Sementara itu, hujan turun semakin deras, membasahi seluruh tubuh Naruto yang tengah terduduk menyesali apa yang baru saja diperbuatnya. Sekilas sebuah cahaya petir datang menyinari seisi taman itu untuk sekejap, saat itu Naruto menyadari bahwa ia tidak sendirian di taman itu
Sesosok tubuh yang juga basah kuyup tengah berdiri dihadapannya, gelap dan dinginnya malam ditambah derasnya hujan membuatnya tak dapat mengenali sosok yang berada dihadapannya itu.
Sampai akhirnya kilatan petir berikutnya datang dan menyinari tempat itu untuk yang kesekian kalinya, walaupun hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat Naruto mengenali siapa sosok yang tengah berdiri tak jauh dari hadapannya itu. Tubuhnya yang tadi lemas, sontak menjadi tegang begitu tau siapa sosok tersebut, bibirnya yang biru membeku dan dengan sedikit bergetar berucap perlahan ...
"Hi- Hinata ..."
All characters cretaed and belongs to Masahi Kishimoto.
Story line by Aojiru.
Warning: AU
.
.
CANCER
(Chapter 5, Last Chapter)
Till Death Do Us Part
.
.
"Hi.. Hinata …" ujar Naruto gugup.
Naruto menegaskan pandangannya untuk memastikan bahwa yang ia lihat adalah benar adanya, bahwa yang berdiri di depannya benar adalah seorang Hyuuga Hinata. Dan saat itu, Naruto masih belum habis pikir, mengapa Hinata datang kemari, mengapa Hinata datang menemuinya, orang yang baru saja membuat hatinya hancur berkeping-keping.
"Naruto.." ujar Hinata membuyarkan segala lamunan dalam diri Naruto.
Naruto memandangnya, rasa penasaran menjalar di sekujur tubuhnya atas kalimat yang baru saja diucapkan oleh Hinata dan juga atas apa yang hendak ia katakan berikutnya.
"Naruto.." ujar Hinata melanjutkan kalimatnya. "Tadi.. saat kau bilang padaku, kalau kau sudah tidak mencintaiku lagi.. apa itu sungguhan?, apa memang karena alasan itu kau pergi meninggalkanku.. karena aku memang sudah tidak ada artinya lagi bagimu?" ujar Hinata sambil mencoba menguatkan hatinya.
Naruto terdiam, ia merasa penasaran, kenapa Hinata menanyakan hal seperti itu padanya. Padahal, tadi saat mereka kembali bertemu setelah sekian lama, Naruto sudah mengatakannya dengan jelas, bahwa ia memang sudah tidak mencintai Hinata lagi, walaupun itu hanyalah alasan baginya untuk tidak bersama Hinata karena ada alasan lain yang berbeda.
Naruto memalingkan pandangannya dari Hinata.
"Kenapa kau menanyakan hal seperti itu?" tanya Naruto dengan dingin.
"Apa kau masih belum puas dengan apa yang baru saja kukatakan padamu itu? Apa hatimu masih belum puas dengan penderitaan yang kuberikan padamu itu? atau kau hanya ingin membujukku untuk kembali bersamamu lagi?" terang Naruto dengan sedikit ketus.
Merespon apa yang Naruto katakan, Hinata hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia membasuh kedua matanya yang basah oleh air mata dengan punggung tangannya.
"Ti- tidak.. bukan begitu, aku.. aku hanya ingin memastikan satu hal saja.." tambahnya dengan nada lirih.
"Apalagi yang ingin kau pastikan! Apa kau ingin mendengar aku mengatakan 'aku sudah tidak mencintaimu lagi', begitu?"
"Kalau begitu, kalau begitu aku akan mengatakannya, agar kau puas.."
Naruto mengambil nafas dalam-dalam, ia mengepalkan kedua telapak tangannya dan mencoba menguatkan hatinya.
"Aku.. aku sudah tidak mencintaimu lagi.. aku sangat membencimu dan aku ingin kau jauh dariku, aku tidak ingin melihatmu lagi." Teriak Naruto.
