Disclaimer : Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki, Yuusuke Murata.

Standard warning applied

a/n: ini bakalan jadi apdetan terakhir saya sebelum HIATUS, selama kira-kira sebulan.

Maaf saya telat 2 hari karena kemarin internet saya error dan tidak dapat mengunggah file.. TT

Dan untuk Mbak Rio, apdet lah fict-fictmu itu, sekarang aku yang berasa sendiri nulis HiruSena. LOL

Jangan lupakan gambarnya, kay? ^^V

E N J O Y

Chapter 4 : Aikawa Sena

Nakamura's Company, 4.09 AM

Dini hari, yang sangat sepi. Banyak orang masih bergelung dengan selimut mereka, menghangatkan diri dari dinginnya udara di saat mentari belum tampak di langit. Tapi, bukan berarti dini hari ini nihil aktifitas. Bisa dibuktikan dengan keberadaan pria itu, yang kini duduk diam sambil merokok di salah satu ruangan di gedung kantornya.

Pria berwajah dewasa itu mematikan puntung rokoknya saat pria pirang yang ia tunggu telah datang. Ia beranjak berdiri dari sofa yang ia tempati tadi, menunjukkan rasa hormat dan menghargai pada tamunya. Tapi, pria pirang itu tetap cuek, dan hanya menghampiri sang pria dewasa bertubuh tambun itu hingga mereka saling berhadapan.

"Hiruma. Ayo duduk."

"Tidak usah basa-basi, Nakamura. Ini berkas yang kau butuhkan, dan pekerjaanku selesai. Kirim segera upahku, kau tahu harus kemana."

Sang pria bertubuh tambun itu hanya tertawa sinis.

"Kau yakin Kobayakawa sialan itu sudah mati?" tanyanya dengan nada meremehkan.

"Haruskah aku membawa kepalanya ke hadapanmu? Tentu saja."

Nakamura kembali tergelak mendengar perkataan sinis pria pirang dihadapannya. Walau pun, tak ada hal yang dianggap orang lain lucu. Hiruma hanya menatap Nakamura dengan death glare khasnya. Tajam, dan menusuk. Namun tampaknya Nakamura kebal terhadap tatapan itu. Buktinya Nakamura cuek saja dan terus saja tertawa.

Tiba-tiba, Nakamura memasang wajah serius yang sama sekali berbeda dengan ekspresi bodohnya saat tertawa tadi. Hiruma sedikit terkejut dengan perubahan tiba-tiba itu, walau tampangnya masih tetap tenang.

"Sejam yang lalu polisi cunguk itu berdatangan ke rumah si sialan itu, dan mendapati target mati bersama dengan istrinya. Tapi, ditemukan banyak bekas jejak kaki anak kecil di koridor, dan keadaannya masih baru. Waktu perkiraannya hampir sama dengan jadwal penyelesaian projectmu yang kau laporkan padaku."

"..."

"Dan pertanyaannya adalah.. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah kau membangunkan sang Kobayakawa muda, hai bos organisasi terhebat sepanjang masa?" tanya Nakamura dangan nada sinis. Bagi Hiruma, tingkah Nakamura sangat konyol. Idiot.

"Kau hanya memberi task agar membunuh Kobayakawa Shuuma, bukan anak kecil yang kau sebut. Lagipula pekerjaanku berjalan sesuai rencana dan berhasil. Jadi, peduli setan dengan anak itu. Seorang bocah tak berarti apa-apa bagiku."

"Oh, kau benar. Seorang bocah takkan dapat membuat masalah. Sekarang, dimana anak itu? Mati bersama orangtuanya? Jika bocah sialan itu belum mati, akan kubereskan dia secepatnya."

Hiruma tak sanggup menjawab. Ia menelan ludah. Sesaat kemudian dia menjawab dengan seringaian, "ya. Dia sudah mati."

oOoOoOoOo

Unknown, 6.32 AM

Bocah itu mengerjapkan matanya. Terbangun dari mimpi indah ke dunia realita. Ia menguap kecil, lalu bangun terduduk. Kepalanya sedikit berat. Cahaya mentari yang menerobos melalui jendela kaca yang besar sedikit membuatnya silau. Lama kelamaan, mata karamelnya mulai terbiasa dengan terang cahayanya pagi itu.

