Huwaaaaa! Setelah lama hiatus akhirnya diberi kesempatan buat ngelanjutin Mine Only XDD

Nyaaa, seneng bangeet huhu... Entah kapan bakal lanjut lagi... Tapi Chel usahakan buat update ASAP

Sebelumnya makasiii buat review-review kalian reader yang berharga, semua masukan apapun Chel terima kok :D eheheh OHH! IYAAAA!

Buat temen" yang ngirim PM ke inbox Chel gomen, belum sempet dibales huhuhu...Soalnya lagi buru" mw pergi jalan" bareng pac-emm temen hahaha XDD *GJ lagi*

Yah, untuk mempersingkat Words (halah) langsung aja deh!

.


Chapter 16. Misunderstanding


Vongola Primo, dua kata itu menghantui pikiran Mukuro yang saat ini tengah duduk di sebuah bangku taman belakang Vongola Mansion. Kedua matanya menerawang ke langit berawan dengan tatapan kosong, harap-harap cemas membayangkan sosok Vongola Primo yang diidolakan Tsuna. Tak diragukan lagi, kehadiran Giotto memang mengganggu rencana Mukuro untuk mendekati boss-nya, beberapa persen harapannya untuk bisa bersama Tsuna berkurang drastis karena Giotto juga sama-sama mendekati laki-laki itu. Yang jelas, Giotto sudah dicap sebagai rival yang berat bagi Mukuro. Bahkan bukan rival lagi, melainkan sebagai sebuah ancaman.

Tapi Hibari juga tidak boleh diremehkan. Meski Mukuro bisa dengan PD-nya berkata "Aku lebih baik daripada si skylark bodoh itu", namun tetap saja Hibari adalah orang yang pertama kali disukai Tsuna. Dan sialnya lagi, mereka sama-sama saling menyukai, Mukuro sudah lama tahu akan hal itu bahkan sebelum Tsuna menyadari perasaannya sendiri.

Oya oya! Daripada sibuk memikirkan dua rival tak berguna itu, kenapa sekarang ia tidak memikirkan Tsuna terlebih dahulu? Reaksi Tsuna yang kemarin kabur karena diberi bunga benar-benar menimbulkan efek ambigu baginya. Bisa jadi Tsuna kabur karena ia salah tingkah, atau mungkin juga gara-gara tanpa sengaja Mukuro membuatnya marah.

Yah. Ia tidak tahu pasti.

Mukuro harus mengakui, sebagai seorang Illusionist handal, hanya Tsuna lah yang tidak bisa ia tipu. Dan Mukuro juga tidak bisa menipu perasaannya sendiri yang diam-diam telah lama menyukainya. Kalau dipikir-pikir, kenapa sih semua orang tertarik dengan boss Vongola paling ceroboh dalam sejarah mafia itu? Kalau saja misalnya di dalam mansion Vongola diadakan polling 'Siapa boss Vongola terfavorit?' Pemenangnya pasti tak lain dan tak bukan adalah boss ke sepuluh kita, Sawada Tsunayoshi, yang menang dalam kategori termanis, terimut, termoe, terlucu—sementara Giotto mungkin menang dalam kategori tergagah, tertampan, terkuat, ter bla-bla-bla. Ah sudahlah, tidak usah bahas si pirang dari Italy itu lagi.

Sebenarnya, Mukuro juga tahu bahwa kepopuleran Tsuna bukan hanya sekedar di lingkungan Vongola sendiri. Beberapa bulan yang lalu sebelum Giotto datang, sempat masuk sebuah surat dari kepala keluarga mafia lain yang kebetulan dan entah bagaimana caranya bisa sampai ke tangan Mukuro. Kemudian saat ia melihat tulisan:

'Untuk Sawada Tsunayoshi. Pribadi dan sangat rahasia'

tertera di amplop tipis berwarna cokelat sepia itu, lantas iseng-iseng penasaran Mukuro membuka segelnya dan membaca isi surat tersebut dalam hati.

