Aku adalah malam.
Dia dan dia adalah bintang dan bulan.
Kupikir... aku hanya membutuhkan mereka untuk menyinari kegelapan yang kubuat.
.
.
.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Kira Desuke
Warning(s) : OOC, AU, etc
Genre(s) : Romance/Hurt/Comfort/Friendship/Drama
Main Chara : SasuSakuSaiNaru
.
.
.
Final Chapter :
BEGINNING OF ENDING
.
.
.
Tapi, ternyata aku salah.
.
.
.
REVIEW AND ART
.
.
.
.
.
Lima menit telah berlalu semenjak Uzumaki Naruto mengatakan apa yang sedari awal dia ingin katakan kepada Haruno Sakura. Gadis di depannya membuka mulutnya, kedua bola matanya mengecil dan membulat seakan dia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sementara Naruto masih tetap tenang di tempatnya berdiri, Sakura menggelengkan kepalanya lalu membentuk senyuman mengejek—walau tatapan matanya berkata lain.
"...Hah? Kau bercanda?" Tawa kecil terdengar dari gadis yang mulai membuka kedua tangannya itu, "Apa kau gila!? Aku tahu kau memang bodoh, tapi ini sudah keterlaluan!" bentaknya.
Naruto sama sekali tidak merespon. Kedua iris biru langit miliknya yang biasanya terlihat teduh entah kenapa kini menajam. Menatap lurus pada iris hijau emerald yang goyah. Sakura menggertakkan giginya. Tatapan serius Naruto seperti itu mulai membuatnya semakin jengah. "Berhenti menatapku seperti itu!" Tubuh gadis itu bergetar dan kedua tangannya mengepal di samping tubuhnya, "KUBILANG—"
"Kenapa kau marah?" Pertanyaan Naruto yang memotong teriakannya membuat Sakura membisu. Laki-laki yang memiliki rambut blonde spike itu tertawa mengejek lalu tersenyum, "Kupikir aku hanya memintamu untuk memilih salah satu dari mereka lalu memberi tahu mereka siapa yang sebenarnya kau cintai."
Gadis berumur tujuh belas tahun itu menggeleng cepat, sebelah tangannya mengibas. "Memberi tahu mereka siapa yang sebenarnya kucintai hanya membuat keadaan bertambah buruk!"
"Tapi, aku juga tidak akan memaksamu jika seandainya laki-laki yang kau cintai tidak ada di antara mereka."
Dan sekarang... Sakura langsung bungkam. Lidahnya terasa kelu, kedua pipinya memerah perlahan tapi pasti. Melihat itu, Naruto tersenyum hingga menyipitkan kedua matanya, "Berarti memang benar," gumaman Naruto membuat Sakura membuang mukanya ke arah lain, "apa tidak apa-apa? Bukan hanya mereka, kau pun tak akan pernah bisa bahagia jika kau terus diam dan berlari seperti ini," lanjutnya.
Sakura menggigit bibir bawahnya cukup keras. Kedua alisnya mengernyit dan matanya terpejam erat. Tangannya yang mengepal mulai bergetar karena rasa takut yang menyelimuti tubuhnya. Entah siapa yang ada di pikirannya, namun pikirannya terus menanyakan hal yang sama berulang-ulang... apa yang harus dia lakukan?
Di saat hatinya merasa ketakutan itu, Naruto mendekatinya dan meraih tangannya. Tentu saja Sakura kaget dan kepalanya terangkat secara reflek, membuat dia tidak sempat menyembunyikan kedua matanya yang sudah berkaca-kaca. Naruto memasang ekspresi serius yang belum pernah Sakura lihat sebelumnya. Sekali lagi iris biru langit itu menusuk hijau emerald di hadapannya.
"Kalau kau takut... aku akan menemanimu." Genggaman tangan Naruto menguat, menyalurkan kehangatan yang menenangkan. Begitu pula senyum tipis yang muncul di wajah anak tunggal Uzumaki tersebut, "Sekarang waktunya. Kita akan menemui Sasuke dan Sai. Kau sudah siap, 'kan?" tanyanya dengan suara serak yang khas.
Tangan kiri Sakura yang tidak dipegang Naruto kini mengepal di depan dadanya. Sakura menguatkan dirinya sendiri. Dia pasti bisa. Pasti. Sakura cukup sadar Naruto tidak pernah bermaksud menekannya. Dia sudah sadar jauh sebelumnya—tidak, mungkin sejak awal... bahwa hari ini akan tiba. Walau begitu, Sakura tidak pernah menemukan solusi yang tepat hingga akhirnya dia ketakutan dan melarikan diri. Sakura mengangkat kepalanya lalu mengangguk dengan mantap.
Melihat itu membuat senyum Naruto mengembang lebih dari sebelumnya. Laki-laki yang memiliki tiga garis kucing di pipi kanan dan kirinya itu menunjukkan deretan gigi putihnya, "Terima kasih," ucapnya singkat sebelum membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Sakura untuk berjalan. Saat Sakura memperhatikan punggung Naruto di depannya, pemuda yang seumuran dengannya itu berkata lagi, "Permintaanku tadi memang terdengar banyak, tapi... sebenarnya permintaanku padamu hanya satu—"
Naruto tidak membalikkan tubuhnya. Tangannya juga masih menggenggam tangan Sakura yang masih berjalan mengikutinya. Gadis itu menarik kedua alisnya membentuk ekspresi kesedihan yang cukup mendalam. Walau begitu, sekarang gadis itu mulai tersenyum... sangat tipis.
"—tolong kembalikan persahabatan kami, Sakura."
#
.
#
.
#
.
#
"Kenapa... Sai?"
Itulah kata-kata yang berulang kali melewati kepala Uchiha Sasuke di tengah pertarungannya dengan salah satu sahabatnya tersebut. Oh bukan, dia adalah mantan sahabatnya—begitulah yang berulang kali diucapkan oleh laki-laki yang sekarang sedang memukul perutnya begitu keras. Sasuke mengerang tertahan. Dipegangnya tangan Sai yang baru mendarat di perutnya itu lalu didorong. Saat Sai kehilangan keseimbangan, dengan cepat Sasuke sekarang yang mengarahkan kepalan tinju ke wajah pelukis tersebut.
DHUAK
Suara pukulan Sasuke yang tepat mengenai wajah Sai terdengar begitu keras, bisa diperkirakan kurang lebih seberapa besar kekuatan yang Sasuke keluarkan dari pukulan itu. Kepala Sai dipaksa menoleh ke kiri. Tak butuh waktu lama sampai warna biru lebam muncul di ujung kiri bibirnya.
