"talking"
'thinking'
"indirect talking"
'indirect thinking'
Inner Monologue
Setting Change
Author Note :
New month, new chapter. Slow month these days, masih dalam masa percobaan mahasiswa baru. Tapi malesnya amit-amit.
Aku mulai memakai teknik nulis yang baru, dengan beberapa padding yang mungkin akan agak panjang dan lama dalam deskripsinya. Orang-orang dari fandom Haruhi Suzumiya (yang bahasa Inggris) sudah cukup berbaik hati untuk membantu belajar, jadi aku mau coba prakter di bahasa Indonesianya. Bagaimana menurut kawan-kawan di Harvest Moon fandom?
Disclaimer :
Do not own Harvest Moon and its colorful inhabitant.
Random Quote :
Even if you don't try to listen to them, all of you have notice that, right?
In feigned peace, there are cries of suffering and pain
If we could get together and crossing border,
Going beyond colour and bloodlines limit
I'm sure there's a place of it
(Vocaloid Chorus, Smiling)
88888
The Mother, The Farmer, The Queen
Chapter 7, Spring 29 Year 1, The Great White Lion
88888
Forget-Me-Not Village, Blue Bar
*Thuk*
Griffin mengangkat alis melihat tingkah gadis bermbut coklat yang saat ini sedang duduk di depannya. Rambutnya yang biasanya teratur rapi dan dikuncir kuda kini terlihat tidak terurus. Meski wajahnya telungkup di atas konter dan dia tidak bisa melihatnya saat dia pertama masuk tempat ini, Griffin bisa menebak lingkaran gelap terlihat di bawah matanya.
"Tambah…"
"Jill… kau sudah terlalu banyak minum. Dan ini bahkan belum malam."
"…Tambah…!"
"Maaf, Jill. Aku tahu kau sedang frustasi, tapi kalau terus begini aku terpaksa harus mengusirmu."
Akhirnya gadis itu mengangkat kepalanya. Benar saja tebakan Griffin, lingkaran di bawah matanya membuat mata ungunya yang biasa terlihat cerah menjadi cekung. Muffy yang baru keluar dari kamarnya, secara reflex menutup mulut dengan dua tangan melihat keadaan gadis itu. Griffin hanya bisa meremas bahu gadis itu, namun tangannya segera ditepis. Dengan sendirinya, Jill berdiri dari kursinya dan keluar dengan sempoyongan dari bar itu. Saat kakinya akan keluar dari bar, Muffy menahannya dengan sebuah pelukan dari belakang.
"Semua pasti akan baik-baik saja, Jill."
Meski tidak terdengar atau melihat apapun dari posisinya, tapi Muffy bisa merasakan bahu gadis itu sesegukan sebelum akhirnya dia melepaskan pelukannya dan membiarkannya berjalan menuju rumahnya.
Malam hari itu terasa lama sekali berjalan melihat dia sudah minum sampai langkahnya lumayan sempoyongan sementara matahari baru terbenam. Dengan sengaja, dia berputar menuju danau kristal dekat dengan markas besar Sprite Inc. dan di dalam proses, melewati rumahnya. Cahaya yang memantul di air danau itu membuat matanya yang tiba-tiba terekspos sinar terang terasa sakit.
Sudah hampir dua minggu sejak Jack diperkiraan hilang. Waktu yang di 'Dunia Belakang' secara umum menandakan bahwa seseorang itu telah dinyatakan tewas. Meski dia brengsek, dia tetap adiknya, tidak perduli kembar atau tidak. Kakinya goyah, membuatnya jatuh terduduk di atas salah satu batu besar yang mengintari danau itu. Suara daun bergesek di salah satu semak jauh di sebelah kanannya menarik perhatiannya. Namun saat yang keluar dari semak itu hanya seorang gelandangan berambut lebat yang biasa dia lihat di sekitar tempat itu, dia segera tenang. Rasa cemas mulai membuatnya neurotik, hal yang membuat hatinya bertambah gelisah dan menambah buruk keadaan urat syarafnya itu.
Sampai dia mendengar suara safety sebuah handgun dilepas menggema di belakang tengkoraknya.
Kelihatan tidak bersenjata, berjalan dalam keadaan mabuk, dan tidak tahu siapa yang saat ini sedang menodongkan senjata ke belakang kepalanya, Jill melakukan apa yang paling logis yang orang dalam keadaan setengah sadar, namun tetap ingin hidup, lakukan. Dia mengangkat kedua tangannya untuk menunjukkan dia tidak bersenjata. Merasakan pistol itu sudah tidak menempel di kepalanya, dia berbalik dengan perlahan. Namun yang dia lihat selanjutnya membuat dia ragu apa dia ini benar-benar sadar.
"Baiklah... ada apa ini sebenarnya...?"
"Kau terlihat sangat tenang untuk seorang yang mabuk dan ditodong."
"Aku yakin kau sekarang tidak datang untuk mengobrol denganku, jadi langsung saja ke intinya."
"Huhu... kaupikir begitu? Kalau begitu, kau salah sangka. Aku datang ke sini hanya untuk bicara denganmu."
"Omong kosong. Kalau kau memang cuma ingin bicara, kau tidak perlu sampai sejauh ini."
"Tapi sayangnya, aku memang melakukannya. Aku punya imej yang harus dipertahankan."
"Imej?"
"Yah… kalau kukatakan begitu saja, tidak seru. Bagaimana kalau kita bertaruh, heng? Kalahkan aku di permainanku sendiri, dan kau mungkin bisa mendengarnya."
"Aku tidak punya pilihan, ya?"
"Orang-orang Forget-Me-Not saat ini sedang berkumpul di Blue Bar atau berada di rumah masing-masing, jadi tidak akan ada yang bisa mendengar apa pun dari sini. Bebas lakukan apa saja di sini tanpa menarik perhatian orang-orang, bukannya itu bisa sedikit menambah ketegangannya?"
"Maaf, tapi aku harus menolak."
