Saya tahu ini crack ... tapi coba anda liat mereka. Bayangkan. So sweet kan? He he he
Saya seneng banget kalau masih ada yang mau baca n saya harap anda tidak menilai suatu karya dari pairingnya y,
UPDATE! Happy read XDD~
xxXXxx
Bab 3 : Sunset
Sudah hampir 30 menit, tetapi suasana masih hening seperti sebelumnya. Ino terus-menerus mendengus kesal. Bisa-bisanya ia tahan tanpa berceloteh sedikitpun. Tidak ada topik pembicaraan yang menarik, ditambah pemuda yang tengah duduk bersamanya juga tidak menarik! Masa' betah diam terus-menerus sembari mendengar celotehan Ino sebelum keheningan menguasai? Sekali-kali ia ingin mendengar Shino, pemuda yang duduk di sebrangnya itu, yang bercerita.
Memilih Shino sebagai teman kencan adalah sebuah keputusan yang salah.
Setidaknya itu menurut gadis berambut blondie itu. Lagipula Ino tidak berniat untuk mengajak Shino kencan. Entah hal apa yang mendorongnya untuk mengajak Shino bersinggah di kedai kopi itu. Apapun penyebabnya, yang jelas mengajak Shino ke sini adalah kesalahan besar!
Ino segera mengambil tasnya setelah secangkir kopi ketiga-nya habis. Ia sudah cukup kenyang akan 3 cangkir juga keheningan yang tercipta sedari tadi. Ia meletakan beberapa yen di atas meja, agak kasar memang.
"Sudah beres?" tanya Shino datar seperti biasa.
'Nah! Baru ngomong dia!' umpat Ino kesal dalam hati. Ino membalas Shino hanya dengan anggukan lalu berjalan keluar kedai.
Setelah membayar ke penjaga kedai, Shino lekas menyusul Ino yang jalannya sudah agak jauh. "Ino!"
Ino tidak menghiraukan. Ia lebih memilih terus berjalan dengan langkah secepat mungkin, namun langkahnya terhenti kala bertemu persimpangan. Lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau. Ia sadar kini Shino tengah berdiri si samping.
Masih diselimuti rasa kesal, Ino memilih untuk membungkam. Shino heran melihatnya. Biasanya gadis itu berceloteh, tetapi sekarang satu celetukan pun tidak keluar dari mulutnya. Sepertinya Shino mengerti kenapa gadis itu tampak kesal. "Kau marah?"
"..."
"Tidak perlu diam seperti itu, sama sekali bukan dirimu."
Sama sekali bukan dirinya? Ya, Ino bukanlah tipe gadis yang pendiam. Ino adalah gadis yang suka berceloteh riang, selalu ada bahasan untuk membuka topik baru, dan yang terpenting adalah sangat menyenangkan sekali ketika berbicara dengannya. Shino akui itu. Rasanya mendengarkan gadis itu berbicara 24 jam tidak akan terasa bosan.
"Kau yang seharusnya tidak diam melulu." Balas Ino langsung, masih dengan raut muka yang kesal. Pandangannya juga masih fokus ke kendaraan yang berlalu-lalang di depan.
Shino hanya tersenyum melihatnya, meskipun tipis. "Maaf kalau begitu."
Ino tidak menghiraukannya. Lampu lalu lintas telah berubah menjadi merah. Ino kontan melangkahkan kakinya cepat, menghindar dari pemuda berkacamata itu.
Shino sama sekali tidak mengejarnya seperti tadi. Ia lebih memilih diam, memandangi punggung gadis itu yang lambat laun hilang di tengah kerumunan orang-orang.
'Gadis yang aneh.'
xxXXxx
Yamanaka Ino merebahkan tubuhnya di atas kasur beralaskan sprei berwarna biru laut itu. Matanya menerawang langit-langit yang terang akan cahaya lampu. Sedangkan pikirannya melayang ke beberapa waktu lalu, dimana ia meninggalkan Shino di penyebrangan jalan.
Jika ia pikir-pikir, kenapa ia harus marah? Bodoh, seharusnya ia mengerti bahwa Shino bukanlah orang yang banyak bicara. Bahkan lebih parah dari Sasuke, mungkin? Ya, tentu. Shino bukanlah tipe orang yang suka membuka topik pembicaraan. Shino bukanlah orang yang suka berbicara, bahkan mendengarkan Ino berbicara pun enggan mungkin. Seharusnya Ino sadar itu. Seharusnya ia tidak mendekati Shino.
