Chapter 13 Update. …
INI ENDINGNYA….. .
Gag mau lama-lama, langsung aja.
Naruto milik MASASHI KISHIMOTO-SAMA.
Tapi, 'Can't I Love You?' punya Liekichi-chan...
Warning : Didalam fic ini, saya menempatkan Sakura Haruno sebagai pemeran Antagonis. And because of that, This fic is Full Of OOC.
Selamat Membaca :D
::: Can't I Love You? :::
Previous
BRRUUKK...
Tubuh kurus gadis itu harus tumbang dilantai yang dingin. Menutup matanya rapat-rapat. Mendapatkan hasil dari usahanya yang sejak tadi mati-matian untuk melawan rasa sakit dari tubuhnya. Ya, hasil yang sangat mengecewakan dan menyakitkan hati.
Chapter 13
"Ba..bagaimana keadaannya sensei?"
"Tak mungkin. Hinata tak mungkin bertahan lebih dari ini. Ia sekarat, dan sepertinya waktu yang ditentukan telah habis. Lebih baik kau menghubungi Hiashi-sama, agar kembali keKonoha secepatnya."
Mendengar penjelasan itu, Neji Cuma bisa menjambak kuat bagian depan rambutnya. Mata lavender keperakannya tak henti-hentinya mengeluarkan air mata dari sana. Lelaki itu sampai senggukan hebat, karena tak kuasa menahan gejolak kesedihan batinnya. Tak percaya dengan semua hal yang baru saja ia dengar. Membuatnya merutuki diri sendiri karena tak becus dalam menjaga Hinata.
Bagaimana? Bagaimana mungkin kehidupan gadis mungil itu harus berakhir seperti ini? Kenapa harus secepat sekarang ini? Kenapa?
Neji sungguh-sungguh tak mampu untuk menahan segala kesedihannya. Kalau bisa, ia ingin menangis dan menjerit sepuas-puasnya. Ingin menghilangkan rasa sakit yang bersarang didadanya. Sakit dan tak tega karena melihat keadaan Hinata yang begitu menyayat.
"Maafkan aku Neji, tapi inilah kenyataan yang terjadi. Aku juga tak menyangka akan seperti ini. Kau lihat sendirikan, detak jantungnya sangat-sangat lemah. Nafas Hinata juga terdengar putus-putus." jelas Shizune dengan suara yang bergetar. Jelas, bukan hanya Neji yang terpukul dengan semua ini, tetapi juga semua orang. Semua orang yang selalu menyayangi dan ingin melindungi Hinata.
Lelaki berambut coklat itu merasa dadanya semakin sesak, lututnya pun semakin melemas saja. Kalau tangan kokohnya tak ia gunakan untuk menopang tubuhnya, mungkin ia telah terjatuh sejak tadi.
"Aku mengerti Shizune-sensei." jawab Neji mencoba untuk tegar. Lelaki itu lantas membawa langkah kakinya untuk keluar dari ruangan sang sensei. Menapaki koridor demi koridor yang menjadi saksi tangisannya.
Lelaki itu berhenti sesaat untuk mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Mengatur nafanya yang tak tentu hingga membuat kepulan uap dingin, tampak jelas disekitar bibir lelaki itu. Tangan kokohnya yang satu lagi, lantas ia gunakan untuk menyeka air mata yang memang sudah tumpah. Tak tega menyaksikan kehidupan Hyuuga Hinata yang sebentar lagi akan berakhir.
Menyisakan kenangan yang ada. Kenangan akan kelembutan dan kebaikan hati sosok sang gadis. Ketulusan yang selalu saja terpacar dari dirinya membuat gadis itu kian sempurna. Hyuuga Hinata, sosok terhebat yang pernah ada.
Neji mencoba untuk menghubungi Hiashi-sama yang sedang ada urusan diSunagakure. Sudah lama pemimpin clan Hyuuga tersebut pergi bersama dengan Hyuuga Hanabi. Meninggalkan Neji dan Hinata berdua saja dimansion Hyuuga yang luar biasa luasnya.
Dengan sabar, lelaki itu mencoba untuk menunggu jawaban dari sana. Berharap sang paman mau mengangkat telepon darinya. Ia terus menunggu, walaupun sangat lama. Neji mengerti bahwa pamannya sangatlah sibuk. Oleh karena itu, ia tak pernah sembarangan mengganggu pekerjaan Hiashi-sama.
Telepon disana, terdengar diangkat seseorang. Membuat Neji sedikit menyunggingkan senyuman dibibirnya. Tak sia-sia dengan apa yang telah ia lakukan.
"O..ohayou gozaimasu, Hiashi-sama." sapa Neji mencoba untuk memulai percakapan diantara mereka.
"Hn, Ohayou. Ada apa kau meneleponku pagi-pagi begini?" tanya Hyuuga Hiashi yang langsung bertanya pada pokok permasalahan. Ia tak mau untuk mengulur waktu lebih banyak lagi.
