Eeem, author jatuh cinta lagi sama Naoto setelah nonton Tim Burton's AIW, nggak tau kenapa. Tambahan, ini ide dari dulu banget yang pengen author nyatakan tapi nggak bisa mulu sampai sekarang (soalnya yang waktu dulu plot-nya lebih ke humor?). Anyway, fic ini adalah dark parody fic dari seluruh macam cerita Alice in Wonderland yang author tau (Alice in Wonderland © Disney 1951, American McGee's Alice © ?, 2002 –maaf, author nggak tau siapa yang buat ini, kalau bisa, adakah reader yang berbaik hati untuk memberitahu saia?-, Pandora Hearts © Mochizuki Jun, 2006-?, dan Tim Burton's Alice in Wonderland © 2010. Dan author tidak mengikutsertakan novelnya karena…well, author nggak punya!! Kemaren author ke toko buku buat beli novelnya, tau nggak apa yang dikatakan mas-mas-nya? "Maaf, neng… Kalo novel-nya BARU AJA abis." AAAARRGH!! –ditabok-) Anyway, enjoy!

Summary: P4 multi crossover. Parodi Alice in Wonderland. Charas' deaths. Naoto harus bertarung dengan kewarasannya demi menyelamatkan Souji yang menghilang ke Wonderland, tapi bisakah dia melawan lautan darah yang berdiri di hadapannya ini?

Disclaimer: Shin Megami Tensei: Persona 4 dan semua karakter yang akan muncul di fic ini © Atlus. Dan sisa Alice in Wonderland-nya ngeliat yang atas ajah, ya! Saia capek nulis lagi! –ditabok- Oh, dan nama chapter diambil dari novel Alice in Wonderland yang kedua.

Warning: Charas' death. Yup, fic ini lebih memparodikan American McGee's Alice (versi game AIW yang menyangkut…kepala yang dipancung dll). Dan crossover, kalau jadi kebuat, contains Persona 3, Devil Summoner: RK Vs. SA/RK Vs. KA, dan Devil Survivor. Dan mungkin akan saia tambahkan cameo dari Nocturne yaitu si Pixie, ya, Pixie yang persona level 2 itu loh –diinjek-.

Dan saia punya game kecil yang bisa diikuti, kalau anda mau…silakan liat rule-nya di bawah?


"If I had a world of my own, it'd be full of nonsense.", -Alice, Alice in Wonderland.


Prologue: Through the Looking-Glass

Karena dia adalah segalanya baginya.

Segalanya.

Dan bila segalanya itu hilang…

Apakah itu berarti dia juga akan menghilang?


Suara rintik-rintik hujan itu terus berdering di telinganya tanpa ampun.

'Tik, tik, tik, tik,' begitu bunyinya, satu-satunya suara yang bergetar di tengah-tengah bumi yang sedang menangis itu. Atau setidaknya, Naoto berpikir sepikir itu.

Dia sudah tak bisa mendengar apa-apa lagi, hanya suara rintik-rintik hujan yang terus berderu di telinganya. Seperti, bilang saja, telingamu tersumbat oleh sesuatu yang tak nyata bentuknya; ingin kau cabut, tapi bahkan menyentuhnya saja tak bisa.

Ingin kau peluk, tapi bahkan menyentuhnya saja sudah tak bisa.

Ingin Naoto memeluknya, tapi bahkan orang itu sudah tidak ada.

Orang yang disayanginya.

Seta Souji.

Ya,

Dia sudah mati.


"A…pa?" mata biru tua-nya itu membelalak lebar begitu mendengar berita itu, dengan mulut yang membuka kecil tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Kumohon, Naoto, cepatlah…," suara Yosuke –senpai-nya yang berambut coklat susu itu- terdengar lemah, bahkan Naoto dengan mudahnya merasakan bahwa suara-nya yang biasanya ceria itu terasa bergetar, seperti sedang menangis. "Cepatlah datang ke sini, Souji… Souji…,"

"Kau bohong," Naoto dengan cepat menjawab mantap, walaupun kemudian mata-nya itu mulai berkaca-kaca oleh air. Tangannya bergetar lagi, hampir—tidak, ingin, menjatuhkan gagang telepon yang sedang dipegangnya itu sehingga dia bisa mengalihkan pandangannya terhadap kenyataan ini. Dia menggigit bibirnya lagi, lalu kembali memantapkan pernyataannya; "Kau bohong, Hanamura-senpai."