Tubuh Sai mendarat keras di atas permukaan tanah. Punggungnya terhantam cukup kuat. Namun, sekarang bukan waktunya mengerang kesakitan seperti anak kecil, Sai langsung membuka matanya dan melihat Sasuke yang sudah menyiapkan kepalan tinju ke arah wajahnya. Laki-laki itu dengan cepat menghindar sehingga Sasuke memukul tanah. Dan tanpa basa basi, tendangan Sai dilepaskan membuat tubuh Sasuke terhempas cukup jauh dari posisinya.
Sekarang keduanya sama-sama mengatur napas di atas tanah. Baik Sasuke maupun Sai, kedua mata mereka sudah mulai berkunang-kunang. Entah sudah berapa lama mereka melakukan perkelahian yang sebenarnya tidaklah berguna ini. Sasuke ingin membuka mulutnya, mengatakan sebaiknya hentikan saja perkelahian ini. Untuk apa? Sakura sudah memutuskan hubungannya dengan Sai dan menolak pernyataan cintanya. Lantas... apa yang akan mereka dapatkan setelah perkelahian ini?
Tidak ada.
Seperti orang bodoh saja.
Tapi, belum sempat Sasuke berkata apa-apa, Sai sudah kembali berusaha bangkit dari posisinya. Uchiha bungsu itu sendiri masih memiringkan posisinya di atas tanah menghadap kanan melihat Sai yang sedang menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang bergetar, "Masih... belum," bisiknya perlahan—setengah menggeram. Laki-laki berambut hitam lurus itu merintih sesaat sebelum mengusap pelan darah yang keluar dari bibirnya. "Aku... masih belum puas menghajarmu, Sasuke."
Perkataan Sai yang terdengar lirih itu membuat Sasuke membulatkan kedua bola mata onyx miliknya. Sai masih berusaha berdiri dengan luka yang memenuhi sekujur tubuhnya, namun bukan itu yang mengalihkan perhatian Sasuke. Adik dari Uchiha Itachi tersebut seperti sadar akan suatu hal yang sangat penting. Ditatapnya Sai yang masih terus berusaha bangkit meskipun dia juga terus jatuh berkali-kali—mengabaikan fakta bahwa tubuhnya sudah mulai berteriak untuk meminta istirahat. Sasuke memejamkan kedua matanya erat.
Ya, benar.
"Baiklah, Sai..." Ucapan Sasuke membuat Sai menghentikan sejenak usahanya untuk bangkit. Ditatapnya Sasuke yang juga sudah mulai menggerakkan tubuhnya untuk berdiri seperti dirinya. Sai menggertakkan giginya penuh amarah, "...kalau kau memang segitu inginnya menghajarku, silahkan. Aku juga akan menghajarmu sampai kau puas."
Walau mengatakan itu, sempat terlintas di benak Sasuke... sebelum semua ini terjadi. Saat dia, Sai, dan Naruto masih sering bersama. Bermain ke rumah masing-masing lalu memainkan beberapa macam game consol, bermain basket, sepak bola, dan lain sebagainya. Ketiganya bisa tertawa lepas tanpa halangan yang membebani mereka. Seandainya saja waktu terus seperti itu. Seandainya saja mereka tidak perlu tumbuh dewasa. Seandainya saja... dua di antara mereka tidak perlu mencintai seorang gadis yang sama.
Apa semuanya akan tetap berakhir seperti sekarang?
Kalau memang sudah tidak mungkin, apa boleh buat.
Sai sempat tersentak saat mendengar kata-kata Sasuke tersebut. Tapi, tak lama. Dia tersenyum mengejek mendengar kata-kata salah satu temannya sejak kecil, "Baguslah, sepertinya pukulanku memang bisa mengembalikan otakmu untuk berfungsi lagi seperti dulu," sindirnya tajam tanpa menghilangkan senyum sinis di wajahnya.
Dengan sekali hentakan, akhirnya Sai berhasil berdiri tegap lebih dulu dari Sasuke yang masih berusaha karena nyeri di sekujur tubuhnya. Pelukis itu berjalan mendekati Sasuke yang meliriknya tajam. Sementara Sasuke mulai berhasil mendudukkan tubuhnya meskipun sedikit goyah, Sai mengangkat kepalanya, menatap Sasuke yang masih di bawahnya dengan tatapan merendahkan. Mengabaikan kebersamaan mereka yang sudah terjalin selama sepuluh tahun, Sai mengepalkan kedua tangannya dan mengangkat kakinya—siap melepaskan tendangan berikutnya.
"Aku akan lebih puas lagi kalau kau mati sedikit lebih cepat, Sasuke."
Mereka... bukanlah sahabat lagi.
Jadi, sebaiknya cepat selesaikan semua omong kosong ini.
#
.
.
.
#
"SAI! SASUKE!"
Ujung sepatu sneaker Sai berhenti tepat di depan wajah Sasuke. Tendangannya tertahan. Baik Sai dan Sasuke secara bersamaan langsung menoleh ke arah sumber suara yang memanggil nama mereka berdua tadi. Ekspresi mereka masih belum berubah saat melihat Uzumaki Naruto berlari ke arah mereka. Setidaknya sampai mereka melihat seorang gadis yang berlari di belakang Naruto.
Tatapan mengeras kedua pria itu langsung melemah. Alis mereka yang tadi saling mengernyit kini tertarik. Sama seperti perhatian Sasuke yang sudah sepenuhnya teralihkan pada gadis yang tak jauh dari tempat mereka berada, Sai menurunkan kakinya yang hendak menendang Sasuke tersebut perlahan. Haruno Sakura masih diam berdiri sembari mengatur napasnya meskipun kedua laki-laki itu sudah menatapnya dengan penuh pertanyaan. Gadis itu memasang ekspresi kecewa melihat wajah dua laki-laki yang diketahuinya sebagai sahabat itu kini penuh luka yang disebabkan perkelahian antara satu sama lain.
"...Kenapa?" Saat Sakura membuka mulutnya dan mengeluarkan pertanyaan, Sasuke dan Sai langsung membuang wajah mereka secara bersamaan. Melihat itu membuat Sakura semakin mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya, "Kenapa... Kenapa kalian melakukan semua ini?" tanya gadis itu dengan suara yang bergetar. Masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Memang hanya sekilas, tapi sempat tersirat di benak gadis yang malang tersebut...
...ini semua salahnya.
"Kalian... KALIAN BODOH!" Tidak ada lagi suara yang menginterupsi. Ketiga sahabat sejak kecil tersebut hanya memilih diam di tempat mereka masing-masing. Membiarkan Haruno Sakura mengambil gilirannya untuk berpendapat. "Hanya karena aku... Hanya karena aku, kalian melukai diri kalian sendiri! Dasar bodoh! Aku sudah memutuskan untuk keluar dari hidup kalian bukan untuk melihat kalian semakin hancur seperti ini! KALIAN SEMUA MEMANG BODOH!" teriaknya histeris, menggema di sekitar belakang sekolah tersebut.