Dengan kecepatan yang luar biasa, Jill menghentakkan tangan kanannya ke bawah. Sebuah revolver mini yang biasa dia gunakan di saat darurat meluncur turun dari balik lengan blus panjang yang dia pakai saat itu dan menuju tangannya yang sudah menunggu. Segera mengarahkannya pada si penyerang dan menarik pelatuk, tepat mengenai bahunya. Serangan tiba-tiba itu cukup untuk membuat konsentrasinya buyar, memberikan Jill celah untuk lari menuju gang satu-satunya jalan keluar daerah itu.
Suara geraman yang terdengar di belakangnya memperingatkan Jill akan penyerangnya. Namun itu tidak cukup untuk membuatnya bisa menghindari tiga tembakan ke betisnya. Sakitnya cukup untuk membuatnya jatuh tersungkur, wajahnya terseret di atas jalan. Mengangkat wajahnya dari tanah dan meludah semulut penuh rumput, Jill membalik tubuhnya hingga dia telentang dan mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Dengan separuh pikirannya terfokus pada luka yang terus mengucurkan darah dan separuhnya lagi berkonsentrasi pada orang yang sudah menembaknya, alkohol yang memburamkan otaknya sudah habis terbakar. Kini bisa melihat jelas melihat wajah orang itu, matanya kini hanya bisa melihat merah.
"Apa maumu sebenarnya!"
Orang yang ditanya masih menggeliat di tanah, meremas lukanya dengan darah yang mengalir di antara jari-jarinya. Namun meski dengan keadaannya, Jill tahu orang itu sedang dalam keadaan siaga dan bisa menembaknya kapan saja. Dia melihat orang itu kembali mengarahkan pistolnya dan dia melakukan hal yang sama. Tidak ada yang membuat gerakan, masing-masing terpaku dalam posisi masing-masing. Saling mencari celah dan kelemahan sebelum memasukkan pukulan terakhir, teknik dasar dalam adu tembak yang seperti ini. Jill mengerutkan alisnya, masih tidak bisa menangkap kenapa orang yang ada di depannya melakukan apa yang dia lakukan sekarang.
Jill melepaskan tembakan pertama dan, secara tidak mengejutkan, bisa dihindari. Revolver hanya memiliki enam peluru, dan dia hanya mengisi empat selongsongnya. Sudah digunakan dua, Jill sadar dia tidak bisa membuang tembakan lagi, namun kelihatannya nyaris tidak mungkin karena jelas lawannya memiliki refleks yang lumayan. Tapi lamunannya terputus saat lawannya itu menabrakkan seluruh beratnya dengan sebuah hantaman siku ke perut, menambah beban yang ditumpu oleh kaki yang memang sudah terluka. Jill meringis saat punggungnya menghantam tanah, namun itu segera berada di bawah prioritasnya saat dia merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak.
'Sejak kapan dia...'
Jill merasakan orang itu mengangkat tubuhnya hingga dia nyaris berdiri tegak. Namun kepalanya yang membeku dalam posisi menoleh membuatnya tidak bisa menatap wajah penyerangnya, yang saat ini sedang menatapnya dari atas ke bawah. Hal yang jelas membuatnya sangat tidak nyaman mengetahui siapa yang sedang 'merajah' tubuhnya itu.
"Skye... kuperingatkan kau... kalau aku lepas dari semua ini, akan kubunuh kau..."
"Oh, sayangku, cintaku... maaf. Tapi seperti yang kubilang, aku punya imej yang harus kujaga."
"Apa yang ka-"
Kata-katanya terputus saat dia merasakan perih yang menyebar dari perutnya ke seluruh tubuh. Mantera yang membekukan seluruh tubuhnya melemah, membuatnya bisa menunduk dan melihat asal sakit itu. Sebuah pisau belati standar untuk berburu, tidak lebih panjang dari 10 sentimeter, terbenam hingga ke pegangannya. Tidak fatal jika segera dirawat; namun melihat keadaan daerah yang sepi ini, dia ragu pertolongan pertama menjadi pilihan.
'Tataplah mereka yang menyakitimu tepat di mata, dan pastikan mereka melihat kebencian yang membara di wajahmu meski kau tahu cahaya akan raib darimu.'
Salah satu kata-kata Ayah yang kuingat selalu, dan tidak akan mudah hilang mengingat betapa seringnya aku melakukannya pada mereka yang sudah bersalah pada diriku atau saudara-saudaraku. Kuangkat kepalaku, namun apa yang kulihat membuatku tersentak.
Hijau berkilau bagai zamrud, alis yang turun dan lemas. Tidak ada tanda-tanda kekejaman yang sering kulihat dari lawan-lawan yang sudah jatuh di hadapanku saat aku akhirnya mengangkat senjata, kekejaman yang hanya muncul di mata seorang pembunuh.
Penyesalan. Hanya itu yang kulihat.
Aku tidak mengerti...
"...Kurasa dengan ini, kau berhasil mengalahkanku, Jill. Tenang saja, kau pasti akan selamat meski dengan luka seperti ini. Dan sesuai janjiku, aku akan katakan semuanya."
Di telingaku dia berbisik. Mataku mulai berat karena kehabisan darah, namu aku masih bisa jelas mendengar apa saja yang dia katakan. Sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang membuatku mengerti kenapa. Tapi, apa aku bisa percaya apa yang dikatakannya selain aturan tak tertulis 'penjahat yang sedang menikmati kemenangannya tidak akan bohong'? Dan jikapun aku percaya padanya, apakah kakakku akan mengerti seperti aku, di saat hatinya hanya terisi dendam karena adiknya nyaris terbunuh? Kesadaranku menjauh saat sekujur tubuhku jatuh ke dalam danau.
88888
Takakura mendobrak pintu Blue Bar, secara efektif menarik perhatian semua patron bar kecil itu. Wajah tuanya bercucuran keringat, matanya yang biasanya tertutup mendelik lebar dan merah karena frustasi dan kelelahan. Marlin membantu pria itu duduk di kursi yang sebelumnya didudukinya, mencoba menenangkan nafasnya yang memburu dengan memberinya segelas air. Namun berita yang keluar dari mulut pria itu membuat semua yang mendengar membelalakan mata.
"Jill menghilang."
Di tengah kesunyian yang semakin menyesakkan dada Takakura, sebuah retetan tawa keras menggema. Semua menoleh untuk melihat siapa yang sudah berani bertingkah tidak pantas di situasi seperti ini. Melihat tatapan tidak senang yang sudah dia pancing, Rock menggaruk belakang kepalanya.
