Previous Chapter

"Bisakah kau bersandiwara saat dihadapan Ibu dan Ayah nanti?"

"A-apa …"

" … maksudmu?

"Apa yang kau maksud dengan 'bersandiwara', Itachi?"

.

.

.

"Apa Sasuke menghubungimu?"

"Hmm … apakah menurutmu hal ini cukup aneh?"

"Kau baik-baik saja, Sakura?"

"Siapa?"

.

.

.

"Kau menghindariku. Kau pikir aku orang yang bodoh tanpa bisa menyadarinya?"

"Kau sudah menyakitiku jauh sebelum ini. Lalu, untuk apa kau berhenti? Meskipun seperti itu aku tidak akan menyerah. Aku akan mendapatkamu apapun yang terjadi."

"Kau mengenal Gaara?"

"Perlukah aku menjawabnya?"

.

.

.

.

Naruto©Masashi Kishimoto

Gisei©Mizuira Kumiko

Rate : T+

Genre : Romance/Angst/Hurt-Comfort

Alternate Universe

Warning : OoC, GaJe, Typo's, rushing

.

Enjoy, Minna!

.

.

.

Sakura membuka kedua matanya perlahan. Sedetik kepalanya terasa begitu pusing sesaat ketika ia berusaha untuk beranjak turun dari tempat tidurnya. Kedua kakinya yang telanjang menyentuh lantai dingin kamarnya—membuat wanita itu menyerngit akan rasa dingin yang dirasakan oleh sepasang kakinya.

Ujung-ujung jarinya yang kurus menyisir ke belakang poni rambutnya. Sebentar ia merapikan tatanan rambutnya yang begitu terasa berantakan. Gerakan jarinya disela-sela helai rambutnya terhenti ketika ia sadar tubuhnya hanya terbalut sebuah kemeja putih dengan ukuran besar.

Sakura merasakan ada kehangatan yang masih tertinggal di setiap inci tubuhnya. Dan semburat merah tipis langsung memenuhi kedua pipinya kala ia mulai mengingat kembali apa yang terjadi padanya semalam.

"Sasuke..." ucap Sakura pelan.

"…"

"…"

"Apa?"

Tubuh Sakura langsung menegang dengan detak jantung yang begitu keras.

Grep!

Sepasang lengan melingkari perutnya dari arah belakang. Dan Sakura merasa punggungnya terasa begitu hangat. Sudah jelas karena saat ini Sasuke tengah mendekapnya dengan erat.

"Selamat pagi." Sasuke berbisik dan mencium sisi kanan wajah Sakura. Susah payah pemuda itu kini tengah menahan seringainya ketika merasakan jika tubuh di dalam dekapannya ini begitu tegang.

"Se-selamat … pagi." Sakura berusaha agar suaranya tidak gemetar.

Sasuke tersenyum tipis dan—

"Fuuhhh~~"

"KYA!"

—segaja meniup daun telinga Sakura berniat untuk sedikit menggodanya.

Sakura langsung memejamkan kedua matanya dengan wajah memerah sempurna. Disamping ia terkejut ia pun merasa seluruh tubuhnya lemas bukan main.

"Bagaimana jika kita melakukannya lagi sekarang?" Ucap Sasuke dan sengaja menempelkan bibirnya dilekukan leher Sakura dan beberapa kali mengecupnya singkat. "Kau tahu? Semalam bagiku tidaklah cukup, Sakura."

"E—eh?"

Salah satu tangan Sasuke bergerak ke atas bagian tubuh Sakura membuat wanita itu langsung mengerang disertai desisan kecil.

"Ada apa?" Tanya Sasuke yang kini tengah menahan senyumnya melihat ekspresi Sakura.

"Ti-tidak … apa-apa."

Tangan Sasuke yang satunya sudah mulai bergerak menuju bagian bawah saat tiba-tiba saja dentingan bel berbunyi membuat pemuda itu mendecih dan menghela napas leganya Sakura.

Mendapat kesempatan untuk menghindar, Sakura segera melepaskan diri dari pelukan Sasuke. Sakura menolehkan kepalanya ke belakang sebelum keluar pintu kamar dan setelahnya ia terkekeh kecil. Dibelakangnya Sasuke tengah memasang wajah masam dengan bibir mengerucut sebal. Dan pemuda itu kembali menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dan menyelubungi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Sebelum kedua kaki jenjangnya mendekati ambang pintu, Sakura membenahi pakaiannya terlebih dahulu. Ah, bisa dibilang kain yang menutupi tubuhnya tidak bisa di sebut sebuah pakaian. Dikatakan hanya sebuah kemeja berlengan panjang polos yang ukurannya sedikit kebesaran ditubuhnya dan hanya menutupi sampai pertengahan paha saja.

Ketika ia sudah tepat berada diambang pintu dan ketika tangannya terulur hendak menggapai gagang pintu, tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak menyenangkan. Karena itu Sakura terlebih dahulu mengintip lewat lubang kecil dipintunya dan seketika napasnya tercekat dan bola matanya nyaris keluar dari rongganya.

Jantungnya langsung berdetak tak berirama. Menggigit bibir bawahnya kecil, Sakura langsung berlari kembali ke kemar dengan perasaan terkejut juga resah dan bingung.

"Sasuke!" Teriak Sakura dan segera menyingkap selimut yang membungkus tubuh tunangannya tersebut. Segaris semburat merah tipis menghiasi pipinya ketika melihat tubuh bagian atas Sasuke yang memang polos. Pemuda berambut raven tersebut memang hanya memakai sepotong celana jeans panjang.

"Hn?"

"Cepat bangun!"

"Hn. Malas."

"Ck! Sasuke. Cepat. Bangun." Tegas Sakura dan menarik tangan kanan pemuda berambut raven tersebut. "Sekarang. Ayooo!"

"Sudah kubilang aku sedang malas bangun pagi."

Gemas dengan tunangannya tersebut akhirnya Sakura langsung berterus terang. "Ibumu datang berkunjung dan sekarang ada di depan pintu apartemenku."

Nampak kedua bahu Sasuke sedikit menegang. "Kau … serius?" tanyanya dan mulai membuka mata sepenuhnya. Kini ia memposisikan diri duduk di atas tempat tidur yang sudah dalam keadaan tidak rapi itu akibat permainan semalam.

Sakura mengangguk yang sekali lagi menegaskan jika ucapannya beberapa detik lalu adalah benar.

Sasuke langsung menyingkap selimut dan berjalan menuju lemari pakaian. Ia langsung menyambar sebuah kaos polos berwarna hitam lengan pendek dan memakainya—kaos itu adalah milik Gaara yang masih Sakura simpan.

Pemuda itu sedikit menyisir kedua sisi bagian rambutnya agar sedikit rapi dan tidak berantakan. Selanjutnya ia memasuki kamar mandi sekadar untuk mencuci mukanya agar terlihat lebih segar. Meski wajah baru bangun tidurnya masihlah mudah untuk dikenali. "Aku akan keluar menemuinya," tegas Sasuke yang sudah mengeringkan wajahnya dengan handuk bersih dan kini berjalan keluar pintu kamar. Sebelum menutup pintunya kembali ia kembali berkata dan sedikit meringis kecil,"sebaiknya kau jangan keluar dengan pakaian seperti itu—jika kau mengerti maksudku."

Kedua pipi Sakura langsung merona ketika menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Buru-buru ia segera memasuki kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya agar tubuhnya terasa segar dan juga harum saat menemui calon ibu mertuanya sendiri. Dan entah kenapa ia merasa deg-degan jika saat itu tiba seperti ini adalah pertama kali baginya bertemu dengan Mikoto.

