Tsukimori Family Production

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Presenting : HIM

Warning : OOC (dicoba untuk tidak OOC), AU, BL, abal, (sekali lagi) ada DEATH CHARA, gagu Hinata sedikit berkurang, umur Hinata 20 tahun. Don't Like, Don't read. Mary-sue.

Rated : T (semi M)

Genre : Angst/Tragedy/Romance/Drama/Fantasy/Hurt/Comfort/Mistery (segala aja diborong)

Inspired by : Daddy Long Legs, Ninja-edit, and Twilight Saga.

A/N : GOMEN kalau banyak salah yaaa, saya mau nuntasin fic ini. Bukan berarti saya selesai dari masa hiatus saya. Saya masih hiatus, Cuma ngga enak menelantarkan fic yang satu chapter lagi. Dan saya menyatakan saya masih HIATUS. Yang penting, JANGAN BUNUH SAYA SETELAH BACA CHAPTER INI. Yep ngga banyak bacot,

.

Happy Reading!

.

.

Lengkap sudah. Semua puzzle tersusun dengan benar. Rasa senang menghampiri dada Hinata. Hinata tersenyum kearah Hanabi, "Terima kasih, Hanabi."

Hanabi hanya terdiam. Tak mengerti apa maksud dari ucapan sang kakak.

.

Chapter 8 : The Ending

.

"Apa maksud Nee-chan?" Hanabi menatap kakaknya, dan iris lavender itu kembali beradu.

Hinata menggeleng, tersenyum hangat. "Ie, hanya—"

"Nanti saja penjelasannya, Nee-chan. Aku harus membawa Gosujin-sama kembali ke rumah. Tadi Minato-sama menyuruh saya segera membawa Gosujin-sama pulang," Hanabi menyela, sedikit pun tak menatap Onee-channya, dan kini ia beralih ke sisi Naruto. "Cepat, Kin. Gosujin-sama membutuhkan pertolongan paling cepat."

Hinata tersentak. Kin? Siapa? Diruangan ini kan..

"Hai!"

Sesosok tubuh mungil muncul dari arah pintu, bersamaan dengan sosok berambut mirip buah nanas masuk ke dalam ruangan. Hinata masih terdiam, memperhatikan tiga orang yang kini sedang berkutat dengan tubuh yang tergolek tak berdaya di atas kasur.

Kin—gadis bertubuh mungil yang kini menyanggah tangan kanan Naruto, mengkomandokan kepada dua kawannya agar mempercepat waktu mereka. Sedikit saja mereka terlambat, maka hal tak diinginkan pun akan terjadi. Hinata masih terdiam menatap sosok dosen yang sedang menggendong Naruto dipunggungnya, membiarkan Kin mengatur tubuh Naruto dibelakang. Hanabi meraih tangan Hinata, "Ikut kami, Nee-chan."

.

d^^b

.

Sayup-sayup terdengar suara jangkrik dimana-mana. Bulan pun sudah menampakkan keperkasaannya ditemani sinar-sinar kecil yang memperindah langit malam ini. Sinar lembutnya terpantul jelas di atas kolam ikan Koi kecil di belakang pekarangan mansion ini. Sementara di bibir kolam, berdiri sosok gagah yang memakai kimono abu-abu, dengan rambut pirang dan mata safir yang menawan.

Uzumaki Minato.

Sosok pemimpin klan Lycan yang sangat dihormati, sangat menawan, dan sangat pantas untuk dipuja. Wajahnya yang tanpa kerutan itu membuatnya semakin awet muda. Mata safirnya menatap kosong ke arah beberapa ekor ikan yang ia pelihara di kolam. Pikirannya tertuju ke hal lain yang sampai saat ini masih memenuhi otaknya.

Uzumaki Naruto.

Putra semata wayangnya yang kini masih dalam keadaan koma. Minato sendiri kemari hanya untuk melepas penat yang meliputi koridor depan ruang tidur putranya itu. Dimana ada Gaara, Kin, Hanabi, Iruka, Kakashi, dan Kushina disitu. Serta seorang gadis yang telah merasuki relung hati putranya, Hinata Hyuuga. Sosok anggun berparas cantik itu kini hanya terdiam dalam pelukan Hanabi. Tak seorang pun Minato ijinkan masuk ke dalam ruangan Naruto, termasuk dirinya sendiri. Tak perlu dokter, Minato tau apa yang terjadi hingga putranya dalam keadaan koma.

