A/N : Iya, iya… Gue masih punya banyaaaakkk banget tanggungan fic. I know. Tiga fic collab dan ada 2 fic sendiri. Gue tau. Tau banget, malahan. Tapi, gue mau bikin fic ini! Mau bangetttt! Ini pasti gara-gara gue baru nonton 'The Daybreaker' sama selesai presentasi internal sama eksternal! Jiwa-jiwa galau sama labilnya masih kerasa banget ini. Hahahah!
Disclaimer : Karakter YGO kepunyaannya Kazuki Takahashi. Sementara ide cerita ter-influence sama film 'The Daybreaker'.
Warning : puppyshipping. Dan ini adalah VAMPIRE FIC! Sedikit gore dan gloomy.
Iklan : 'Triple Dates' udah update, lho. Ada di bagian crossover DNXYGO. Hehehe.
Bumi.
Planet biru tempat manusia tinggal sekarang sudah mulai berubah.
Manusia bukanlah lagi makhluk hidup yang menjadi penguasa utama Bumi. Bukan. Kedudukan manusia sebagai sang penguasa Bumi telah tergeser oleh ras makhluk hidup yang lainnya. Makhluk hidup yang jauh lebih kuat, pintar, dan tak terkalahkan.
Vampire.
XXX
THE IMMORTALS © are. key. take. tour
Yu-Gi-OH! Duel Monster © Kazuki Takahashi
The Daybreaker © Lionsgate and The Spierig Brothers
XXX
Earth. Domino City. 2020
Suasana kota di siang hari tampak begitu sepi. Jalan raya yang biasanya padat tak ada satu pun mobil yang melintas. Tepi jalan dan pertokoan yang biasanya pada juga seolah-olah telah ditinggalkan oleh para pengguna serta pembelinya. Begitu sepi, bagaikan kota mati.
Namun, suasana kota beralih 180 derajat saat matahari mulai tenggelam dan bulan serta bintang ganti menerangi bumi. Ratusan gedung dan bangunan tinggi di kota itu menyala, seolah-olah sinar rembulan telah membangunkannya dari tidur panjang. Pintu-pintu dan jendela mulai terbuka menyambut malam. Aktivitas yang luar biasa padat juga terjadi di jalan raya. Orang-orang berlalu lalang di trotoar untuk melakukan kegiatan mereka. Para murid juga mulai melakukan kegiatan belajar mereka di sekolah.
Dunia, telah terbalik.
Aktivitas siang hari telah ditinggalkan dan aktivitas malam hari dimaksimalkan.
Sebuah mobil berwarna hitam meluncur mulus melewati jalanan yang cukup padat. Sang pengemudinya adalah seorang pria berambut cokelat dan bermata biru. Jemari tangannya yang pucat mencengkeram setir dengan begitu erat sementara mata birunya menatap lurus ke jalanan yang semakin lama semakin terlihat lengang. Mobilnya telah ia arahkan ke sudut kota yang tidak terlalu ramai penduduk, menjauh dari keramaian kota.
Jauh dari kehidupan.
Mobil sedan berwarna hitam itu akhirnya menepi di sebuah pondok kecil di pinggir danau. Pondok itu begitu terpencil dari mata dunia dan orang lain. Hanya ia dan penghuni pondok itu saja yang mengetahui keberadaan pasti pondok , bahkan danau itu.
Sang pemuda merapikan sedikit penampilannya mengunakan sebuah cermin infra merah. Setelah yakin dengan penampilan sudah cukup rapi, ia meraih beberapa kantung cokelat dari kursi belakang dan membawanya turun dari mobil. Langkah kakinya yang begitu pasti teredam oleh tebalnya rerumputan. Mata birunya masih terfokuskan pada pondok kecil yang semakin lama terlihat semakin jelas. Kayu gelondongan yang menjadi bahan utama pembentuk bangunan tampak bersinar pucat di bawah pantulan bulan. Pintu kayu yang menjadi satu-satunya jalur masuk mulai terlihat, membuat sang pemuda tersenyum.