Wanita itu menerka-nerka, bagaimana reaksi seorang Uchiha Mikoto jika mengetahui jika anak bungsunya berada di dalam apartemennya bukannya di Amerika untuk mengurusi pekerjaan Itachi?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mikoto berdiri dengan anggun di depan pintu apartemen berplitur coklat. Tangan kanannya menenteng sebuah tas ukuran sedang yang mungkin isinya adalah dompet, beberapa make-up dan mungkin keperluan yang hanya seorang wanita butuhkan di saat darurat.

Hari ini wanita berambut hitam kebiruan tersebut menggelung rendah rambutnya dan menyisakan sedikit anak rambut di kedua sisi wajahnya. Pakaian yang dikenakannya terlihat begitu santai namun masih terlihat sopan untuk ukuran seusia dirinya.

Mikoto mengangkat tangan kanannya yang menenteng tas untuk menekan tombol bel sekali lagi. Mengapa tidak dengan tangan kiri? Karena tangan kirinya sudah mendapatkan tugas untuk membawa sebuah bungkusan kotak yang dilapisi dengan kantung plastik berwarna putih.

Cklek!

Pintu apartemen terbuka dan Mikoto langsung memasang sebuah senyuman manis di bibirnya. "Selamat pagi. Aku tidak menganggu hari liburmu bukan, Saku—"

"Hn. Ibu."

Kedua kelopak mata Mikoto langsung melebar disertai raut keterkejutan yang kini menghiasi wajahnya. Lidahnya sedikit kelu untuk berucap. "Sasuke? Ba-bagaimana bisa—"

"Hn. Masuklah dulu. Akan kujelaskan di dalam."

Meski ia masih begitu terkejut dengan kehadiran anak bungsunya di dalam apartemen Sakura, namun ia tetap melangkah masuk tanpa suara. Rasanya ia tidak bisa berkomentar apapun lagi. Biarlah Sasuke sendiri nanti yang menjelaskan tanpa harus dirinya bertanya lebih lanjut. Karena Mikoto yakin ada alasan tersendiri mengapa anaknya secara sembunyi-sembunyi pulang ke Jepang dan menemui calon istrinya tersebut.

Namun, tetap saja. Rasa penasaran mengalahkan rasa terkejutnya ketika sepasang onyx milik Mikoto meneliti setiap inci tubuh anaknya dari atas kepala sampai ujung kaki. Atensinya lebih berlama-lama memandang bagaimana berantakannya rambut Sasuke.

Sekali pun Sasuke jika memang benar baru saja bangun tidur tentu tidak akan seberantakan seperti sudah ditarik-tarik sedemikian rupa. Mikoto hapal betul bagaimana cara tidur biasa anaknya. Dan Sasuke adalah tipikal orang yang mempunyai cara tidur yang "rapi" seperti halnya suaminya juga Itachi.

Mikoto tersenyum dan berdehem kecil meminta perhatian Sasuke padanya. "Sasuke, Ibu baru mengetahuinya hari ini jika cara tidurmu tidak seperti biasanya. Liatlah rambutmu! Begitu berantakan. Apa yang kau lakukan saat tidur sampai rambutmu berbentuk seperti itu, hm?"

Dan Sasuke sukses mematung akibat perkataan Mikoto.

"Ck. Sial!" batin Sasuke dan membalikkan badan menghadap sosok ibunya dengan sedikit guratan tipis berwarna merah di kedua pipinya.

Pemuda itu melupakan satu hal jika penilaian kedua mata ibunya sangatlah "berbahaya" dalam keadaan tertentu. Ya, seperti saat ini tentunya.

##Gisei##

Mikoto meletakan bungkusan plastik yang dibawanya ke atas meja. Kemudian ia duduk di sebuah sofa panjang dihadapan meja tersebut. Ia meneliti perabot di ruang tengah apartemen Sakura dan beberapa kali ia mengangguk dan tersenyum. Entah apa yang ada di dalam kepalanya saat ini ketika melihat bagaimana letak tatanan barang di ruang tengah ini.

Sasuke kini berjalan kembali dari arah dapur dengan membawa dua buah cangkir kecil dengan asap yang mengepul di dalamnya. Ia meletakan cangkir itu di atas meja tepat dihadapan Mikoto dan di samping bungkusan yang dibawa ibunya tersebut. Sedangkan untuknya masih ia bawa untuk langsung ia minum sedikit demi sedikit dan setelahnya ia duduk berhadap-hadapan dengan Mikoto. Kedua mata onyx-nya masih enggan untuk menatap fokus ke depan alih-alih kini ia mengesampingnya wajahnya untuk menghadap sisi yang lain.

Mikoto yang menyadari adanya kegugupan dari Sasuke hanya bisa terkekeh ringan dan mulai mengambil telinga cangkir dan mengangkatnya. Mendekatkan bibir cangkir itu ke permukaan bibirnya, lantas meneguk teh hangat itu beberapa kali sebelum membuka pembicaraan.

"Jadi … sudah berapa kali?"

"Uhuk!" Sasuke langsung tersedak mendengar pertanyaan menjurus dan tiba-tiba dari Mikoto.

"Ap-apa maksud Ibu?" Sasuke mengabaikan rasa panas dan perih yang dirasakan oleh tenggorakannya untuk bertanya pada ibunya.

Mikoto tersenyum kecil tanpa menatap wajah Sasuke yang saat ini sedang salah tingkah. Kemudian ia berucap,"Sudah berapa kali kau mengunjungi atau menginap di apartemen Sakura, itu maksud Ibu."

"Ah—oh, itu maksud Ibu." Sasuke meringis kecil karena ia sudah salah mengartikan pertanyaan dari ibunya. "Baru … kedua kalinya."

"Oh, begitu." Mikoto meletakan cangkir teh miliknya dengan anggun tanpa menimbulkan suara benturan antara cangkir dengan alasnya. "Kalian tidur dalam satu ranjang?"

Sasuke sekali lagi terbatuk dengan wajah memerah. Di dalam hati Sasuke kini mendesis untuk apa ibunya mengintrogasinya seperti ini. Seperti ia sudah tertangkap basah telah melakukan tindakan kejahatan saja. "Tentu tidak. Aku tidur di sini—di sofa."

Percuma untuk berbohong karena pasti dalam waktu singkat ibunya akan tahu jika ia telah berbohong. Namun, Sasuke sendiri lebih memilih untuk berbohong dari pada harus jujur saat detik ini juga. Kegiatan yang dilakukannya dengan Sakura, sekecil mungkin ia tidak ingin mengatakanya secara gamblang pada orang-orang. Meski pun itu adalah salah satu anggota keluarganya sendiri, termasuk ibunya yang paling selalu ia sayangi.

Mikoto mengangguk mengerti dan melemparkan senyuman manis pada Sasuke sampai kedua matanya tinggal segaris. "Ibu tahu kau sedang berbohong saat ini."

Benar 'kan?

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sakura menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin. Sebelum keluar dari kamarnya dan menemui Mikoto nanti ia ingin penampilannya rapi dan bersih. Sedikit menyisir poninya ke samping, Sakura mengulum sebuah senyuman dengan penampilannya.

Meski memakai pakaian rumah namun dress selutut berwarna hijau tosca tidaklah buruk. Masih terlihat sopan untuk menyambut tamu. Apalagi tamu penting sepenting seorang calon ibu mertua.

Akhirnya Sakura berjalan keluar kamar dengan memasang wajah ceria dan senyuman manis di bibirnya. Dari jarak pandangnya ia melihat jika Mikoto tengah membicarakan sesuatu dengan Sasuke. Tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan antara ibu dan anak itu Sakura segera menampakkan diri.

"Selamat pagi, Bu!" Sapa Sakura dan berjalan ke hadapan Mikoto lalu mencium pipi kanan dan kirinya bergantian. Lantas ia segera ambil jarak untuk duduk disampingnya.

Wanita yang mempunyai nama seperti musim semi itu saat detik ini belum menyadari atmosfir diruangan tengah ini. Terlebih belum memerhatikan bagaimana saat ini raut wajah dari Sasuke dan pandangan jenaka dari mata onyx Mikoto.