Memang hanya sedikit, tapi itu adalah kalimat yang mengandung beban yang sangat berat baginya, kalimat yang mampu memporak-porandakan jiwanya. Dan walaupun mulutnya dengan lugas mampu mengatakannya, tapi hatinya memiris perih, hatinya merintih untuk berhenti melakukannya, hatinya terlau sakit untuk mengucapkan hal seperti itu pada orang bahkan sampai saat ini pun masih sangat dicintainya.
Namun Naruto menghalau semua perasaannya itu, ia menguatkan dirinya agar semua penderitaan yang ia dan Hinata rasakan selama ini tidak berakhir sia-sia, agar semua sandiwara yang harus dibayar dengan segala perasaan sakit ini dapat berakhir sesuai dengan apa yang ia harapkan.
BRRUUKKK!
Sebuah suara yang terdengar jelas dari arah Hinata membuat Naruto kembali menolekan pandangannya ke arah Hinata berdiri, dan Naruto melihat hal yang tidak semestinya terjadi saat seseorang yang harusnya terluka, tapi malah menampilkan senyuman diwajahnya. Benar, Hinata malah tersenyum setelah apa yang baru saja Naruto katakan padanya, walaupun kini ia tengah berlutut jatuh tersungkur akibat hal itu.
"Syukurlah.. aku benar-benar lega, terima kasih Naruto, terima kasih sudah mengatakannya.. walapun hati ini terasa amat sakit, tapi aku benar-benar senang mendengarnya..." ujar Hinata lirih.
Dan hal itu sekaligus membuat Naruto tambah penasaran, "Kenapa.. kenapa ia malah tersenyum.."
Hinata kembali berujar perlahan, namun cukup keras untuk didengar oleh Naruto. "Untunglah, rupanya.. rupanya kak Neji hanya membodohiku saja.. dan Dokter itu juga.."
"Neji..? Dokter ..? apa maksudnya.. apa yang sedang ia bicarakan..."
"Berarti.. kertas ini juga pasti hanya tipuan, kertas ini pasti hanya bohong belaka.. ya 'kan, Naruto.." ujar Hinata sambil mengacungkan sebuah kertas ke hadapan Naruto.
'DEG'
Naruto terkejut begitu melihat kertas yang digenggam oleh Hinata itu. Kertas yang menjadi bukti bahwa keberadaannya di dunia ini hanya tinggal dua bulan saja.
"I.. itu.. kertas itu... bagaimana bisa..."
Hinata tersenyum kecil, walaupun air mata mengalir deras dari kedua matanya.
"Di kertas ini, katanya Naruto mengidap penyakit parah yang sudah tak bisa disembuhkan lagi karena tak ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit itu, dan hal itu membuat sisa umurnya hanya tinggal dua bulan lagi,.. fufufu..kalau dipikir-pikir, siapa yang mau percaya dengan lelucon buruk seperti ini, sangat tidak masuk akal 'kan Naruto.."
"Hinata..." batin Naruto berucap lirih, ia memandang Hinata dengan tatapan yang memelas.
Hinata kembali mengusap kedua matanya yang basah oleh air mata, kemudian ia berusaha untuk kembali berdiri dan berbalik dari hadapan Naruto lalu melangkahkan kakinya perlahan dan pergi meninggalkan Naruto tanpa mengucapkan apapun.
Baru beberapa langkah Hinata beranjak, Naruto memanggil namanya.
"Tunggu Hinata.."
Sontak hal itu membuat Hinata menghentikan langkahnya.
"Hinata.. maaf.. maakan aku..." ujar Naruto.
Hinata hanya tersenyum kecil, namun ia tidak membalikkan badannya ke hadapan Naruto.
"Kenapa kau harus minta maaf Naruto, kau tidak salah, dan kau tidak melakukan kesalahan apapun, apa kau meminta maaf padaku karena kau sudah tidak mencintaiku lagi?" Ujarnya perlahan.
"Seperti itulah cinta, aku memang tidak bisa menjelaskannya dengan tepat, tapi aku mengerti.. ada kalanya kita tidak bisa memiliki sesuatu yang kita cintai walau sebesar apapun rasa cinta kita terhadapnya."
"Lagipula bukankah kau senang kalau aku pergi dari sini.. kau tidak akan merasa terganggu dengan keberadaanku lagi, kau akan merasa lebih senang tanpa kehadiranku disisimu, aku juga akan berusaha untuk menjauhimu dan kau bisa memulai hidupmu yang baru..."