Tunggu? Mendekatinya?
Yang benar saja! Dalam rangka apa ia mau mendekati pemuda freak akan serangga itu. Gila.
Ino kontan menutup mukanya dengan bantal. Kenapa ia harus salah tingkah begini sih?
Sedangkan di ujung Konoha lainnya, Shino tengah sibuk berkutik dengan buku Biologi-nya. Meskipun matanya membaca tiap huruf yang tertera di buku tebal itu, pikirannya tidak. Rasa bersalah terus menghantuinya. Rasa bersalah karena telah membuat gadis blondie itu marah.
Ia belum pernah melihat Ino sediam itu. Bahkan pernah suatu saat ketika Shino tidak menanggapi perkataannya, Ino tidak semuram itu. Hanya saja tadi berbeda. Apa Shino benar-benar sudah keterlaluan? Mendiaminya selama mereka minum di kedai kopi sore tadi? Seharusnya ia lebih banyak bicara waktu itu. Jelas sekali, Ino mengajaknya ke kedai kopi karena ingin berbicara, bercerita, bercakap-cakap dengannya.
Ah, baru kali ini Shino merasa dirinya bodoh sekali.
xxXXxx
"Pagi Ino!" sapa Sakura ketika Ino baru saja ingin memasuki kelas.
"Hm." Ino menjawab dengan gumaman lalu melesat untuk duduk di bangkunya.
Sakura menyerngitkan dahinya lalu ikut berjalan ke arah dimana bangku Ino berada. "Kenapa muram begitu?"
Ino menggeleng cepat. "Aku baik-baik saja." Padahal jujur, ia sedang kesal. Ah, kenapa pula kejadian kemarin masih diingatnya. Sama sekali tidak penting.
"Bohong." Tukas Sakura karena raut wajah Ino tidak berubah sama sekali.
Ino mendengus kesal. "Aku baik-baik saja. Ah, sudahlah, aku mau belajar Biologi."
Sakura hanya bisa menghela nafas pasrah. Kalu sahabatnya sedang bermood jelek, ia tidak berani menggubris. Adanya ia nanti malah kena amarahnya. "Ya udah deh, belajar bareng ya." Setelah itu Sakura melesat ke bangkunya untuk mengambil buku Biologinya.
Ino masih not in the mood. Ia benar-benar bingung, kenapa ia harus se-bete itu? Dengan cepat ia menepis pikirannya yang buruk dan kemudian fokus dengan buku Biologi kembali.
xxXXxx
Bel pulang sekolah berbunyi. Kontan murid-murid Konoha SHS bersorak riang. Guru-guru pun sampai menggeleng melihatnya.
"Sampai jumpa besok." Salam Shizune-sensei selaku guru biologi.
Murid-murid kelas I-B menghela nafas lega. Setidaknya ulangan harian telah selesai dan mereka kini bisa pulang.
Rock Lee yang duduk di bangku paling ujung menghampiri Ino yang tengah membereskan alat-alat tulisnya. "Kita jadi kerja kelompok hari ini?" tanyanya.
"Enggak dulu deh, capek." Jawab Ino bohong. Sebenarnya ada alasan lain kenapa dia gak mau kerja kelompok.
"Yaah ..." raut wajah Rock Lee berubah menjadi kecewa. "Kalo gitu sih gue, Sasuke, Kiba, sama Hinata doang gak apa-apa kok!" ujar Rock Lee lagi.
Ino tidak mendengar nama Shino disebut. Jangan-jangan orang itu juga gak kerja kelompok? "Shino?" tanyanya pada akhirnya.
Rock Lee mengangkat bahu. "Dia ngilang tiba-tiba."
"Oh." Ino segera menarik tas sandangnya. "Kalo gitu selamat bekerja, tugas buat gue entar kasih tau aja." Ucapnya sebelum melesat pergi.
Rock Lee hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum gadis itu menghilang di balik pintu berdaun dua.
xxXXxx
Langit telah berubah menjadi kuning kemerah-merahan, pertanda matahari akan segera tenggelam. Memang Ino balik lebih awal daripada rekan kelompoknya, tetapi ia tidak langsung pulang ke rumah, ia lebih memilih diam di kantin sambil mencicipi berbagai makanan.
Disaat seperti itu ia ingin sekali sendiri, entah kenapa.
Tidak ada Sai. Tidak ada Sakura. Tidak ada Shino ...
'Argh! Pemuda itu lagi.' Pikirnya sambil mendengus kesal.