"Selamat pagi juga, sayang," balas Mikoto dan juga ikut tersenyum ceria. "Tidurmu nyenyak?"

Sakura langsung semangat menjawab tanpa menyadari jika pertanyaan dari Mikoto mengandung makna yang lainnya juga. "Sangat nyenyak."

Mikoto langsung tertawa renyah. "Kau dengarkan, Sasuke? Sakura begitu jujur, bukan?"

Sasuke hanya meringis dan menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah sempurna. Sedangkan Sakura sendiri hanya terdiam, ia terbengong di tempatnya.

"Apa … jawabanku salah?"

Mikoto langsung meraih kedua tangan Sakura dan menyatukannya di dalam genggamannya. "Tidak. Ibu hanya senang jika kau ternyata lebih jujur di banding dengan Sasuke."

Sakura memiringkan kepalanya ke kanan pertanda ia semakin tidak mengerti dengan ucapan Mikoto. "Err … aku sungguh tidak mengerti."

Memalingkan pandangan pada sosok Sasuke tak juga mendapat ia untuk mengerti.

"Tidak apa. Oh, ya, Ibu membawakanmu kue tart dengan hiasan potongan buah diatasnya. Kau menyukainya, bukan?"

Di bibir ranum wanita berambut merah muda itu terpasang kembali sebuah senyuman. Ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dan setelahnya Sakura segera beranjak berdiri dan membawa bungkusan kue itu ke dapur.

Tak dihiraukannya padandangan Mikoto yang mengarah padanya pada saat ia bangkit berdiri dari sofa dan meninggalkan ruang tengah.

"Jika situasinya sudah seperti ini, Ibu harap kalian tidak menunda lebih lama lagi. Kau mengerti maksud Ibu, Sasuke?"

"Hn. Setelah aku selesai mengurus masalah cabang perusahaan di Amerika, maka Ibu dan seluruh keluarga Uchiha akan mendapatkan sebuah berita yang bahagia dariku."

Deg!

Mikoto terdiam saat memandang wajah anak bungsunya. Sedetik, hatinya diliputi oleh perasaan resah saat mendengar penuturan dari Sasuke. Entah bagaimana bisa ia beranggapan jika berita bahagia itu tidak akan pernah sampai padanya. Alih-alih kebahagian entah kenapa hatinya merasa resah bukan main jika berita yang akan disampaikan oleh Sasuke akan membawa sebuah penderitaan dan kesakitan.

Wanita bermanik onyx itu hanya berharap jika pirasat buruk yang beberapa detik lalu di rasanya hanyalah khayalannya semata dan tidak akan menjadi nyata—tidak akan pernah.

"Sasuke, apapun yang terjadi kalian harus menikah."

Sasuke tersenyum meski masih saja bibirnya membentuk sebuah garis lurus.

Dan melihat sebuah senyuman dari wajah anak bungsunya semakin membuat Mikoto merasa akan ada badai yang datang dengan membawa angin yang dingin dan suram.

"Aa. Aku berjanji akan membuat Sakura bahagia."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Keduanya berdiri berhadapan. Sasuke berdiri tegap dihadapan Sakura. Memerhatikan setiap garis yang membentuk lekuk ayu wajah wanita dicintainya. Sedikit terkekeh kecil saat manik onyx-nya melihat dahi tunangannya yang terlihat lebar jika dari dekat seperti ini.

Sedangkan Sakura berdiri dihadapan Sasuke. Kedua tangannya terampil memasangkan kancing kemeja yang dipakainya. Setelah selesai terkancing semua ia menatap sepasang manik onyx tunangannya dan setelahnya menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu saat melihatku?" Sakura tak bisa diam untuk tidak bertanya. Ia penasaran dibuatnya.

Sasuke menggelengkan kepalanya dan lantas langsung memunggungi Sakura.

Sakura menggembungkan pipinya dengan rona merah tipis menghiasi. Meski seperti itu ia tetap melanjutkan kegiatannya. Ia mengambil jas hitam yang tersampir di bahu sofa dan kemudian memakaikannya pada Sasuke di mulai dengan memasukkan tangan Sasuke pada bagian kanan jas hitam itu dan bergantian.

Sasuke kembali membalikkan badannya menghadap Sakura. Dan Sakura kembali mengancingkan semua kancing jasnya dan terakhir sedikit merapikan kerah kemeja putihnya. Sakura tersenyum simpul dan langsung mencium singkat pipi kanan Sasuke.

"Hn." Sasuke langsung berjalan menuju pintu apartemen dan mulai memakai kaos kaki pada kedua kakinya dalam posisi duduk. Setelah selesai ia berdiri dan langsung memakai sepatunya. Tangan kanannya hendak menggapai knop pintu ketika ia memanggil nama tunangannya, "Sakura."

"Hmmm?" Sakura berjalan santai dengan sebelah alis terangkat. Ketika jarak dirinya dan Sasuke hanya berkisar lima langkah ia terhenti sesaat Sasuke memalingkan wajah untuk menatapnya.

"Kumohon … jangan khianati perasaanku."

Sakura melebarkan kedua kelopak matanya dengan bibir terkatup rapat. Dan ia hanya bisa diam mematung tanpa mengucapkan sepatah kata balasan untuk ucapan Sasuke. Bahkan saat sosok pria itu menghilang di balik pintu apartemennya. Wanita itu masih berdiri diam di tempat.

Semenit setelah kepergian Sasuke dari hadapannya, Sakura langsung menutup bibirnya yang kini sedang bergetar. Kedua lututnya langsung lemas dan ia jatuh terduduk di depan pintu apartemennya yang tertutup.

Dari kedua sudut mata emerald-nya mengalir sebuah air mata yang entah mengandung arti apa.

Apakah penyesalan?

Apakah kesedihan?

Apakah sebuah rasa bersalah?

Mungkin saja ketiga perasaan itulah yang mewakili jatuhnya air mata itu.

"Maafkan aku … Sasuke." Batin Sakura perih.

Wanita itu tak sanggup membayangkan bagaimana jadinya Sasuke mengetahui masa lalu apa yang terjadi antara ia dan Itachi. Mungkin sudah jelas jika itu terjadi rasa terkhianatilah yang menjadi faktor utama.

Jika dipikir-pikir sekarang pun rasanya ia sudah tidak pantas untuk mendapat hati dan menerima perasaan tulus dari Sasuke. Namun rasa egois yang tumbuh di dalam hatinya tak membiarkan hal itu terjadi. Ia tetap ingin Sasuke berada disisinya meski ia sudah mengkhianati perasaannya sedemikian dalam dan untuk kedua kalinya.

Ia … sudah menjadi seorang pengkhianat dan kemudian memasang topeng manis di wajahnya. Berpura-pura diam dan tidak tahu-menahu juga menutup mata dan telinganya dari kesalahannya sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Selepas ia keluar dari gedung apartemen Sakura dan saat kini ia sedang berada di dalam mobil, pria berambut emo itu hanya terdiam di balik stir kemudi. Setelah berdiam cukup lama Sasuke merogoh kantung dibalik jas hitam yang dikenakannya. Selembar foto kini berada ditangannya. Manik onyx-nya memandang sayu dan gelisah mengenai seseorang yang ada di dalam foto tersebut.

Duk!

Sasuke langsung membenturkan dahinya pelan pada stir kemudi dan mendesah kecil. Memejamkan kedua matanya erat Sasuke mencoba untuk merilekskan tubuh dan juga pikirannya yang sedikit kacau sesaat sudah melihat foto ditangannya. Namun, kegiatannya itu terinterupsi sesaat ia merasakan getaran di saku celananya.

Bangun dan duduk seperti semula akhirnya Sasuke mengambil handphone-nya. Ia sebentar melirik nama yang tertera di layar handphone-nya. Seketika itu juga kedua bahunya langsung menegang disertai tarikan napas yang kasar dan cepat. Buru-buru ia segera mengangkat telepon yang diperuntukan untuk dirinya tersebut.