Sakura terengah setelah berteriak cukup keras. Gadis itu menundukkan kepalanya, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Sudah cukup... hentikan semua ini..." Tangan yang menutupi wajahnya menurun perlahan, "...lupakan saja aku. Kembalilah ke kehidupan kalian yang dulu. Aku mohon dengan sangat... demi aku dan diri kalian sendiri."
Naruto hanya melirik Sakura sebentar sebelum melihat kembali ke arah teman-temannya. Sasuke dan Sai terlihat sama-sama menunduk. Walau begitu, dari posisi ini yang bisa Naruto lihat hanyalah ekspresi Sasuke yang sepertinya mulai mengerti keinginan Sakura. Uchiha bungsu itu memejamkan kedua matanya seperti memikirkan sesuatu. Namun, lain halnya dengan Sai, hanya punggung laki-laki itu yang bisa Naruto lihat karena dia membelakanginya. Entah apakah yang dipikirkan Sai sama dengan Sasuke.
Terlepas dari pengawasan Naruto di belakangnya, Sai mengangkat sedikit kepalanya lalu melirik Sakura yang tak jauh dari tempatnya dan Sasuke berada. Gadis itu mengangkat kepalanya, memasang tatapan yang kuat seperti biasa walau Sai tahu gadis rapuh itu bisa menangis kapan saja. Cukup lama Sai berpikir dan tercipta suasana hening di antara mereka berempat. Sampai tiba-tiba—
BHUAG
"UKH!"
"SASUKE!" teriakan Naruto menggema. Sakura tersentak kaget ketika tiba-tiba Sai menendang perut Sasuke begitu kencang hingga laki-laki itu sekali lagi jatuh cukup keras ke atas tanah. Naruto segera berlari mendekati Sasuke yang masih terbatuk-batuk sembari memegang perutnya sementara Sai berjalan mundur.
Kedua iris hijau emerald milik Sakura membulat tatkala Sai mengangkat kepalanya lalu menatapnya dingin. Tubuh Sakura bergetar, belum pernah dia melihat tatapan Sai yang seperti itu ditujukan padanya. Walau begitu, Sakura tidak berniat menghindar. Dibalasnya tatapan Sai yang dingin itu. Dan belum sempat Sakura berkata apapun, Sai sudah lebih dulu tersenyum lalu tertawa kecil. Membuat ketiga insan lain yang berada di sekitarnya menatapnya heran.
"Kembali... seperti dulu?" Sai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Meninggalkan Sasuke dan Naruto, pelukis itu berjalan mendekati mantan kekasihnya yang masih berdiri dengan tatapan menantang padanya, "Itu tidak mungkin, Sakura."
Sai menghentikan langkahnya ketika dia sudah bisa menunduk melihat Sakura dan gadis itu mendongakkan kepalanya menatap Sai. Tinggi Sakura kurang lebih setara dengan leher laki-laki itu. Meskipun Sai menyeringai licik padanya, Sakura sama sekali tidak merubah ekspresinya yang serius membuat Sai lama-lama jengah juga dan menghilangkan seringai dari wajahnya. Sasuke, Naruto, bahkan Sakura sendiri tersentak ketika tiba-tiba Sai memegang dagu gadis itu dengan keras membuat Sakura meringis sakit dan reflek memegang tangan Sai.
"Kau sudah tahu, 'kan?—Tidak, kau pasti lebih tahu dari kami semua di sini," Onyx milik Sai menenggelamkan Zamrud di hadapannya. "Kau penghancur di sini. Kau yang menghancurkan persahabatan di antara aku dan Sasuke. Kuucapkan terima kasih untukmu, Sakura sayang. Kau senang, 'kan? Sudah menghancurkan sepuluh tahun kebersamaan kami dengan keberadaanmu selama kurang lebih dua bulan. Oh, aku yakin kau pasti senang."
Sakura menggertakkan giginya, "Jika aku senang, tidak mungkin aku memohon pada kalian untuk kembali pada persahabatan kalian dan melupakan aku, 'kan?"
Kali ini Sai tertegun mendengar Sakura yang berani menantangnya. Gadis itu sudah berubah semenjak mereka berpisah. Hal itu entah kenapa membuat Sai menyunggingkan senyumnya, "Begitu, iya kau benar." Tangan Sai yang memegang dagu Sakura kini beralih memegang pipi gadis bermahkota soft pink tersebut dan mengelusnya dengan lembut, "Tapi, sekali lagi akan kujawab. Kita tidak mungkin kembali seperti dulu dan itu semua karena kau," tegasnya.
Karena terlalu terpaku dengan Sai dan Sakura, Naruto sampai tidak memperhatikan Sasuke yang akhirnya sudah bisa berdiri lagi meskipun masih memegangi perutnya. Sasuke berjalan mendekati punggung Sai dengan langkah yang tertatih-tatih. Didengar dari deru napasnya, sepertinya kondisinya jauh lebih buruk dari Sai. Naruto tersentak begitu melihat Sasuke yang sudah berjalan untuk mendekati Sai. Ketika pemuda Uzumaki itu hendak memanggil namanya, Sasuke menahannya dengan memberi isyarat agar jangan sampai Sai atau Sakura tahu keadaannya sekarang.
Kembali pada Sai dan Sakura yang masih belum mengetahui keberadaan Sasuke. Sepasang mantan kekasih itu hanya saling diam menatap, mencari arti tatapan satu sama lain, "Sai." Laki-laki itu bergeming saat Sakura memanggil namanya. "Yang kau maksud kalian tidak bisa kembali seperti dulu karena aku itu... apa karena aku melarikan diri?" Pertanyaan Sakura yang ambigu membuat Sai menaikkan sebelah alisnya. Tapi kemudian Sakura melanjutkan...
"Karena aku tidak mengatakan dengan jujur siapa yang aku cintai?"
Langkah Sasuke langsung terhenti, begitu pula Naruto yang langsung berdiri. Sasuke membulatkan kedua bola mata onyx miliknya, sama seperti Sai yang juga tidak menyangka Sakura akan mengatakan itu. Sai menggeleng pelan dan mencoba tertawa meskipun kaku, "Ha-Haha, kau ini bicara apa?" Sebelah tangan Sai mencengkram bahu Sakura. Gadis itu merasakan getaran tubuh Sai seolah... dia ketakutan karena tahu apa yang akan dikatakannya setelah ini.
Sakura menggeleng pelan, "Kau tahu apa yang kubicarakan." Gadis itu menunduk, menggigit bibir bawahnya sendiri. Mencoba mengabaikan rasa takut yang menyelimuti tubuhnya perlahan. Dari kejauhan, Naruto hanya bisa menatap khawatir. Apalagi melihat Sai yang mulai terlihat ketakutan akan sesuatu.