"Naoto…," Yosuke menjawabnya pelan. Keinginan laki-laki itu untuk melarikan diri dari kenyataan pahit ini juga sama besarnya dengan Naoto, tapi—ini keharusan, harus secepatnya—secepat yang dia bisa, kalau tidak, kalau tidak…

"…kumohon, kalau tidak dia akan mati."

Satu kata, hanya satu kata yang dibutuhkan oleh Shirogane Naoto untuk membuat bendungan di matanya itu hancur lebur. Dan hanya satu kata yang bisa membuat hatinya seperti dirajam seribu jarum, tanpa belas kasihan, tanpa kasih sayang. Detektif itu membenci kata itu.

Sebuah kata yang telah merenggut orang-orang tercintanya. Dan haruskah dia mengalami efek dari kata itu sekali lagi?

Dari orang yang paling dicintainya saat ini?

Gadis berambut biru itu pun dengan cepatnya segera berlari ke arah pintu, tidak peduli sedikitpun untuk menaruh gagang telepon itu di tempatnya yang benar ataupun teriakan-teriakan dari Yakushiji ataupun kakeknya yang terus berkata, 'Naoto! Apa yang terjadi?!'. Pintu kayu itu dibantingnya keras-keras, berusaha untuk melimpahkan semua kenyataan yang selalu lebih sakit daripada kebohongan kepada benda tak bernyawa itu, lalu lari ke tengah jalan, terus berlari menapaki jalan tanjakan di pinggiran kota Inaba itu.

Kaki kecilnya terus menapak-napak di atas aspal berwarna hitam dengan cepat, tidak mempedulikan pandangan orang sekitar yang melihatnya bingung. Cepat, cepat, cepat. Hanya satu kata yang terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Cepat, cepat, cepat! Kalau tidak kata itu dengan mudahnya akan menjadi 'mati, mati, mati!'

Tubuh kecilnya itu terasa diguyur oleh sesuatu yang dingin. Pertama terasa pelan, tetapi kemudian terus bertambah, bertambah dan bertambah, seperti jarum yang tadi menusuk hatinya berubah menjadi kenyataan dalam bentuk hujan dingin ini.

Tapi dia tidak peduli. Dia tidak peduli akan hujan ini. Dia tidak peduli dengan jantungnya yang berdetak semakin cepat seperti mau meledak. Dia tidak peduli dengan napasnya yang semakin tercekat. Dia tidak peduli dengan kaki-kaki kecilnya yang semakin lama semakin sakit untuk digerakkan.

Dia tidak peduli.

Dia tidak peduli apapun.

Hanya peduli terhadap lelaki berambut putih yang dicintainya itu.

Matanya lalu bertemu dengan sebuah bangunan putih di tengah-tengah halimun yang menyelimuti pandangannya karena hujan itu. Bangunan putih yang dari bentuknya saja seperti tanda teriakan bangunan yang tidak seharusnya untuk didatangi. Tapi ironisnya, semua orang—semua orang pasti akan pergi ke sana suatu saat, mau ataupun tidak mau.

'Tok!'

Sepatu biru berlapis lumpur itu pun berhasil menapakkan diri di atas ubin berwarna putih di rumah sakit itu. Napasnya terengah-engah, dan dengan pandangan kosong mata birunya itu meratap ke arah koridor panjang rumah sakit itu.

Di mana, di mana orang itu?

Orang yang kusayangi?

Senpai!

Seta-senpai!

Souji-kun!

Dan di tengah-tengah lorong kusam itu, Naoto menemukan sejumput rambut kuning yang menyala terang di sana.

Kakinya pun berjalan, pelan dan pelan, menyisakan jejak kaki berwarna coklat yang menodai ubin putih tanpa noda itu. Matanya hanya menerawang ke arah mata biru pemilik rambut kuning itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Teddie.

"Te…ddie? Di mana…senpai?"

Lelaki itu terdiam, dan hanya bungkam, dan yang terdengar hanyalah gertakan giginya yang tampak menahan kesedihan.

"Teddie… Jawab…," kata Naoto lagi dengan suara serak, yang akhirnya telah berdiri berhadap-hadapan dengan lelaki berambut pirang itu sembari memegang erat tangan Teddie, memaksa sang shadow untuk melontarkan satu kata, kata apapun, dari mulutnya.

Tapi, tidak, dia tidak menjawab.

"Jawab!!"