"Bagaimana hasilnya?"

'Seperti dugaan Anda, Tuan Uchiha.'

Dan seketika Sasuke merasa dirinya dihempaskan dari atap gedung ke bawah dengan bunyi bedebum keras seperti apa yang hatinya kini rasakan.

"Sakura … " Desahnya lirih dan memejamkan kedua matanya dengan setitik air mata turun dari sudut matanya. "Kenapa?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sepertinya badai yang dirasakan oleh Mikoto mulai memberikan embusan angin dingin lebih cepat dari dugaan dan pirasatnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dua hari telah berlalu semenjak kedatangan Sasuke ke apartemennya. Sakura merasa suasana hatinya sejak saat itu begitu tidak menentu. Antara senang dan bimbang. Terlebih mengingat ucapan terakhir sebelum kepergian tunangannya tersebut. Selalu teringat dan terngiang di telinganya. Ia sudah meresapi kandungan makna dari permintaan yang secara tidak langsung dilontarkan oleh Sasuke.

Dan ia harus menghargai juga berusaha untuk melakukannya. Lagi pula Sakura memang berniat untuk mengubur dalam-dalam masa lalunya dengan Itachi sebelum kedatangan Sasuke ke kehidupannya.

Tapi, bagaimana jadinya jika ia kembali bertemu dengan Itachi nanti? Tidak, bukan nanti. Contohnya saja sekarang. Saat ia kini berada di taman kota untuk menghirup udara bersih pagi hari. Kemungkinan yang tidak terduga biasanya seratus persen selalu terjadi di saat orang itu sedang tidak ingin bertemu dengan seseorang itu.

Sakura menundukan dirinya di bangku depan air mancur dan mendesah pasrah. Jikalau ia bertemu dengan Itachi saat detik ini juga ia akan berpura-pura dan bersandiwara seperti halnya permintaan pemuda tersebut.

"Sakura?"

Sakura langsung mengutuk di dalam hati kenapa pemikirannya soal bagaimana jika ia bertemu dengan Itachi saat ini, dan langsung menjadi kenyataan.

Itachi memasang sebuah senyuman kecil dengan berbagai mengandung arti. "Refreshing?"

Sakura mengangguk kecil dan menggeser tempat duduknya sedikit ketika Itachi berniat untuk duduk disampingnya.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Kau?"

"Tidak begitu baik."

Sakura sama sekali tidak ingin menanyakan kenapa alasanya. Ia berusaha untuk tidak lagi ikut campur soal Itachi. Apapun itu masalahnya meski hal tersebut berhubungan dengannya.

"Aku ingin meminta maaf atas perlakuanku padamu saat terakhir kita bertemu."

Sakura tersenyum kikuk dan juga canggung mengenai kejadian yang Itachi singgung saat ini. "Tidak apa-apa. Aku sudah melupakannya. Sungguh."

"Aa. Saat itu kau bertanya apa hubunganku dengan Gaara, bukan?"

Sakura langsung memandang ke arah Itachi dengan sorot mata ingin tahu. Entah kenapa jantungnya berdetak keras dan cepat menunggu cerita yang akan Itachi beberkan saat ini.

"Kami … teman baik di kampus."

"Bagaimana bi—"

"Kau tidak akan mengerti meskipun kujelaskan. Kami berteman … berdasarkan sebuah alasan yang komplek dan rumit. Dan itu semua berhubungan denganmu."

"…"

"Mungkin kau melupakan pertemuan pertama kita saat masih kecil, namun aku selalu mengingatnya. Bahkan saat kedatanganku ke Jepang aku mulai kembali memimpikan saat-saat masa itu."

"…"

"Lalu, pertemuan kedua kita adalah saat keluarga kami diundang ke sebuah acara pesta keluarga Namikaze. Hari dimana diumumkannya bahwa kau telah bergabung menjadi salah satu orang yang menyandang nama Namikaze di depannya begitu pun dengan Gaara."

"…"

"Saat itu aku merasa dunia begitu sempit. Aku kembali dipertemukan denganmu. Sejak saat itu aku menganggap pertemuan kita adalah sebuah takdir yang tidak terelakan."

"…" Sakura hanya bisa bungkam tak banyak bicara. Ia ingin mendengarkan lebih jauh lagi soal bagaimana Itachi bisa mengenalnya begitu dekat.

"Tujuh tahun berlalu kau sudah beranjak dewasa dan menjadi seorang siswi menengah pertama. Sejak saat itulah aku mulai berteman baik dengan Gaara."

"…"

"Namun, tahun berikutnya saat Gaara memasuki Perguruan tinggi, ia mengatakan padaku bahwa ia sakit dan hidupnya tidak lama lagi. Gaara memintaku sedikit demi sedikit untuk selalu berada disisimu untuk menggantikan posisinya jika saatnya tiba nanti." Itachi menatap dalam kedua iris emerald Sakura. "Gaara memintaku untuk menjagamu setelah ia meninggal, kau tahu itu, Sakura?"

"…" Sakura menggelengkan kepalanya pelan dengan air muka sedih.

"Namun, aku lengah dengan membiarkanmu bertemu dengan Sasuke. Itu adalah sebuah kesalahan fatal yang kuperbuat seumur hidupku. Harusnya setelah itu aku bertindak, namun aku diam saja. Karena aku juga menyanyangi Sasuke, karena dia adalah adikku."

"…"

"Aku bimbang … apakah aku harus membiarkan kau berada di sisi Sasuke alih-alih di sisiku atau tidak. Dan lagi-lagi aku membuat semuanya bertambah buruk dan rumit. Aku membiarkanmu berada di sisi Sasuke dan memutuskan untuk menjagamu secara diam-diam tanpa sepengetahuanmu—atau siapapun."

"Sebenarnya … aku sudah mengingat kejadian saat pertama kalinya kita bertemu. Aku … memimpikannya saat aku demam." Sakura akhirnya berani untuk mengakuinya saat ini. Lagi pula percuma untuk dirahasiakan. Toh, baik Itachi sendiri pun ia sudah membeberkan semua rahasianya. Meski mungkin tidak semuanya.

Itachi tersenyum. "Aa. Aku sudah menduganya, dari reaksi yang kau berikan saat aku mendekatimu."

Sakura nampak terkejut dan mengepalkan kedua tangannya erat. "Kau tahu namun kau tetap bersikap biasa saja?"

Itachi mengangkat kedua bahunya dengan desah napas berat. "Sikap seperti apa yang kau harapkan dariku, Sakura? Meskipun aku menanyakan apakah kau mengingatnya atau tidak, kuyakin kau akan berdalih dengan mengatakan tidak mengingatnya."

Sakura tersenyum hambar dan menjawab pernyataan benar yang keluar dari bibir tipis pemuda itu. "Tepat."

Kemudian tiba-tiba saja Sakura teringat akan perkataan Hinata yang sepertinya Sasori mengenal sosok Gaara juga. "Apa kau mengenal … Akasuna Sasori?"

Itachi membenarkan letak ia duduk yang tadinya bersender punggung menjadi condong ke depan. Dengan kedua tangan yang saling bertaut menopang dagunya sementara kedua sikutnya bertumpu pada kedua lututnya, ia mengerutkan kening seolah sedang berpikir. "Kenapa kau menanyakannya?"

"Hinata sepertinya kelepasan bicara menyinggung soal kesehatanku,dan ia menyebut-nyebut nama Gaara yang mempunyai hubungan dengan Sasori."

Nampak Itachi menghela napasnya sebelum kembali angkat suara. "Sasori itu … adalah orang yang pertama menyadari Gaara sakit. Meski dia masih seorang calon dokter namun ia pasti sudah bisa melihat gejala-gejala penyakit itu ."