"Em… itu terdengar tidak masuk akal?"
Takakura yang sudah tidak mau main-main lagi, menarik kaus biru pemuda pirang itu dan melayangkan kepalan tangannya ke wajah pemuda pesolek di depannya tanpa ampun. Seketika saja seluruh bar menjadi riuh, beberapa orang mencoba menahan pria yang sedang murka itu.
"Dasar anak nggak tahu diri! Kau pikir ini lucu, hah! Kau pikir ini bercanda, hah! Kalau saja kau pakai separuh otakmu saja untuk berpikir, kau pasti tidak akan tanya hal yang seperti itu padaku, dasar bocah tolol!"
"Takakura! Tenangkan dirimu! Kalau kau tidak bisa, aku terpaksa lempar kau keluar meski keadaannya darurat."
Kata-kata Griffin cukup untuk membuat pria paruh baya itu sedikit tenang, namun tidak cukup untuk membuat orang-orang yang menahannya melepaskan pegangan mereka. Semua menunggu apa yang akan salah satu dari mereka katakan, sebelum akhirnya Takakura menepis tangan-tangan yang masih mencengkram dirinya dan mulai berjalan keluar.
"Oi, Takakura! Mau kemana kau?"
"Sepertinya kalian tidak punya niat untuk menolongku, jadi lebih baik aku lakukan sendiri saja."
"Bukannya begitu! Emang dia," Marlin menunjuk Rock yang masih terbaring telentang di atas lantai kayu bar, "yang nggak bisa baca situasi. Tapi apa kau yakin Jill itu bener-bener hilang? Mungkin dia cuma jalan-jalan ke mana... gitu."
"Tidak, kukira tidak."
Semua menoleh kepada Griffin. Yang dilihat hanya mengangkat bahu, namun tetap memasang wajah seriusnya.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Banyak hal, tapi yang paling mungkin menjadi alasanku kenapa aku berkata begitu mungkin adalah karena aku melihatnya beberapa jam lalu. Dia datang ke tempat ini dan minum sampai teler sebelum bar buka sore tadi. Kalau memang dia sedang jalan-jalan, dia pasti sudah kembali. Atau ada juga kemungkinan dia pingsan di tengah jalan..."
"Tapi ngapain dia minum sampai teler? Dia bukan tipe orang yang seperti itu."
"Wally! Kau ini bagaimana? Kau belum dengar soal Jack yang dilaporin hilang?"
"Hilang?"
"Katanya dia itu hilang saat pergi ke tanah utama, urusan 'bisnis' seperti biasa. Tapi ada sekitar dua minggu sebelum beberapa orang intelnya melaporkan dia tidak diketahui kabarnya sejak terakhir mereka berhubungan awal musim semi ini."
"Ho... pantas saja Jill jadi kelihatan tidak punya semangat hidup. Dia jadi seperti menelantarkan kerjaannya di kebunnya."
"Takakura, apa kau sudah coba cari di sekitar sini?"
"Tidak perlu kujawab soal itu. Tapi aku masih belum periksa daerah sebelah timur desa ini."
"Oke, kami akan bantu." Marlin kemudian menendang pelan perut Rock, "Kau mau ikut tidak?"
"Aku nyusul."
Selama dua jam mereka mencari tanpa hasil. Paling tidak sampai dua pembuat kembang api kembar yang ikut dalam pencarian secara tidak sengaja menengok ke arah danau tidak jauh dari pohon besar dan menemukan tubuh gadis itu mengambang telentang di dalamnya. Saat mereka menariknya keluar, ada dua hal yang mengejutkan mereka. Yang pertama, sebuah pisau menancap di perut atasnya, nyaris mengenai ulu hatinya jika tusukan itu berada lebih ke bawah 2-3 cm. Dan yang kedua, dan yang paling mengejutkan mereka, adalah kenyataan bahwa dia masih hidup meski dalam keadaan kritis, karena semua orang akan berpikir jika bukan karena tusukannya, pasti karena hypothermia yang akan mencabut nyawa anak ketiga keluarga de la Vega generasi ke-8 itu.
Di waktu pagi besok harinya, seluruh penduduk Forget-Me-Not sudah mengetahui kejadian itu dan mengadakan pertemuan desa tidak resmi. Yang menjadi topik adalah: apa yang akan mereka lakukan dengan berita tersebut, memberitahukannya pada keluarga Jill yang terkenal tidak terima salah satu dari mereka dianiaya dan akan melakukan apa saja untuk balas dendam, atau merahasiakannya.
Forget-Me-Not adalah salah satu desa yang menjadi ekstensi dari 'Dunia Belakang' dan biasa menjadi tempat persembunyian mereka yang berusaha menghindari pengejaran petugas dengan jaminan perlindungan dari kelompok luar, hal yang tidak terlalu diperlukan oleh para penduduk desa karena pihak berwajib mengetahui bahwa keluarga itu tidak berbahaya selama tidak diganggu dan reputasi mereka saja sudah bisa menjamin tidak akan yang berani menyerang desa itu. Namun, sekarang dengan kejadian ini, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Takakura, sebagai teman dekat keluarga de la Vega sejak lama, mengusulkan untuk memberitahu Claire akan apa yang terjadi pada adiknya dengan pertimbangan dia akan lebih murka jika dia tahu dari sumber lain, dan akan lebih baik jika mereka menerima apapun yang akan Claire lempar pada mereka sekarang daripada nantinya. Namun beberapa orang berargumen, selama Claire tidak tahu, dia tidak akan melakukan apa-apa. Akhirnya mereka memutuskan mengambil jalan itu, dengan Takakura yang agak khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimanapun juga, dia punya firasat kejadian ini ada hubungannya dengan menghilangnya Jack.
88888
Mineral Town, Saibara's BlackSmith
Di tempat itu dia berdiri dengan beberapa peralatan kebunnya menyembul keluar dari dalam tas ranselnya. Claire menggaruk belakang kepalanya, tidak tahu apa yang harus dia katakan pada pria yang memang sudah lanjut usia itu sementara dia tidak pernah bercakap-cakap dengannya. Memutuskan dia akan memikirkannya nanti saja, Claire mendorong pintu di depannya. Dia kemudian menaikkan alis saat dia melihat pemandangan di depannya. Mary sedang membalut luka di tangan Gray dengan sesuatu yang terlihat seperti robekan bajunya sendiri.