"Karena aku—"
"SUDAH CUKUP!" Baik Sasuke dan Naruto tersentak kaget saat tiba-tiba Sai berteriak begitu kencang lalu menarik Sakura dan memeluknya erat. "Jangan mengatakan apa-apa lagi, Sakura! Maafkan keegoisanku, kami akan kembali seperti dulu. Karena itu... jangan katakan..." bisiknya pelan. Tubuh Sai yang bergetar membuat Sasuke menyadari Sai seperti sedang menangis. Walau begitu, tetap saja Sasuke mencengkram bahu Sai. Ingin mengatakan agar jangan memeluk Sakura seperti itu.
Tapi, sebelum Sasuke sempat mengatakan apapun. Sakura sudah lebih dulu berbicara, "Tapi, kalau aku tidak mengatakannya, kita akan terus tersesat di dalam kebohongan." Sakura tidak membalas pelukan Sai. Kedua tangannya masih tetap di samping tubuhnya. Di tengah pelukan itu, Sakura bisa melihat Sasuke yang menatapnya dari belakang Sai.
"Hei, Sai..." Sakura tersenyum sedih, alisnya tertarik perlahan. Dia memberi pertanyaan pada Sai. Pertanyaan yang membuat pelukan Sai padanya semakin mengerat dan membuat Sasuke menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, "...kau mau hidup di dalam kebohongan yang bisa kau nikmati atau kenyataan yang bisa menyiksamu?"
Sai tidak menjawab dengan kata-kata melainkan isakan. Membuat laki-laki itu terlihat begitu lemah di depan gadis yang dicintainya dan dua sahabat yang tadinya akan dia buang. Senyum Sakura bergetar, "Aku... tidak mau hidup di keduanya. Tapi, di saat yang bersamaan aku juga tidak mau menyesal seumur hidupku. Karena itu... biarkan aku menjadi egois untuk sekali ini." Sakura melepaskan pelukan Sai perlahan namun kepala laki-laki itu masih enggan bangkit dari bahunya hingga akhirnya Sakura membiarkannya.
"Sekarang... aku ingin mengatakan yang sejujurnya. Meskipun nanti kalian bertiga akan membenciku, aku tetap bersyukur karena aku pernah mengenal kalian semua. Karena kalau tidak, maka tidak mungkin aku menemukan orang yang benar-benar aku cintai."
Kedua bola mata ketiga laki-laki itu membulat bersamaan dengan senyum Sakura yang terulas.
"Aku mencintaimu, Sasuke."
Kelopak mata Sai yang sempat tertutup langsung terbuka dan iris onyx miliknya membulat. Tidak. Tidak. Ini tidak benar. Telinganya berdengung, menyebarkan rasa sakit yang merambat dari kepala hingga ujung kakinya. Apa yang Sakura katakan tadi adalah bohong. Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin. Sai menggertakkan giginya—
—meskipun dia tahu, dia tidak akan pernah menerimanya.
Uchiha Sasuke di belakang Sai kini tak bisa menutup mulutnya yang terbuka. Melihat Sasuke menatapnya dengan tatapan tak percaya membuat Sakura menundukkan kepalanya. Senyumnya terus bergetar, "Maaf. Sasuke, kau benar..." Poni gadis itu menutupi kedua matanya. "...pada akhirnya aku harus menyakiti seseorang jika aku tidak ingin hidup selamanya di dalam kebohongan."
Mendengar itu membuat Sasuke tersentak. Kembali diingatnya kata-kata yang pernah diucapkannya pada Sakura dulu saat dia datang ke rumah gadis itu untuk menjenguknya.
"Ada kalanya kau harus egois tanpa perlu memikirkan perasaan orang lain."
"Pada akhirnya pasti ada yang tersakiti! Kalau kau berpikir tidak ingin menyakiti siapapun, KAU TERLALU NAIF!"
Uchiha bungsu itu mengepal kedua tangannya. Benar, dulu dia yang mengatakannya. Jadi sekarang, apa yang harus dia lakukan? Sedih karena Sakura telah memilihnya dan menyakiti Sai? Atau senang dan lebih baik tertawa di atas penderitaan Sai yang selama ini memaksanya untuk mengalah? Yang mana yang benar? Sasuke sudah tidak tahu lagi.
Keheningan di antara mereka akhirnya kembali buyar saat Sai yang sedari tadi dibiarkan Sakura untuk menangis di bahu gadis itu kini bangkit perlahan. Sasuke dan Sakura melihat Sai dan tidak bisa mengatakan apapun. Percuma, mereka cukup sadar sekarang apapun yang dikatakan mereka hanya akan membuat Sai jatuh semakin dalam. Tubuh laki-laki itu bergetar lalu mulai terdengar tawa di sana.
"Hahaha, ini bohong, 'kan? Sakura..." Sai mengangkat kepalanya, memperlihatkan ekspresinya yang terlihat begitu hancur karena kesedihan yang mendalam. Melihat itu membuat Sakura memindahkan tangannya ke depan bibirnya. "Kau berbohong agar aku putus asa mengejarmu lagi, agar kau bisa hidup dengan tenang, begitu 'kan?"
"HENTIKAN, SAI!" Naruto yang sedari tadi diam akhirnya meledak juga. Laki-laki berambut pirang itu mengibaskan tangannya di depan Sai. "AKU TAHU DAN KAU JUGA! TIDAK—JUSTRU KAU SUDAH TAHU SEJAK AWAL! SASUKE DAN SAKURA SALING MENCINTAI! KENAPA KAU TIDAK PERNAH MAU MENERIMANYA!?"
Naruto berjalan mendekati Sai, mencengkram kasar kedua bahu pelukis yang berbakat tersebut, "BUKA MATAMU, SAI!" Sakura sempat melihat Sai menggertakkan giginya, "INI KENYATAAN! BERHENTI HIDUP DI DALAM KEBOHONGAN! KAU MEMBUATKU MUAK!" teriaknya menggelegar.
"Kau... tahu apa?" Naruto mengerang saat Sai menampar tangan laki-laki itu dengan keras. "KAU TIDAK TAHU APA-APA! JANGAN IKUT CAMPUR, NARUTO!" DHUAK—dan Sai menendang Naruto hingga anak Presdir Uzumaki itu terjatuh ke atas tanah.
"Naruto!" Sakura yang hendak menghampiri Naruto langsung dihalangi tubuh Sasuke. Uchiha bungsu itu merentangkan tangannya agar Sakura tetap di belakangnya sementara dia menatap tajam Sai yang mulai menghampiri mereka berdua.
"Kau menjijikkan—bukan, KALIAN MENJIJIKKAN!" Langkah cucu dari Danzou tersebut mengeras. Bagaikan sudah tertutup kabut amarah, Sai meraih kerah Sasuke. "Jika kalian segitu inginnya bersama, maka akan kudoakan kalian untuk mati dan pergi ke neraka bersama! Dasar sampah!" berangnya sembari tetap menarik kerah Sasuke semakin kencang.