Piyamanya yang dipakainya sedikit longgar, membuat bahu kirinya terekpos jelas. Tangan kecilnya berusaha membetulkan piyamanya yang berantakan, menutupi kulit bahunya yang mulus itu. Matanya sekarang setengah terpejam. Ia masih mengantuk.

Ia memutuskan untuk turun dari ranjang yang ia tempati semalaman untuk beristirahat, dan berjalan ke arah pintu kamarnya yang sudah ia hafal. Maka dari itu, matanya hanya ia buka separuh. Namun, saat ia hendak meraih kenop pintu, yang ia dapatkan malah kenop pintu lemari. Bocah kecil itu pun benar-benar terbangun dari rasa kantuknya, dan mendapati ini bukan ruangan kamar tidurnya.

Ini bukan rumahnya. Lalu, dimanakah ia sekarang?

Tiba-tiba, pintu kamar yang sebenarnya berderit terbuka. Sena menoleh ke sumber suarau deritan. Matanya menatap sosok perempuan itu. Matanya biru, dan berambut auburn sedada. Wajahnya manis dan sangat cantik. Sosok itu tersenyum ramah, dan dari dirinya terpancar rasa keibuan. Membuat Sena merasa sedang melihat Bundanya.

"Halo, selamat pagi," sapa sosok itu. Sena yang mendengar suara ramah tersebut, jadi merasa aman. Sena pun tersenyum sangat manis.

"Pagi, Kak!" Sena menjawab lantang. Sosok itu pun menghampiri Sena, lalu berjongkok agar sejajar dengan tinggi badan Sena.

"Wah, kau hebat bisa bangun tanpa dibangunkan. Sekarang, waktunya kau mandi! Ayo!" ajak sosok itu sambil memegang tangan mungil Sena. Sosok itu hendak menarik tubuh kecil itu, namun Sena malah tak mau bergerak.

"Kenapa?"

"Sena tak mau diajak pergi orang asing. Kata Ayah, bahaya. Sena kan belum kenal sama Kakak. Kenalan, yuk! Namaku Sena, Kak!" kata Sena sambil mengulurkan tangannya.

Sosok perempuan cantik itu tertawa kecil. Tingkah bocah itu sangat polos. Apakah ini yang ia lakukan saat bertemu dengan orang asing, termasuk penculik anak? Saat diculik, ia akan berkenalan dengan panculiknya baru mau diculik. Sungguh bocah yang aneh. Tapi, perempuan itu merasa aura polos anak di depannya begitu kuat dan membekas di dirinya. Tahu-tahu, ia sudah tertawa, padahal tak ada hal yang bisa ditertawakan.

Perempuan itu tidak menyambut uluran tangan Sena, namun malah mencubit pipi kanan Sena dengan gemas. Sena mengaduh kesakitan, sambil mengusap-usap pipinya yang menjadi merah.

"Namaku Mamori, Anezaki Mamori. Salam kenal, Sena!"

"Nama yang bagus! Boleh Sena panggil Mamo-nee?" seru Sena, "tapi kenapa Sena bisa ada disini?"

Mamori mengangguk. "Semalam kau dibawa Hiruma. Kau tertidur pulas sekali, jadi aku membawamu kemari. Tidurmu nyenyak?"

"Nyenyak sekali! Dan aku juga mimpi indah... saat itu aku dan Ayah sedang pergi memancing, lalu Bunda membuatkan sandwich yang enak sekali.. lalu.."

Mamori tersenyum pahit. Mamori tak sanggup mendengar lagi ocehan riang sang bocah. Entah apa yang akan ia lakukan saat Sena tahu kini dia tak mempunyai orang lagi. Jika Sena tahu ia telah menjadi yatim piatu. Ia sedih, amat sedih. Walau bukan ia yang mengalami, ia ikut terluka. Dan semoga, ini akan memperbaiki semuanya. Dengan keputusan Hiruma, dirinya, dan yang lain. Semoga.

'Ya, kan, Hiruma?'