"Tu-tunggu sebentar. Jadi Sasori benar-benar mengenal Gaara?"

"Hn. Sebelum berteman denganku, Sasori lah teman pertamanya di kampus. Kau terkejut?"

Sakura menggigit bibir bawahnya keras dengan desisan kecil. Entah kenapa bisa, rasanya ia begitu marah. Kenapa hanya ia? Kenapa hanya ia yang tidak tahu apa-apa mengenai Gaara? "Tentu saja aku terkejut. Kh! Kurasa hanya aku seorang yang tidak mengetahui hal ini."

"Hn. Tak kusangka juga jika Gaara pun meminta Sasori untuk menjagamu. Aku mengetahui karena Sasori yang mengatakannya sendiri padaku setelah selama sebulan kau di rawat di rumah sakit pasca kematian Gaara."

Sakura langsung tertegun dan terdiam. Jadi … alasan kenapa Sasori tiba-tiba saja muncul di dalam kehidupannya adalah karena Gaara? Karena Gaara meminta Sasori untuk menjaganya setelah ia meninggal?

Dan karena alasan itu juga Sasori selalu bersikap baik padanya saat ia pertama kali bekerja di rumah sakit?

Semua ini karena Gaara. Gaara yang melakukannya sampai seperti itu hanya untuk tetap menjaganya.

Sakura langsung menangis tersedu-sedu dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Kutahu ini berat untukmu—mengetahui kebenarannya di saat bersamaan seperti ini. Namun, yang pasti itu akan membuat perasaanmu jauh lebih lega."

Sakura menganggukan kepalanya berulang-ulang disertai isak tangis dan dengan wajah yang masih tertutupi oleh kedua telapak tangannya sendiri. "Terima kasih… telah mengatakan semua ini padaku, Itachi."

Itachi menegakan tubuhnya dan menarik pelan kedua lengan Sakura agar pemuda itu dapat melihat wajah menangis wanita yang dicintainya tersebut. Ragu, namun akhirnya pemuda itu menghapus jejak-jejak air mata di kedua pipi Sakura dengan kedua ibu jarinya. Tersenyum kecil pemuda itu berkata, "Mau kubelikan eskrim?"

Sakura langsung tertawa renyah dan memukul bahu Itachi main-main. "Kau pikir aku adalah seorang anak kecil yang pada saat menangis akan berhenti jika diberi iming-iming dibelikan sebatang eskrim? Yang benar saja, dasar!"

Itachi ikut tertawa namun lantas ia bangkit berdiri dan ikut serta menarik kedua pergelangan tangan Sakura.

Sakura menautkan kedua alisnya bingung disertai raut bertanya pada wajahnya. "Kita mau kemana?"

"Beli eskrim. Kutraktir."

"Itachi!" Seru Sakura kencang dan setelahnya ia tertawa.

Yah, setidaknya Sakura cukup merasa lega karena hubungan diantara keduanya tidak renggang seperti apa yang dikiranya setelah kejadian itu. Meski ia sudah melukai hati tulus pemuda sebaik Itachi, ia masih berharap jika pemuda itu tidak membencinya sama sekali. Egois? Itu lah dirinya.

Sakura mengakui jika dirinya adalah seorang yang egois. Disaat hatinya telah bercabang ia masih tetap ingin mempertahankan keberadaan Sasuke di sisinya. Dan ia pun tidak ingin mempertaruhkan hubungannya dengan orang-orang seperti Itachi dan Sasori yang mempunyai perasaan padanya untuk rusak. Ia ingin menjaga hubungan dengan semuanya.

Kebencian memang akan selalu ada di dunia ini jika terus menerus saling menyakiti.

Namun kebencian dapat dihilangankan dengan terus menerus saling memaafkan meski membutuhkan dalam jangka waktu yang lama.

Satu hari. Satu bulan. Satu tahun. Atau bahkan lebih, selagi ada waktu untuk meminta maaf, maka segeralah meminta maaf. Butuh perjuangan yang besar untuk menerima permintaan maaf dari seseorang atas kesalahannya dan itu pun berlaku untuk kebalikannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Itachi menutup sambungan teleponnya dan langsung melirik ke arah sampingnya. Di sampingnya ada seorang wanita bersurai merah muda yang tengah duduk sambil menikmati sebatang eskrim rasa cherry di tangannya. Itachi yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala dan mendecak. "Tidak salah bukan aku mentraktirmu eksrim? Lihat, kau langsung berhenti menangis. Kau memang masih—"

Ctak!

"—anak-anak." Lanjut Itachi setelah menyentil dahi lebar Sakura sampai meninggalkan bekas merah.

Sakura langsung merenggut dan dengan sekali lahap ia sudah menghabiskan satu gigitan eskrim batang ditanganya. "Bisakah kau diam saja?"

"Baik-baik."

"Hmmpphh!" Sakura mendengus keras-keras dan melemparkan potongan kayu bekas eksrim yang sudah dimakannya ke tempat sampah.

"Ayo pergi!"

"Kemana lagi?"

"Ke suatu tempat—"

Sakura hendak membuka mulutnya seperti akan melayangkan sebuah protes. Namun, hal itu urung dilakukannya saat Itachi langsung melanjutkan ucapannya yang mungkin terpotong akibat ulah tarikan tangannya.

"—ke tempat yang bisa membuatmu tenang."

Sakura langsung menautkan kedua alisnya begitu mendengar penuturan Itachi. Di dalam kepalanya wanita itu tengah berpikir, tempat apa yang sekiranya bisa membuatnya tenang di saat hati dan pikirannya sedang kacau saat ini? Ah, tiba-tiba saja saat mengingat tempat yang tenang ia jadi mengingat sosok Gaara kembali.

Bagi Sakura, tempat nyaman dan tenang adalah saat-saat bersama Gaara. Betapa merindukannya ia dengan pemuda yang sudah sangat berarti dalam hidupnya ini. Jujur, ia tidak lah akan berdiri dengan kedua kakinya sendiri saat ini jika tanpa pengorbanan Gaara.

Berbicara soal pengorbanan, bukankah setiap orang akan selalu melakukannya? Baik itu hal kecil maupun besar. Meski kecil di mata orang lain, namun memiliki arti yang besar bagi diri kita sendiri. Sudah tentu.

Sedetik sebuah pertanyaan hinggap di dalam kepala Sakura. Pertanyaannya adalah … mungkin dan kapankah atau apakah diharuskannya ia untuk melalukan sebuah pengorbanan di dalam hidup yang kini tengah ia jalani? Jika saat itu tiba, pengorbanan apa yang akan dilakukannya?

Begitu pun dengan Itachi yang mungkin saja sudah berkorban banyak mendahului dirinya juga Gaara.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Baru saja pemikiran soal tempat tenang itu melintas di dalam kepalanya, kini ia dan Itachi tepat berada di sebuah perbatasan antara Konoha dan Suna. Tepatnya di sebuah tempat peristirahatan yang pastinya begitu tenang, sunyi dan kelam terlihatnya.

Sakura turun dari mobil Itachi dengan senyuman kecil di bibir. Kenapa Itachi selalu tahu hal-hal apa yang sedang dibutuhkannya saat ini?

"Kupikir kau sudah lama tidak mengunjungi malaikatmu," ucap Itachi disertai senyuman tipis.

"Aa. Memang sudah lama sekali." Sakura ingat terakhir kali kemari adalah saat ia dipergoki oleh Sasuke tengah menangis tersedu-sedu di sini.

Itachi mengikuti jejak Sakura yang turun dari mobil. Ia berjalan ke bagian belakang mobilnya dan membuka bagasi. Sakura tidak tahu apa yang tengah dilakukan oleh pemuda itu. Namun, saat Itachi menutup pintu bagasi dan berjalan mendekat ke arahnya ia langsung tersenyum lembut.