Akhirnya, kakinya telah sampai di beranda pondok. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Dengan sabar, ia menunggu pintu untuk dibukakan. Tak butuh waktu lama baginya untuk mendapati seorang pemuda berambut pirang membukakan pintu tersebut.
"Seto!" sapa sang pemuda berambut pirang gembira. Wajahnya tampak begitu berseri-seri saat mendapati sang pemuda bermata biru berdiri di hadapannya.
Pemuda berambut cokelat yang bernama Seto hanya tersenyum sambil memeluk pemuda satunya lagi. Sebuah kecupan singkat ia berikan ke dahi pemuda berambut pirang. "Kau tidak apa-apa, Katsuya?" tanya Seto sambil melangkah masuk.
Pemuda bernama Katsuya itu mengangguk antusias. Ia menggiring Seto ke sebuah sofa empuk berwarna merah. Pondok kecil yang menjadi tempat tinggalnya itu tak memiliki ruangan yang begitu besar. Satu ruangan cukup untuk kehidupannya. Sebuah tempat tidur ukuran queen size terletak di sudut ruangan, tepat di bawah jendela kecil. Sebuah loveseat berwarna merah cukup untuk menjamu tamunya yang tak banyak. Meja kecil yang mencakup sebagai meja tamu dan meja makan tertata tepat di depan sofa tersebut. Di seberang kedua upholstery tersebut berdirilah sebuah TV kecil berukuran 14 inch.
"Kau sudah makan?" tanya Seto khawatir sambil meletakkan kantung-kantung yang ia bawa ke atas counter dapur. "Aku membawakanmu beberapa bahan makanan lagi."
"aku sudah makan, Seto." balas Katsuya lembut. Ia terus memperhatikan Seto meletakkan beberapa bahan makanan ke dalam lemari pendingin dan lemari penyimpanan. "Kau sendiri?"
Seto terdiam sesaat begitu mendengar pertanyaan dari Katsuya. Butuh jeda waktu sekitar satu menit bagi sang pemuda berambut cokelat untuk membalas perkataan Katsuya. "… Ya. Aku sudah makan." Lalu ia kembali memasukkan makanan ke lemari penyimpanan dan mengosongkan bawaannya.
Katsuya menghembuskan napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia beranjak dari tempatnya berdiri dan mengambil sebuah gelas. Seto sendiri hanya memperhatikan gerak-gerik sang pemuda berambut pirang itu dengan penuh pertanyaan. Namun, segala pertanyaan tersebut terjawab saat Katsuya mengambil sebuah pisau dapur dan mulai mengiris telapak tangannya sendiri.
"Katsuya! Apa yang kau lakukan?" bentak Seto, panik. Ia mencoba menghentikan tindakan Katsuya untuk melukai dirinya, namun itu semua telah terjadi. Katsuya menggenggam erat telapak tangannya yang terluka dan membiarkan tetes demi tetes darah mengalir dari tangannya ke dalam gelas.
"Sudah kubilang berkali-kali, Seto. Kau harus makan. Kau bisa mati kalau terus menolak untuk meminum darah." ucap Katsuya. Ia kemudian menyodorkan gelas berisi darahnya kepada Seto. "Ditambah lagi, sekarang kalian sedang kekurangan suplai darah, kan? Minumlah."
Seto menatap gelas berisi darah itu dan Katsuya bergantian. Ia tak mau mengambil gelas itu, namun kebutuhan dirinya sebagai seorang vampire mengharuskannya untuk minum darah. Sementara itu, ia sudah lama sekali tidak meminum darah manusia. Darah segar, tanpa tambahan apapun. Bahkan darah campuran pun juga sudah lama tak ia sentuh.
Ragu-ragu, Seto akhirnya mengambil gelas itu dari tangan Katsuya dan meminum isinya. Sebuah erangan penuh kenikmatan terdengar dari Seto saat ia meminum habis darah di dalam gelas hingga ke tetes terakhirnya.
Sementara itu, Katsuya hanya memperhatian gerak-gerik Seto sambil tersenyum sedih. Begitu sang vampire menghabiskan minumnya, Katsuya langsung mengambil gelas itu dan mencucinya. Seto sendiri tampak begitu merasa bersalah karena membuat pemuda di hadapannya itu sampai harus melukai dirinya sendiri. Deminya…
"Katsuya, kau seharusnya tidak melakukan itu…" gumam Seto. Mata birunya menatap ke lantai, malu.