"Nah, sudah selesai."
"Hei, bocah. Ayo bilang terima kasih."
"Te-terima kasih..."
Mary hanya tersenyum lebar mendengarnya. Dia kemudian menyadari ada orang keempat di dalam toko yang sempit itu dan melambai ke arah Claire. Claire membalas lambaiannya dengan agak ragu.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Gray, Pak Saibara."
"Ya,ya. Terima kasih."
Tidak ada lima detik setelah gadis itu keluar dari took itu, aura dingin yang menyesakkan memenuhi seluruh ruangan took paidai besi yang memang sudah sempit dan panas. Saibara memandang Claire dengan mata menuduh, sementara Claire hanya membalas tatapannya dengan rasa penasaran meski sadar akan reaksi yang tidak terduga dari pria tua itu.
"Apa aku mengenalmu?"
Saibara hanya tertawa datar, tidak ada jejak humor di dalam suaranya.
"Jangan bilang kau sudah lupa padaku, Dahlia kecil. Dengan kau yang tiba-tiba muncul di sini entah dari mana, kupikir sudah cukup buruk dengan adanya Basil dan keluarganya di sini."
Sejak mendengar nama kecilnya keluar dari bibir pria itu, Claire sudah mulai waspada. Siapa saja yang mengetahui nama itu, pasti memiliki hubungan langsung dengan 'Dunia Belakang' dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Claire memicingkan matanya untuk bisa melihat siapa pria ini dengan lebih jelas, namun hal itu hanya membuat Saibara menghela nafas.
"Sepertinya semua keriput yang muncul akhir-akhir ini terlalu banyak sampai kau tidak bisa mengenaliku, huh? Apa aku ini sudah tua sekali, ya? Mungkin ini bisa menyegarkan ingatanmu..."
Tanpa peringatan, Saibara mengayunkan sebuah palu besar yang tersembunyi di balik kounter ke kepalanya. Secara refleks, Claire menyondongkan tubuhnya ke belakang untuk menghindari ayunan gada yang pasti bisa memecahkan batok kepalanya jika diterima langsung. Gray yang hanya mengharapkan sebuah reuni antara orang yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tidak menyangka perkembangan ini. Tapi di antara ayunan palu Saibara, elakan Claire, dan tempat yang penuh kompor timah leleh yang panas, Gray nyaris tidak punya tempat untuk sembunyi. Untung baginya, Claire segera menghentikan kejar-kejaran itu dengan menangkap pergelangan tangan Saibara.
"Sudah cukup."
"Sepertinya kau jadi makin ahli saja."
"Tetap saja itu tidak menjawab pertanyaanku. Kau pikir dengan berusaha menghancurkan tengkorakku, kau bisa memaksa ingatan apapun yang kupunya akan kau keluar? Logika gila macam apa itu?"
"...Jadi kau benar-benar tidak mengenaliku?"
Claire tidak berkata apa-apa, namun dia melirik ke arah pergelangan tangan pria itu saat dia merasakan sesuatu jatuh dari balik lengan longgar kimononya. Gray mengenali benda itu. Sebuah gelang yang dimiliki semua orang yang berasal dari keluarganya, gelang emas dengan lambang kepala singa di bandulnya. Claire yang melihat itu masih tidak bereaksi, namun Gray jelas bisa melihat matanya sedikit terbelalak dan pupil matanya mengecil, membuat ilusi mata setan yang mungkin hanya bisa dilihat di film. Saibara yang melihatnya, hanya tersenyum pada dirinya sendiri.
"Sepertinya kau sudah sadar...?"
"...Tergantung. Apa kau ingin aku mengingatmu sebagai musuh keluarga, atau sebagai seorang pandai besi yang mau kuminta tolong untuk memperbaiki peralatanku? Kenapa kota ini punya banyak sekali wajah lama? Pasti Harvest Goddess sengaja menyusun semuanya untuk jadi bahan lawakannya dengan Witch Princess."
"Takdir memang menyebalkan, kuakui itu. Tapi memang melihat wajahmu lagi jadi membuatku ingin pindah dari kota ini."
"Ho... begitu? Jangan anggap kau saja yang nyesek berpikiran begitu."
"Hei, bagaimana pun juga, hormati orang yang lebih tua. Meski tulangku sudah tua dan rawan meriang, bukan berarti aku tidak bisa hajar wajah cantikmu itu. Jangan karena kau wanita, aku tidak bisa melakukan hal yang sama seperti saat kubuat hidung ayahmu bengkok permanen."
"...Masih mau nantang, pak tua?"
"Seseorang, ada yang bisa tolong jelaskan apa yang terjadi di sini?"
Claire dan Saibara menoleh bersamaan ke arah Gray yang masih terengah-engah dari teriaknya. Pita suaranya yang jarang dipakai terasa terbakar setelah tiba-tiba mengeluarkan suara yang lebih dari enam octave lebih tinggi dari suara biasanya, benar-benar kekurangan dari seorang yang tidak banyak bicara. Claire dan Saibara kemudian saling tatap, sebelum Claire akhirnya melepaskan tangan Saibara yang pemiliknya langsung pastikan tidak ada sendi yang salah tempat. Claire kemudian menatap langsung ke mata Gray, yang menggeliat tidak nyaman di bawah sorot dua safir yang seperti sedang berusaha mencari celanya.
'Tadinya kupikir matanya terlihat dingin sekali, mungkin warnanya aqua kehijauan. Tapi dilihat dari dekat, ternyata biru sekali… Apa yang kupikirkan? Cewek ini mungkin akan membunuhku, dan di sini aku malah melamun memikirkan warna mata."
Dia lebih pendek beberapa inci darinya, tapi Gray bisa merasakan wanita ini bukan sembarang orang.
"Kau… tidak tahu apa-apa?"