"Walaupun mungkin suatu saat nanti kita akan kembali bertemu di tempat yang tak terduga, dan saat itu kau mungkin sedang bergandengan tangan dengan gadis lain yang lebih bisa membahagiakanmu melebihi aku, yang jauh lebih sempurna dari pada keberadaanku disisimu, dan mungkin saat itu aku akan menangis karena hal itu, mungkin saat itu hatiku akan menyesali apa yang telah terjadi hari ini dan berharap aku bisa kembali berada disampingmu."
"Tapi tenang saja, karena saat itu, aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk mencoba menahan segala perasaan itu, aku akan berusaha keras untuk berpura-pura tidak mengenalmu dan mengacuhkanmu, aku akan berusaha bersikap senormal mungkin, seolah tidak ada yang pernah terjadi diantara kita, jadi kau tidak perlu takut kalau suatu saat nanti aku akan datang dan mengganggu kehidupanmu. Dan karena itu.."
Kemudian Hinata membalikkan badannya sambil tersenyum dengan linangan air mata yang mengalir deras dari ujung pelupuk kedua matanya.
"Sampai jumpa lagi Naruto, jaga dirimu baik-baik..."
Ia mengusap kedua matanya dan kemudian berbalik pergi melangkah meninggalkan Naruto. Kemudian ia berlari, ia berusaha meninggalkan tempat itu sejauh dan secepat mungkin, ia ingin segera lepas dari perasaan yang membelenggunya ini.
Tapi ia tergelincir, ia tergelincir oleh lumpur yang basah akibat hujan yang terus mengguyurnya sejak tadi, ia mengumpulkan tenaganya dan mencoba kembali untuk bangkit, tapi apa daya, hatinya tak memberikannya kekuatan untuk kembali berlari pergi meninggalkan tempat itu. Kini ia tersungkur dalam lututnya, ia kembali menangis untuk yang kesekian kalinya, air matanya kembali mengalir membasahi rona merah dipipinya.
"Kenapa.. kenapa air mata ini tak mau berhenti juga... padahal aku.."
Saat itulah, ia merasakan sebuah kehangatan yang mendekap erat tubuhnya, ia merasakan perasaan nyaman yang dulu selalu hadir untuknya disaat ia membutuhkannya. Tapi entah kenapa, kini hal itu malah membuatnya semakin sedih, ia semakin tenggelam dalam tangisnya, emosi yang mengalir dalam dirinya berbeda dari yang dulu ia rasakan. Ia menangis meresapi kehangatan yang mengalir padanya itu.
Kemudian sosok yang mendekapnya erat itu berujar perlahan.
"Hinata.. sebenarnya saat kau datang padaku tadi.. aku benar-benar merasa lega, aku benar-benar merasa senang. Karena satu-satunya orang yang selalu ada untukku, satu-satunya orang yang selalu hadir dan menghiburku saat aku merasa sedih adalah kau seorang Hinata, hanya kau."
"Karena itu aku minta maaf, aku minta maaf atas keegoisanku selama ini, aku minta maaf karena telah menyakitimu, dan telah membuatmu menderita seperti ini."
"Pasti rasanya menyakitkan 'kan, Hinata, setelah apa yang kuperbuat padamu, setelah apa yang kulakukan padamu dan saat ini kau pasti sangat membenciku karena hal itu."
"Tapi aku tidak ingin membohongimu lebih dari ini, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini, aku tidak tahan kalau harus membuatmu menderita lebih dari ini, karena walau nafas terakhirku berhembus, walau jantungku berhenti berdetak, walau jiwa ini tak lagi bersemayam dalam tubuhku ini, bahkan walau maut datang menghampiriku, aku tak akan pernah memungkirinya, aku tak akan pernah menyembunyikannya lagi..."
"Bahwa aku.. bahwa aku selalu membutuhkanmu, bahwa aku selau menyayangimu.. bahwa aku selalu mencintaimu dan akan terus mencintaimu melebihi apapun yang ada didunia ini..."
Spontan kalimat yang dilontarkan oleh Naruto itu membuat Hinata semakin terkubur dalam kesedihannya, dan butuh waktu lama baginya untuk bisa menenangkan gejolak dalam hatinya dan kemudian berujar pada Naruto yang sedang memeluknya.