'Tsunayoshi, maafkan aku sebelumnya. Aku tahu kau akan terkejut dengan isi surat ini. Tapi ini bukan surat resmi, aku ingin mengundangmu secara khusus ke rumahku besok malam. Sudah lama aku ingin berbincang-bincang berdua denganmu tanpa diganggu siapapun. Mungkin kau menganggap ini adalah hal yang gila, tapi sejak kunjungan rutinmu ke dalam mansion kami, aku mulai menyuk—'

Yak! Cukup sampai di sana.

Mukuro memutuskan untuk berhenti membaca dan tanpa sadar meremas kertas di tangannya itu kuat-kuat hingga menjadi sebuah bola kertas kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa perjuangannya untuk mendapatkan hati Tsuna ternyata harus melewati jalan terjal dan berliku. Huff...

Satu-satunya yang bisa ia manfaatkan sekarang adalah perasaan Tsuna sendiri. Tampaknya laki-laki naif itu masih bimbang dengan pilihannya. Dia masih belum bisa menentukan siapa yang paling ia cintai dan Mukuro akan berada di tengah-tengah mereka lalu menyikingkirkan semua pesaing dengan berbagai cara.

Ya, itulah rencananya.

Mukuro menghela nafas sambil bangkit dari bangku dan berjalan pelan menuju ruang kerja Tsuna. Semua pemikiran tentang cinta rumit ini membuat kepalanya terasa mengambang. Ia tidak bisa seperti Yamamoto yang lancar-lancar saja mendekati Gokudera, terkadang Mukuro merasa agak iri bila melihat kemesraan di balik pertengkaran mereka berdua.

Mukuro menghentikan langkahnya ketika ia baru saja akan naik tangga ke lantai 2. Ia melihat Giotto yang berjalan bersama dengan Shouichi ke arah laboratorium sambil membicarakan sesuatu.

"Oya oya siapa lagi kalau bukan Vongola primo?" sapa Mukuro hingga Giotto dan Shouichi menoleh. Giotto memicingkan mata sedikit ketika Mukuro menghampiri mereka berdua dengan senyum sok ramah yang penuh maksud. Reaksi yang wajar kalau ia curiga, Mukuro selama ini tidak pernah menyapa siapa pun kecuali Tsuna, apalagi kalau menyapa Giotto.

"Ah, selamat siang Mukuro-san!" sapa Shouichi.

"Hmm, kalian akan ke laboratorium?"

"Ng—sebenarnya hari ini aku ada keperluan." Jawab Shouichi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal.

"Oh begitu, lalu bagaimana denganmu Vongola Primo?" tanya Mukuro dengan delikan tajam dari mata merah-birunya.

"Aku mau melanjutkan proyek mesin waktuku," jawab Giotto datar.

"Sendirian?"

"Ya. Kenapa?"

"Aku bisa membantumu, kalau kau tak keberatan—"Mukuro memajang seringai tipisnya seperti biasa, tanpa Hyper Intuition pun, Giotto sudah tahu ada maksud tersembunyi dari laki-laki bergelar Mist Guardian ini.

"Emm aku duluan ya, Giotto-san, Mukuro-san! Sepertinya aku sudah terlambat," suara Shouichi membuyarkan suasana dingin di antara Giotto dan Mukuro.

"Ya, terima kasih untuk bantuanmu hari ini." Kata Giotto.

"Sama-sama." Balas Shouichi sambil berlari, ia terlihat sangat sibuk dari luar, padahal Shouichi hanya tidak ingin berada di situasi dingin antara Giotto dan Mukuro.

Sepeninggalan Shouichi, Giotto dan Mukuro masih berdiri mematung di lorong. Menatap satu sama lain dengan berbagai pikiran di benak mereka masing-masing.

"Jadi bagaimana?" tanya Mukuro, "Aku boleh membantumu?"

"Apa Tsunayoshi tidak memberimu misi?"

"Sudah diselesaikan, laporannya sedang dikerjakan Chrome, aku kosong sekarang."

"Memangnya kau mengerti tentang mekanik?"

"Kufufu, kau meragukanku Vongola Primo?"

"Ya." Jawab Giotto langsung. "Sangat."

"..."

Seringai Mukuro mendadak menghilang seperti asap.