"Sudahlah, Seto. Aku sendiri tidak apa-apa, kok." sahut Katsuya yang sekarang sibuk mengeringkan gelas.
"Tapi, aku sengaja menyembunyikanmu disini bukan sebagai…"
Kalimat Seto terhenti ketika sepasang bibir mengunci bibirnya untuk melanjutkan perkataannya. Keduanya larut dalam ciuman yang diberikan diantara mereka. Terbuai dengan kerinduan dan keinginan untuk terus bersama yang tak mungkin terjadi. Hingga akhirnya Katsuya memutuskan untuk menjauhkan bibirnya dari Seto. Sebuah senyum singkat tampak di wajahnya.
"Aku tahu kau menyembunyikanku disini bukan sebagai pemasok darah segar bagimu." ucap Katsuya lembut sambil mengelus pipi Seto. "Aku tahu alasanmu menyembunyikanku disini karena kau…"
"Karena aku mencintaimu." sambung Seto. "Aku tak ingin kau menjadi sepertiku. Aku juga tak ingin kau menjadi bagian dari pasokan darah bagi… kaumku." Seto lalu melangkah maju dan menarik Katsuya ke dalam pelukan hangat. "Aku mencintaimu…"
Katsuya menghembuskan napas lega sambil mengusap-usap punggung kekasihnya. "Aku tahu." bisiknya lembut.
Seto memarkir mobilnya ke parkiran khusus baginya. Dengan langkah angkuh ia berjalan melewati deret demi deret mobil-mobil lainnya yang juga terparkir di area parkir tersebut. Wajahnya tak menyiratkan perasaan apapun. Koper berwarna abu-abu terus ia genggam dengan begitu erat, sementara trench coat putihnya berkibar-kibar di belakangnya. Saatnya untuk bekerja.
"Selamat malam, Tuan Muda Kaiba."
"Selamat malam, Tuan."
Sebagai seorang Vice CEO di perusahaan itu, sudah sewajarnya Seto mendapatkan sapaan penuh hormat dari semua orang yang ada di gedung itu. Seperti biasanya, ia menghiraukan sapaan tak penting para pegawainya dan terus melangkah ke dalam elevator untuk menuju ruang rapat. Tinggal lima menit lagi rapat dimulai dan ia hampir terlambat.
"Hei, Seto." Sapa seorang pemuda berambut tiga warna dari dalam lift.
"Atem." gumam Seto sopan sambil mengangguk. Ia kemudian memijit nomer lantai tujuannya dan berdiri di samping pemuda bernama Atem itu.
"Gozaburo baru saja menyuruhku untuk mencarimu." kata Atem. Suara baritonnya memecahkan keheningan sesaat di dalam elevator. Sepasang mata merah milik Atem diarahkan lurus ke arah Seto. "Kemana saja kau? Handphone-mu tidak aktif."
"Bukan urusanmu, sepupu." Balas Seto ketus. Wajahnya terus menunjukkan ekspresi dingin.
Atem terdiam sesaat, menanti respon lainnya dari sang sepupu, namun hal itu tak kunjung terjadi. Atem mengangkat kedua pundaknya. "Terserah padamu kalau kau tidak mau cerita. Tapi, Gozaburo mulai curiga denganmu. Kau sering sekali hilang entah kemana."
Seto masih terdiam.
Atem menghela napas panjang. Ia tak habis pikir dengan sifat sepupunya yang dingin ini. Bahkan jauh sebelum ia menjadi vampire, Seto sudah memiliki sikap dingin seperti itu. "Kau tahu, Seth. Tadi aku melihat para polisi kembali menangkap seorang vampire yang menjadi buas. Ia hampir saja memangsa pejalan kaki yang lewat di depannya."
Tak ada respon apapun dari Seto, namun Atem memutuskan untuk terus berceloteh. "Semakin hari semakin banyak saja vampire yang berubah menjadi beringas karena kekurangan darah."