"Aku.. aku tau hal itu.. aku tau hal itu Naruto.. kau tak perlu menjelaskannya padaku.. aku selalu tau bahwa kau selau mencintaiku walau apapun yang terjadi, aku selalu tau kalau kau akan terus mencintaiku, karena aku juga.. aku juga akan selalu mencintaimu.. aku akan terus mencintaimu, sampai kapanpun juga aku
akan terus mencintaimu seumur hidupku Naruto.."
"K- kau.. kau tidak membenciku Hinata? Setelah apa yang kulakukan padamu?" tanya Naruto.
Hinata menggelengkan kepalanya. "Bagaimana bisa aku membenci orang yang sangat kucintai sepertimu Naruto, aku tak akan pernah bisa melakukan hal itu walau apapun yang terjadi."
Hinata melepaskan genggaman tangan Naruto dari tubuhnya, tapi ia tak melepas kedua tangan Naruto, dan ia masih menggenggam tangannya saat ia membalikkan badannya ke hadapan Naruto.
"Karena walau apapun yang kau lakukan padaku, bahkan kalau kau benar-benar membenciku, aku akan tetap mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku ini." ujar Hinata sambil tersenyum.
Kali ini tak hanya Hinata yang menitikan air mata, Naruto pun tak kuasa untuk membendung air mata yang sejak tadi menggenangi sekitar bola matanya. Kemudian ia kembali memeluk tubuh Hinata dan menangis didalamnya.
"Aku.. bagaimana bisa aku melakukan hal itu pada orang yang telah memperlakukanku dengan baik seperti ini, bagaimana bisa aku dengan teganya membuat hati seorang gadis kecil sepertinya meraung menahan segala penderitaan yang amat berat seperti ini, dan setelah inipun aku masih akan menyakitinya lagi.."
"Oh Tuhan.. kalau memang kau benar-benar ada.. kenapa kau biarkan gadis sepertinya merasakan penderitaan ini, kenapa kau biarkan seorang gadis sebaik dirinya harus jatuh cinta pada orang yang tak bisa membahagiakannya, pada orang yang tak bisa menjaganya dan melindunginya dari penderitaan ini."
"Kenapa harus dia yang menderita seperti ini.. kenapa harus dia.. kenapa.. KENAPA..."
Kemudian Naruto melepaskan pelukannya dari Hinata, ia menyibak rambut basahnya yang menutupi sebagian wajahnya dan menatapnya dalam.
"Hinata.. maukah kau melupakanku..."
Mendengar hal itu, bibirnya bergetar, kedua bola mata lavendernya mulai kembali digenangi cairan yang sebening kristal dan siap jatuh kapan saja.
"A- apa aku memang harus melupakanmu, Naruto..."
Naruto tersenyum miris, "Kau tau 'kan, kalau kertas itu bukan hanya kebohongan semata.." ujar Naruto mencoba meyakinkannya.
Hinata menundukan wajahnya tanpa menjawab pertanyaan Naruto itu, sejak awal ia memang mengetahuinya, lagipula tidak mungkin Neji berbohong padanya. Dia hanya tidak mau mempercayai kenyataan pahit seperti itu, hatinya belum siap menerima kenyataan yang sebenarnya itu.
Naruto menempelkan telunjuknya pada dagu Hinata, dan dengan perlahan Naruto mengangkat dagu itu. Dan diwajah itu, nampak kesedihan yang amat dalam, kedua bola matanya pun memancarkan kepedihan dan bulir-bulir air di pelupuk matanya semakin jelas terlihat.
Naruto segera menyapunya dengan jari jemarinya sesaat sebelum air mata itu jatuh dari pelupuk mata Hinata.
"Kau tidak perlu menangis seperti itu Hinata.."
"Ta- tapi aku.. aku.." ujar Hinata dengan gemetar.
Naruto menghela nafas panjang, ia tersenyum sambil menatap wajah Hinata dengan tatapan lembutnya.
"Hinata.. apa kau ingat saat pertama kali kita pindah ke apartement itu?" tanya Naruto.
Hinata diam tak menjawab, menurutnya itu bukanlah sesuatu yang harus dibicarakan dalam kondisi seperti ini, namun Naruto tetap melanjutkan kalimatnya.