Sasuke membuka mulutnya perlahan, "Iya, silahkan." Iris onyx milik Sasuke dan Sai saling menusuk satu sama lain. "Jika itu membuatmu bahagia, silahkan. Karena aku dan Sakura sudah cukup sadar, bahwa kami berada di posisi yang telah menyakitimu."
Sekarang kedua bola mata Sai kembali membulat. Ditatapnya tatapan Sasuke yang belum pernah serius seperti itu. Tangannya yang memegang kerah Sasuke bergetar. Tersirat keraguan yang begitu nampak di kedua matanya. Apa benar itu yang diinginkannya? Apa benar?
"Sai, aku juga mencintai Sakura. Dia cinta pertamaku," Naruto dan Sakura langsung menatap Sasuke dengan tatapan kaget. Sasuke tersenyum tipis pada Sai di depannya yang masih mencengkram kerahnya, "aku belum memberi tahu hal ini pada Naruto—soal Sakura adalah cinta pertamaku. Sesuai janjiku padamu dulu. Kau masih ingat, 'kan?" Cengkeraman itu mulai melemah seiring dengan kata-kata Sasuke selanjutnya.
Sai mundur selangkah. Tatapan kagetnya masih belum berubah. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya lalu menutup matanya dengan tangan kanannya. Ingatan tentang janji yang sudah sangat lama terkubur kini bangkit lagi perlahan. Sai menatap Sasuke yang masih menatapnya dengan lurus. Iya, dulu. Dulu sekali mereka pernah berjanji. Walau samar-samar, Sai masih bisa mengingat kurang lebih kata-katanya.
"Sasuke, jika nanti kau mulai menemukan cinta pertamamu. Kau harus memberi tahuku terlebih dahulu sebelum Naruto. Kau bisa meminta banyak saran dariku, Naruto itu kurang bisa diandalkan."
"Hn. Kalau nanti aku ingat."
"Heh, kau menyebalkan sekali. Hahaha!"
"Tidak mungkin..." Sai memejamkan kedua matanya erat. "Janji bodoh seperti itu... kau masih mengingatnya," bisiknya pelan.
Sementara Naruto mulai berdiri. Sai terus memegang kepalanya. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya begitu erat dan sesekali membukanya. Entah kenapa laki-laki itu terlihat begitu tersiksa. Sampai akhirnya Sai kembali berkata, "Walau begitu, aku menolak untuk percaya." Pemuda berambut hitam lurus itu menatap
tajam Sasuke dan Sakura di depannya, "Kalian hanya bekerja sama untuk menjatuhkanku. Kalian tidak saling mencintai. Persetan. Kalian pintar sekali untuk berakting di depanku. Aku memang harus memuji kalian."
"Sai..."
"Buktikan sekarang juga, maka aku akan menerima kalau kalian memang benar-benar saling mencintai," Sasuke mengernyitkan kedua alisnya tak suka. Sungguh, apa lagi yang harus dia lakukan untuk membuat Sai percaya? Sai tersenyum mengejek.
"Kalian harus berciuman bibir di depan mataku."
Kedua bola mata Sasuke, Sakura, dan Naruto langsung membulat. Mereka menatap Sai tidak percaya. Laki-laki itu tersenyum lagi, "Kenapa? Kalian pasti bisa melakukannya, 'kan? Jangan bilang kalian hanya bisa menyakitiku sampai sini saja. Menyedihkan!" ucapnya diakhiri tawa yang merasa dirinya berada di atas angin kemenangan.
Mulai dari sini, mungkin yang dikatakan Sai tak lebih dari kebohongan belaka. Begitu pula dari caranya untuk tertawa mengejek kedua pasangan yang baginya hina di depan matanya. Sai tahu Sakura benar. Tidak baik bagi dirinya untuk terus hidup di dalam kebohongan. Dia ingin Sakura bahagia. Dia ingin Sasuke bahagia. Dia ingin semua orang yang disayanginya bahagia. Tapi sisi lain di dalam dirinya selalu menentang itu semua. Menutup mata hatinya yang sebenarnya bisa melihat seberapa jauh Sasuke menang darinya untuk mengambil hati Sakura.
Dia sudah kalah sejak awal.
Dia sudah kalah sejak mengetahui siapa itu Aoi-san.
Dia sudah kalah sejak mengetahui siapa di antara dia dan Sasuke yang bisa membuat senyum Sakura terlihat lebih bersinar.
Dia sudah kalah sejak melihat perbedaan cara pandang Sakura saat menatapnya dan Sasuke.
Dia tahu itu... tapi dia tidak mau tahu.
Harus Sai akui, saat itu kedua matanya sudah tertutup oleh dua hal. Kemenangan dan cinta. Untuk pertama kalinya dia merasa begitu kalah oleh Uchiha Sasuke saat laki-laki itu memenangkan cintanya. Dan untuk pertama kalinya Sai tidak mau, menjadi egois, dan enggan mengakui kekalahannya. Melihat Sasuke yang mengalah darinya merupakan kesempatan emas yang tidak akan disia-siakannya begitu saja. Walau ternyata akhirnya akan sama saja. Sakura tetap memilih Sasuke. Karena hati tidak akan pernah bisa berbohong.
Sai tidak bisa menerima mereka tapi dia harus menerimanya.
"Ayo? Kenapa diam saja? Cepat lakukan!"
Karena itu, jika memang dia tidak bisa menerimanya...
"Hei! Kalian ini benar-benar saling mencintai atau tidak!?"
...maka, biarkan dia tersakiti agar dia bisa membenci mereka dan membiarkan sahabat dan gadis yang dicintainya itu bahagia.
"KALIAN—"
Teriakan Sai terpotong saat Sasuke membalikkan tubuhnya, lalu menarik Sakura dan menyambungkan kedua bibir mereka. Di depan mata Sai dan Naruto, kedua pasangan itu akhirnya memilih sendiri jalan mereka. Sakura tidak bisa lagi menahan tangisannya ketika Sasuke merengkuh tubuhnya dengan erat. Entah tangisan karena merasa bahagia atau tangisan karena merasa sakit. Sakura tidak tahu bagaimana dengan Sasuke, tapi tentu saja dia tahu dan berbisik dalam hati.
"Jadi ini... pilihanmu, Sai?"
Naruto yang melihat itu tidak bisa menahan senyum lega yang terulas di wajahnya. Tak lama kemudian, laki-laki itu mengalihkan perhatiannya pada Sai. Dari sudut ini, dia tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Sai karena tertutup rambutnya dari samping. Hanya saja, Naruto sempat menangkap bibir Sai yang bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Naruto tidak bisa mendengarnya karena terlalu jauh. Tapi dari gerakan bibirnya, mungkin Sai berkata...