Minato tau jelas apa yang terjadi, tanpa harus Hanabi menceritakannya. Bisa dibilang ikatan batin Minato dan Naruto sangatlah kuat. Hingga sang ayah pun sudah bisa menebak dengan jelas apa yang terjadi. Kelebihan beban. Beban perasaan, nafsu, dan pikiran. Semuanya karena putranya bertemu dengan Hinata. Pertemuan yang menurutnya membawa petaka. Tapi apakah Minato dapat menyalahkan Hinata?

Tidak.

Minato tau jelas kalau putranya sangat mencintai Hinata. Minato juga tau apa yang Naruto lihat hingga ia tergila-gila pada sosok Hinata. Ketegaran hati. Kelebihan paling menonjol pada diri Hinata yang membuat Minato kagum. Minato mau saja menjadikan gadis ini salah satu dari klannya. Tapi dampak pada Naruto lah yang membuatnya merasa harus menjauhkan Naruto dengan Hinata. Naruto akan mati bila tidak bisa memakan Hinata, dan Naruto akan tetap mati bila Hinata menjadi salah satu dari klannya.

Kenapa?

Naruto memiliki daya tahan tubuh yang lemah karena menolak makan daging manusia. Dan daya tahan tubuhnya semakin menurun ketika harus menahan nafsu yang bergejolak untuk membunuh Hinata. Dan kalau Hinata menjadi Lycan, Naruto tidak bisa memakannya bukan? Naruto bukan kanibal yang memakan klannya sendiri.

"Anata, nanda yo..?"

Mata safir Minato melirik ke arah sosok berambut oranye yang kini berdiri tak jauh darinya. Sebegitu seriuskah ia berpikir, hingga kedatangan istrinya pun tak ia dengar?

"Apa kau baik-baik saja, Minato?" suara feminim menggetarkan itu kini mengalun lagi bagai sebuah lagu ditelinga Minato.

Minato mengangguk pelan. Sementara ia mendesah pelan, hendak menarik nafas lebih bebas lagi. Kushina mendekatinya, sementara matanya tak jua lepas dari wajah suaminya. "Malam ini penentuannya."

"Penentuan?" Minato menoleh, menatap langsung ke dalam bola mata jadeit istrinya. Dicarinya jawaban atas pertanyaannya barusan. Namun nihil, ia hanya menemukan kelembutan disana.

"Ya." Kushina mengangguk, memantapkan jawabannya. "Sekaligus malam terakhir kita melihat putra kita dalam keadaan manusia. Kecuali—"

"Kecuali dia mendapatkan nafsunya."

Keduanya tersentak, baik Kushina maupun Minato. Sosok berambut kemerahan jabrik dengan tattoo kanji 'Ai' di dahinya itu datang dari atas atap. Menjejak mantap di tanah pekarangan rumah ini. "Konbanwa, Paman, Bibi.."

"Gaara.." bibir Kushina mengucapkan nama itu pelan, nyaris berbisik.

Minato menatap Gaara dengan tatapan tajam. "Apa yang kau lakukan disini? Seharusnya kau sedang berpesta karena sebentar lagi kau akan menduduki jabatan ketua Klan."

"Ie." Gaara mendengus mendengar ucapan sang Paman. "Malam ini bulan purnama. Naruto akan berubah sepenuhnya menjadi Lycan, kalau tidak cepat memakan Hinata."

"Hentikan omong kosongmu, Gaara!" Minato berujar geram. Dalam hatinya ia sudah mengutuk bocah Sabaku di depannya jikalau ia terpaksa digantikan oleh Gaara, bukan Naruto.

Sabaku no Gaara. Seseorang yang masih dalam satu garis keturunan dengan Naruto. Ia adalah anak dari Sabaku no Kagura, kakak Minato. Jadi, kalau Naruto mati, maka sudah menjadi tugas Gaara menggantikannya. Minato tidak ingin bukan keturunannya lah yang mewarisi jabatan ini. Sejak kecil Minato selalu menanamkan apa yang ia ketahui kepada Naruto, sehingga Naruto dapat menjadi pemimpin klan yang baik. Dan Minato yakin, hanya Naruto yang bisa menjadi ketua berikutnya.

"Paman masih saja begini," ujar Gaara pelan, ia lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. "Jujur aku tidak mau mendapatkan jabatan ketua. Aku ingin Naruto yang mendapatkannya."

"Bohong!" Minato berseru kesal, matanya berubah menjadi kemerahan.

"NARUTO!—"

Baik Gaara, Minato, maupun Kushina, semuanya terhenyak, lalu menghilang dari pekarangan ini, menyisakan angin yang menyapu rumput-rumpu kecil yang tumbuh disekitarnya.

.

.

.

"NARUTO!—" seru Kin tertahan saat sesuatu—seseorang, mendorong badannya hingga membentur tembok.