Sudah kuduga dia akan bilang begitu, sepertinya menangani orang yang satu ini beberapa kali lebih sulit daripada memakaikan rok mini pada Hibari Kyouya. Umpat Mukuro dalam hati. Tapi Mukuro segera menyadari titik kelemahan Giotto.

"Kalau kau keberatan tidak apa-apa, aku akan pergi ke atas dan membantu Tsunayoshi-kun."

Mukuro melihat sang Vongola Primo tampak berpikir sebentar. Tampaknya ia tidak mau kalau Mukuro membantu proyeknya, tapi ia lebih tidak mau lagi kalau laki-laki itu membantu Tsuna tanpa ia awasi

"...Baiklah, kau boleh ikut." kata Giotto akhirnya, "Tapi tolong jangan mengacau."

Mukuro tersenyum seperti orang yang baru saja memenangkan taruhan. Siapa yang akan menyangka kalau Vongola Primo begitu mudah terpancing oleh kata-katanya?

o—0—o

"Kau sakit lagi, dame-Tsuna?" tanya Reborn yang baru saja membuka pintu ruang kerja Tsuna dan menemukan boss ke 10 Vongola itu sedang terkapar tak berdaya di meja kerjanya. Beberapa helai berkas berserakan di lantai, secangkir kopi yang disuguhkan Gokudera di ujung meja sama sekali tak ia sentuh, dibiarkan begitu saja hingga tercampur debu. Dengan perasaan tak semangat Tsuna bangkit dan melihat Reborn yang berjalan mendekatinya sambil membawa sebuket bunga mawar berwarana peach.

"Oh tidak, jangan mawar lagi." Gumam Tsuna tanpa sadar.

Alis sang hitman terangkat sebelah mendengar ucapan Tsuna, "Lagi?"

Ups...

"Memangnya ada yang pernah memberimu mawar sebelum ini?"

"Tidak, aku sedang bosan dengan mawar." Jawab Tsuna sambil duduk tegak dan merapikan berkas-berkasnya. Reborn menatap curiga sebentar, tapi ia segera tak mempedulikannya dan menaruh buket mawar itu di atas meja Tsuna.

"Dari Kyuudaime, katanya maaf karena ia tidak sempat menjengukmu." Ujar Reborn sebelum Tsuna sempat bertanya.

"Oh, sampaikan terima kasihku untuk kakek." Sahut Tsuna tersenyum lalu meletakkan bunga itu ke dalam vas di dekat kursi tamu, menggantikan bunga Krisan kuning yang sudah agak layu. Sementara Reborn duduk bersantai di sudut sofa sambil membuka topi fedora dan melonggarkan dasinya.

"Ada perlu apa Reborn?" tanya Tsuna seraya mengambil tempat duduk di sebelahnya, "Kau pasti tidak mau repot-repot kemari hanya untuk mengantar bunga saja kan?"

Reborn tersenyum lalu ber-huff pelan.

"Tidak ada, aku hanya ingin beristirahat di sini sebentar." Jawab Reborn sambil membuka jasnya lalu ia letakkan di sandaran sofa.

"Jauh-jauh datang ke sini hanya untuk beristirahat?" tanya Tsuna tak percaya. "Lagipula apa yang membuatmu kelelahan seperti ini?"

"Apa lagi kalau bukan gara-gara Boss ke sepuluh Vongola yang dengan baik hati memberiku misi sulit untuk kubereskan sendirian?" sindir Reborn.

"Oh ya? Aku tidak tahu kalau membereskan 6 penjahat internasional termasuk sulit bagimu." Kata Tsuna sembari mengeluarkan senjata andalannya: tampang innocent.

...Rasanya aku ingin sekali menembak wajahnya. Batin Reborn.

"Ehh? Lenganmu terluka?" pekik Tsuna.

Reborn memeriksa lengan kanannya. Memang benar, lengannya berdarah karena tersayat benda tajam, sampai-sampai bajunya pun robek. Tapi ia sama sekali tak menyadarinya sampai Tsuna berteriak tadi.

"Biarkan saja, hanya tergores."