"Justru itu tugasmu, kan, Atem?" ucap Seto tiba-tiba. "Sebagai ilmuwan yang memimpin penelitian, seharusnya kau tahu betul permasalahan kita saat ini."
"Ya, ya, ya. Aku tahu betul kalau kita mulai kekurangan darah sementara pasokan darah kita semakin menipis. Ya, aku tahu." ujar Atem sambil memutar bola matanya. Jengah. "Tapi, mencari darah pengganti itu tidak gampang, Seto. Butuh waktu dan penelitian yang matang sebelum kami bisa melempar produk ke pasar. Kau mau perusahaan kita yang telah bertahun-tahun menjadi perusahaan penyediaan darah ini tercoreng namanya hanya karena darah pengganti yang menelan korban jiwa?"
Seto hanya terdiam mendengar perkataan sepupunya itu.
Apa yang dikatakan dan diceritakan Atem di dalam lift adalah benar. Kondisi para vampire yang telah mendominasi bumi saat ini dalam keadaan bahaya. Semakin banyaknya vampire membuat keberadaan manusia semakin terpojok. Terutama sejak pemerintah dunia mencanangkan program penangkapan manusia demi pasokan darah segar setiap harinya. Keberadaan manusia semakin menipis saja setiap harinya. Semakin sedikit manusia, semakin sedikit pula pasokan darah bagi para vampire.
Kaiba Corporation sendiri adalah perusahaan yang bergerak sebagai penyuplai darah segar manusia. Perusahaan ini menyimpan beberapa manusia untuk diambil darahnya dan kemudian diberikan kepada masyarakat luas. Masyarakat sendiri nantinya akan mengolah darah tersebut dalam berbagai makanan dan minuman sehari-hari, seperti mencampur darah ke dalam kopi mereka atau sebagai frosting kue mereka. Sialnya, kejayaan perusahaan ini sekarang berada di ujung tanduk karena persedian manusia milik mereka mulai menipis. Ditambah lagi manusia-manusia yang ada dalam genggaman mereka menolak untuk dikembangbiakkan sehingga proses regenerasi manusia semakin sulit.
Para vampire di ambang kemusnahan.
DING!
Akhirnya mereka berdua sampai juga pada lantai yang mereka tuju. Seto melirik jam tangannya dan mengerang pelan. Lewat tiga menit. Gozaburo pasti akan marah besar pada keduanya. "Ayo, Atem. Kita sudah terlambat tiga menit." ajak Seto sambil mempercepat langkahnya.
"Salah siapa sampai aku ikut terlambat begini…" gerutu Atem yang berlari-lari kecil untuk mengimbangi kecepatan sepupunya.
Mereka sampai di ruang rapat sekitar tiga menit setelahnya. Berarti, keduanya terlambat sekitar enam menit. Di dalam ruang rapat sudah menunggu para petinggi-petinggi perusahaan dan beberapa petinggi pemerintah serta militer. Di ujung ruangan, duduklah seorang pria paruh baya dengan tatapan duduk tenang. Kedua matanya menatap tajam ke arah dua orang vampire muda yang baru masuk itu.
"Kalian terlambat." ucap Kaiba Gozaburo tegas. Suaranya menggema ke seluruh ruang rapat yang hening itu.
"Maafkan kami atas keterlambatan kami." kata Seto meminta maaf sambil membungkukkan badan. Gerakan tersebut langsung diikuti oleh Atem yang berdiri tepat di sampingnya.
Gozaburo sendiri mengibaskan tangannya. "Sudahlah. Sekarang, duduk pada kursi kalian masing-masing dan kita mulai rapatnya."
Seto dan Atem memberikan anggukan kepala singkat kepada sang CEO Kaiba Corp sambil mengambil tempat pada masing-masing di kiri dan kanan Gozaburo.