Neji menarik nafasnya dalam-dalam, untuk mengontrol perasaannya. Rasa sesak yang timbul didadanya membuat kedua mata lelaki itu semakin memanas saja.
"Hinata, waktu yang ia punya tidak banyak lagi. Pulanglah paman. Dia pasti akan sangat membutuhkanmu." jelas Neji dengan suara yang bergetar.
Takkan ada yang tahu seberapa besar rasa sayang seorang Hiashi Hyuuga terhadap putri sulungnya, Hyuuga Hinata. Hanya dirinya yang mengetahui semua itu. Memang, selama ini ia selalu saja melatih keras Hinata. Tapi, semua itu ia lakukan semata-mata untuk membuat putrinya menjadi lebih kuat lagi. Bukanlah bermaksud untuk menyiksanya.
Untuk beberapa saat pemimpin clan Hyuuga tersebut terdiam ditempatnya. Mencoba untuk mencerna kalimat yang baru ia dengar. Dan saat itu pula, ada perasaan sakit yang menusuk telak hati Hiashi. Mata lavender keperakan milik lelaki paruh baya itupun, tampak mulai diselubungi oleh cairan bening.
"Baiklah." jawabnya tegas, namun tetap tak bisa menyembunyikan rasa sedih yang bersarang didadanya. Sosok ayah itu, lantas mengakhiri percakapannya dengan Neji.
Hatinya tak sanggup untuk membohongi perasaannya sendiri. Rasa sakit yang pernah datang dulu, saat kematian istri tercintanya- kini harus kembali lagi. Rasa sakit yang menyesakkan dadanya.
Tanpa ia sadari, dirinya telah mengangis. Setetes air mata telah membasahi pipi seorang Hiashi Hyuuga. Untuk kedua kalinya ia harus merasakan sakit yang tak bisa untuk ditahan. Rasa sakit yang harus mencuat, karena akan kehilangan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya.
:: Can't I Love You? ::
Neji melewati lorong demi lorong rumah sakit dengan langkah gontai. Beberapa kali ia menyeka air matanya dengan lengan miliknya. Mencoba untuk meredam isakan yang hendak keluar dari bibir lelaki Hyuuga tersebut. Membendung air mata yang ingin mengalir dan membasahi pipi miliknya.
Lelaki itu terus berjalan, hingga ia sampai tepat didepan ruangan Hinata. Ruangan dimana Hinata dirawat saat ini, dengan berbagai macam selang yang terpasang ditubuh mungilnya. Mata lavender milik Hinata, kini tertutup rapat. Bibir gadis itupun tampak kian membiru saja.
Lelaki berambut panjang itu, langsung mendudukkan tubuhnya yang memang sudah lemas, didepan ruangan Hinata. Karena ia tahu, dirinya tak boleh terus-terusan berada dalam ruangan sang Hairess, mengingat bahwa dibutuhkannya kesterilan didalam sana. Seandainyapun ia ingin masuk, Neji harus menggunakan pakaian khusus untuk kedalam sana.
"Bagaimana mungkin?" lirih Neji dengan suara tercekat
"Bagaimana mungkin bisa secepat ini? Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku saja. Hinata selalu saja tersenyum walaupun ia tahu bahwa dirinya akan segera pergi jauh. Selalu saja menyembunyikan semua masalahnya sendiri. Selalu saja seperti itu." gumam Neji disela-sela tangisannya. Lelaki itu juga tak mengerti, mengapa air mata itu tak dapat berhenti.
"Aku ini tidak pernah becus menjadi kakak. Bahkan aku tidak bisa melindunginya. Aku ini benar-benar bodoh." sambungnya lagi sambil meremas kuat bagian depan rambutnya.
Lelaki itu lantas menutupi wajahnya yang telah basah oleh air mata. Menyesal, dirinya menyesal karena tak bisa membalas kebaikan hati Hinata selama ini.
Tenten yang memang dari tadi sudah berada dibelakang Neji, mencoba untuk menghampiri lelaki yang terihat sangat kacau tersebut. Mencoba untuk memberikan ketenangan walaupun ia tahu bahwa Neji pasti sedang sangat hancur saat ini.
Gadis cantik itu melangkahkan kakinya, dan mengambil posisi untuk duduk disamping sang Hyuuga. Bukan, bukan hanya Neji saja yang sedih dengan hal ini, tapi semua orang yang selalu menyayangi Hinata. Orang-orang yang akan selalu ada untuk gadis lembut itu. Semuanya hancur, sedih tak terbendung.
Mata indah Tenten pun, tampak memerah dan membengkak. Gadis itu mengerti kegalauan sang kekasih, karena Neji lah yang sedang sangat-sangat terluka.