Mata kuningnya yang semula beriris safir menyorot jahat, sementara sekitar kulitnya mulai ditumbuhi bulu halus. Tangan kiri kekarnya mencengram dan mendorong leher Kin ke tembok, menyisakan sesak pada pernafasan gadis berbadan mungil itu. Seringai iblis tergambar jelas di wajah tampannya, memperlihatkan gigi-gigi tajam memanjang yang berliur. Hidungnya mengendus sekali, lalu ia menatap berkeliling. Mata kuningnya terhenti pada sosok dua orang gadis yang saling bertautan tangannya.

Cengkraman tangan sosok Lycan sempurna itu merenggang pada Kin, hingga gadis itu kini menapak lantai, jatuh terduduk sembari mengatur nafas. Sorot mata kuning Naruto terkunci pada Hinata. sementara liurnya menetes jatuh ke lantai kayu dibawahnya. Hinata benar-benar takut. Bukan pada Naruto, tapi pada apa yang kini menguasai Naruto. "Hinata.."

Suara serak itu mengalun pelan, membuat Hinata bergidik mendengarnya. Peluh membanjiri tengkuknya, sementara mulutnya tak kuasa terkatup sejak tadi. Debaran jantungnya terasa memenuhi setiap sudut koridor ini. Sementara kedua kaki dan tangannya bergetar. Bibir Hinata pucat pasi. Baru kali ini melihat Naruto bertransformasi sepenuhnya menjadi Lycan.

Naruto berajalan perlahan mendekat ke arah Hinata, suara jejak kakinya pun seakan membekukan suasana. Hanabi yang berada di samping kakaknya langsung beralih ke depan Hinata dengan kedua tangan terentang. "Gosujin-sama, menjauhlah!"

"Hinata.." suara baritone rendah itu membekukan suasana.

Sekelebat bayangan tertangkap oleh mata Hinata, dan pada saat itu juga, sosok Hanabi terlempar ke arah kiri, menabrak dinding koridor keras, dan terjerembab begitu saja ke atas lantai kayu keras. Hinata mengerakkan apa saja yang ia bisa ke arah belakang, mencoba lari dari Naruto.

Tiba-tiba sepasang tangan mencoba mengunci gerakan Naruto dari belakang. Iruka dengan sekuat tenaga melintangkan tangannya ke sekitar leher dan bahu kiri Naruto. Sementara sebelah matanya tertutup, membiarkan cairan kental kemerahan mengalir dengan deras disana. "Lari, Hyuuga!"

Tersentak, Hinata buru-buru berbalik dan berlari menjauh dari Naruto. Hinata melihat sosok berambut merah di ujung koridor yang mengulurkan tangan ke arahnya. "Kemari, Hyuuga-san!"

Hinata berhambur ke arah pemuda bertato kanji 'ai' di dahinya itu, namun dengan sigap pemuda itu merengkuh Hinata, berniat melindunginya. Namun sosok bermata kuning menyala yang sedang ditahan oleh Iruka dan Kakashi, malah melihat kalau Gaara berniat merebut Hinata darinya. Maka dengan seruan keras, Naruto melempar Iruka dan Kakashi ke berbagai termpat hingga keduanya terpental, menabrak tembok dan jatuh dengan suara berdebum keras.

"GROAAAAAAARRRR!"

Sosok Lycan sempurna itu kini berlari cepat, menabrak Gaara yang sudah melemparkan Hinata ke sisinya agar tidak ikut terbanting. Naruto berdiri di atas Gaara, mengunci bocah merah itu. Sementara si bocah merah mulai terlihat bertransformasi. Mata jadeitnya mulai berubah menjadi hitam kekuningan. Seringai pun muncul diwajahnya, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya.

BUGH!

Naruto memukul keras wajah Gaara, hingga kini tersisa lebam dan cipratan kecil bercak darah ke sekitar wajah Gaara. Gaara mendorong Naruto yang berada di atasnya hingga posisi mereka terbalik. Kini Gaara yang berada di atas Naruto. Gaara mencengkram kerah kemeja hitam Naruto dengan kedua tangannya. "Atasi nafsumu, sekali lagi, Naruto.."

"Grar.."

Bukannya menjawab, Naruto malah menggeram keras. Lalu sekuat tenaga ditendangnya bocah berambut merah itu hingga membentur langit-langit. Gaara jatuh lagi dengan suara berdebum keras, lalu merintih pelan, merasakan ada tulang rusuknya yang patah. Sementara Naruto bangkit, menatap ke arah belakang, tepatnya ke arah Hinata.

