Hai hai ! ^^

Ini adalah fic romance ketiga saya, sekaligus fic pertama multichap yang menggunakan EYD sebaik-baiknya dan diksi yang mudah dicerna. –mungkin-

Terinspirasi dari cara permainan piano menyentuh oleh Beethoven. Gimana ceritanya bisa muncul? Entahlah, tiba-tiba rasanya almarhum Beethoven bisikin ide gitu ke saya~ *merinding disko sendiri*

Saya tegaskan dua hal tentang fic ini:

Bukan kisah nyata. Walau mungkin saja kebetulan ada kisah nyata seperti ini.

Bukan hasil jiplakan. Walau mungkin saja ada autor yang tersinggung karena merasa karyanya terjiplak.

Udah ah.

Akhir kata, read and enjoy. Review too. Don't like? Don't suicide -?-

.

.

FINGERS RHAPSODY© widii nateriver walker

NARUTO © Masashi Kishimoto


CHAPTER 1 : PROLOG

Kelingking kanannya menghentak tuts piano yang nyaris terletak di paling ujung untuk kedua kalinya. Dentingan nyaring terakhir menyiratkan kesempatannya untuk menarik nafas lebih dalam.

Espressivo !

Kepalanya menunduk sambil meresapi tiap tuts yang disapu halus oleh jemari lentiknya. Dengan tekanan lembut, tuts itu sudah terdorong ke bawah. Sesekali tuts tua itu menyangkut di beberapa tempat. Namun karena penghayatannya yang begitu dalam, tiada masalah baginya. Ia asyik dalam dunianya. Dunia bersama benda antik ini. Dunia yang telah ditekuni sejak usianya belum genap sepuluh tahun.

Mata emerald itu melirik sekilas pada secarik kertas di hadapannya.

Duh, meleset.

Wajar saja. Lagu ini memang baru dipelajarinya beberapa hari. Dan ia juga mengakui sejak pertama melihat dan mencetaknya dari sebuah situs di internet, tidaklah gampang menghafal deretan not yang serasa memelintir kepala seperti yang tertera pada piano sheet lagu satu ini. Seperlimabelas bagian untuk lagu La Campanella tidak buruk untuk latihan ketiga. Ia bukanlah sang maestro jenius yang mampu menyempurnakan lagu ini dalam tempo waktu yang sedemikian singkat. Susah. Bukan, sukar. Itu kosakata yang lebih cocok.

Dan anugerah istimewa yang telah diberikan Tuhan padanya tidak mendukung banyak soal lagu ini. Meski sudah berpuluh-puluh alunan lagu yang telah dikuasainya.

Tetap saja, seharusnya dia patut bersyukur. Tidak semua orang bisa seperti dia, kan?

Ia mengingat kembali sosok guru piano amatiran yang sempat mengajarnya satu windu silam. Beliau begitu kepayahan memainkan Turkish March yang baginya sekarang bukanlah sebuah tantangan besar. Hiperbolis, kalau saja ia tidak mempelajari teknik dan dominan menghafal seluruh notnya dengan langkah awal mendengarkan demostrasi lagunya yang terangkum dalam CD kumpulan lagu Mozart. Menurutnya, hanya keterangan-keterangan di sheet—yang kebetulan waktu itu digunakan gurunya--terlewat ribet, sehingga membuat bingung. Apalagi gurunya tidak menggunakan metode menghafal not pada sheet.

Sekali lagi, dia harus bersyukur.

Gelengan serong kepalanya menyertai merenggangnya kesepuluh jarinya di atas tuts dengan pasrah tanpa menekan sepenuhnya. Diliriknya jam mungil di mejanya. 06.25. Hey, gadis itu dengan santainya memainkan piano pada saat matahari masih setengah molor begini?

Setidaknya ini hari kerja. Hari di mana orang-orang menyibukkan diri untuk beraktivitas di pagi hari. Minimal suara bising ini menguapkan beban tetangganya yang sulit bangun. Ya, meskipun kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pernah sekali, diterimanya omelan tetangga dari balkon rumah mereka yang bersebelahan langsung dengan kamarnya—sehingga terdengar jelas sumpah serapah di telinga gadis berambut merah muda ini.

Memang tidak lucu, tapi toh tampaknya dia tidak peduli.

Di balik itu, tetangga-tetangganya yang lain tidak merasa keberatan. Malah mereka menyanjung permainan pianonya. Bagus, indah. Permainan dengan penuh perasaan--itu komentar mereka melalui ibunya. Dulu. Sebelum—wajah teduhnya menghilang dikubur oleh tanah.

Semoga beliau sedang berada di samping ayah di tengah naungan teduhan nyaman di surga. Terkilas di ingatannya juga sederet doa di tengah isaknya tiga tahun yang lalu.

Sambil mengusap katup yang sudah menutupi untaian tuts piano tuanya, gadis yang sudah berseragam sekolah itu meraih mapnya dan memasukkan beberapa lembar kertas di atas piano. Termasuk kertas laporan biologi yang semalaman diketiknya. Sederet tulisan tepat di bawah judul kertas itu menunjukkan apa yang bisa diucapkan orang untuk memanggilnya. Semacam mantera.

"Sakura !"

Itulah 'mantera'nya.

Suara keras itu rutin terdengar tiap pagi, dan sama sekali tidak memberi kejutan yang dialami oleh para pendengar tingkat atas, alias keseringan. Perlu diingat, hanya berlaku kalau wanita berambut pirang yang tengah mengadah ke arah kamarnya yang menyerukan.

"Ya," gumamnya pelan, alhasil orang di jawab tidak mendengar. Untuk terakhir kalinya ia menepuk Lowrey tuanya.

Aku akan kembali. Segera.

Tunggulah.

.

.

Meski aku belum menjelma menjadi seorang maestro seperti Frankz Liszt.


----TBC----

Terlalu singkat kah? Atau ini prolog yang kepanjangan? o.0

Ngomong-ngomong soal lagu La Campanella—Saya karang tentang tingkat kesusahannya… gak apa-apa kan? Terus, apa emang beneran sulit? Di mata saya: bisa bikin gila permanen ! Hell ! Saya dah coba mainin beberapa not bar (atau apalah namanya itu). DAN, saya tersengal-sengal di tengah jalan. Perlu diingat, hal yang sama sudah saya ulang selama tiga bulan. -.-'

Bener nggak sih, sesulit itu? Atau sayanya aja yang bego piano?

Kalau dilihat dari sheetnya dan dibandingkan langsung dengan lagunya, piano sheet yang sudah sempat saya sumpahi baru versi solo, sedangkan di lagu persepsi saya adalah versi duet-nya.

I give up buat main La Campanella ! Uaarrggh ! DX

Oh ya, ada yang tau dimana tempat nyari sheet versi duet piano-nya? Dari kemarin browsing nggak nemu-nemu–kepercayaan diri terkumpul lagi-

Terima kasih sudah sudi mampir dan mereview ! :D

.

Signed,

widii nateriver walker ^_^