Flashback, 2 hour ago

Hiruma memberhentikan mobilnya di perkarangan sebuah rumah yang sangat luas di pinggir kota. Bentuknya hampir menyerupai kastil, dengan sepuluh lantai dan dua menara, menara jam dan menara pengawas. Letaknya agak terpencil dari kota dan pemukiman, namun masih memiliki akses mudah ke ibukota. Ya, itulah markas Black Baron.

Hiruma mematikan mesin mobil silvernya. Ia melepaskan kaitan sabuk pengamannya, lalu menatap ke samping. Disana, di jok kursi depan yang lain, bocah berambut cokelat itu terlelap dengan wajah damai. Rambutnya tampak sedikit kusut, dan piyama yang dipakainya agak terkoyak berantakan. Dadanya naik turun dalam selang waktu yang teratur. Mendengar desah napas bocah itu, entah mengapa membuat Hiruma merasa tenang.

Bocah itu akhirnya tertidur beberapa saat setelah Hiruma menyadari keberadaannya. Lelah karena terus aktif hingga melewati jam tidurnya, mungkin. Jadilah selama perjalanan Hiruma menyetir dalam diam, ditemani dengkuran nafas pelan disampingnya.

Hiruma membuka pintu mobil, lalu keluar. Udara pagi yang dingin sama sekali tak mengganggunya. Ia beranjak ke sisi mobil yang lain, lalu mebuka pintu mobil tempat sang bocah berada. Hiruma pun melepaskan kaitan sabuk pengaman bocah itu juga, dan segera menangkap tubuh mungil itu agar tak terantuk pintu mobil akibat penahannya selama tidur terlepas. Setelah, itu, Hiruma meraih tubuh itu dalam dekapan, sehati-hati mungkin. Berusaha untuk tak mengganggu mimpi indah sang bocah.

Ia berjalan ke pintu depan bangunan yang gelap itu. Segera ia disambut oleh beberapa anak buahnya, yang kemudian membukakan pintu untuknya. Mereka sedikit heran dengan kedatangan sang bos yang membawa serta seorang bocah kecil yang sedang tertidur. Namun, mereka tak berani untuk bertanya dan memilih diam.

Sempat Hiruma berpesan pada mereka, "suruh Anezaki sialan itu ke ruanganku." Mereka pun hanya dapat mengangguk.

Hiruma segera menuju ke ruangan tempat kerjanya. Ruangan yang tidak dapat sembarang orang untuk masuk. Hanya beberapa orang yang pernah masuk ke ruangannya tanpa izin, dan pulang hanya meninggalkan nama. Rasa ingin tahu yang berakibat sangat fatal.

Bocah itu bergerak perlahan dalam dekapan Hiruma. Saat menyadari adanya gerakan tersebut, Hiruma menghentikan langkahnya. Ia pandangi wajah damai itu, yang mata indahnya tengah bersembunyi di kelopak dan tertutupi tirai halus. Hiruma menyeringai kecil.

Pria pirang itu kembali berjalan ke ruangannya. Disana, ia mendapati sahabat karibnya, pria berwajah tua dan gagah, walaupun sebenarnya baru berumur delapan belas tahun. Dia adalah Musashi.

"Siapa yang kau bawa, Hiruma? Anak kecil yang manis," kata Musashi. Hiruma hanya mendengus.

"Hanya seorang bocah pengganggu."

"Lalu kenapa kau membawanya? Biasanya langsung kau buang ke jurang," kata Musashi lagi.

"Aku masih ada urusan dengan bocah ini."

Lalu sebuah suara ketukan pintu menginterupsi pembicaraan mereka. Saat pintu berderit terbuka, muncullah sosok perempuan berambut auburn, Mamori. Gadis berumur tujuh belaas tahun itu tersenyum manis.

"Maaf, kau memanggilku Hiruma?" seru Mamori. Hiruma yang tadinya memunggungi gadis manis itu, berbalik dan menunjukkan apa yang ia bawa. Sena. Mamori sedikit kaget melihat siapa yang berada di dekapan Hiruma.

"Astaga! A-apa dia baik-baik saja? Apa dia terluka?" seru Mamori panik. Hiruma memasang wajah kesal dan terganggu.

"Dia tidak apa-apa dan tidurkan dia di salah satu kamar kosong, gadis sialan." Mamori hendak membantah, tapi diurungkannya dan segera bergerak patuh. Dia mengambil Sena dari dekapan Hiruma, lalu berjalan keluar. Pintu pun kembali tertutup.