"Selamat tinggal."
Sasuke melepaskan ciumannya setelah dirasanya cukup. Dipegangnya wajah Sakura dengan sentuhan yang begitu lembut. Gadis itu masih menangis, berulang kali mengucapkan kata 'Maaf' entah untuk dirinya atau Sai. Sasuke mengangguk mengerti, laki-laki itu tersenyum tipis sebelum memeluk Sakura dengan erat. Sakura membalas pelukan itu dengan mengeratkan cengkeramannya di punggung Sasuke lalu menangis di dada laki-laki itu. Mengisak begitu kencang.
Sementara itu, Sasuke juga menyadari Sai yang berjalan menjauh dari tempatnya itu masih tak jauh dari posisinya berada. Tangannya masih mengelus kepala Sakura sebelum berkata, "Aku... tidak akan pernah melupakan ini, Sai." Langkah Sai terhenti. "Aku tahu berapa kali pun kuucapkan terima kasih tak akan pernah cukup. Aku juga tahu mungkin kau tidak akan melupakan saat ini dan membenciku selamanya."
"Tapi meski begitu..." Sasuke tersenyum. Bukan lagi senyum tipis atau senyum palsu atau senyum yang menyakitkan. Semuanya terasa lepas begitu saja. "...aku akan selalu bersyukur karena kaulah sahabatku."
Angin kembali berhembus membuat pepohonan dan rerumputan di sekitar mereka bergoyang. Sakura melepaskan pelukannya dari Sasuke, ikut menatap punggung Sai dengan senyuman penuh arti di wajah cantiknya. Saat itulah, Naruto berdiri di samping Sakura. Mereka bertiga berdiri berderetan dengan urutan Naruto, Sakura, dan Sasuke. Naruto mengembangkan senyumannya dan menunjukkan deretan gigi putihnya kemudian berteriak.
"SAI! BESOK AKU DAN SASUKE AKAN IKUT PERTANDINGAN BASKET ANTAR TETANGGA! KAU IKUT, 'KAN?" Mendengar itu sempat membuat punggung Sai menegang. Naruto belum menghilangkan senyum rubahnya, "Kalau kau tidak ada, kekuatan tim kita akan menurun drastis lho! Iya 'kan, Sasuke?" tanya Naruto yang dibalas anggukan singkat Uchiha bungsu tersebut.
Detik demi detik berjalan, Sai tidak juga menunjukkan respon apapun tapi dia masih tetap berdiri di tempatnya. Hal ini membuat Sakura khawatir dan menghilangkan senyumnya. Gadis itu berniat menghampiri Sai namun ditahan Sasuke. Adik dari Uchiha Itachi itu memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan benar perkataannya. Sai membalikkan tubuhnya lalu tersenyum—walau masih belum setulus dulu. Setidaknya ini sudah menjadi awal yang baik.
"Tentu saja. Kalian payah sekali kalau tidak ada aku."
Naruto tertawa mendengar itu lalu berlari dan merangkul Sai. Mereka tertawa bersama, begitu pula Sasuke dan Sakura yang mengikuti mereka. Setelah cukup lama tertawa, Naruto dan Sai mengatakan mereka akan pergi lebih dulu pada kedua pasangan di belakang mereka.
Namun, sebelum benar-benar pergi, Naruto mengedipkan sebelah matanya pada Sakura dan menggodanya, "Ehe, kami menitipkan Sasu-Teme padamu ya, Sakura! Hati-hati, istilah mantan pacar memang ada. Tapi sayang sekali, tidak ada istilah mantan sahabat. Jaa!"
Sakura merengut sebal mendengar itu walau kedua pipinya memerah. Yah, Naruto memang benar sih. Sakura melambaikan tangannya pada Naruto dan Sai yang pergi menjauh lalu mengalihkan perhatiannya ke arah Sasuke yang mengeluarkan semburat merah tipis di kedua pipinya.
"Ja-Jadi, sekarang kita kemana?"
Gadis beriris hijau emerald tersebut tertawa kecil. Wajahnya terlihat sangat manis berkali-kali lipat membuat Sasuke semakin canggung. Sebelum sempat berkata apa-apa lagi, Sakura memegang tangan Sasuke. Menyalurkan kehangatan tubuhnya lalu menarik kekasih barunya itu, "Kemana saja boleh, Sasuke-kun."
#
.
#
"S-Sai! Maaf... kemarin aku seenaknya mencium bibirmu," ucap seorang gadis cantik yang berdiri di depan Sai. Yamanaka Ino tidak bisa menutupi wajahnya yang hampir sepenuhnya memerah, "ma-maafkan aku."
Sai tersenyum tipis, "Iya, tidak apa-apa. Aku tidak terlalu memikirkannya," Laki-laki itu melirik Naruto di belakangnya yang sudah memberi isyarat agar mereka segera pulang sekarang, "Yamanaka-san, aku harus—"
"Se-Sebelum itu, Sai..." Ino menundukkan kepalanya. Kembali terbayang saat tadi dia memantau adegan antara Sasuke, Sai, Naruto, dan Sakura tadi di belakang sekolah. Gadis itu merasa bersalah karena sebelumnya tidak bisa melerai perkelahian antara Sasuke dan Sai. Dia merasa tidak punya hak untuk turut andil di dalam masalah mereka berempat. Tapi karena itu, sekarang dia tahu Sai sudah tidak lagi berhubungan dengan Sakura. Sekarang atau tidak sama sekali. Ino menarik napas panjang lalu mengeluarkannya.
"Aku mencintaimu, Sai."
Mendengar pengakuan Putri SMA itu membuat kedua bola mata Sai membulat kaget. Baru saja dia merelakan seorang gadis yang sangat penting di dalam kehidupannya, sekarang sudah datang lagi gadis lain yang meminta izin untuk memasuki hatinya. Pelukis yang sudah memamerkan lukisannya ke berbagai tempat itu tentu saja masih belum bisa sepenuhnya melupakan kekasih lamanya. Sai bukan tipe yang suka memainkan hati perempuan. Laki-laki itu tersenyum kaku, "Maaf, Yamanaka—"
"Sai, aku tahu kau pasti menolakku," Kedua aquamarine yang indah milik Ino menatap lurus onyx milik Sai. Gadis itu tersenyum manis, "tapi aku ingin kau memberiku kesempatan," Tangan Ino mengepal erat.
"Aku tahu aku tidak bisa menjadi cinta pertamamu. Karena itu, biarkan aku menjadi cinta terakhirmu!"
Sai terpaku mendengar itu sementara Ino terus melanjutkan, "Kau pasti tidak mungkin semudah itu menggantikan posisi Sakura di hatimu," Gadis berambut pirang tersebut menatap Sai dengan mantap. "Aku sudah menyiapkan diri. Aku akan menunggumu sampai kau siap menerimaku, Sai. Aku ingin kau tahu... aku akan selalu ada di saat kau membutuhkanku." Jelasnya dengan tegas tanpa memberi kesempatan Sai untuk berbicara.