"Saat itu kau tidak sengaja menjatuhkan sekardus buku yang sedang kau bawa dan tanpa sengaja mengenai sepatu yang dikenakan oleh sang pemilik apartement, lalu ia mengerang kesakitan sambil memengangi sepatunya, saat itu ia sadar kalau di bagian bawah sepetunya itu terdapat sesuatu yang lembek dan hangat serta mengeluarkan bau tak sedap, yang ternyata itu adalah kotoran anjing, kemudian ia dengan terpincang-pincang berlari kearah toilet sambil mengumpat dan berbicara tak jelas lainnya. Lalu bukannya meminta maaf, tapi kau malah menertawakan kejadian itu dan membuat kesal pemilik apartement itu, apa kau ingat.."
"Aku pun tak bisa menahan tawaku saat itu, kita terus tertawa selama beberapa saat dan membuat kita dibenci oleh pemilik apartement itu, untunglah kita masih tetap dijinkan untuk tinggal."
Hinata segera tertawa begitu pikirannya kembali mengenang kejadian itu, ia tertawa, tapi ia tetap tak bisa meninggalkan tangisnya, sambil mengusap air matanya yang sudah berada di pelupuk matanya itu, ia kembali tertawa mengenang hal tersebut.
Lalu Naruto kembali menceritakan kejadian-kejadian menarik yang pernah mereka berdua alami, dan hal itu membuat Hinata tertawa lebar, dan bukan hanya itu, Hinata seolah melupakan apa yang sedang terjadi diantara mereka berdua.
"Haaahhhh.." Naruto menghela nafas panjang, sementara Hinata masih tertawa kecil mengenang kejadian-kejadian tersebut.
"Apa kau tau kenapa aku menceritakan hal itu padamu Hinata?" tanya Naruto tiba-tiba.
Hinata menggelengkan kepalanya, tanda bahwa ia tidak mengetahui jawabannya.
Naruto tersenyum kecil. "Kalau begitu, apa sekarang perasaanmu sudah lebih baik?" ujar Naruto kembali bertanya.
Hinata terdiam sejenak, bola matanya melirik ke atas seolah sedang mencari jawaban itu, dan ia menemukan berhasil menemukan jawabannya setelah menyelammi perasaannya sendiri, kemudian ia menganggukkan kepalanya dengan sedikit tersenyum.
Naruto kembali tersenyum. "Begitulah, kalau kau tetap tersenyum, masalah apapun yang datang menghampirimu, kau pasti akan selalu bisa menghadapinya, entah itu adalah masalah besar ataupun masalah yang kecil, asalkan kau selalu tersenyum, semua itu bukanlah apa-apa."
"Begitu pula saat ini, kalau kau bisa menghadapinya dengan tersenyum, kau pasti akan bisa melaluinya."
Hinata kembali termenung mendengar ucapan Naruto tersebut.
"Lho.. lho.. lho.. kenapa kau malah kembali murung seperti itu.. apa aku perlu menceritakan kejadian-kejadian menarik lainnya.." tanya Naruto.
Hinata membalasnya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Naruto balas tersenyum, kemudian ia membelai rambut Hinata dengan lembut. "Jadi.. saat aku sudah tidak ada nanti.. kau hanya perlu mengenang saat-saat seperti itu, saat dimana kau merasa bahagia dan bisa selalu membuatmu tertawa seperti ini, dengan begitu masalah sebesar apapun akan terasa ringan, dan kau akan bisa melaluinya."
"Jangan pedulikan hal buruk apa yang mereka katakan tentangmu, karena kau adalah gadis yang bisa membuatku bahagia seperti ini, kau adalah gadis yang kucintai seumur hidupku, kau adalah gadis yang mana aku menaruh segala kepercayaanku padamu, karena kau adalah Hinata, karena kau adalah seorang Hyuuga Hinata, kau harus bangga pada dirimu sendiri."
"Haaahhhh, padahal masih banyak hal yang ingin kukatakan padamu, tapi sepertinya, tubuh ini sudah terlalu lelah untuk bisa melakukannya.."
"Hinata.. bolehkah aku berbaring dalam pangkuanmu?"
Hinata hanya menganggukkan kepalanya, ia tak bisa berkata apa-apa melihat kekasihnya yang sudah seperti itu.