Hinata tersentak, menyadari kalau seharusnya ia dari tadi berlari, bukannya terpaku pada perkelahian dua sepupu itu. Hinata mundur perlahan, dan malah bersandar pada tembok. Ia lupa kalau di belakangnya itu tembok koridor. Peluh semakin deras mengalir, suara degup jantungnya pun terasa mengisi telinganya.

Naruto melangkahkan kakinya cepat, dan menapakkan kedua tangannya tepat di sebelah kanan dan kiri bahu Hinata. Rona wajah Hinata sudah tidak terbaca lagi, dalam hatinya Hinata terus menyebut 'Kami-sama..'

Naruto mendekatkan bibirnya ke telinga Hinata, berbisik. Alunan suara baritone itu seakan menjadi lagu selamat tidur untuk Hinata. "Hinata.."

Hinata bergidik sendiri mendengarnya. Bukan karena apa-apa, melainkan nada suara Naruto kini sudah seperti melodi kematian yang akan mengantarkannya tidur untuk selamanya. "Na-Naruto.."

Tanpa sadar, bulir-bulir bening dari mata Hinata menetes begitu saja, membentuk anak sungai di pipi chubby-nya. Perasaan Hinata campur aduk. Kedua tangan Hinata tanpa sadar merenggut kemeja hitam Naruto. "Hentikan.."

Naruto terhenyak, ditatapnya benar-benar gadis di hadapannya ini. Perlahan sinar terang dari sorot mata Naruto memudar sesaat menjadi biru, kemudian kembali menjadi kuning. Tangan kanan Naruto mencengkram erat bahu Hinata, meremasnya keras, membuat Hinata mengerang tertahan. Lalu dalam satu gerakan, Naruto merobek t-shirt putih Hinata hingga menggores halus kulit putihnya. Meninggalkan rembesan cairan kemerahan yang berlomba-lomba ingin keluar.

Darah.

Mata kuning Naruto terperanjat pada cairan kental yang kini mengalir lambat di bahu kiri Hinata. Hinata terdiam, memperhatikan gerak-gerik Naruto yang semakin aneh. Naruto tertarik ke arah Hinata, lalu mendekatkan ujung bibirnya ke luka Hinata, menjilatnya dengan nikmat seperti kehausan. Geli diperlakukan seperti itu, Hinata menggerakkan bahunya sedikit, membuat Naruto mengangkat wajahnya kembali, dengan sudut bibir yang terciprat darah.

Hinata menatap horor Naruto. Nafasnya masih terasa sesak, apa lagi kini bocah berambut mirip durian ini sudah tidak bisa berpikir dengan akal sehatnya lagi. "Hinata.."

BRUAAKKK!

Baru saja Naruto menyebutkan nama Hinata, pemuda ini sudah dihantam dari kiri oleh seseorang yang nampak sangat mirip dengannya. Sementara Kushina segera menarik Hinata menjauh dari dua Lycan itu. Sosok Minato kini berubah sepenuhnya menjadi Lycan. Tubuhnya sudah tidak bisa dikenali sebagai manusia lagi. Begitu pula dengan Naruto.

Naruto menggigit lengan kanan Minato yang menahan laju tubuhnya, sementara Minato menggigit bahu kiri Naruto. Menyisakan darah yang mengucur deras dari masing-masing tubuh. Tetesan darah itu jatuh ke lantai kayu, menyisakan bunyi 'clak' terus menerus. Minato menghantam perut putranya dengan dengkulnya, sementara Naruto mencakar dada ayahnya dalam. Darah kembali merembes keluar dari celah-celah bulu lebat yang menyelimuti tubuh Minato.

Kushina mendorong Hinata ke arah belakangnya. Hinata terdiam memperhatikan pergulatan itu. Darah lagi. Kini Hinata seakan mati rasa. Bahkan darah yang notabene mengingatkannya pada malam tragedy itu pun, tak bisa membuatnya ketakutan lagi. Hinata terpaku pada sosok berselimut darah yang berada dibawah. Naruto. Sedikit takut, Hinata menarik pelan lengan kimono putih gading yang digunakan Kushina.

Naruto membanting keras Minato ke samping kiri, hingga tubuh ayahnya itu menabrak dinding keras, menyisakan bunyi gemeretuk kecil. Sepertinya ada beberapa tulang yang patah, pasalnya tembok yang tadi dihantam Minato kini retak. Naruto bangkit dengan cepat, tak perduli berapa bayak darah yang menetes dari luka-lukanya. Langkah gontainya mendekati Hinata.

