bertahun-tahun menjadi rival keluarga Uchiha di kota ini.

Bagaimana bisa ia berada di sini?

"Tadinya aku berencana untuk mengacaukan pestamu, tuan muda," Naruto berkata seolah menjawab tanya yang ada di dalam kepala pemuda bermata onyx ini. "Tetapi ternyata pesta ini sudah cukup kacau sebelum aku mengacaukannya. Apa gunanya menghancurkan pesta yang bahkan tidak diinginkan oleh pemilik pesta itu sendiri?"

Anak kedua keluarga Uchiha ini segera membuang pandangannya dari mata biru itu—mata biru yang tiba-tiba saja berlaku seolah bisa membaca apapun yang dipikirkannya saat ini. Dan mungkin memang bisa.

"Kita… sama."

Kedua kata dari pemuda ini membuat Sasuke hampir terpaku. Dua kata, hanya dua kata yang segera bisa mencerminkan apa yang ingin disampaikan oleh pemuda pirang itu saat ini.

"Tidak," balas Sasuke cepat, "kita tidak sama. Kau ada di keluarga Namikaze, dan aku Uchiha. Kau tahu jelas kita tidak mungkin bisa berada di pihak yang sama."

Sasuke mendengar suara dengusan, tetapi saat ia melirik ke arah pemuda yang satu, yang didapatinya adalah Naruto yang tengah terkekeh geli.

"Jangan pura-pura bodoh, Sasuke," Naruto mengucap nama itu seolah mereka telah berkenalan sejak sepuluh tahun lalu. "Kau tahu persis apa yang kumaksudkan; orangtua yang pemaksa, teman-teman penjilat, dan bahkan pesta ulang tahun yang tak bisa kita tolak…"—mata birunya memandang pada Sasuke, masih dengan sebuah cengiran—"Kita. Sama."

Sasuke menghempas dengus kesal, tetapi ia justru merubah posisi, menyandarkan dagunya di atas telapak tangan yang bertumpu pada sisi balkon—pertanda ia semakin rileks dengan keadaan ini, terlebih pada pemuda aneh di sampingnya.

…mungkin ia benar, mereka sama.

"Hei, Sasuke," panggil Naruto tiba-tiba, membuat pemuda yang satu ingin mendengus kesal lagi mendengar namanya diucapkan dengan begitu ringan oleh orang yang bahkan belum sejam dikenalnya—herannya, tak ada keinginan kuat untuk melarangnya begitu.

"Apa?" balas Sasuke pendek, hanya melirik pada Naruto.

Si pirang itu mengeluarkan cengiran lebar untuk ke sekian kalinya sebelum berkata, "Aku lupa bilang sesuatu… selamat ulang tahun, ne?"

Tangan kanan pemuda itu terjulur pada Sasuke.

"Hn."

Dan Sasuke menghiraukannya.

"…Ck," Sasuke mendengar balasan segera, "ternyata kau memang menyebalkan, brengsek. Apa perlunya bersikap begitu padaku? Atau kau memang orang yang seperti ini?"

Sasuke tidak langsung menjawab. Tanpa sadar ia jadi memikirkan apa kira-kira jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

"…karena kau dari keluarga Namikaze dan aku—"

"Omong kosong," potong Naruto kesal. Ah, ia tahu itu. "Aku dari keluarga apa dan kau dari mana, itu tidak penting. Yang penting itu kau mau berhubungan denganku atau tidak, 'kan?"

Sasuke menatapnya sejenak dan mendapati pemuda itu lagi-lagi berposisi sama dengannya.

"Hn," gumam Sasuke, menarik tangan yang menjadi tumpuan dagunya tadi, "kau berbicara seakan kau ingin memintaku jadi pacarmu, tahu."

Pemuda berkulit putih porselen ini menunggu kata 'Eh?' keluar dari orang yang berdiri di sebelahnya—tapi tidak kunjung ia dengar.

"Humm… bagaimana kalau memang begitu?" balas Naruto, membuat Sasuke segera menoleh ke arahnya—hanya untuk mendapati wajah kecokelatan itu lagi-lagi membentuk sebuah seringai usil yang tidak terelakkan. "Bagaimana kalau aku memang ingin kau menjadi pacarku?"

Kali ini Sasukelah yang benar-benar ingin mengucap kata yang terdiri dari dua huruf itu. Tapi dengan segera, ia mengganti kata 'Eh' itu dengan kalimat, "Kau gila."

Naruto tertawa. Mata biru itu menyipit karenanya.

"Aku tidak gila, brengsek," katanya terkekeh, "setidaknya belum."

Si pirang berusaha menetralisir tawanya sebelum berkata lagi, memotong apapun yang ingin dikatakan oleh Sasuke, "andai kau bisa melihat bagaimana raut wajahmu barusan!"

Oh. Betapa Sasuke ingin meninju pemuda di sebelahnya ini… Dia dipermainkan!

"Kalau kau menerimaku," ucap sang Namikaze—lagi-lagi memotong Sasuke yang hampir membuka mulutnya, "kisah cinta kita benar-benar akan mirip dengan Romeo dan Juliet. Keluarga yang bertikai, jatuh cinta pada pandangan pertama, dan… oh iya, Romeo yang datang ke pesta Julietnya!"

Cengiran lebar menguasai wajah Naruto.