"Aku memang sengaja memisahkannya dari yang lain." Saibara yang menjawab itu, "Sejak disput keluarga kita 20 tahun lalu, aku tahu keluargaku sudah tidak sama lagi. Hanya dia yang bisa 'kuselamatkan', jika itu yang kau maksud."
"Tunggu dulu, pak tua." Rasa penasaran melampaui rasa takutnya, membuat dia mendorong Claire dari jalannya untuk bisa berhadapan dengan kakek sekaligus gurunya, "Maksudmu...?"
"Kenapa kau berpikir kau tidak pernah kuizinkan kembali ke kota, dan tinggal dengan orang-orangmu? Karena kalau kau kembali, mungkin kau akan jadi seperti wanita ini. Atau bahkan lebih buruk... kau bisa jadi seperti kakakmu..."
"..."
"Hashmal adalah keluarga yang berasal dari kelompok vigilant yang menentang para polisi korup yang merajalela, sama seperti keluarga de la Vega. Selama bergenerasi, kita tetap mempertahankan hubungan mutual kita sebagai 'pelindung lepas Dunia Belakang'..."
"...Sampai pada waktu insiden 20 tahun lalu, di jembatan Allen, di mana salah satu orang de la Vega menjual saudara-saudaranya sendiri tepat saat mereka semua berkumpul dengan perwakilan keluarga Hashmal di sebuah pertemuan perjanjian damai." Claire mendengus pada kata-katanya sendiri, "Bukankah ini ironis? Pertemuan yang seharusnya menjadi event yang menyatukan dua keluarga besar 'Dunia Belakang' malah menjadi kejadian yang membuat jurang selebar 10 meter di antara kita."
"Je-Jembatan Allen...? Keluarga de la Vega...?"
Gray memegang kepalanya, ingatan yang sudah lama sekali terkubur mulai muncul satu persatu. Uda puluh tahun lalu, saat dia masih tinggal bersama ayah dan kakaknya di kota. Memandangi gedung-gedung yang bersinar satu-satu di tengah malam dari atas menara jam, bertemu dengan berbagai macam orang dari banyak tempat, berlatih berkelahi dengan kakaknya dengan hasil yang bisa ditebak.
"Hanya boleh ada satu Hashmal yang duduk di singgasana dunia. Kau pasti tahu apa maksudku, kan Gray?"
'Dia berkata dengan wajah bercipratan darah. Kakakku, Blue...'
88888
Gray's POV
Namaku Gray. Anak bungsu dari empat bersaudara keluarga utama Hashmalin. Saat Blue selalu bilang aku terlalu dimanja, kini aku mengerti apa yang dia maksud. Aku yang tidak tahu apa-apa soal urusan keluarga, aku tidak pernah sekuat kakak-kakakku saat mereka seumurku, dan yang terpenting, aku sama sekali tidak bisa menghentikan kegilaan yang menelan seluruh keluargaku, di saat ada sesuatu yang bisa kulakukan.
Sudah lama sekali sejak aku menginjakkan kaki di kota. Kira-kira 18 tahun sejak kakek Saibara membawaku ke Mineral Town. Dan sejujurnya, aku tahu benar kenapa dia melakukannya. Mungkin akunya saja yang masih terus menolak kenyataan bahwa kakak-kakak dan ayahku yang selalu kuidolakan saling bunuh hanya demi mendapat kuasa mutlak setelah Hashmalin kehilangan pengaruhnya.
Sekarang aku mulai ingat, apa-apa yang selama ini sudah kutinggalkan. Melihat seorang yang mengenal keluarga Hashmal membuatku sedikit tidak nyaman. Tapi kalau dia ini berasal dari keluarga de la Vega, itu artinya ida memang musuh. Tidak, tidak… selama dia ada di Mineral Town, dia tidak akan melakukan hal-hal konyol seperti membunuh salah satu penduduk kota begitu saja, ya kan…?
"Tadinya aku akan bertanya kenapa kalian ada di sini, tapi tidak jadi. Bagaimanapun juga, semua punya alasan masing-masing. Kalau memang kalian tidak menggangguku dalam bentuk apapun, kurasa kita bisa hidup dengan tenang dan tidak mempersoalkan vendetta lama kita ini."
"Hoho… jadi kau akan 'melepaskan' kami? Kau terlalu baik, Dahlia." Nada sarkastik yang tebal itu sedikit membuatku tersenyum. Dia tetap kakek yang kukenal. 'Dahlia' juga ikut tersenyum mendengarnya, mengambil sebuah palu dan bongkahan tembaga di atas kounter.
"Langsung saja ke bisnis. Aku sudah baca di perpustakaan soal tempatmu ini. Jadi... bagaimana menurutmu?"
Kakek mengambil palu itu dan mulai mengamatinya. Dari saat itu, aku mulai tidak lagi memperdulikan percakapan mereka dan meneruskan pekerjaanku. Sebuah bros perak dengan batu emerald di tengahnya, pesanan Basil untuk ulang tahun istrinya. Aku sudah sekitar seminggu mengerjakannya; dan mengingat ini adalah pekerjaan besarku yang pertama. Itu berarti kakek sudah mulai mempercayaiku untuk mengurusi toko. Memang satu yang menjadi tujuanku bekerja di tempat ini: untuk bisa membuat satu-satunya orang yang sudah mengurusku sejak kecil ini bangga.
Tapi aku melihat dari ekor mataku, kakek berhenti mengamati palunya dan justru melihat ke arahku. Aku berbalik, mengangkat alis sebagai tanda aku bertanya 'ada apa?' padanya. Dia tidak berkata apa-apa dan hanya menyodorkan palu itu padaku. Aku tidak berkata apa-apa, tapi aku tahu apa yang dia mau aku lakukan.
Mengambil perkakas itu dari tangan kakekku dan mulai memeriksa keadaannya. Benda yang sudah agak usang, berkarat dan rapuh. Kelihatannya sudah cukup untuk sampai tahap lapisan emas. Apa saja yang dia lakukan sampai bisa secepat ini? Memukulkannya ke batu besar tiap hari?
Setelah melewati prosedur-prosedur biasa yang sudah sering kulakukan; memberikan diagnosa, membicarakan soal batu upgrade yang akan dipakai, dan soal pembayarannya, kakek akan bersiap melempar keluar pelanggannya dari toko. Namun kali ini agak sedikit berbeda dari biasanya.