Di tangan kanan pemuda itu terdapat sebuah buket mawar merah. Bunga yang menjadi kesukaan seorang Sabaku Gaara. Ah, Itachi memang benar-benar berteman dengan Gaara sampai dia tahu hal kecil seperti itu.

"Kau sudah merencakan untuk menemuinya rupanya?" ucap Sakura seraya memandang ke arah buket bunga mawar di tangan Itachi.

"Begitulah. Aku belum menemuinya selain hari pemakamannya saat itu," jawab Itachi seraya berjalan memasuki pintu gerbang di susul oleh Sakura dibelakangnya.

Sakura tertegun sejenak saat mulai mencerna maksud ucapan Itachi. Ia teringat saat pemakaman Gaara saat itu. Jadi, Itachi juga hadir saat itu?

"Kau pandai bersembunyi selama ini, Itachi," ucap Sakura.

Itachi terkekeh kecil dan menganggukan kepalanya saat menengokkan kepalanya ke belakang. "Kuanggap itu adalah sebuah pujian."

Sakura berdecak. "Aku serius. Kenapa selama ini kau menyembunyikan kehadiranmu dariku?"

Itachi berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya ke arah samping kanan. Ia berjongkok di depan pusara yang bertuliskan nama "Sabaku Gaara". Ia meletakan buket bunga itu di atasnya dan kemudian menutup mata serta menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Perbuatannya ini membuat Sakura terdiam akhirnya tanpa banyak bicara lagi. Ia ikut berjongkok dan melakukan hal yang sama dengan menyatukkan kedua telapak tangannya di depan dada dengan kedua mata tertutup rapat.

Suasana yang sunyi juga sepi. Begitu tenang disertai dengan embusan beberapa kali angin yang menerpa tubuh keduanya sampai menggoyangkan sedikit ujung-ujung rambut mereka.

"Gaara … apa aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik?" Batin Itachi.

"Gaara … apa aku sudah melakukan hal yang benar selama ini?" Batin Sakura.

Disaat mata keduanya tertutup, bayangan samar seorang pemuda berambut merah tengah duduk di samping pusara yang bertuliskan namanya sendiri. Pemuda itu memasang sebuah senyuman tipis dengan raut wajah yang begitu tenang dan damai.

Dan saat Itachi juga Sakura membuka kedua matanya, bayangan samar sosok pemuda itu pun lenyap seolah hilang tersapu angin.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ok. Kali ini ia akan benar-benar tamat di tangan Uchiha Sasuke.

Ragu akhirnya Sakura menggeser tubuhnya ke samping mempersilahkan sosok pemuda jangkung masuk ke dalam apartemennya. Ia sungguh merutuki kesalahannya kali ini. Keceplosan bicara dengan berkata atau mungkin bisa dikatakan adalah sebuah ajakan.

Itachi sudah susah-susah mengantarnya pulang hingga larut malam saat ini dan sungguh alasan sebenarnya adalah Sakura hanya berbasa-basi saja. Ia hanya menawarkan untuk beristirahat sejenak di dalam apartemennya untuk sedikit saja menghilangkan rasa lelah dari menyetir mobil seharian.

Sakura sama sekali tak menyangka jika Itachi menerima tawarannya dengan senyuman yang menghiasi bibirnya dan sorot mata tak percaya. Seharusnya ia yang merasa tak percaya dirinya bisa berkata seperti itu setelah apa yang terjadi pada keduanya beberapa minggu yang lalu.

Dan permintaan Sasuke dua hari yang lalu tentu ia masih mengingatnya, dengan sangat jelas di dalam ingatannya. Sekali lagi Sakura meyakinkan diri jika dengan membiarkan Itachi berada di dalam apartemennya bukanlah termasuk hal dengan apa yang dinamakan "menghianati". Tapi, mungkin akan lain namanya jika orang itu bukanlah calon kakak ipar sendiri.

Meski merutuki dan memaki dirinya sendiri mengenai kecerobohannya kali ini tidak akan mengembalikan waktu ke saat sebelum ia mengucapkan kalimat yang mungkin saja hanya akan menambah masalah lain.

Nasi sudah menjadi bubur.

Dan Sakura hanya bisa menghela napas di balik punggung Itachi yang kini semakin melangkah masuk ke dalam ruangan apartemennya. "Duduklah. Aku akan kembali setelah ganti baju."

Sakura buru-buru melangkah ke dalam kamarnya meninggalkan Itachi yang hanya terdiam membisu berdiri di dekat sofa.

Pemuda berambut hitam dengan beriris onyx itu sedetik memasang wajah sendu sebelum melangkahkan kedua kakinya menapaki area dapur apartemennya ini. Entah apa yang sedang ada di dalam pikirannya tapi kedua tangan pemuda itu nampak mengepal di kedua samping tubuhnya.

Kedua bahunya tampak tegang dan raut wajahnya begitu resah namun juga terlihat seperti menahan sakit. Belum lagi sorot matanya kini yang mulai berubah menjadi sedih dan sendu.

Menghela napas pelan Itachi berhenti di depan sebuah pintu kulkas dan membukanya. Manik onyx-nya bergulir dan jari telunjuknya bergerak secara horizontal untuk memilih minuman apa yang akan diambilnya. Mendapat tak banyak pilihan akhirnya Itachi meraih sebuah kaleng soda dan langsung membukanya setelah sebelumnya menutup pintu lemari.

Ia menenggak soda itu dengan irama pelan sambil kedua matanya bergerilya ke sana kemari mengamati keadaan dapur apartemen Sakura yang terlihat begitu rapi dan bersih. Sebuah senyuman tersungging dibibirnya dikala ia masih menenggak soda itu.

"Ah, kau disini rupanya. Tadi aku mencarimu."

Dikagetkan dengan suara seorang wanita Itachi segera menolehkan kepalanya ke belakang. Di sana berdiri seorang wanita cantik berambut merah muda yang memakai pakaian santai dua potong. T-shirt berlengan pendek berwarna merah dengan rok rempel sebatas kedua lututnya yang berwarna putih.

"Itu soda terakhir yang kupunya."

Itachi meringis kecil dan bergumam minta maaf karena sudah menghabiskan soda terakhir yang mungkin saja sengaja Sakura biarkan untuk ia minum nanti.

"Tidak apa. Lagi pula aku lebih suka jus," ucap Sakura dan kemudian menambahkan ucapannya,"aku membeli minuman soda untuk Sasuke."

Ups!

Sakura menggigit bibir bawahnya ketika salah bicara lagi. Ia melirik wajah Itachi yang hanya menampilan wajah datar, namun justru itu yang membuat perasaanya tidak enak hati.

Itachi menenggak habis sodanya dan membuang kaleng kosong itu ke tempat sampah. Lantas ia memunggungi sosok Sakura dan mulai berjongkok di depan sebuah rak. "Kau punya sake?"

Terkejut, Sakura segera berjalan mendekati Itachi dan ikut berjongkok di sampingnya. "Ada. Rasanya aku taruh di sini."

Jarak yang begitu dekat membuat Itachi bisa mencium aroma sampo di rambut Sakura yang menjuntai indah dihadapannya. Itachi memejamkan kedua matanya dan semakin merapatkan diri pada tubuh Sakura. Tangan kanannya sudah terjulur hendak mendekap tubuh wanita itu kepelukannya jika tidak saja tiba-tiba Sakura langsung berdiri dari jongkoknya dan berseru jika ia sudah menemukan kotak tempat botol sake yang disimpannya.

"Kau mau menemaniku minum sake?" Tawar Itachi.

Sakura sedikit ragu untuk menganggukan kepala dan mengatakan kata jawaban "Ya".

"Menemani bukan berarti kau pun harus meminumnya juga, Sakura."

Tak bisa dicegah helaan napas lega juga senyuman kecil mengembang di bibir wanita itu. Dengan cepat ia mengangguk dan melangkah mengambil sebuah cawan sake dan membawanya menuju ruang tengah.