"So, would you be my girlfriend, Juliet?"

Di saat Sasuke baru ingin membuka mulutnya dan membalas kalimat itu, kata-katanya dihentikan oleh suara lain yang terdengar di telinganya.

"Kau di sini rupanya."

Sasuke maupun Naruto segera menoleh ke arah pintu balkon, mendapati seorang lelaki berambut hitam dengan mata yang berwarna sama tengah berdiri di sana… Uchiha Fugaku.

"Kenapa kau tidak di dalam dan menemani teman-teman—" Karma. Kali ini kalimat Fugaku yang terpotong saat mata onyxnya mendapati sosok Naruto dengan lebih jelas.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dingin pada pemuda berambut pirang itu segera.

Tidak sedikitpun Naruto terlihat gentar. Ia memperbaiki posisinya menjadi berdiri sempurna sebelum membalas dengan senyum, "Hanya datang mengunjungi kenalan yang sedang berulang tahun, Uchiha-jii-san."

"Seorang Uchiha tidak akan berteman dengan seorang Namikaze," balas Fugaku sembari menatap tajam putranya, entah ia berkata untuk Naruto atau Sasuke sebenarnya. "Dan aku juga bukan pamanmu."

Naruto tak membalas. Senyum di wajah itu hilang, tetapi belum ada setitik pun ketakutan yang mencemari kedua mata birunya.

"Keluar dari sini, dan jangan pernah dekati Sasuke lagi!" seru kepala keluarga Uchiha itu pada Naruto, tidak mempedulikan fakta bahwa adegan yang terjadi di balkon ini mulai menarik perhatian para tamu.

Sasuke membuka mulutnya, mencoba membela, entah membela Naruto atau dirinya, "Ayah—"

"Diam, kau!" Fugaku memotong.

Teguran ayahnya sukses membuat pemuda bermata onyx itu membisu. Saat ia menoleh pada Naruto, pandangan mereka bertemu. Masih tak ada senyum di wajah kecokelatan itu. Dan Naruto mulai melangkah, meninggalkan balkon, berjalan lurus melewati orang-orang yang terus memandanginya maupun Sasuke.

Fugaku juga tidak bertahan di sana. Pria dengan umur berkepala empat itu segera berjalan dengan langkah kasar menuju tangga ke lantai tiga, sama sekali tidak mau menyadari bahwa dialah yang mengacaukan pesta putranya sendiri.

Selama beberapa detik, Sasuke hanya bisa terpaku.

Ia tahu ia seharusnya tidak usah berbuat apa-apa. Naruto adalah Namikaze, dan ia adalah Uchiha. Sudah jadi hukum tak tertulis bahwa mereka tidak akan bisa bersama—dengan hubungan yang bagaimana pun bentuknya kecuali permusuhan. Tapi… apa ini? Rasa sakit apa yang menderanya saat ini? Mengapa keringat dingin tidak berhenti membasahi tubuhnya? Dan mengapa ia tiba-tiba saja tidak ingin tak bisa bertemu dengan Naruto lagi?

Sasuke akhirnya segera bergerak, ia berjalan cepat melewati para tamu di lantai dua, sebelum akhirnya mulai berlari menuruni tangga menuju pintu utama kediamannya.

"Naruto!" serunya saat mendapati sesosok pemuda pirang yang tengah menuruni tangga di depan pintu utama dengan tangan di masing-masing saku celananya.

Harapannya hampir pupus melihat pemuda itu tak juga berhenti melangkah. Tetapi ia tidak mampu berhenti. Sasuke mengejar dan meraih tangan pemuda itu, membuat Naruto berhenti dan menoleh ke belakang.

Sejenak, mereka hanya saling memandang.

Nafas Sasuke agak terengah, pandangan matanya terus bertaut dengan putra Namikaze itu. Ia tak berkata apa-apa—atau tepatnya ia tak tahu harus berkata apa. Tetapi tangannya, genggaman erat tangannya pada tangan pemuda yang satu ternyata sudah cukup untuk mengatakan semuanya.

Naruto melangkah menaiki satu anak tangga dan meraih bibir Sasuke dengan bibirnya dalam kecupan singkat.

Ia balas menggenggam erat jemari Sasuke, memandang tepat ke mata onyxnya tanpa keraguan sembari berkata di hadapan wajah pemuda itu, "…aku akan kembali… My Juliet."

Dan pemuda berkemeja biru itu pun melangkah meninggalkan Sasuke yang berdiri terpaku di sana.

-
To Be Continued...
-


.

.

.

Aslinya ini one shot panjang. Tapi karena gak selesai-selesai juga, akhirnya saya post dulu bagian awalnya.

Diksinya ancur. Saya tahu. Ini fic terhenti berkali-kali dan ditulis dengan beragam mood dan keadaan. Ah. Makanya ini saya lebih suka begadang semalaman dan menyelesaikan satu chapter/fanfic sekaligus, tapi... dengan keadaan sekarang... gak bisa. T.T

Versi dengan liriknya ada di sini: http:/chiakimegumi. livejournal. com/8831. html (tanpa spasi)

Saya tahu ini fic masih banyak kekurangannya, jadi silahkan kritik langsung. Dukungan juga sangat diperlukan untuk kelanjutan fic ini. /plak

Please review, if you don't mind.