Suara debar jantung dan langkah kaki Naruto seirama. Hinata menarik nafas, terlalu tegang pada situasi ini, sementara Kushina menghadang Naruto. Detik-detik suara jam membahana koridor penuh dengan orang-orang yang sudah kehilangan kesadaran ini. Anak dan ibu itu saling bertatapan. Dengan santainya tangan besar berbulu Naruto melempar Kushina kesamping, menyisakan hanya dirinya dan Hinata yang masih sanggup berdiri.

Hinata terpaku pada sosok berlumuran cairan kental berbau amis di hadapannya. Sementara kedua lututnya gemetaran hebat, lemas. Naruto mengarahkan tangan kirinya menyentuh pipi Hinata, seakan ingin bermain-main dengan makanannya. Sementara tak disadari kalau sesosok Lycan yang menderita luka cukup parah tadi bangkit, dan berjalan mendekat ke arah Hinata dan Naruto. Tanpa disangka, rupanya Gaara sudah bangun lagi, dan kini mendorong Naruto menjauh dari gadis Hyuuga ini.

BRUKK!

"GROAAAAAAAAAAAAARRRRRRR—!"

Naruto meronta-ronta dalam kuncian badan Gaara, sementara Minato sudah berlari menarik Hinata, agar berhadapan dengan Naruto. "Tatap ini Naruto, aku tau kau menginginkanya!"

Naruto terdiam. Mata kuningnya terpaku pada sosok Hinata yang sudah pucat pasi, dengan tangan Minato yang meraih tangan kanannya, menggoreskan kuku tajamnya, menyisakan luka sabetan yang dalam, dengan cairan kental yang ikut 'mempermanis' penampilannnya.

"GROAARRRR!"

Naruto meronta, sekuat tenaga ia melemparkan Gaara hingga jauh ke pojok kanan koridor. Lagi-lagi bunyi gemeretuk terdengar saat Gaara mencoba bangkit. Parah, tulangnya patah lagi. Gaara terlalu gegabah.

Sementara Naruto menatap geram entah ayahnya atau Hinata. Minato tersenyum menyeringai. "Kau mau dia kan?" Tangan Minato bergerak ke arah leher Hinata. Menekan kuku tajamnya sedikit, membuat Hinata menarik nafas berat, dan tertahan. "Ambilah Naruto, ambilah.."

Minato mendorong Hinata ke arah Naruto, sementara dua orang ini masih linglung. Tanpa Hinata ketahui, tangan Minato terangkat ke atas. Iris kuning Naruto berangsur kembali ke safir. Sementara dengan kecepatan tinggi, kini Minato mengarahkan tangan berkuku tajamnya menghunus tepat ke jantung Hinata.

CRASH!

.

Minato melotot hebat mendapati pemandangan yang tersuguh di hadapannya.

.

Mata lavender Hinata terbelalak, terasa mau copot.

.

Sementara iris safir Naruto, bersembunyi di balik kelopak matanya.

.

"NARUTOOOO—!" jeritan perih Kushina memenuhi mansion raksasa ini, menyadarkan Minato kalau yang dilihatnya itu benar kenyataan.

Hinata menatap Minato yang kini tubuhnya berangsur-angsur kembali seperti semula, begitu juga dengan Naruto. Tapi Minato menatap ke arah lain. Arah di mana tangannya tertancap dengan mantap tengah-tengah punggung Naruto, menyisakan cipratan darah yang menggenang di wajahnya, juga merembes dari dalam pakaian Naruto yang terkoyak. Kuku tajam Minato menancap dalam ke dalam tubuh Naruto. Menyisakan koyakan mendalam pada kulit dan daging Naruto. Bahkan Minato merasa kukunya menabrak sesuatu didalamnya. Sepertinya tulang.

"Naru—"

"Narutoooo!" jerit Hinata tertahan, sesaat senyap yang ditimbulkannya saking terkejut.

Minato reflek mencabut kuku tajamnya dari tubuh anaknya, dan seketika, Naruto melemah, berangsur-angsur kembali seperti semula—menjadi manusia, dan rubuh ke arah Hinata. Baik Hinata maupun Naruto tak ada yang kuat menahan beban masing-masing, sehingga mereka pun jatuh terduduk. Hinata memeluk Naruto erat, tak perduli akan darah yang terus mengalir dari luka di punggung Naruto.

"Naruto.. Kenapa kau lakukan?" Hinata menggigit bibir bawahnya, menahan tangis.

"Karena aku tidak ingin kau mati.." ujar Naruto pelan, lalu tersenyum, menatap sang pujaan hati.

Hinata melepaskan pelukannya, menyanggah kepala Naruto agar rebahan di pahanya sebagai alas. "Justru lebih baik aku yang mati.."