Itachi yang melihatnya hanya bisa ikut tersenyum dan menyusul sosok Sakura. Bibir yang tersenyum namun berbeda dengan sorot mata yang kini terpancar di mata pemuda itu.

"Apa hubunganmu dan adikku baik-baik saja?" Itachi yang tiba-tiba saja bertanya hal yang menyinggung soal dirinya dan Sasuke sedikitnya membuat Sakura canggung sendiri untuk menjawab. Dan kemungkinan juga takut akan menyinggung perasaan Itachi.

Maka demi hal itu akhirnya Sakura menjawab dengan hati-hati dan juga singkat. "Ya. Kami baik-baik saja."

Sakura mendudukan diri di sofa. Lantas membuka penutup botol sake dan menuangkannya sedikit demi sedikit ke dalam sebuah cawan. Setelahnya ia sodorkan cawan itu pada Itachi.

Itachi bergumam sedikit entah mungkin maksudnya mengucapkan terima kasih pada Sakura karena sudah menuangkan sake untuknya. Dengan sekali teguk cawan kecil yang berisi cairan bening sake itu tandas dan masuk melewati tenggorokannya.

"Hati-hati. Kau bisa tersedak."

"Tidak masalah. Kau dokter, pasti bisa menangani orang yang tersedak minum."

Entah candauan atau mungkin sindirian. Sakura sama sekali tidak memerdulikannya. Ia bergegas bangkit berdiri setelah sebelumnya menaruh dulu botol sake ke atas meja. Ia pergi meninggalkan ruang tengah dengan bibir terkatup rapat.

Namun, lima menit kemudian wanita itu sudah kembali dengan sebuah cangkir besar dengan asap mengepul yang keluar. Rupanya Sakura pergi ke dapur untuk membuatkan minuman untuk dirinya sendiri.

Yang membuat langkah wanita itu terhenti di tengah jalan adalah arah pandangnya pada botol sake di atas meja. Di sana sudah ada botol kedua yang dibuka. "Kau sudah menghabiskan satu botol kecil sake hanya dalam waktu kurang dari lima menit?" Tanyanya tak percaya dan akhirnya memilih untuk duduk kembali.

"Hn." Jawab Itachi acuh.

Sakura yang mendengar atau merasa jawaban acuh Itachi hanya menyerngitkan dahi—bingung. Di dalam pikirannya bertanya, "Apa yang terjadi pada pemuda dihadapannya ini hanya dalam waktu rentan kurang dari lima menit sejak kepergiannya?"

Dan gerakan cepat yang dilakukan Itachi di hadapannya membuat kedua kelopak mata milik wanita itu terbuka lebar. Pemuda itu menegak langsung sake dari botol keduanya sampe tandas tak tersisa. Lalu, ketika Sakura melihat jika Itachi berniat membuka botol sake yang ketiga, buru-buru ia taruh mug-nya dan menyambar botol tersebut mendahului tangan pemuda itu.

"Sudah cukup minumnya!" Bentak Sakura namun masih dengan suara halus.

Itachi terdengar sedikit berdecak dengan tindakan yang dilakukan Sakura. Dengan menumpu sebelah telapak tangannya pada permukaan meja, Itachi meraih botol sake itu dari tangan Sakura dengan tangan yang satunya.

Sakura yang juga tidak ingin membiarkan Itachi minum lebih banyak lagi tidak menyerahkan botol sake itu begitu saja.

Saling tarik menarik.

Dan tarikan yang terakhir oleh tangan Itachi membuat botol sake itu tumpah ke bajunya. Lalu, keduanya terdiam saling mengerjapkan mata. Memproses kejadian apa yang barusan terjadi.

"Ck!" Itachi lah yang pertama merespon dan menaruh botol sake yang isinya sudah setengah—karena setengahnya lagi sudah tumpah ke bajunya. Terlihat juga jika pemuda itu menghela napas dengan memejamkan kedua kelopak matanya juga memijit pangkal hidungnya.

Sakura masih terdiam setelah beberapa detik lalu secara tak sengaja menahan napas saat kejadian itu.

"Hn. Maaf. Ini kesalahanku."

"Aa. Tidak apa-apa, Itachi," balas Sakura dan bangkit berdiri. "Aku ada baju ganti untukmu. Kemarilah!"

Sakura beranjak berdiri menuju kamar terlebih dahulu. Dan Itachi sendiri hanya berdiam diri terduduk di atas sofa dengan pandangan kosong.

"Sakura … " ucapnya nyaris berbisik.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Cklek!

Itachi membuka pintu kamar Sakura dari dalam dan kemudian menutupnya pelan. Ia kembali berjalan menuju ruang sofa meski sedikit terhuyung. Rasanya sedetik kepalanya mulai terasa pusing. Apakah efek minum sake meski hanya menghabiskan dua botol bisa secepat ini?

Mengerjapkan mata berkali-kali akhirnya pemuda itu sampai di ruang tengah dan mendapati Sakura sedang menguruti pangkal hidungnya dengan mata terpejam.

"Ada apa?" Tanya Itachi yang langsung duduk di samping wanita bersurai merah muda tersebut.

Sakura tak langsung menjawab. Ia menghela napas terlebih dahulu, lantas menengokan kepalanya ke samping kanan. Entah bagaimana bisa di dalam penglihatannya wajah Itachi berubah sedikit demi sedikit menjadi Sasuke. Rambutnya pun mulai ikut menyerupai. Begitu pun dengan fostur tubuhnya. "Sasuke…" panggilnya.

Itachi menyerngitkan keningnya. Ia menggeleng pelan dengan sorot mata terluka. "Bukan. Aku Itachi."

Sakura langsung menggeleng-gelengkan kepalanya keras. "Kau Sasuke, jangan berbohong."

Itachi berdecak dan langsung mencengkram lengan kanan Sakura dan membantunya untuk berdiri. "Sebaiknya kau tidur dan aku akan pulang. Entah apa yang terjadi padamu, kau aneh … Sakura."

Sudah tentu aneh. Sudah jelas-jelas jika orang yang dihadapan wanita bersurai merah muda itu adalah Itachi. Bukanlah Sasuke.

Meski terseok-seok Itachi berhasil menyeret Sakura di dalam dekapannya ke kamar wanita itu. Jujur saja kini pemuda itu merasa hatinya diiris-iris kembali dengan ujung pisau yang begitu tajam hanya dengan mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Sakura padanya.

Memang benar secara fisik ia dan Sasuke memiliki kesamaan. Baik dari segi wajah dan fostur tubuh. Meski seperti itu ia tetaplah bukan Sasuke. Sepintas sebuah pertanyaan hadir di dalam benaknya. Apakah selama ini saat Sakura bersamanya ia sedetik saja merasa sedang berada dengan Sasuke?

Itachi hanya mendengus dan tersenyum miris akan pertanyaan di dalam benaknya tersebut. Memikirkan jawabannya saja ia sudah menduga jika mungkin selama ini ia hanya seorang replika dari sosok adiknya. Ia adalah … bayangan. Yang selamanya tidak akan pernah menjadi sosok nyata di dalam mata Sakura.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hangat.

Begitu nyaman.

Sakura rasanya ingin terus merasakan perasaan hangat dan nyaman seperti ini. Hawa dingin yang menusuk tulang seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan dengan sebuah selimut pun mungkin ia tidak akan merasakan rasa hangat seperti ini. Rasa hangat seperti di dalam sebuah pelukan atau dekapan seseorang.

Semakin tenggelam dalam rasa nyaman tersebut, Sakura semakin merapatkan diri pada apa yang membuatnya memberikan rasa nyaman tersebut.

Sedetik setelahnya ia mulai merasakan rasa hangat menjalar di bagian wajahnya. Seperti embusan napas seseorang. Pendengaranya pun mulai meningkat dan kini ia mendengar bunyi detak seperti degup jantung. Irama yang begitu teratur dan ia sungguh menyukainya.