"Palumu akan selesai dalam tiga hari, jadi sebelum itu," dia menarik kerah bajuku, "Bawa dia keluar sebentar. Biar aku yang urus ini."
Dengan pintu yang dibanting di wajahku, aku hanya bisa mengerutu.
"Bisa tolong berdiri? Sikumu membuat perutku tidak nyaman."
Barulah aku menyadari posisi kami setelah kakek melempar kami keluar. Em... kurasa aku tidak perlu mendeskripsikan yang seperti ini, gunakan saja imajinasi kalian sendiri. Jadi sebagai sebagai seorang gentleman, aku tidak akan membuat dia tambah malu dengan tidak akan membicarakan masalah ini lagi. Aku memberikan tanganku untuk membantunya berdiri, tapi dia tidak menghiraukannya dan berdiri sendiri. Jujur, aku agak sakit hati karena dia begitu, tapi aku tidak bilang apa-apa padanya.
"Karena kau sudah 'dibebastugaskan' oleh kakekmu, apa yang biasa kau lakukan kalau di situasi seperti ini?"
Aku menggaruk kepala. Biasanya saat aku sedang bekerja di bengkel, aku akan selalu membayangkan bagaimana hari-hariku itu lebih baik dihabiskan di luar atau semcamnya. Tapi sekarang aku memiliki kesempatan itu, justru akunya yang tidak tahu harus ngapain. Oh, ironi...
Seperti bisa membaca pikiranku, dia menuntunku ke penginapan milik Doug. Katanya jam segini seharusnya anaknya sudah ada di sana. Sepanjang perjalanan kami tidak mengatakan apa-apa. Aku sedikit tidak enak dengan situasi seperti ini, tapi aku yang juga tidak pandai bicara jadi tidak tahu harus membicarakan apa-apa. Apa mungkin aku ini termasuk dalam orang dengan penyakit gangguan sosial? Hal itu membuatku merinding, dan memaksaku untuk memuntahkan kata yang melintas di kepalaku.
"J-Jadi, Dahlia…"
"Di sini, panggil aku Claire."
"Baiklah, Claire. Aku penasaran denganmu, jujur." Dia menoleh ke arahku. Pupilnya memang tidak lagi mengecil sehingga iris biru esnya tidak mendelik padaku, tapi tetap saja aku sedikit tidak nyaman, "Kau ini… sebenarnya siapa?"
"Kau ingin tahu soal apa dariku?"
"Yah... mungkin seperti apa hubungan yang kaupunya dengan Hashmal atau semacamnya."
"... aku dan Blue itu dulunya teman seperguruan, bisa dibilang begitu. Kami belajar semua yang kami bisa dari orang yang sama, juga cara bertahan diri di tempat liar seperti 'Dunia Belakang' dengan hanya menggantungkan harapan pada tong-tong sampah yang ada di gang-gang sempit. Hal yang biasa."
Aku menundukkan kepala, tidak tahu harus bilang apa mendengar hal seperti itu. Di satu sisi, aku bersyukur tidak pernah mengalaminya, namun di sisi lain aku jadi seperti tertinggal di banyak hal. Satu sambaran kilat seperti menghantamkan gadanya ke dadaku. Aku saat ini sedang membicarakan masa lalu pada seorang yang pindah ke tempat ini untuk menghindarinya. Aku jadi merasa seperti orang yang bodoh dan bebal, mengetahui aku ini sedang menyiramkan garam ke luka yang menganga. Tadi dia seperti tidak perduli, dan meneruskan monolognya.
"Tadi, sejak pertama aku bertemu dengannya, aku tahu dia itu adalah salah satu benih yang terlahir jahat. Melindas kucing dengan sepedanya, menggorok leher anak-anak ayam, hal semacam itu. Aku tidak pernah suka dengan tindakannya yang seperti itu, dan kami sering berkelahi karenanya. Saat aku mendengar dia membunuh ayah dan kakak-kakaknya, aku sejujurnya tidak kaget. Dia memang seperti itu sejak dulu. Dan aku yakin... kalau seandainya kami bertemu lagi, salah satu... tidak kami berdua pasti akan saling bunuh sampai mati."
"Tapi, aku sudah tidak seperti dulu lagi. Tubuhku ini bukan lagi hanya milikku. Kalau seandainya aku tewas, Annabelle tidak akan ada yang mengurus. Aku terus memikirkan seperti itu, dan aku ingin dia tidak kehilangan ibunya dan menjalani trauma parah sepanjang hidupnya karena seorang psikopat membantai keluarganya. Karena itu... aku berpikir untuk sembunyi di sini, mungkin selama beberapa tahun."
"Kau tidak salah." Dia menoleh padaku, tapi aku sudah sedikit tenang karena sorot matanya sedikit melunak. Pasti karena membicarakan anaknya, "Kau tidak salah kalau kau ingin sembunyi. Kau ingin melindungi anakmu, bukan karena kau takut mati. Kurasa aku bisa mengerti."
Dia memberikan sebuah senyum tipis. Hanya perasaanku saja, atau wajahku terasa memanas, ya? Pasti hanya perasaanku.
"Terima kasih, Gray..."
... aku tidak menyangka dia ingat namaku. Dia kemudian mengangkat kepalanya dan tertawa pelan, hal yang jelas membuatku bingung dengan ketiba-tibaannya itu. Tapi aku tidak menyangka dengan apa yang akan keluar dari mulutnya.
"Jadi, apa hubunganmu dengan Mary, huh?"
"A-Apa? Eh... um... tidak ada apa-apa, kok. Dia cuma mau mengambil peralatan ayahnya yang dititipin ke kakek."
"Begitu?"
"Ya, begitu."
"Baiklah, kalau begitu..."
Tapi aku tahu dari caranya mengangkat alis dan nadanya berbicara, dia tidak menganggapnya serius. Dasar, perempuan... tapi dengan cepatnya ekspresi di wajah berubah, aku jadi agak khawatir dia punya semacam gangguan dual personality.
"Dia anak yang baik, jadi... sebaiknya kau baik-baik dengannya kalau kau ingin jalani hidup tenangmu ini dalam keadaan utuh."