"Hh.." Naruto menahan nyeri yang semakin menjadi-jadi pada punggung belakang, dan juga jantungnya. "Kalau kau mati.. Aku pasti akan mati.. juga.."

"Tidak.." Hinata menggeleng, bulir-bulir bening mulai menganak sungai lagi di pipinya yang merona. "Kau akan menjadi Lordiss yang kuat dan hebat.."

"Percuma.." Naruto nyengir, sementara dahinya berkerut, masih menahan nyeri yang setiap detiknya semakin menyiksanya, "kalau kau mati.. Aku sudah tidak punya.. alasan apa-apa lagi.. untuk hidup.."

"Bodoh!" Hinata menarik nafas, menahan tangisnya lebih dalam lagi. Hatinya tersiksa melihat Naruto seperti ini. "Kalau kau mati, aku juga sudah tidak punya alasan lagi untuk hidup. Nyawa keduaku ini, kan kau yang memberikannya, Naruto.."

"Kau mengungkit.. Kejadian itu.. ya?" Naruto nyengir lagi, mengingat kejadian saat ia menyelamatkan Hinata pertama kali. Malam berdarah keluarga Hyuuga. "Kau.. tau.. dari Sai?"

"Bukan, aku menebaknya sendiri. Dan ternyata benar, kau adalah 'dia'," Hinata tersenyum, senyum terlembut yang ia punya untuk orang tersayangnya.

"Karena.. kau tau aku.. yang menyelamatkanmu.. maka jagalah nyawamu.." Naruto tersenyum, menarik nafasnya lagi. "Kau tau? Anugrah.. terindah.. adalah bisa mengenalmu.."

"Aku bahagia dapat bertemu denganmu.." Hinata membalas, mendaratkan kecupan manis di dahi Naruto. "Aku tau ini sangat terlambat. Tapi, aishiteru.."

"Hh.." Naruto menahan nyeri lagi, menggerinyitkan dahinya. "Aku.. selamanya di sisimu.. Hinata.. ingat ya.."

"Iya.." Hinata tersenyum, membelai pipi Naruto lembut. Mencoba memberikan kelembutan disaat terakhirnya.

"Mendekat.." ucap Naruto tersenggal, dan Hinata pun mendekatkan wajahnya. Tanpa disangka, tangan kanan Naruto menarik kepala Hinata agar mendekat ke wajahnya, sementara ia mengangkat kepalanya sendiri.

Sensasi lembut yang Hinata rasakan saat titik bibir mereka bersentuhan, membuat Hinata tak kuasa menahan air matanya lagi, sesak. Menyiksa. Ia mendadak merasa sangat menyesal. Kenapa tak sejak dulu saja?

"Aishiteru.." Naruto tersenyum. "Jaga dirimu.. demi aku.."

Hinata mengangguk. "Aku pasti akan jaga diri, asal kau hidup.."

"Sudah.." Naruto tersenyum lagi, "kau bisa tanpaku.."

"Tidak.." Hinata menggeleng, dan tangisannya semakin parah, "aku tidak bisa hidup tanpamu, Naruto.."

"Kau bisa.. Aku adalah.. nafasmu, Hinata. Selama kau.. masih bernafas.. aku tetap ada di sisimu.." Naruto tersenyum, senyum paling lembut. Lalu dengan susah payah ia meraih pipi Hinata, "Jaa—"

Tangan Naruto kini terkulai tak berdaya begitu saja di samping tubuhnya. Sementara mata Hinata melotot horor menatapnya. Dirasanya badan Naruto mulai mendingin, dan tubuhnya mulai memucat. Dengan cepat Hinata mengguncang tubuh Naruto pelan. "Naruto? Kau bercanda? Hey!"

Minato memeluk Kushina yang sudah menangis, tak rela melepas Naruto. Hinata terus memeluk Naruto erat, menggumamkan namanya terus. Sementara Kin yang terbaring lemah, hanya mengigit bibir bawahnya, menahan pedih dalam hatinya. Sementara Gaara memukul lantai di bawahnya keras, tanda ia kecewa. Begitu juga dengan Iruka dan Kakashi, yang hanya terdiam, menatap hampa udara. Hanabi pun hanya terdiam, sementara pipinya basah oleh bulir air mata yang menggenang dibawahnya. "Gosujin-sama.."

Hinata memeluk Naruto erat, dan berseru keras, "Narutoooo!"

.

d^^b

.

Cahaya matahari memapar lurus ke tanah, memberikan kehangatan pada sebagian mahluk yang tinggal di bumi. Suasana ramai di taman Konoha University ini merupakan hal biasa. Beberapa murid duduk dibawah pohon sambil bermain dengan buku sketsa atau laptop mereka. Sementara beberapa lagi asik duduk-duduk, dan mengobrol.