Teddie hanya mengerjapkan matanya kaget oleh teriakan detektif tersebut, tapi dengan tenang kembali menatap bola mata biru milik Naoto lekat-lekat, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu, sesuatu yang akan membuat lelaki itu bersalah karena telah melukai perasaan Naoto. Tapi—tapi, Teddie tau, kalau hal seharusnya diperlihatkan kepadanya dengan mata kepalanya sendiri; kepada Shirogane Naoto sendiri. Karena bagi sang detektif, kata-kata takkan punya arti sebelum dibuktikannya sendiri.

Dan dia pun menarik tangan Naoto, mengajaknya untuk menerobos lorong gelap itu. Naoto –walaupun sedikit ragu-ragu- akhirnya pun menyerah dan memilih untuk mengikuti lelaki berambut pirang itu saja. Lagipula dia tidak diperbolehkan, kan, untuk berlari-larian di dalam rumah sakit itu dan membuka pintu kamar pasien satu-persatu hanya untuk menemukan senpai-nya itu?

Tapi saat ini dia tidak peduli. Dia tidak peduli akan imej-nya yang hancur oleh hal itu jika diperbolehkan oleh pihak rumah sakit. Dia akan lakukan apapun, apapun untuk menemui orang itu.

'Tuk, tuk, tuk, tuk,' hanyalah satu-satunya suara yang melayang-layang di tengah koridor gelap itu. Teddie tidak mengeluarkan kata apapun, dan begitu pula Naoto.

Mereka tau, walaupun tidak mau menyadarinya (dan dalam kasus Naoto, belum menyadarinya) bahwa kesunyian adalah hal terbaik untuk saat-saat seperti ini.

Lalu sampailah mereka di ujung sebuah koridor di bagian kiri rumah sakit, di mana cahaya dari pintu satu-satunya di ujung koridor itu menerangi kegelapan yang terasa suram dan mencekam.

"Naoto-chan…," Teddie menoleh ke arah Naoto dengan pandangan bersalah. "Maaf…,", dan dengan satu kata itu, dia mendorong Naoto untuk memasuki ruangan tersebut.

Dan Naoto tak percaya tentang apa yang dilihatnya.

Ada dia.

Ada orang itu.

Ada Souji-senpai.

Dan Souji-senpai telah terkulai lemas di atas sebuah tempat tidur berwarna putih bersih, terselimuti oleh sebuah selimut berwarna putih pula yang sangat memuakkan warnanya bagi Naoto, di mana di sekitarnya telah berkumpul semua orang yang dikenalnya dan disayanginya; Hanamura-senpai, Chie-senpai, Yukiko-senpai, Tatsumi-kun, Rise-san, Nanako-chan dan Dojima-san, semua orang menatap ke arah Souji dengan pandangan sayu, tidak termasuk Nanako-chan yang tampaknya pingsan di atas pangkuan ayahnya itu, jejak air mata terlihat jelas di pipi sang gadis manis berambut coklat

Sang pangeran tidur tetap tak bergerak—tak mengindahkan tatapan penuh harap dari orang-orang yang mencintainya yang mengharapkannya untuk memberikan senyumannya yang adiktif, dan tak bersuara. Tidak—tidak ada satupun suara beresonansi di tengah-tengah ruangan putih itu,

selain suara flat line yang terus berbunyi dari elektrokardiogram di sebelahnya.

"Sen…pai?" Naoto pun menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di ruangan itu, dengan tatapan tak percaya melihat tubuh pangerannya.

Sang gadis berjalan, dan berjalan, hingga akhirnya sampai tepat di samping senpai-nya yang masih tetap tak bergerak, suara dari elektrokardiogram tetap terus berbunyi dan berbunyi, tanpa peduli akan hati orang-orang di sekitarnya yang tau persis akan arti dari bunyi tersebut.

Dengan jarinya yang bergetar hebat, Naoto menyentuh tangan Souji.

Dingin.

Lalu Naoto beralih melihat ke arah mukanya, muka yang dibalut oleh perban bernoda merah, tertidur di atas ranjang putih tanpa noda dengan wajah tanpa dosa.

Tangan kecilnya lalu beralih ke arah masker oksigen yang dipakainya, dan dengan pelan mengangkat masker tersebut dari mukanya, memperlihatkan wajah tampannya yang telah berwarna biru.

"Senpai?"