Walau begitu, pada akhirnya Sai tetap tersenyum. Laki-laki itu tertawa kecil membuat semburat merah tipis muncul di kedua pipi gadis Yamanaka tersebut. Tangan Sai yang terulur untuk membelai rambut pirang di depannya membuat tubuh Ino berjengit karena kaget. Wajahnya sudah sangat memerah sekarang. Ino memejamkan kedua matanya erat.
"Terima kasih, Yama—bukan. Ehem, terima kasih, Ino."
Teriakan Naruto yang memanggil namanya untuk yang ke sekian kalinya membuat Sai kewalahan. Laki-laki itu pun akhirnya tertawa kikuk dan melambaikan tangannya pada Ino dengan wajah tersipu karena malu. Ya, kata terima kasih Sai pada Ino bukanlah kebohongan semata. Ino yakin itu. Anak pemilik toko bunga tersebut membalas lambaian tangan Sai yang berlari menjauh.
Waktu itu... pasti tiba.
Pasti.
Dan Ino akan selalu menunggu dengan sabar, menanti hati Sai akan terbuka untuknya suatu hari nanti.
#
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
#
Hiruk pikuk di kota Konoha masih terdengar bising seperti biasa. Hari ini adalah hari Minggu dimana orang-orang akan memilih berjalan-jalan bersama keluarga mereka masing-masing atau berjalan bersama teman-teman dan kerabat mereka. Suasana yang sama juga terlihat di sekitar toko buku tepat di ujung pertigaan besar kota Konoha yang terbilang cukup ramai.
Di dalam toko buku itu sendiri, suasana terdengar begitu bising karena banyak yang belanja alat tulis menulis mengingat sebentar lagi waktunya masuk tahun ajaran baru. Sakura adalah salah satu dari orang-orang yang sedang berbelanja buku tersebut. Tapi, dia tidak seperti para pengunjung lain yang sibuk kesana kemari, dia hanya berdiri diam di depan salah satu rak sembari melihat-lihat buku novel di tangannya dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.
"Jika kita mengenal penulisnya, novel itu jadi terlihat berbeda ya."
Sakura tersentak kaget mendengar suara seseorang di sampingnya dan langsung menoleh. Dia menghela napas lega begitu melihat laki-laki yang sekarang sedang tersenyum padanya itu, "Sai! Jangan mengagetkanku begitu, dong!" protesnya sembari mengelus dadanya.
Sai hanya tersenyum maklum lalu mengambil novel yang sama seperti yang dipegang Sakura sekarang. Pria itu mendengus menahan tawa, "Cherryblossom. Masih memakai penname yang dulu, heh?" tanyanya menggoda. Belum sempat Sakura menjawab, Sai kembali bertanya.
"Kenapa tidak memakai nama Uchiha Sakura saja?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Sakura berpikir tapi setelahnya dia mengibaskan tangannya, "Tidak tidak, nama Cherryblossom sudah memberi banyak kenangan untukku. Aku tidak ingin melupakannya begitu saja, ini nama yang berharga," jawabnya diiringi dengan cengiran dan kedua pipinya memerah.
Sai tersenyum lagi, "Nama yang mempertemukanmu dengan Sasuke,"—jeda sejenak—"Oh salah, Aoi-san ya?" tanyanya diakhiri kekehan kecil.
Wajah Sakura memerah lagi, "Ja-Jangan menyinggung masa lalu, bodoh!"
"Hahaha maaf maaf," Sai memperhatikan Sakura yang kini menaruh kembali novelnya di atas rak buku. Sakura berjalan menuju kasir untuk membayar belanjaannya diikuti Sai di belakangnya, "ngomong-ngomong aku sudah membaca novelmu itu. Novel yang diambil dari kisah nyatamu, 'kan?" tanya Sai sembari menaruh belanjaannya di atas meja kasir, mengikuti Sakura.
Wanita bermahkota soft pink itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya pada Sai, "Ada yang membuatku bingung," Sekarang Sakura menoleh pada Sai, "di dalamnya ada istilah malam, bintang, dan bulan. Itu siapa saja?"
Sementara sang petugas kasir menghitung alat-alat tulis yang dibeli Sai dan Sakura, wanita beriris hijau emerald itu tersenyum dan menatap mantan kekasihnya di masa SMA tersebut, "Sasuke-kun adalah malam. Kau adalah bulan. Dan Naruto adalah bintang."
"Hah?"
"Sasuke-kun adalah malam, karena dia terlihat begitu luas seakan dia menguasai segalanya tapi sebenarnya yang bisa dia buat hanyalah kegelapan dan dia sangat kesepian. Dia membutuhkan bintang dan bulan untuk meneranginya dan menolongnya keluar dari kegelapan yang membutakan mata."
Sakura menyelipkan anak rambutnya di belakang telinganya.
"Kau adalah bulan, karena kau terlihat begitu besar dan bercahaya. Kau berbeda dan terlihat arogan karena merasa dirimu yang paling kuat. Tapi, di balik itu semua kau membutuhkan malam untuk menjadi tempatmu agar kau terlihat lebih bercahaya dan tentu saja kau membutuhkan bintang untuk menghindarimu dari kebosanan yang menyesakkan."
Sai menaikkan sebelah alisnya lalu mengangguk mengerti. Sekarang dia dan Sakura sudah membayar belanjaan mereka dan berjalan keluar.
"Naruto adalah bintang, karena sifatnya yang easy going dia bisa kemana saja dan terus bersinar untuk menemani malam dan bulan. Walau begitu, dia sama sepertimu yang membutuhkan malam dan bulan sebagai pusatnya agar dia bisa bersinar lebih indah."
Sakura mengakhiri penjelasannya sementara Sai masih menatapnya dengan penuh kekaguman, "Luar biasa..." bisiknya. Pintu toko buku terbuka saat Sai kembali berkata, "...tapi, Sakura. Sepertinya kau kekurangan satu hal yang paling penting."
"Eh? Apa itu?"
"Oh, itu dia! Sai! Sakura!" Tanpa sempat Sai menjawab pertanyaan Sakura, mereka berdua sudah dipanggil oleh suara yang sangat mereka kenal. Sai dan Sakura saling tersenyum menyambut wanita dengan rambut pirang yang dikuncir satu tersebut. Wanita itu tidak sendiri, ada laki-laki di sampingnya yang menggendong anak.
Sakura tertawa, "Wah, ternyata kalian juga bertemu di luar. Sasuke-kun, Ino," sapanya. Sasuke membalas kata-kata Sakura hanya dengan senyuman lalu mengambil barang belanjaan Sakura sementara balita yang masih berumur kurang lebih satu tahun di gendongan Sasuke itu berpindah ke gendongan Sakura.