"Kita hari ini akan membahas mengenai epidemi yang terjadi di kalangan masyarakat." kata seorang peneliti yang mereka kenal sebagai Ryou. Vampire berambut putih itu kemudian memijit tombol pada controller-nya dan menyalakan presentasinya. Sebuah gambar grafik terpampang di proyektor. "Melalui grafik ini, kita bisa melihat bahwa persedian darah bagi masyarakat kita semakin hari semakin berkurang. Yang lebih buruk lagi, kita semakin lama semakin kekurangan pemasok darah kita. Manusia." Slide berganti lagi untuk menunjukkan penurunan drastis jumlah manusia. "Bila kita tidak segera membuat penggantinya, dalam jangka waktu tiga bulan seluruh vampire akan berubah menjadi seperti ini." Kali ini di proyektor menunjukkan gambar seorang vampire yang telah berhari-hari tidak meminum darah manusia. Ia telah berubah menjadi makhluk setengah kelelawar dan setengah manusia. Tangannya telah berubah sepenuhnya menjadi sayap bersisik. Rambutnya menipis dan taringnya semakin memanjang.
Beberapa orang di dalam ruang rapat berjengit melihat penampilan mengerikan tersebut, termasuk Gozaburo. Hanya Seto dan Atem yang menampilkan ekspresi datar.
"Kondisi ini bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kita." lanjut Ryou. "Dalam tiga bulan lagi, ini akan terjadi pada kita semua. Vampire akan musnah bila kita tidak segera mengantisipasi kekurangan darah ini."
"Menarik, Dokter Ryou." kata Gozaburo. "Tuan-Tuan sekalian, apa yang dipresentasikan oleh Dokter Ryou ada benarnya. Kekurangan darah ini telah menjadi epidemi dan akan semakin parah apabila kita tidak segera mengantisipasinya. Bagaimana penelitian darah penggantinya, Dokter Yami?" Kali ini Gozaburo melirik Atem yang duduk di samping kirinya.
"Masih dalam tahap penelitian, Sir." balas Atem tegas.
Terlihat raut tak senang di wajah Gozaburo. "Sudah berapa lama kau meneliti ini, Yami? Kenapa aku tidak pernah mendapatkan hasil yang pasti?"
"Karena saya tidak ingin membahayakan jiwa konsumen kita. Saya berjanji, setelah saya dan tim saya menemukan pengganti yang cocok, pasti akan saya beritahukan pada Anda."
Gozaburo hanya mendengus pelan saat mendengar balasan dari Atem. Sang pemuda berambut bintang itu terdengar kesal dengan perkataan Gozaburo. Wajar saja. Sudah berhari-hari Atem dan timnya meneliti pengganti yang cocok di bawah tekanan dari pihak perusahaan. Tekanan demi tekanan membuat timnya tak sanggup bekerja secara maksimal.
"Meskipun pihak penelitian kita memberikan laporan yang mengecewakan hari ini," Atem menggeram pelan mendengar ejekan dari pamannya itu. "tapi para prajurit kita telah berprestasi. Ceritakan kepada yang lainnya apa yang kalian dapatkan kemarin, Marik, Bakura."
Kedua kapten angkatan perang yang khusus didirikan oleh pemerintah untuk menangkap manusia itu berdiri. Wajah bangga dan sombong tampak pada keduanya. "Kami baru saja berhasil menangkap sekitar dua puluh manusia dalam pelariannya." cerita Bakura, sementara Marik tersenyum bangga sambil membusungkan dada.
"Bagus." Gozaburo tersenyum kecil. "Semuanya dalam keadaan baik, kan?"
"Tentu, Tuan. Tidak ada satupun diantara mereka yang terluka sama sekali. Sayang kalau harus membuang darah barang setetes saja pada masa-masa sulit seperti ini." Giliran Marik yang angkat bicara.
"Bagus." Gozaburo kemudian melirik Atem seraya berkata, "Berita seperti itulah yang ingin kudengar dari divisimu. Yami."
Atem hanya bisa menggeram kesal sambil mengepalkan tangannya di bawah meja.
"Brengsek!" umpat Atem kesal. "Memangnya ia pikir aku tidak berusaha sama sekali, apa!"
"Sudahlah, Atem. Memang sudah kodratmu untuk dihina-dina di depan rapat." ejek Bakura yang kemudian mendapat hadiah lemparan asbak rokok oleh Atem.
"Tapi, menambah hanya dua puluh orang rasanya tidak akan berarti apa-apa pada perubahan ini…" gumam Ryou muram sambil mengaduk-aduk kopinya. Tentu, dengan campuran 20% darah di dalamnya.