Jarinya yang bergetar menyentuh bibir dingin yang dulu pernah dikecupnya. Dulu, di mana dia merasakan bibir hangat itu, yang sekarang telah berubah menjadi salju abadi yang takkan pernah mencair.

"Senpai? Senpai…? Bangun, senpai…,"

Yosuke menggigit bibirnya melihat hal ini; dia tak tahan, dia takan tahan terus-terusan melihat Naoto yang menyedihkan seperti ini. Naoto yang sedari tadi terus menggoyang-goyangkan tubuh lunglai itu sembari terus mengatakan namanya. Dia pun berjalan, dan sambil menyentuh pundak sang detektif, dia berkata, "Naoto… Hentikan… Hentikan! Souji sudah—,"

"Senpai tidak mungkin mati!!" Teriak Naoto sembari menepis telapak tangan Yosuke, menolak untuk menghadap kenyataan tanpa ampun yang berdiri tepat di hadapannya ini, tersirat di dalam tubuh dingin yang terus dipeluknya.

"Senpai… Souji-senpai tidak mungkin mati… Senpai…, senpai!"

Tetapi bibir dingin itu tidak mengucapkan namanya kembali, tetap terdiam kaku di bawah jemari sang detektif yang menangis.

Dan takkan pernah.

"SENPAI!!"


Naoto cepat-cepat menguburkan kepalanya di tengah-tengah kedua kakinya. Dia tidak mau—dia tidak ingin melihat—dan mengaku, bahwa mata birunya itu sedang menangis, hanya karena mengingat kejadian tersebut. Lebih tepatnya, dia tidak mau mengakui bahwa kejadian tersebut nyata.

Aah, Naoto ingin, ingin sekali, tinggal di sebuah tempat di mana dia tidak perlu menangis seperti ini—tak perlu sedih seperti ini. Tempat di mana dia bisa menciptakan kebahagiaan, di mana dia bisa hidup dengan senpai dengan tenang dan bahagia, dan tidak ada kata 'kematian' tinggal di dalam dunia itu.

Tapi, siapakah dirinya untuk berkata seperti itu? Shirogane Naoto tidak tinggal di sebuah dunia fantasi; dia tinggal di sebuah dunia—bumi, yang penuh dengan kesedihan dan kenajisan, di mana kata 'kematian' itu hidup di sana, dan adalah hukum terkuat yang tak bisa diingkari oleh manusia manapun.

'Senpai…,'

Naoto membelalakkan matanya ketika tiba-tiba saja sebuah sensasi dingin menggelayuti kakinya. Detektif kecil itupun cepat-cepat mengangkat mukanya, hanya untuk menemukan seekor kupu-kupu berwarna biru terang yang ternyata sedang hinggap di dengkulnya.

"Ku…pu-kupu?"

Kupu-kupu itu terang, sangat terang, terlebih-lebih jika dibandingkan dengan tempat di mana Naoto sedang berada (ruangan pribadi miliknya di mansion Shirogane. Dan di saat itu, dia tak menyalakan lampunya, sehingga membuat kupu-kupu itu bersinar layaknya kunang-kunang di tengah-tengah kegelapan). Sesaat sebelum jari Naoto berhasil menyentuh kupu-kupu misterius itu, binatang eksotis itu terbang, dengan sayap biru lentiknya yang mengerjap-ngerjap di dalam bayangan. Kupu-kupu itu terus melayang sehingga sampailah dia di depan sebuah kaca.

Dan apa yang terjadi selanjutnya benar-benar melewati batas logika yang bisa dipikirkan oleh Naoto.

Kupu-kupu biru itu kemudian mengibas-ngibaskan sayapnya, memproduksi lautan cahaya berwarna biru yang sama terangnya dengan sayapnya (di mana Naoto menyatakan bahwa hal itu adalah semacam serbuk peri seperti yang telah dibacanya di buku-buku fantasi). Kupu-kupu itu terus dan terus mengeluarkan serbuk ajaib itu, melayang dan berputar-putar sehingga membuat lajur serbuk itu menjadi sebuah putaran.

Dan putaran terbuat dari serbuk biru itu tiba-tiba meledak, dan Naoto melihat bahwa Seta Souji telah berdiri di hadapannya. Nyata dan hidup.