"Jangan sok kuat!" seru Tsuna sambil bangkit, "Sebentar!" Ia segera bergegas menghampiri meja kerjanya lalu membuka laci yang ada di sana satu per satu. Setelah menemukan obat merah dan perban, ia segera kembali ke samping Reborn. Untunglah Tsuna selalu menyediakan perban, plester, dan obat merah di laci meja kerjanya, antisipasi karena kadang-kadang guardiannya datang dengan keadaan terluka setelah kembali dari misi, atau 'bertengkar' sebelum menyerahkan laporan.

"Ah! Lukanya harus dibersihkan dulu!" ujar Tsuna sambil berlari ke kamarnya.

Reborn menghela nafas melihat gelagat muridnya yang langsung paranoid. Ternyata hanya sifat Tsuna yang satu ini yang tidak berubah dan mungkin tidak akan pernah berubah.

Beberapa menit kemudian, Tsuna kembali dengan membawa sebaskom air hangat dan handuk kecil di tangannya.

"...Kenapa baju kamu jadi basah begitu?" tanya Reborn yang keheranan karena celana dan baju belakang Tsuna terlihat basah.

"Aku terpeleset di kamar mandi tadi."

Ceroboh sekali... Komentar Reborn dalam hati.

Tsuna bergegas menghampiri Reborn dan duduk di sampingnya. "Coba buka kemejamu!"

Reborn yang memang sudah merasa agak lelah hanya bisa menuruti perkataan Tsuna. Ia melepas kemeja dan membiarkan Tsuna membersihkan luka di lengannya.

Ini adalah pertama kalinya Tsuna melihat Reborn yang telah kembali ke bentuk asalnya bertelanjang dada. Meski berat untuk mengakui, tapi tubuh Reborn benar-benar membuatnya iri. Kuat dan tangguh, sangat mencerminkan seorang hitman sejati. Mungkin dalam sejarah boss keluarga Vongola, hanya Tsuna lah satu-satunya boss yang tidak telihat kuat dari luar. Bahkan boss ke-8, Daniela, yang perempuan saja memiliki aura yang menggambarkan bahwa dirinya kuat. Inilah salah satu faktor yang membuat Tsuna merasa tidak cocok menjadi boss mafia, selain karena ia tak ingin terlibat kejahatan terorganisir.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Reborn. Sedari tadi ia memperhatikan Tsuna yang melamun memperhatikan tubuhnya. "Kau iri dengan tubuhku?" godanya sambil tersenyum.

TEPAT! Rupanya Reborn dapat menebak tepat selain menembak tepat ya?

"J-Jangan ngomong yang aneh-aneh!" Bantah Tsuna sambil mengambil perban dan obat merah lalu membalut luka Reborn.

"Mukamu merah tuh!"

"Hah?" Kedua tangan Tsuna otomatis menutupi wajahnya yang malah semakin memerah. Suara tawa Reborn langsung saja memenuhi ruangan itu.

"Jangan tertawa!" gertak Tsuna sambil memukul Luka Reborn hingga membuatnya meringis kesakitan. Dengan sedikit kesal, Tsuna kembali membalut lengan kanan tutornya sampai selesai. Sebenarnya Reborn ingin sekali tertawa melihat hasil balutan muridnya yang tidak rapi, tapi ia tidak ingin membuat Tsuna memukul lukanya untuk yang kedua kalinya.

"Dame-Tsuna, ada yang ingin kutanyakan padamu." Kata Reborn sambil merapikan hasil balutan Tsuna.

"Apa?" sahutnya sambil menggulung sisa perban dan mengangkat baskom berisi air hangat beserta handuknya.

"Di antara Giotto dan Hibari, siapa yang lebih kau suka?"

Pertanyaan Reborn yang terlalu mendadak dan topik yang di luar prediksi itu membuat Tsuna tersandung dan jatuh, dengan baskom terlempar yang mendarat tepat di atas punggung hingga membuat tubuhnya makin basah.

"Reaksimu berlebihan." Komentar Reborn.

"H-Habisnya kamu mendadak menanyakan hal seperti itu!"

"Kalau begitu sekarang jawab!"

"Uuuh..siapapun yang aku suka tidak jadi masalah kan?"