Sosok gadis berperawakan mungil, berambut hitam panjang duduk di sebuah bangku taman yang sekelilingnya penuh dengan ceceran daun. Sementara matanya berkali-kali melirik ke arah jam tangan. Ia pun meraih tasnya, lalu berdiri, beranjak pergi dari tempat itu. Langkah tegasnya mengarah keluar dari area universitas. Sorot matanya menangkap gadis berambut indigo yang sedang melamun, menatap buku sketsanya ssambil tersenyum.

Kin—nama gadis ini, langsung datang menghampiri si gadis berambut indigo. "Hinata!"

Yang dipanggil Hinata menoleh, lalu tersenyum. "Kin!"

Kin langsung duduk di sebelah Hinata, dan mengintip ke arah buku sketsa Hinata. "Wah, kakkoi.."

"Hehe.." pipi Hinata bersemu kemerahan mendengar pujian Kin.

"Naruto ya?"

Sesaat keduanya terhenyak, lalu menoleh ke asal suara. Sosok pemuda berambut coklat dengan dua tato segitiga terbalik di pipinya itu nyengir, memamerkan deretan gigi tajamnya. "Hai!"

"Iya, ini Naruto.." ucap Hinata, memperkenalkan siapa yang selalu menjadi model dalam buku sketsanya.

"Sudah dua tahun ya?" Kiba kini duduk dihadapan kedua gadis ini. "Rasanya kemarin dia baru bermain denganku.."

"Hn.." Hinata hanya bergumam menanggapinya. Sedikitnya tertoreh luka saat seseorang terang-terangan mengorek lagi kenangan masa lalunya.

"Kau setia ya?" Kin menggoda Hinata, menyikut lengan Hinata pelan. "Tidak seperti Kiba, sedikit-dikit melirik cewek lain.."

"Heeeh?" Kiba melongok kaget. "Apa katamu? Kau kali yang sedikit-dikit melirik Suigetsu-nii!"

"Heh!"

PLUK!

Sebuah bola kertas dengan mantap menimpuk kepala Kiba. Semuanya menoleh ke sosok yang baru datang. Sosok berambut putih kebiruan yang kini duduk di sebelah Sakura, diikuti seseorang yang ngekor dibelakangnya, Sai. "Enak saja kau menggosip. Aku tidak suka wanita."

Sai tertawa paling keras mendengar jawaban Suigetsu, sementara Kiba dan Kin terdiam, namun Hinata hanya mengikik pelan, lalu dengan cepat menjelaskan maksud dari ucapan Suigetsu. "Jadi, Sui-nii ini pacaran dengan Sai. Otomatis, Sui-nii tidak tertarik pada wanita. Kalian mengerti?"

Kedua orang itu hanya mengangguk-angguk tanda mengerti, sementara Sai dengan lembut merangkul Suigetsu yang duduk disampingnya. "Kami kan seperti Sasuke dan Sakura, tetap setia.."

"Tuh, Sasuke dan Sakura saja setia!" Kin menyalak.

"Heh—"

"Sudah hentikan!" Hinata menyela. "Kalian sama saja."

Kiba dan Kin nyengir. Lalu keduanya saling bertatapan, dan tersenyum. Hinata hanya tersenyum melihat kisah Kiba dan Kin yang tidak pernah sepi. Hinata menatap ke arah Kin, "Gaara yang jadi penerus ya sekarang?"

"Iya," Kin menjawab tegas. "Gaara-sama memang cocok!"

"Kushina-sama dan Minato-sama, apa kabarnya ya?" Sai menengadah menatap langit.

"Mereka kan sekarang tinggal di Itali, mungkin sudah melupakan kita-kita di sini.." Suigetsu mendengus pelan. Disahut dengan sorakan tak setuju dari Sai dan Kin, yang memang karena Kushina sering menanyakan kabar Gaara, dan klan, juga Hinata.

Hinata hanya menanggapinya dengan tersenyum. Ia lalu merapikan buku sketsanya, memasukan kedalam tas. "Aku harus buru-buru, hari ini Hanabi akan melakukan launching album barunya, dan aku dipaksa datang. Ada yang mau ikut?"

"Aku mau! Tidak menyangka kalau Hanabi sekarang jadi penyanyi terkenal ya?" Sai tersenyum menyeringai, entah apa yang ada dalam otaknya. Sementara yang lain ikut berdiri, bersiap pergi mengikuti acara Hanabi.

Mereka berjalan begitu saja ke arah pintu gerbang Konoha University, tanpa sadar kalau Hinata tertinggal. Hinata menengadah menatap awan. Lalu ia tersenyum. "Kamu melihatnya kan? Aku baik-baik saja di sini.."