"Lho! Hujannya sudah berhenti ya? Sejak kapan.." ujar Naruto sambil membaringkan kepalanya di pangkuan Hinata.
Tangan Naruto meraba-raba dan mencari sebuah kehangatan dari kekasihnya itu dan ia menemukan tangan Hinata yang terasa begitu hangat baginya. Ia lalu menggenggamnya kuat dan meresapinya.
"Tanganmu hangat ya Hinata," ujarnya sambil mengusapkan jari-jari Hinata pada pipinya.
"Atau mungkin tubuhku yang sudah teramat dingin.." ujarnya sambil tersenyum.
Hinata hanya terus memandangi wajahnya yang sudah semakin pucat, nafasnya pun terasa semakin terengah-engah dan memburu.
"Oh ya! bagaimana kabarnya Neji? Sepertinya selama ini aku sudah banyak merepotkannya ya, hehehe.. aku titip salam ya untuknya, juga untuk teman-teman lainnya, aku sudah banyak merepotkan mereka semua."
"Haahhh," Naruto menghela nafasnya untuk yang kesekian kalinya.
"Seandainya saja aku masih punya banyak waktu, pasti aku akan membuatmu menjadi gadis yang paling bahagia di dunia ini Hinata,"
Seketika itu juga Hinata meletakan jari telunjuknya pada bibir biru Naruto yang dingin membeku sekaligus membungkamnya.
"Ssshhh, aku sudah cukup bahagia dengan apa yang kau berikan padaku Naruto, aku sudah cukup senang dengan waktu yang telah kita habiskan bersama, tak ada lagi yang kusesali, karena itu.. karena itu..."
"Kau memang gadis yang baik ya Hinata, aku benar-benar berharap, setelah ini kau akan bisa lebih bahagia daripada saat bersamaku, dan kelak kau akan menemukan kebahagiaan sejati yang lebih pantas kau dapatkan, aku percaya akan hal itu.."
TIK
Setetes air bening jatuh menimpa wajah Naruto.
"Ng! Kau menangis ya Hinata.."
"Ti-tidak.. aku ha- hanya..." ujar Hinata terbata-bata sambil mengusap jejak-jekak air mata yang membasahi pipinya.
"Sudahlah, tidak apa-apa kok, disaat-saat seperti ini, tidak apa-apa menangis, sekuat apapun kita, ada saatnya kita perlu menangis melepaskan segala kesedihan, dengan begitu, kita bisa memulai hari yang esok dengan penuh harapan dan semangat yang baru.."
Terdengar nafas Naruto semakin cepat, detak jantungnya pun terasa begitu kencang dan melaju lebih cepat dari keadaan normal.
"Hinata, kuharap hal ini tidak akan membuatmu jatuh terpuruk dalam kesedihan yang tak berujung, karena aku akan merasa sangat bersalah bila hal itu terjadi padamu.."
"Kau harus berjanji padaku, untuk terus menjalani hidup ini dengan bahagia, anggaplah semua ini hanya mimpi buruk yang mana saat kau terbangun dari mimpi itu, kau akan segera melupakannya dan kembali ceria seolah tak pernah terjadi apa-apa."
"Apa kau mau berjanji padaku, Hinata..."
"A- aku.. aku berrjanji Naruto.."
"Syukurlah.. aku senang mendengarnya..." ujar Naruto.
"Maaf ya, aku tak bisa menemanimu lebih lama lagi.. tubuhku ini sudah terasa amat letih, seolah sepanjang hidupku kuhabiskan hanya untuk berlari, kini aku harus beristirahat sejenak, mungkin saat bangun nanti, aku akan merasa lebih baik..."
"Tidak apa-apa Naruto, istirahatlah, pasti.. pasti setelah ini kau akan merasa lebih baik.."
"Ya, terima kasih, Hinata.."
Kemudian Naruto memejamkan matanya, ia tersenyum. Nafasnya yang tadi memburu, kini berangsur-angsur mulai hilang, detak jantungnya pun tak lagi bisa dirasakan oleh Hinata, genggamannya pada tangan Hinata mulai melemah, dan kalau saja Hinata tidak menggenggamnya kuat, pasti tangan itu sudah jatuh lemah terkulai di tanah.
Hinata memandang wajah pucat Naruto sambil membelai rambut kuningnya, menyibak rambut yang menutupi keningnya, kemudian memberikan kecupan kecil disana.