"Ya, tapi sifat polosmu itu yang menjadi masalah, aku mulai khawatir karena sampai sekarang kamu masih ceroboh dan mudah dipermainkan." Kata Reborn, ia berdiri sambil membawa kemejanya lalu berjalan ke arah pintu yang menuju ke kamar Tsuna. "Ikut aku, ada sesuatu yang ingin kuberitahu padamu."

o-0-o

Sementara itu, Giotto dan Mukuro yang masih sibuk di laboratorium terlihat sangat serius dengan pekerjaannya masing-masing. Mereka telah menghabiskan 2 jam bersama di ruangan luas yang penuh dengan peralatan-peralatan bengkel dan elektronik tapi sama sekali tidak ada pembicaraan yang menarik. Mata Giotto sesekali mencuri pandangan ke arah Mukuro yang sedang mengguntingi kabel-kabel. Aneh sekali karena ternyata Mist Guardian itu benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik, bahkan Mukuro juga mau disuruh-suruh Giotto untuk mengambil peralatan yang ia butuhkan tanpa mengeluh sedikitpun. Tapi Giotto yakin sekali pasti ada maksud tersembunyi di balik semua ini.

"Hey, tolong ambilkan kunci Inggris!" seru Giotto. Mukuro melempar alat yang diminta dan Giotto menangkapnya dengan sempurna. "Terima kasih!"

"Sama-sama."

"...Ada sesuatu yang membuatmu senang hari ini?" tanya Giotto sambil melanjutkan pekerjaannya.

"Tidak." Jawab Mukuro yang masih sibuk mengguntingi kabel.

"Apa Tsunayoshi yang menyuruhmu untuk membantuku?"

"Tidak, aku membantumu atas kemauanku sendiri."

"Hari ini kau aneh sekali. Sepertinya ada malaikat yang merasukimu saat kau tidur tadi malam."

"Tadi malam aku tidak tidur."

"Oh..."

Pembicaaran mereka terputus sesaat. Giotto tahu kalau Mukuro menjawab semua pertanyaannya barusan dengan jujur, dan ia mulai (agak) mempercaya lelaki itu sekarang, meski belum sepenuhnya.

"Vongola Primo, waktu itu kau berbohong pada kami ya?" tanya Mukuro sambil merapikan kabel-kabel hasil guntingannya.

"Kapan?"

"Waktu di hutan, kau bilang kalau orang yg bernama Alaude itu adalah orang yang kau suka."

"Aku berkata jujur, Alaude memang orang yang kusukai."

"Kalau begitu bagaimana dengan Tsunayoshi-kun?"

Giotto menghentikan kegiatannya dan mendelik tajam pada Mukuro, mata mereka bertatapan.

"Sebenarnya apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Giotto dengan ekspresi curiga dan heran.

"Kufufu, kau tidak perlu menyembunyikannya lagi, Vongola Primo, aku tahu kalau kau menyimpan hati pada Tsunayoshi-kun."

"Lalu?" tanya Giotto.

"Mungkin kau juga sudah tahu kalau hati Tsunayoshi-kun sudah dimiliki oleh laki-laki itu. Asal kau tahu saja ya, dulu sebelum kau datang, aku berniat menyela di antara mereka tapi tidak berhasil. Memangnya kau sendiri tidak khawatir bila ternyata Tsunayoshi-kun lebih memilih dia daripada dirimu?"

Terdiam sejenak, namun kedua orang itu masih bertukar pandang.

"...Sejak awal aku tidak ada maksud untuk memisahkan mereka, lagipula itu keputusan Tsunayoshi sendiri untuk memilih." Jawab Giotto.

Mukuro tersenyum tipis, Laki-laki itu kemudian berjalan mendekat dan berhenti di samping Vongola Primo.

"Kalau begitu, bagaimana dengan—" Mukuro membisikkan beberapa kata di telinga Giotto dan membuat kening lelaki pirang itu berkerut.

"...Aku juga sudah tahu." Kata Giotto setelah Mukuro selesai berbisik. Ia merenung sebentar, lalu menyimpan kunci Inggris dan melepas wear pack yang ia kenakan.