"Hinata? Apa yang kau lakukan? Ayo cepat!" seru Kin dari kejauhan.

Hinata segera mencari sosok Kin, dan berlari ke arah kawan-kawannya. "Tunggu!"

Sementara tak Hinata sadari, dua pasang mata menatapnya dari ruangan Kepala yayasan. Si perempuan berambut pirang tersenyum pada lelaki di sampingnya. "Bagaimana Jiraya? Nona Hyuuga muda itu tetap ceria kan?"

Lelaki yang diperkirakan umurnya 40 tahunan ini, hanya tersenyum. Rambut putihnya melambai saat ia hendak menatap sosok wanita canti di sampingnya. "Ya kau benar, Tsunade.."

"Tsunade-sama, Jiraya-sama."

Keduanya menoleh, menatap sosok wanita berambut hitam dengan mata semerah darah yang datang dengan sosok pemuda mengikuti di belakangnya. "Tugas kami sekarang, apa?"

"Kakashi dan Kurenai.." Tsunade tersenyum.

Jiraya tersenyum menyeringai. "Bagaimana kalau kalian buat anak saja?"

Pipi keduanya kontan di penuhi rona kemerahan. "Ji-Jiraya-sama!"

"Gomen.." Jiraya nyengir, ditatapnya wanita di sebelahnya. "Bagaimana kalau dia kita suruh menjaga Anko yang sekarang sekolah di Australi? Anko pasti senang mendapat teman baru.."

"Ah pikiranmu tak pernah lepas dari anak kita, sampai-sampai Lordiss pun jadi korban keegoisan anak kita.." Tsunade berujar layaknya ibu-ibu cerewet.

"Oke, itu tugas baru kalian. Sekalian suruh Iruka agar tetap mengawasi perkembangan Hinata dan Hanabi, sebagaimana amanat Lordiss yang terakhir.." Jiraya terdiam. Tak menyangka ia mangambil topik seberat ini dalam pembicaraannya.

"Hai!" dan dua mahluk itu pun, menghilang sesudah mengucapkan itu.

Tsunade menggamit lengan suaminya lembut. "Kau tau? Naruto dan Hinata itu, memiliki kisah cinta romantis walau tidak 'Happy End'.."

"Ya ya ya.." Jiraya mencibir, mulai bosan kalau istrinya membicarakan hal-hal romantis. Tapi ada kalanya dia berpikir, kalau perjuangan Naruto mendapatkan hati Hinata, tidak sia-sia.

.

**OWARI**

.

AND DONE!

Yeeeeeeeeeeeeaaaaaaaaa XDXD

Selesai juga fic abal saya ini. Garing ya? Akhirnya garing kan? Gagal maniiiiing DX

Gomeeeeeeen DX jangan bunuh sayaaa setelah baca ini DX gomen saya ngga ngedengerin readers, soalnya plotnya sudah tetap, dan saya ngga bisa rubah. Mau kalian datang kerumah saya untuk ngeralang Naru matipun, saya tidak bisa. Ini sudah di plot sejak saya bikin cerita ini. GOMEN.

Ah ya, saya seneng banget tahu reviewnya nembus sampe 126 pada chapter 7 kemarin TT^TT

SANKYUUUU MINAAAAAAAAA *pencet capslock bahagia*

Spesialnya buat ; FrenzyRenzy-Ren.9x'y, Sabaku no Yaara hyuuga, white Lavt, Natsumi Kohinata, Neng Hinata, Syeren, Fusae 'LeeBumYeHyun' Deguchi, Chido Victim, Paink, Ray Ichimura, Seichi, Haruchi Nigiyama, Chieko kuroia, Mugiwara Piratez, Ninja-edit, Iwasaki Mori, Ully Zaenuri (Miyuki Izumi), Key Ichi Aroora, Amethyst is Aphrodite, dan semua readers yang baca walau ngga review :p saya haturkan banyak banyak terima kasih. I love you all, yang sudah mendukung Tsuu sampai sejauh ini, berhasil menuntaskan fic lagi :)

Gomen ngga bales anon review satu-satu. Pertanyaan kalian sudah dijawab dengan adanya chapter ini. Yaaaaa? *puppy eyes no jutsu*

Berikanlah tanggapan anda setelah baca fic abal saya ini. Ya mina?

Oke deh, ngga banyak bacot. Flame, saya terima dengan lapang dada.

MINTA REVIEW MINA? YANG BANYAK!

.

Regards,

Tsukimori Raisa

Ps : SAYA MAU HIATUS LAGI *dilempar tomat*