"Hei! Kau tidak menghargai usahaku dan Marik, Ryou?" gerutu Bakura. "Kami berdua dan tim kami berjuang mempertaruhkan nyawa untuk menangkap manusia-manusia itu!"
"Mempertaruhkan nyawa?" ulang Seto penasaran.
"Manusia sekarang ternyata telah mempersenjatai diri masing-masing dengan pasak perak." kata Marik menjelaskan. Ia bergidik pelan saat mengingat-ingat pasak itu menancap di jantung komradnya. "Saat itu menusuk jantungmu, kau akan langsung hancur berkeping-keping. Sama persis seperti saat kau terkena sinar matahari."
"Auch. Itu pasti menyakitkan." celetuk Atem sambil mengerenyit ngeri. Sang vampire berambut tiga warna itu lalu menyeruput kopi bercampur darahnya itu.
"Hai semuanya. Sudah selesai rapatnya?" sapa seorang pria mungil berwajah sama dengan Atem. Berdiri di sebelahnya pemuda lain berkulit gelap dengan wajah mirip Marik.
"Yugi!" seru Atem gembira. Ia kemudian berlari menyambut kedatangan pemuda itu dan memeluknya erat.
"Kemana saja kau, Malik?" tanya Marik sambil memeluk pinggang ramping kembarannya dan meletakkan dagunya pada pundak Malik.
"Aku sibuk di ruang penyimpanan, menyimpan manusia yang baru kalian tangkap." sahut Malik. "Banyak juga hasil tangkapan kalian hari ini."
Yugi berjalan menuju sofa dan duduk di samping Seto. Sang pemuda berambut cokelat tua itu sedang mengaduk-aduk kopinya dan meminumnya. "Kau… tidak meminum darah lagi, Seto?" tanya Yugi khawatir.
Perkataan Yugi langsung membuat orang-orang yang ada di sekitar Seto menoleh tajam ke arah vampire bermata biru itu. Ekspresi khawatir bercampur takut terlihat jelas di wajah mereka.
"Seto… Kalau kau tidak minum darah, bisa-bisa kau berubah menjadi makhluk yang kupresentasikan barusan…" gumam Ryou khawatir.
"Aku sudah cukup minum di rumah."
"Dalam keadaan seperti ini, lebih baik kau minum darah sebanyak yang kau bisa, Seto. Sebelum darah menjadi barang langka." usul Marik.
"Sudah kubilang aku sudah minum cukup darah."
"Berapa? Dua tetes?" ejek Bakura.
Seto meletakkan gelas kopinya ke atas meja dengan kasar, sehingga menimbulkan suara gebrakan yang cukup kencang. Mata birunya memancarkan amarah dan kekesalan pada vampire yang lainnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Seto beranjak dari ruangannya dan pergi meninggalkan teman-temannya.
Seto berdiri di depan sebuah ruangan kaca. Di balik kaca tersebut, Seto bisa melihat deretan manusia di jejerkan dalam sebuah rak besi. Tubuh mereka yang telanjang terikat pada rak besi yang menahan mereka. Begitu banyak selang mencuat dari masing-masing individu dan darah segar mengalir dari tiap selang. Entah dari tubuh bagian mana darah-darah itu diambil, Seto tak mau memikirkannya.
Sang vampire berambut cokelat itu meletakkan tangannya ke permukaan kaca yang dingin. Tidak. Ia tak akan membiarkan Katsuya diperlakukan seperti ini. Ia tidak mau.
"Katsuya…" bisik Seto pelan sambil menempelkan dahinya ke kaca.
Tanpa ia ketahui, Kaiba Gozaburo yang kebetulan lewat mendengar nama kekasih putranya diucapkan.
To Be Continued
A/N : Hyaaaa… Sampah macem apa lagi yang gue buat sekarang? #headbang Hahahah! Duh, maaf banget, ya, kalo terkesan abal dan aneh. Semoga chapter berikutnya bisa lebih bagus lagi. Amin! Ayo, ayo! Review! Hehehe.
Adieu.