"Jadi, mau menceritakkannya padaku?" tanya Musashi memulai kembali pembicaraan mereka yang sempat tertunda.

"Dia anak client yang malam ini kubunuh. Dia mengikuti dan memperdayaiku. Dan si tikus gendut itu bermaksud untuk membunuhnya."

"Tikus gendut? Nakamura?" Hiruma tak menjawab.

"Kurasa aku mulai mengerti. Kau bermaksud untuk melindunginya?" tanya Musashi lagi. Hiruma diam.

"Hiruma, jawab aku."

"Hell, yeah! Puas kau?"

"Hey, tenang. Ya, aku mengerti. Aku pun takkan bertanya alasannya karena percuma, pasti kau tak mau menjawabnya. Tapi, Hiruma, berhenti berpura-pura kau sudah dewasa! Kau ini masih delapan belas tahun, belum dapat mengurusi seorang bocah cilik macam dia."

"...Tch."

"Aku yang akan mengurus dan merawatnya." Tiba-tiba Mamori menyahut dari balik pintu. Hiruma kembali mendengus.

"Kau mencuri dengar percakapan kami, Anezaki?" tanya Musashi.

"Sebenarnya tak sengaja. Oke, lupakan itu sekarang. Yang pasti aku akan melindungi bocah itu. Aku takkan membiarkan Nakamura membunuhnya."

"Tak usah keras kepala, gadis sialan! Kau ini masih lebih muda dariku," kata Hiruma meremehkan, "kau takkan mampu."

"Lalu bagaimana dengan kau, Hiruma? Apakah kau punya jalan lain untuk melindungi bocah itu? Apakah kau bermaksud untuk membuangnya ke panti asuhan, hah?" teriak Mamori marah. Hiruma terdiam lagi.

"Hey, tenanglah. Kita bisa memikirkan jalan keluar yang terbaik tanpa harus saling berteriak, kan?" kata Musashi sambil mengorek telinga kanannya dengan jari telunjuk. Mamori menurunkan emosinya dengan memalingkan wajahnya dari Hiruma.

"Satu-satunya jalan adalah dengan menyembunyikan dia disini," kali ini Hiruma berbicara dengan nada serius. Musashi pikir, mungkin Hiruma benar-benar serius tentang hal ini. Ia pun menjadi penasaran apa saja yang telah terjadi hingga Hiruma dapat menjadi seperti ini. Namun, hal itu bisa ia tanyakan lain kali.

"Tapi Nakamura bisa dengan mudah menemukannya, apalagi jika Nakamura tahu nama marga anak itu Kobayakawa. Eh, siapa nama anak itu?"

Hiruma diam sejenak, lalu menjawab, "Yang kutahu, dia memanggil dirinya sendiri Sena."

"Jadi Kobayakawa Sena?" tanya Mamori memastikan. Hiruma mengangguk singkat.

"Ubah namanya. Ganti marganya saja. Toh Nakamura takkan tahu. Dengan begitu untuk sementara dia aman," saran Musashi.

"Ide bagus! Aku setuju dengan Musashi," kata Mamori. Hiruma tampak berpikir serius. Dia termenung, lama. Ia menutup matanya, lalu menghela nafas.

"Kalau begitu, nama barunya adalah Aikawa Sena, dan dia menjadi bagian dari Black Baron."

TBC

Saya sudah bela-belain apdet walau lagi kena flu.. TvT

Maaf kalo disini deskripnya kurang detail, saya sudah berusaha semaksimal mungkin... mana Hiruma OOC banget

Untuk umur Hiruma, silakan kembali membaca chap 1 dan temukan kalimat kunci dari umur Hiruma..

Maaf saya gak bisa membuat Hiruma IC.. saya tak sanggup..

Es21 vol 37, bagian tambahan, ada gambar Chuubo yang super cakep! XDD

Promosi: Buat para warga FFn dari Yogya, akan ada gathering pada tanggal 27 Juni 2010 di Ambarukkmo Plaza. Keterangan lain menyusul, jika ingin bertanya silakan PM saya atau kirim message ke FB saya yang ada di profile. Sankyuu.. ^^

Makanya, RnR please!