Aku menelan ludah seperti setiap orang normal yang berada di situasi seperti ini.
Gray's POV End
88888
Gray mengunyah nasi goreng yang disediakan di depan wajahnya. Kesadaran akan dua perempuan yang sedang mengamatinya makan di sebelahnya adalah satu-satunya yang menahannya untuk melahap masakan yang luar biasa ini seperti babi yang sudah tidak makan selama dua hari penuh. Gadis kecil pirang yang duduk di sebelah kanannya tersenyum lebar dari telinga ke telinga, dan mulai menyuap bagiannya sendiri ke dalam mulutnya yang menganga. Claire menggelengkan kepalanya melihat table manner anaknya yang sedikit kurang.
"Pelan sedikit, Nana. Atau kau mau keselek?"
"Baik..."
Dia kemudian melanjutkan makannya dengan tempo yang jelas lebih lamban. Claire mendengus pelan, menyangga wajahnya dengan telapak tangannya dan mata setengah tertutup. Anaknya tersenyum lebih lebar melihat ibunya terlihat santai setelah beberapa hari tidak tidur setelah mendengar telepon dari wanita sipit berbaju merah itu. Ibunya tidak mengatakan apa-apa, dan jika dia tidak mengatakan apa-apa itu artinya dia tidak boleh memaksa.
Tapi melihat ibunya ini membawa cowok bertopi yang dia ajak bicara saat dia baru datang ke kota ini membuatnya sedikit bertanya-tanya.
"Hei, paman...?"
"Apa aku ini menikah dengan adik ibumu?" dia seperti tidak menghiraukannya.
"Aku dengar kau ini... adiknya si Singa Putih Besar."
Gray yang sedang menyeruput air putihnya tersedak dan mulai terbatuk-batuk karenanya. Sementara Claire memberinya tatapan mata yang seperti meneriakkan 'Oh, kau tidak baru saja bilang...!', Gray sejujurnya lebih tertarik pada kenyataan bahwa gadis kecil yang mungkin tidak lebih dari 7 tahun ini lumayan savvy tentang keadaan keluarganya itu. Dari yang dia dengar dari pembicaraan Claire dengan kakeknya tadi, dia paling tidak bisa berasumsi bahwa alasan kenapa Claire berada di kota kecil ini adalah untuk menyembunyikan anaknya dari segala macam yang berhubungan dengan 'Dunia Belakang', sama seperti yang dilakukan kakekku padaku.
"Dari mana kau dengar?"
"...Burung-burung kecil."
'Dia punya informan sendiri?' Gray berpikir, tapi kemudian dia meneruskan, "Dan dari cara kalian bereaksi, kurasa itu benar, kan? Kupikir ada sesuatu yang Nana kenal darimu, tapi Nana tidak bisa tebak apa sampai kalian memastikannya tadi."
Murid pandai besi itu tidak mengatakan apa-apa, namun Claire tidak selidah kelu seperti dia. Menggebrak meja, wanita pirang itu berdiri dari kursinya dan membuat anaknya menatap wajahnya. Bayangannya seperti menelan anak itu, cara yang sama dengan cara dia mengintimidasi orang-orang yang dia tidak kenal; mengejutkan karena dia akan menggunakannya pada anaknya sendiri, yang menurut orang-orang sekitar pertaniannya, yang sangat dia manja. Namun jelas dari suaranya, tidak ada tanda dia kemarahan membuatnya lepas kontrol dan hanya terdengar keras seperti orang tua yang sedang menasehati anaknya yang baru saja mengambil barang yang bukan miliknya, hal yang menurutnya sangat luar biasa.
"Dan siapa dia itu?" saat itulah, dia mulai sedikit ragu.
"... Orang yang sudah 'membunuh' Paman Jack. Dia beritahu aku semuanya. Soal 'Kunci Labirin Hidup', soal keluarga Hashmal yang sedang mengejarnya dan balapan dengan beberapa klan yang lain, soal Paman Jack yang hilang beberapa minggu lalu setelah Mama memintanya mencaritahu soal keluarga Barker, Nana tahu semuanya."
"Kenapa dia memberitahumu?" suara wanita itu sedikit meninggi
"Karena dia tahu... Mama akan mengamuk kalau dia memmberitahu Nana... membuat Mama jadi tidak tenang lagi karena orang sudah mengetahui posisi kita. Tapi Nana tahu, Mama harus tahu karena ini juga menyangkut keluarga kita. Ada seorang 'pengkhianat' di dalam keluarga de la Vega, tapi dia tidak seperti kelihatannya." Nana mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan, "Hashmal akan mengambil apa yang jadi milik kita dan mungkin akan mengarah pada paman ini."
"Apa? Aku? Bagaimana aku bisa terlibat kalau aku tidak pernah berhubungan dengan keluargaku selama 20 tahun?"
"Ada alasannya, tentu saja. Tapi... Nana tidak tahu apa itu."
"Bagaimana kau bisa yakin kalau tidak ada yang mengarahkannya padamu?"
"Asumsi." Kali ini Claire yang bicara. Kini dia melipat tangannya di depan dada, wajah terkontur dalam kerutan-kerutan berpikir. "Nana memang tidak tahu soal yang sejauh itu, tapi ada saat di mana kita secara insting akan mencoba mengambil kesimpulan sebagai metode pertahanan psikologis untuk membuat semua ini menjadi masuk akal. Kita tidak harus sadar kenapa kita melakukan itu, membuat sebuah pernyataan yang sepertinya tidak berdasar. Bagaimanapun juga, orang takut apa yang tidak mereka tahu dan dengan membuat sebuah asumsi untuk membuat semuanya masuk akal, mereka akan merasa lebih tenang."
"Tapi kita tidak akan bicara soal masalah kejiwaan seseorang secara dalam, bukan? Paling tidak, bisa kau lebih detail soal bagaimana Nana bisa berasumsi seperti itu? Kalau keluargaku sekarang mengejarku, kenapa baru sekarang? Apa mereka baru mengetahui di mana aku berada atau semacamnya?"