"Mau ke mana?" tanya Mukuro dengan senyum yang masih terpampang di wajahnya. Giotto menoleh, tapi tak menyahut, ia terus berjalan ke pintu keluar dan menuju ke lantai 3. Saat ini ia ingin sekali bertemu dengan Tsuna, Giotto tahu mungkin kedatangannya akan membuat pekerjaan Tsuna yang sudah menumpuk semakin terbengkalai, tapi untuk sekali ini saja, dia ingin sekali bertemu dengan penerus tersayangnya itu.

Giotto menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruang kerja Tsuna dan masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Tsunayoshi, aku—"

Ruang kerja Tsuna yang kosong kembali membuat kening Giotto berkerut, ia menengok ke arah jam dinding. Pukul satu lewat delapan belas, mungkin Tsuna sedang istirahat atau makan siang. Giotto hendak berbalik namun sebuket bunga mawar berwarna peach yang terletak di atas meja membuatnya terpaku sebentar. Selang beberapa menit kemudian, ia mendengar suara Tsuna dari arah pintu yang menuju kamarnya, maka Giotto pun berjalan ke sana dan lagi-lagi membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.

Mata Giotto sedikit melebar ketika ia melihat Tsuna dan tutornya yang bertelanjang dada duduk berdekatan di tempat tidur. Wajah mereka sangat dekat tadi, seolah-olah kedua orang itu baru saja selesai berciuman. Pikiran Giotto mulai menerka-nerka, jangan-jangan buket bunga mawar yang tadi ia lihat juga pemberian Reborn?

"Giotto?" suara Tsuna berhasil menyadarkan Giotto dari prasangka buruk tentang apa yang telah mereka lakukan berdua tadi, "Ada apa?" tanya Tsuna lagi.

"Aku ingin bicara sebentar." Jawab Giotto pelan, matanya tertuju pada Reborn yang juga menatapnya sinis.

"Kalau begitu aku pergi sekarang," kata Reborn seraya mengenakan kemejanya dan beranjak dari tempat tidur, berjalan melewati Giotto tanpa berbicara sepatah kata pun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu ruang kerja Tsuna ditutup.

Giotto menghampiri Tsuna dan duduk di sebelahnya setelah menutup pintu, sambil menghela nafas ia memandangi Tsuna yang menunggunya untuk mengatakan sesuatu, sementara pandangan Giotto terus menyapu sosok Tsuna sampai puas, sampai ia siap untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya sekarang.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?" tanya Tsuna. Di saat ia mulai ragu apakah Giotto akan berbicara atau tidak, Tsuna dikejutkan dengan Giotto yang tiba-tiba memeluknya, namun segera ia lepas lagi.

"Kenapa pakaianmu basah?" tanya Giotto.

"Oh? Itu—ceritanya panjang." Jawab Tsuna sambil berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.

"Sebaiknya kau ganti baju."

"Emm—nanti saja." Sahut Tsuna. Mana mungkin ia mau membuka baju dan celananya di depan Giotto. Laki-laki ini pasti menggodaya lagi.

"Kalau nanti kau bisa kena flu." Giotto membuka kancing kemeja Tsuna satu persatu dari atas, jelas saja ia berontak kaget, namun Tsuna tak bisa menjaga keseimbangan ketika ia mempertahankan tekadnya untuk tidak melepas pakaian di depan Giotto, sehingga tubuhnya jatuh terlentang di atas kasur sedangkan Giotto berada di atasnya.

Dengan posisi yang 'berbahaya' seperti itu, seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar Tsuna. Giotto dan Tsuna spontan menoleh bersamaan untuk melihat siapa yang datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, keduanya sama-sama terkejut ketika menyadari bahwa orang yang berdiri di depan mereka adalah—

"Hibari-san!" pekik Tsuna sambil buru-buru membetulkan posisi duduknya. Hibari tampak shock, sampai-sampai ia menjatuhkan kantung plastik yang tadi ia jinjing di tangan kanannya, "Hibari-san! I-ini tak seperti yang kau kira!"