Kenapa akhir-akhir ini Shino sering terlintas di benaknya? Sebenarnya ia kesel dengan pemuda bug freak itu, tapi selintas ia merasa bersalah. Tidak seharusnya ia kesal dengan pemuda itu. Secara teknis dan faktanya Shino tidak bersalah apa-apa. Hanya saja Ino yang keterlaluan dan selalu berpikir negatif.
Seingatnya, sebelum ia menyebrangi jalan kemarin, Shino sempat meminta maaf kepadanya. Tetapi Ino tidak menghiraukannya. Ia malah memilih untuk meninggalkan pemuda itu sendiri, hingga pemuda itu berhenti mengejarnya.
Seharusnya Ino memaklumi, Shino bukanlah tipe yang gampang diajak bicara. Jika Ino ingin mengubahnya supaya banyak omong seperti Naruto pun, ia rasa itu akan susah sekali. Ia ingat, di hadapannya bukanlah Sai yang selalu menanggapinya ketika Ino berbicara, tetapi Aburame Shino.
Oh ya! Aburame Shino.
'Baka Ino! Baka!'
Akhirnya Ino memilih pergi dari kantin yang tengah sepi itu. Kakinya masih belum ingin menginjak lantai rumah. Tiba-tiba sebuah ide terbesit di pikirannya. Rasanya ke atap sekolah terlebih dahulu tidak masalah.
Akhirnya ia memutar balik arah, dari gerbang sekolah menuju atap sekolah. Setelah menaiki beberapa tangga akhirnya gadis pemilik mata biru safir itu sampai di depan pintu. Seperti biasa pintu berdenyit ketika dibuka.
Ino menjejakkan kakinya di atas atap sekolah. Sebelum berjalan lagi, ia mengedarkan pandangannya dan mendapatkan sosok yang selalu melintas di benaknya itu.
Shino.
Pemuda itu tengah duduk membelakanginya, sembari memandang hamparan luas di atas sana.
Sejenak ia ragu, haruskah ia mendekati pemuda itu?
Lalu apa yang akan dilakukan setelahnya?
Aa, adanya ia akan dikacangin seperti tempo hari. Sebelum Ino berpikiran negatif, ia langsung menepis pikirannya.
Ia akan meminta maaf padanya. Setelah itu mungkin memulai pembicaraan sedikit supaya kesannya tidak canggung nanti.
Ino berjalan perlahan, menghampiri Shino yang sepertinya tidak sadar akan kehadiran gadis blondie itu. "Shino." Sapanya setelah berdiri di belakang pemuda itu.
Shino tidak tersentak kaget. Tidak juga menolehkan kepalanya. "Ino." Sapanya seakan tau siapa yang tengah berdiri di belakangnya.
Ino mengambil posisi di sebelah Shino. Ia pun duduk tepat di sebelahnya. Kedua matanya ikut tertuju pada objek yang tengah Shino pandangi.
"Coba kau lihat, matahari akan tenggelam beberapa detik lagi." Ujar Shino datar seperti biasa.
Ino kontan tersentak kaget. Tidak biasanya Shino membuka topik terlebih dahulu, namun akhirnya ia mengikuti perintah pemuda di sebelahnya. Memandang detik-detik sebelum matahari tenggelam.
Indah.
Itulah kesan Ino setelah melihat pemandangan karya Tuhan itu. Kanvas yang terbentang luas di atas kini tidak berwarna biru lagi, melainkan dicabur semburat kemerah-merahan, kuning, oranye, juga ungu –warna favorit Ino– yang membuat langit terkesan lebih indah. Lebih nyata. Ditambah kapas-kapas putih yang melayang-layang, juga sekelompok burung yang sedang bertransmigrasi.
Ino belum pernah melihat langit seindah itu. Setidaknya dari Konoha sendiri.
Ia tidak pernah begitu memperhatikan langit.
Tetapi sekarang ia tau, bahwa ciptaan Tuhan itu memang benar-benar indah. Matanya pun sampai tidak kunjung berkedip saking indahnya.
Ia tidak perlu pergi ke pantai untuk melihat matahari terbenam, cukup di atap sekolah saja.
Dan yang jelas, Shino lah yang membawanya ke tempat itu.
Musuhnya beberapa waktu lalu.
"Indah, hm?" gumam Shino lagi.
Ino mengangguk mantap. "Sangat."
Setelah itu mereka terbuai oleh pikiran masing-masing.
xxXXxx
TBC