"Sen—,"

Tapi perkataan Naoto cepat-cepat dipotongnya ketika tiba-tiba Souji memberikan sebuah senyuman adiktifnya kepada Naoto yang membuat sang detektif tercekat napasnya akan bagaimana rindunya ia terhadap senyuman itu. Belum sempat sang gadis berkata apa-apa lagi, Souji lalu merogoh-rogoh kantung celananya yang berwarna putih, mengeluarkan benda yang tampaknya adalah sebuah jam berbentuk lingkaran dengan bandul di atasnya, yang kemudian diperlihatkannya kepada Naoto.

"Kita akan terlambat," katanya, sambil tersenyum kembali kepada Naoto yang masih terdiam di tempatnya, mengetuk-ngetuk permukaan jam tersebut yang menunjukkan angka 11 dengan jari berbalut kaus tangan berwarna putih itu. "Ayo, Naoto."

Tanpa berkata-kata lagi, Souji pun mengalihkan pandangannya ke arah cermin berukuran besar yang berdiri di hadapannya. Dan dengan lihai, dia melompat masuk ke dalam cermin tersebut, meninggalkan sang detektif yang masih terdiam ditempatnya yang diselimuti oleh kebingungan.

Naoto –walaupun masih kebingungan dan, jujur saja, ketakutan terhadap apa yang baru saja dilihatnya- cepat-cepat berdiri dari tempatnya tadi duduk, lalu berlari ke depan cermin tersebut untuk memastikan bahwa hal yang dilhatnya tadi adalah nyata.

Dan yang dilihatnya di dalam cermin itu hanyalah seorang gadis berambut biru pendek, dengan mata yang berwarna biru pula, walaupun sklera dari mata gadis tersebut berwarna merah disebabkan oleh banyaknya air mata yang telah ditumpahkannya. Tidak ada Souji di dalam cermin tersebut, hanyalah dirinya seorang.

Tapi entah kenapa, tangannya bergerak-gerak sendiri lalu dengan pelan melanjutkan perjalanannya ke permukaan cermin itu dan menyentuhnya, di mana jarinya yang kecil itu berhasil masuk ke dalam cermin, seperti bagaimana halnya ketika kau mencelupkan tanganmu ke dalam air.

Naoto kemudian mengeluarkan jarinya dari cermin tersebut, masih ragu-ragu dengan apa yang baru saja dilihatnya dan sedang dialaminya. Apakah ini mimpi? Apakah dia mulai gila? Apakah ini semua hanya ilusi yang detektif kecil itu buat, dilahirkan dari kerinduannya terhadap Souji?

Tapi dia tak peduli.

Dia tak peduli apapun.

Hanya peduli terhadap lelaki berambut putih yang dicintainya itu.

Dan dengan tujuan satu-satunya itulah, Shirogane Naoto pun melompat masuk ke dalam cermin tersebut dengan mantap, memulai perjalanannya di dalam dunia imajinasi yang penuh dengan omong kosong dan hal-hal yang tak memungkinkan.

'Aku akan menemukanmu, senpai.'

To be continued


Yah, inilah dia percobaan saia dalam memparodikan Alice in Wonderland. Dan, err… Saia sih awalnya mau buat Souji mati karena kecelakaan kereta, tapi kalau misalkan menurut reader dia mati karena sakit ya boleh, deh –ditabok-

Anyway! Masih inged dengan game yang saia sebutkan tadi? Yah, cuman game simpel, kok. Menebak karakter! Dan tentu saja semua karakter diambil dari SMT (yang kebanyakan adalah dari persona), jadi mudah kan? :)

Ooh, trivia untuk chapter ini: Naoto adalah Alice (ya iyalah! –ditabok-) dan Souji adalah White Rabbit (kelinci yang megang jam berbandul).

Karakter di chapter selanjutnya; kalau yang pertama sih saia nggak tau di novelnya ada atau nggak… Tapi kalau di kartunnya sih ada… Inget pintu yang mau dimasukin Alice yang bisa ngomong? Itu karakternya, dan mulai dari sekarang akan saia sebut sebagai 'The Door'. Dan satu karakter lain yang akan muncul adalah Dormouse (saia tau dia muncul di Mad Hatter, tapi… ya sudahlah, kita membuat fiksi dari fiksi, ok?)

The Door - ?

Dormouse - ?

Hint: Dua karakter ini berasal dari Persona series. Yang The Door itu cowok, dan Dormouse cewek.

Oh well, kalau nggak diikutin juga nggak apa-apa, saia seneng buat Chekhovs Gun ajah. Dan jangan lupa untuk mereview sebagai penyemangat saia membuat chapter selanjutnya ea? :D