Anak pertama Sasuke dan Sakura itu mulai mengisak karena kaget dengan suasana di sekitarnya yang sangat ramai, "Sst, tenang Ren, ini ibu sayang," Sakura menepuk-nepuk pelan anak laki-lakinya tersebut sementara di belakang Ino ikut membelai kepala balita yang sangat manis tersebut.
Uchiha Ren kembali tidur perlahan tapi pasti di gendongan Sakura. Melihat wajah tidurnya membuat Ino semakin gemas saja, namun belum sempat Ino mengatakan hal yang ada di pikirannya, suara seseorang kembali menginterupsi, "Dia sudah semakin besar ya, Sakura-san..."
Sakura menoleh dan tersenyum, "Oh, Hinata! Lama tak jumpa! Dimana Naruto?" tanya Sakura sembari memperhatikan wanita yang telah berganti nama menjadi Uzumaki Hinata itu mengelus perutnya yang semakin membesar karena tengah mengandung anak berumur sekitar lima bulan.
"Di sana," Hinata menunjuk Naruto yang sudah berkumpul bersama Sasuke dan Sai di kejauhan. Tak butuh lama sampai Hinata kembali menatap Sakura, "ma-mau kupanggilkan?" tanya Hinata dengan wajah memerah.
Sakura tidak begitu memperhatikan Hinata. Perhatiannya sudah teralihkan sepenuhnya pada ketiga laki-laki yang sudah menjadi sahabat sejak kecil tersebut. Sudah lama sekali sejak terakhir dia melihat mereka tertawa bersama seperti itu. Sakura tersenyum penuh arti, "Tidak perlu," Wanita itu mencium pipi bayi yang digendongnya, "Jangan pernah mengganggu dan meremehkan persahabatan antara sesama laki-laki."
Hinata dan Ino masih bingung dengan maksud Sakura tersebut. Tapi pada akhirnya mereka memilih untuk mengabaikannya dan membicarakan hal-hal lain seputar kisah wanita. Hinata memberi Sakura sebuah kartu pos yang ternyata dari Neji yang kini sudah berada di Kiri. Dari kartu pos itu, Sakura mengetahui Neji baru saja menikah beberapa minggu yang lalu dengan seorang gadis keturunan Cina bernama Tenten. Dan dalam waktu dekat, dia dengan istrinya itu akan datang berkunjung untuk melihat Uchiha Ren karena kemarin dia tidak sempat datang ke perayaan setelah Sakura melahirkan anak pertamanya tersebut.
Di tengah kesibukan para wanita itu, para pria juga masih sibuk berbicara dengan satu sama lain. Syukurlah, tidak ada yang berubah sama sekali. Di tangan mereka bertiga kini terletak kertas sketsa milik Sai. Di sana sudah ada gambar ketiga pria tersebut sudah menjadi dewasa sekarang. Gambar itu akan dijaga dengan baik oleh ketiganya.
Setelah itu, Sai kembali berbicara dengan Sasuke, "Ngomong-ngomong, tadi aku belum sempat menyampaikan jawaban atas pertanyaan Sakura," Naruto dan Sasuke menatap Sai bingung. Laki-laki yang terbiasa memasang senyum di wajahnya itu kembali melanjutkan, "maukah kau menyampaikan jawabanku padanya, Sasuke?" tanyanya pelan.
Sasuke menaikkan sebelah alisnya dan mengangguk, "Iya, apa?"
Sai membalikkan tubuhnya dan melihat Sakura yang saat ini sedang tertawa dengan kedua wanita yang lain. Senyum laki-laki itu melembut. Seakan mengerti maksud Sai, Sasuke dan Naruto juga ikut memperhatikan Sakura. Kalau seandainya Sakura enggan mengatakan yang sejujurnya waktu itu, apakah semuanya akan berakhir membahagiakan seperti sekarang?
"Sakura, satu hal terpenting yang kau lupakan di dalam novelmu adalah..."
Suatu pengalaman hidup berharga yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.
Keempat tokoh utama cerita ini tak akan pernah melupakannya.
Pasti... untuk selamanya.
"...matahari."
.
.
.
.
.
.
Aku adalah malam.
Dia dan dia adalah bintang dan bulan.
Kupikir... aku hanya membutuhkan mereka untuk menyinari kegelapan yang kubuat.
.
.
Tapi, ternyata aku salah.
.
.
Aku membutuhkan matahari untuk menyinari bulan dan bintangku.
Malam, bintang, bulan—semuanya membutuhkan matahari.
.
.
.
.
.
Dan kaulah matahari kami—pusat cahaya kami.
Sinarilah kami.
Agar kami tetap bisa melihat satu sama lain dan tertawa bersama.
.
.
.
"Karena matahari yang membuat teman-temannya bersinar... jadi sudah sewajarnya jika sang malam jatuh cinta pada matahari, 'kan?"
.
.
.
.
.
THE END
.
.
.
Special Thanks For :
Chichoru Octobaa, sami haruchi, AgtaRitha, Morena L, aya-chan, iya baka-san, syifafadilah, anzu qyuji, Nina317Elf, allihyun, Tsurugi De Lelouch, lilianne, ChieAkane, Uchiha Dian-chan, fava ritsuka, Mochi, bluepinkgirl, emerallized onyxta, Ukida Haruka, Anka-chan, International Playgirl, hanazono yuri, Sakumori Haruna (2x), Utsukushii Haruna, Summer blossom, Aika Yuki-chan, Miko Satsuna, Aihaibara88, Retno UchiHaruno, Ryouta Shiroi, Kim Hye Mi, Mari Chappy Chan, Sorane Midori, Aoi Lia Uchiha (2x), Mutiara Fujisawa Uchiha, Cutie Hanny-Chan, cindiee, Racchan Motomiya, Guest, Arakafsya Uchiha, crystalssj, Azuka-nyan, Nyanmaru, jideragon21, bromery, syldarrell, desypramitha2, Uchiha Yui-chan, Nadeshiko Hime-chan, Kurosaki Naruto-nichan, cheryxsasuke, Uchiha mikito, sakamoto-kun, Izawa farinha (4x), UchiNami Selvie, clariza risanti 3, noname, Kireina Shinju, Maple Lattes
And for everyone who still read REVIEW AND ART until now and even take the time to review this final chapter.
I'm sorry for every mistakes that I've made and maybe for the bad ending. This is one of my historical fictions, as you can see I have many developments from first chapter until last chapter with so many helps.
Thank you so much for all your supports and appreciations. No way I'm still here without all of you—and of course no way REVIEW AND ART will finish without your reviews and concrits.
Then, see you all again in my next fiction! Jaa matta! 'v')/