"Walaupun.. walaupun aku sudah berjanji untuk tidak menagis lagi.. tapi saat ini boleh 'kan Naruto, boleh 'kan kalau disaat-saat seperti ini aku menangis, boleh 'kan Naruto..."
Setetes air mata mengalir deras melewati pipi Hinata dan jatuh tepat mengenai pelupuk mata Naruto, lalu mengalir melewati pipinya dan jatuh ketanah, membuatnya seolah-olah ikut menangis bersama Hinata.
.
_-0-_
.
Keesokan harinya..
Beberapa orang berpakaian serba hitam nampak menuju mobil mereka dan pergi meninggalkan pemakaman siang itu, menyisakan beberapa karangan bunga dan beberapa orang saja di antara hamparan hijaunya rerumputan yang diselingi beberapa batu nisan yang tertata rapi.
Nampak pula seorang gadis yang tengah berdiri tegap menatap sebuah batu nisan yang masih baru, ia terus menerus menatap pada batu nisan itu tanpa bergerak sedikitpun, lalu seorang lelaki yang juga berpakaian serba hitam menghampirinya dan berkata...
"Hinata, sudah sejak tadi kau terus berdiri seperti ini, apa kau tidak merasa lelah, lagipula kalau kau terus murung seperti ini, Naruto pasti akan sedih melihatmu, dia jadi tidak bisa beristirahat dengan tenang nantinya..." ujar lelaki itu yang tidak lain adalah kakanya, Neji.
"Aku tau kak Neji, aku hanya ingin menatapnya lebih lama, tempat peristirahatan seseorang yang teramat berarti bagiku, lagipula aku sudah berjanji padanya untuk tidak menangis lagi, dan aku tidak ingin membuatnya kecewa di alam sana, karena itu..."
"Selamat tinggal, Naruto... terima kasih atas segalanya."
"Kak Neji, ayo kita balapan sampai rumah.." ujar Hinata sambil berlari meninggalkan Neji diantara batu nisan pemakaman.
"O- oi, tunggu dulu Hinata.. jangan tinggalin kakak, kakak takut..." balas Neji sambil berlari mengikuti adiknya yang berada jauh didepannya.
.
=OWARI=
.
.
Selesai... ^^
Akhirnya, setelah penantian panjang yang teramat panjang yang bahkan lebih panjang dari pada panjang itu sendiri, berakhir sudah Fiction Aoi edisi 'Cancer' kali ini.
\(^ _^)/ Kampai \(^_ ^)/
*digetok ama Readers gara-gara apdeath kelama'an*
Gimana kesan-kesannya setelah membaca Fiction ini, walaupun Endingnya bisa dibilang 'sad', tapi disini Aoi berusaha untuk meminimalisir kesedihan yang didapat oleh Hinata karena ditinggal Naruto. Walapun begitu, kesan sedihnya tetap tersampaikan 'kan! atau belum tersampaikan!
Ya udah deh, dari pada Aoi banyak cincong, mending minta rifyunya ajah.
*udah apdeath kelama'an, pake minta rifyu segala lagih, bikin repot aja, digodot ama readers*
Sebelum undur diri, Aoi mau minta maaf kalau-kalau di Fiction Aoi kali ini, Aoi banyak melakukan kesalahan, atau ada beberapa hal yang mungkin menyinggung para Readers dan Reyuwers sekalian, atau hal-hal yang tidak mengenakkan lainnya. Sungguhlah itu semua bukan Aoi perbuat dengan sengaja, melainkan adalah murni kesalahan Aoi yang hanyalah seorang manusia biasa, yang tak luput dari salah dan lupa.
Aoi juga mau berterima kasih kasih kepara reades dan para rifyuwers sekalian karena telah banyak membantu selama cerita ini dibuat, terima kasih atas segala dukungannya selama ini, kalau bukan karena dukungan kalian semua, Aoi tidak akan bisa sampai sejauh ini, sekali lagi terima kasih. ^_^
.
Sekali lagi, Aoi ucapkan banyak-banyak terima kasih.
Mine Kitei Kurete, Doumo Arigatou /(_ _)\
Sampai jumpa di lain kesempatan.
Cao.
Salam Hangat, Aojiru.