Mengabaikan bunyi degup jantung tersebut kini indera perabanya yang mulai mengambil alih. Ia merasa seluruh inci di permukaan tubuhnya merasakan bersentuhan langsung dengan sesuatu yang begitu lembut. Sakura yakin jika itu bukanlah sebuah selimut, karena sesuatu yang lembut itu memberikan sensasi tersendiri. Dan itu menyenangkan.

Setelah indera peraba, indera penciumannya mulai ia rasakan. Sakura mencium sebuah aroma maskulin yang sedari tadi menganggunnya. Namun, ia begitu ingin lama-lama untuk menghirupnya. Karena Sakura begitu yakin jika yang memberikan rasa seperti itu hanyalah Sasuke.

Maka dengan keyakinan tersebut akhirnya Sakura membuka kedua kelopak kedua matanya perlahan. Pandangannya sedetik terasa buram dan blur. Namun, seiring dengan berjalannya jarum jam di dalam kamarnya, ia mulai merasa penglihatannya membaik dan lebih jelas.

Dan seketika itu juga tenggorokannya tercekat, jantungnya berpacu begitu cepat hingga nyaris ia merasakan sesak di dada. Ia pun begitu kesulitan untuk mengambil napas saat detik ini juga. Kedua pupil matanya mengecil dengan kedua kelopak mata terbuka lebar nyaris seperti akan keluar dari rongganya saking betapa terkejutnya ia.

"Itachi … " Ucapnya lirih dan segera bergerak menjauh dan melepaskan dekapan eratnya pada tubuh pemuda di hadapannya.

Itachi yang merasa terusik dengan pergerakan di dekatnya mulai membuka kedua matanya. Ia nampak tidak terkejut sama sekali. Dengan perlahan pemuda itu bangkit duduk. Menyebabkan selimut yang mentupi tubuhnya merosot dan memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang polos.

Sakura nyaris berteriak jika tidak segera ia tutup bibirnya dengan kedua tangan. Menyadari jika pemuda dihadapannya memandang ke arah dirinya, Sakura segera menurunkan penglihatannya. Ia kembali dibuat terkejut akan keadaannya saat ini.

Ia tidak berpakaian dan hanya terbungkus selimut yang sama dengan menutupi tubuh bagian bawah Itachi.

Air mata nyaris melesak keluar dari mata emerald wanita itu saat mulai menyadari kesalahan besar lain yang telah ia lakukan. "Ap-apa kita … "

Sakura tak sanggup melajutkan ucapannya saat Itachi tiba-tiba saja menarik tubuhnya kemudian mendekapnya erat. Ia pun berbisik tepat di telinga kanan wanita bersuarai merah muda itu.

"Sakura …" ucap Itachi dan tersenyum di balik bahu Sakura.

"…" Sakura mulai merasa seluruh badannya gemetar.

"… aku akan bertanggung jawab."

Dan air mata yang ditahannya pun langsung jatuh turun membasahi kedua pipinya. Sakura tidak mengerti, apa maksud dari kata "bertanggung jawab" yang pemuda itu bisikkan ditelinganya.

.

.

.

.

.

.

.

.

Tsuzuku

KYAAAAA!#jedotinkepalaketembok

Gomen. Kayaknya makin ke sini jadi makin aneh dan ngaco fic-nya. Tapi, chapter ini sudah mulai memasuki fase terakhr untuk ending fic ini.

Msh ingat wktu Karin mengunjungi Sakura di rumah sakit pasca kematian Gaara? Saat itu Sakura sedang memegang buket bunga mawar dan dy bilang dr Gaara, tapi sebenarnya bkn Gaara yang ngasih tp Sasori. Trus, sebab mengapa Sasori berhubungan dengan Sakura karena masa lalunya yang berteman dengan Gaara.

Sasori dan Itachi teman satu kampus Gaara, dan Gaara meminta pada mereka berdua untuk jagain Sakura. Soalnya Gaara saat itu ga percaya dan ga ngerestuin hubungan yg terjalin antara Sakura sama Sasuke. Tapi, akhirnya dy juga sadar dan lepasin Sakura buat Sasuke di saat terakhirnya. Hehe.

Untuk ending… cerita akan berpusat pada ItaSakuSasu. Sasori juga bkl ambil peran penting. Intinya ketiga cowok cakep ini bkl sering muncul. Dan Sakura dibuat dilema lagi.

Sbrnarnya bagiku sifat plin-plan dan mudah terbujuk yang aku buat Sakura seperti itu wajar z kok. Sprti kbnyakan orang. Ada loh tokoh cewe di dunia nyata yang disukai sama banyak cowo. Bkn hanya di komik atau novel z. Sebab, komik dan novel juga terinsipirasi dari kehidupan asli dan pengalaman writer-nya.

Kyknya mulai q udah banyak ngomong yng melenceng dr fic. Udahin z deh.

Yg jelas bntr lagi fic ini bkl tamat.

Err… msh da yang mau nungguin meski update-nya lama kah?

Terakhir … minta dukungan dan review-nya ya Minna-san.

Doumo … arigato.

J

Sebelum itu balas review non-login dlu..

#QRen : Mengenai itu … mmm… liat nnti z yaa… Yosh~semangatJ Dan maksih ya buat review-nya.

#Kerrached : Ga suka? Haaha… sebenarnya sifat Sakura di sini manusiawi kok. Setiap orang meski bisa dihitung dengan jari pernah ngalamin hal yang seperti ini. Lemah, cengeng, bodoh, egois, keempat sifat ini umumlah tercermin disetiap perempuan yang mungkin sedang mengalami masalah percintaan—kesampingkan soal direbutin banyak laki-laki. Soal gagal Move on, jujur author sendiri lagi ngalamin nih. Wkwkwkkw! Dan jujur rasanya kesel bngt. Yg pasti Sakura di sini pun kubuat kyk gini.

Suka sifat Sasuke dan Karin di sini? Mwehehehee~baru da yang bilang kyk gini. Arigato naaaa~

Nah, itu udah tahu jawaban mengenai endingnya nanti. Haha.

Review lagi, okey~~~

Dhave : Itachi juga kasian loh. Sebelum Sakura ketemu Sasuke, dia ketemu Itachi dulu loh. Jadi di sini terlihat seperti Itachi yang ngerebut Sakura pdhal kebalikkannya. Wkwkwkwk.

Kenapa di skip? / Q bisa jantungan kalau nulis adegan lemon.

wkwkwkwkwk

#CharlotteScarlet : Makasiiihhhh. Review lagi yaaa..

#HardannieD : Ah, ga pa2. Makasih ya udah review^^.

#Mitsuoka-chan : Sampe nangis? Sesedih itu kah? Hiks~ arigato buat review-nya. Hiks

#SasuSaku Fan's : Q juga gemes sebenarnya buat Sakura kyk gini di fic ini. Hahha. But, aku nyaman bikin Sakura kyk gini juga/dor

#Kurusano Zana : Kon'nichiwa mo, Zana-san^^.Iya, q rasa fic ini memang harus ditingkatkan rate'nya. Makasih juga atas pujiannya. Seneng deh dengernya. Enjoy ya baca chapter kali ini. Domo arogato naaa~~

#Damien chazelle : Bagus? Yokatta~ Arigato nee~~

#CherryBlossom : Request diterima. Hahahha. Tapi, bersabar yaaaa!

#Kazuran : Salam kenal juga, Kazuran-san^^

Makasih udah dibilang keren, seneng banget deh dengernya. Hihihi. Oke. Ini dy next chap-nya. Review?

#Aoi-san : Teeeetttt! Salah besar. Bukan Sasori loh. Ayo tebak lagi. Hehe.

#Natsuki OgaaSS : Ini udah dilanjut. Hahha. Dan ini juga udah di update. Review lagi?

DONE~~

REVIEWS