"Ya, aku memang tak mengira." Sahut Hibari, "Jadi ini rupanya alasan kenapa kau menghindariku terus?"

"Bukan! Kau salah paham! Aku dan Giotto tidak ada hubungan apa-apa!"

"Tidak ada hubungan apa-apa?" tanya Hibari, tersenyum sinis melecehkan, "Kau pikir selama ini aku tidak tahu kalau kau pernah berciuman dengannya?"

Tsuna terkejut bukan main mendengar kata-kata Hibari, ia tidak menyangka kalau ternyata Hibari mengetahui rahasia kecil di antara mereka berdua.

"Dengar dulu Hibari, tadi aku dan Tsunayoshi hanya—" Giotto mencoba menjelaskan, tapi mantan ketua komite disiplin Nami-chuu itu tidak menerimanya.

"Kami kororsu!" potong Hibari, ia mengeluarkan tonfanya dan mendadak menyerang Giotto dengan kekuatan penuh, untungnya Giotto sempat mengelak, sedetik saja ia terlambat, mungkin hidungnya sudah retak. Menyadari serangannya tadi tidak mengenai apapun, Hibari langsung mengubah arah dan kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa, tapi untuk yang kedua kalinya Giotto lagi-lagi berhasil menghindar namun lemari pakaian Tsuna rusak akibat hantaman tonfanya.

"Kau ini sulit diajak bicara!" ujar Giotto setengah berteriak sambil terus menghindari amukan Hibari.

"Aku tidak ingin bicara dengan orang sepertimu!" geram Hibari dengan emosi tak terkendali.

"Hibari-san! Giotto! Hentikan!" Suara teriakan Tsuna tak terdengar oleh cloud guardian-nya. Tatapan mata Hibari yang penuh dengan nafsu membunuh terpusat pada Giotto yang mulai agak kewalahan. Giotto tak bisa terus-menerus menghindar tanpa terluka, di sisi lain ia juga tak bisa kabur ke luar kamar Tsuna, serangan Hibari bisa mengenai orang-orang yang lewat. Sementara kalau ia balas menyerang, mungkin laki-laki yang disayangi Tsuna itu akan menerima damage fatal. Lagipula semua ini bukan karena kesalahan Hibari, tapi Giotto yang memaksa Tsuna untuk berganti pakaian.

Sial!

Giotto sudah benar-benar terpojok sekarang.

"HIBARI-SAN HENTIKAN!"

Ayunan tonfa Hibari nyaris mengenai leher Tsuna. Untunglah Hibari segera menghentikan serangannya begitu Tsuna tiba-tiba berlari dan melindungi Giotto dengan tubuhnya.

"Tolong, kumohon hentikan!" gumam Tsuna serak akibat terlalu banyak berteriak. Terengah-engah, Hibari menatap mata Tsuna yang agak berkaca-kaca.

"Jadi begitu?" tanya Hibari, ia menarik tonfanya setelah mengatur nafas dan berbalik, kemudain sebelum melangkah ke arah pintu kamar, Hibari bergumam pelan, "Selamat tinggal, Tsunayoshi!"

"Eh? A-apa maksudmu dengan selamat tinggal, Hibari-san?"

Hibari tak mengatakan apapun, ia segera keluar dari kamar Tsuna. Berulang kali Tsuna memanggil nama Hibari lalu menyusulnya, meninggalkan Giotto seorang diri di kamar yang setengahnya hancur. Giotto mencoba menenangkan diri di kasur yang berantakan dan agak robek, ini bukan yang pertama kalinya kamar Tsuna hancur, juga bukan yang pertama kalinya ia bertarung bersama Hibari. Beberapa menit kemudian, Tsuna kembali sambil meneteskan air mata.

"Dia pergi— "


.

Ehmmm... masih banyak misteri yah? =.=

Kaya kata-kata Reborn sama bisikannya Mukuro. Tadinya mau dibeberkan langsung, tapi ceritanya jadi panjang sekaliii D8 sampai 5000 kata... huhu pasti cape bacanya...

Jadi di Chapter 17 nanti Chel kasih tau semua oke oke oke o-*slapped*

Okay minna-san, sankyuu for reading, mind to review please? :D