"Kemungkinan itu ada. Tapi yang menurutku menjadi alasan utama adalah sesuatu yang berlangsung saat ini, sesuatu yang berhubungan dengan 'Kunci Labirin Hidup' sampai orang-orang itu mulai melakukan pencarian besar-besaran sekarang. Kebetulan yang mengerikan tentu saja. Masalahnya sekarang adalah 'Apa itu?'. Soal asumsi Nana, mungkin karena semua 'kebetulan' ini."
Claire kembali menyangga wajahnya dengan telapak tangan kanannya, jari-jari di tangannya yang lain mengetuk-etuk meja kayu dalam sebuah ritme yang harmonis. Sebuah lagu, balada lebih tepatnya, yang dulu dia pernah dengar dari sebuah klan pembunuh yang dikepalai seorang korban luka bakar empat derajat yang berkursi roda. Pikirannya sempat tersasar pada bagaimana keadaan mereka sekarang, sebelum kembali ke relnya tidak lama kemudian. Bagaimana dia akan menghindari bentrokan yang sangat mungkin akan terjadi nanti. Dia tidak menghiraukan apapun yang keluar dari mulut dua orang yang ada di sebelahnya, namun saat apa yang dikatakan anaknya berikutnya sampai ke telinganya, dia menoleh ke arahnya dengan alis menyatu.
"…karena itu, Nana ingin Mama melatih Nana bagaimana cara berkelahi." Hanya perlu dua detik untuk mendapatkan jawaban singkatnya.
"Tidak akan."
88888
Mary baru saja menyerahkan peralatan ayahnya kepada yang bersangkutan saat dia melangkah keluar dari rumah dan akan menuju perpustakaannya. Tidak melihat jalan dari belokan pagar rumahnya, dia menabrak seseorang dan terjatuh terduduk. Mary segera mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang dia tabrak, dan segera meminta maaf saat dia melihat sosok bertopi biru di depannya.
"Maafkan aku Gray, aku tidak sengaja!"
Tapi orang di depannya tidak membalas kata maafnya, dan hanya menyuarakan pikirannya, "Gray... jadi dia benar ada di sini..."
Mary baru kemudian menyadari bahwa orang yang berada di hadapannya ini bukan si murid pandai besi yang pemarah dan tidak sabaran itu saat dia lebih mengamati lagi siapa orang itu. Dia punya ciri fisik yang sama, rambut kemerahan yang terlihat seperti wortel yang sudah matang dengan mata biru yang tidak kalah dingin dengan sepasang safir milik Claire. Namun orang ini lebih tinggi dan kekar, memakai topi baseball bertuliskan 'ushi' dan bukannya 'uma'. Tapi yang membuat Mary yakin orang ini bukanlah Gray adalah tangannya yang tidak lagi terbalut perban dan tidak memiliki luka bekas lelehan timah yang baru saja di dapatkan Gray.
Pemuda di hadapannya meraih tangannya dan menarik tubuhnya hingga berdiri. Mary meringis kesakitan karena tarikan tangannya nyaris membuat engsel bahunya seperti mau lepas, namun segera menjadi prioritas terbawah saat dia menyadari sebuah moncong pistol kini menempel di tengah dahinya. Bibirnya melebar menjadi seringai yang mengerikan dan Mary bisa merasakan air mata ketakutan mulai meleleh dari kedua matanya.
"Kau sepertinya kenal Gray... bagaimana kalau kau bawa aku ke tempatnya, dan aku mungkin akan melepaskanmu."
Seperti mengempasis kata-katanya sendiri, Blue menekan moncong senjatanya lebih keras, tersenyum lebar saat gadis sanderanya itu mulai menuntunnya ke sebuah bengkel pandai besi kecil di sebelah selatan Mineral Town.
Chapter 7 Ends
88888
Bab baru selesai, yay! Whoopin' 6000 words, people! Dan selamat hari pertama puasa, saudara-saudara. Semoga sebulan ini jadi penuh berkah dan kita bisa menjalankannya dengan lancar sampai hari kemenangan nanti, Amin.
Chapter terpanjang di fanfiction ini. Aku lumayan puas dengan hasilnya, karena mungkin kebelakangnya juga bakalan seperti ini. Meski di beberapa tempat aku sedikit merasa aku agak buru-buru, tapi mungkin akan ganti tempo di chapter depan. Dan di bab ini, aku membuka sedikit seperti apa keluarga Hashmal dan konflik yang sudah memecahkan hubungan merka deng de la Vega juga di dalam keluarganya sendiri. Keadaan juga bakal jadi agak rumit dan mulai sekarang mungkin akan meninggalkan beberapa brick jokes di bab-babnya, jadi bagi yang bisa menangkap apa yang terjadi dan sadar ada clue yang sudah ditinggalkan di bab sebelumnya, thumbs up.
Review Reply
Kazeyana Fami
Terima kasih karena sudah menyempatkan membaca fanfic ini. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan? Kalau bisa, iklankan fanfic ini juga, ya…
Hahaha, bercanda, bercanda saudara. Kalau emang ada yang mau baca, ya silahkan. Dan juga, kalau ada bagian yang tidak mengerti, bisa tanyakan saja di review dan PM. Aku akan coba jelaskan sampai sejelas-jelasnya.
Ehm, kau mau lihat rupanya Nana? Yah, sebenernya dia itu kelihatan seperti versi lebih kecilnya Claire. Tapi kalau mau lihat yang lebih jelasnya, mungkin aku bakal gambar bagaimana dia di halaman DA-ku. Yah... itu pun kalau kau mau dan akunya nggak males.
Yuu Yuring
Sebenernya aku mengusahakan player characternya menjadi anggota mafia semua, juga mengusahakan semua Harvest Moon muncul di dalam fanfiction ini dalam bentuk apapun. Jadi jangan khawatir kalau ada karakter yang kau mau muncul tidak ada, itu cuma masalah waktu sampai chapter debutnya saja, kok.
Tobi jelas akan muncul, dan jujur aja, aku udah pasang perannya dia. Aku belum pernah maen Grand Bazaar, tapi pasti akan muncul meski akan agak di dorong kebelakang kemunculannya.
Baiklah, kurasa sampai situ saja. Jangan ragu kalau mau tanya atau ngeflame, saudara-saudara. Demokrasi memperbolehkan orang-orang menyuarakan pendapatnya, bukan begitu?