Tenten mencoba untuk membawa tangan mungilnya tepat dipunggung Neji. Mencoba untuk menenangkan lelaki yang masih saja sesenggukan tersebut. Tak tega, gadis itu tak tega melihat Neji yang seperti ini. Bagaimana mungkin?
"Sudahlah, Hinata pasti akan baik-baik saja." ucap Tenten mencoba untuk menenangkan. Gadis itu masih terus mengelus lembut punggung lelaki disampingnya. Suara gadis itupun terdengar bergetar hebat.
"Tak mungkin Hinata akan baik-baik saja. Kau sudah dengar dari Shizune-sensei kan? Hinata tidak akan bisa bertahan lebih dari ini. Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak becus menjadi seorang kakak." jelas Neji masih dengan air mata yang membanjiri pipi lelaki itu. Uap tampak kian jelas mengepul disekitar bibirnya.
"Aku mengerti Neji, kaulah yang paling terluka atas kejadian ini. Tapi apa kau tahu? Hinata pasti akan sangat sedih bila melihatmu seperti ini. Aku tahu, karena akupun merasakan apa yang kau rasakan."
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Neji yang langsung mengangkat wajahnya. Menatap lekat-lekat gadis dihadapannya untuk memperlihatkan betapa banyak rasa sakit yang tengah mendera dirinya. Tak kuasa ntuk menahan air mata.
"Tersenyumlah, tersenyumlah untuknya. Aku yakin Hinata pasti akan sangat senang jika kau melakukan itu semua." jelas Tenten yang kini mengangkat tangan mungilnya. Membasuh air mata yang telah membanjiri pipi Neji. Berharap lelaki itu bisa merasa sedikit tenang dan lega karena kehadirannya.
"Tapi ini semua salahku, Tenten. Aku tak becus."
"Bukan, ini bukan salahmu. Semua yang terjadi pada Hinata, adalah jalan terbaik yang telah dipilih oleh Kami-sama. Jadi, kau tak boleh terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri." jelas Tenten lagi yang kini menangkupkan kedua tangan mungilnya diwajah Neji. Membingkai wajah lelaki itu dengan sangat lembut.
"Hinata beruntung, karena mempunyai kakak sepertimu." sambung Tenten. Neji yang merasa sedikit lega karena kalimat yang meluncur dari bibir mungil gadisnya, langsung memeluk erat gadis itu. Mengistirahatkan kepalanya dibahu kecil Tenten.
"Aku sangat menyayangi Hinata."
"Aku tahu itu, Neji. Aku juga sangat menyayangi adikmu." kata Tenten yang membalas pelukan sang kekasih.
Tenten yang mengingat akan sesuatu, langsung melepas pelukannya dari Neji dengan sangat perlahan. Gadis itu lantas menatap Neji yang masih menangis sesenggukan.
"Apa kau ingat sesuatu hari ini?" tanya Tenten yang entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu langsung menangis.
"Apa? Bahkan aku sudah tak mampu mengingat apapun."
"Hari ini tanggal 27 Desember. Itu artinya, hari ini adalah hari ulang tahun Hinata." lirih Tenten dengan suara yang hampir tak terdengar. Tapi kesunyian yang ada, membuat setiap kata yang meluncur dari bibir mungil gadis itu dapat terdengar dengan jelas.
"..."
Neji membeku ditepatnya. Tak berkutik sedikitpun.
:: Can't I Love You? ::
Naruto setiap hari selalu saja menjenguk Sakura. Mengabaikan semua pekerjaannya hanya demi gadis berambut pink itu. Tapi kenapa? Kenapa ia tak melakukan semua hal tersebut kepada Hinata? Jelas-jelas Hinata lah yang paling membutuhkan dirinya saat ini. Tapi sang Rokudaime itu terlalu egois. Ia hanya memikirkan perasaannya saja. Menyakiti satu pihak yang memang sudah tak berdaya.
Rumah sakit tempat Sakura dirawat, tidaklah sama dengan rumah sakit dimana Hinata sedang terbaring tak sadarkan diri saat ini. Kecelakaan yang menimpa Sakura, membuat gadis itu harus dibawa kerumah sakit terdekat.
Tapi, ada satu kenyataan yang sama sekali tak terfikirkan oleh sang Hokage. Sakura, dia adalah ninja medis yang bisa menyembuhkan penyakit ataupun luka pada dirinya dalam seketika. Tak perlu harus dirawat dirumah sakit, dalam jangka waktu yang lama.
Tapi sekali lagi, gadis itu memang benar-benar licik. Ia sengaja mengulur waktu, agar Naruto terus memperhatikannya tanpa menatap Hinata sedikitpun. Jahat.
Sang Hokage memasuki rumah sakit yang terbilang sederhana itu dengan senyuman yang terukir dibibirnya. Senang, mungkin Naruto senang karena akan bertemu dengan seseorang yang ia cintai. Seseorang yang bahkan selalu saja menyakiti Hinata, tanpa diketahuinya.
Apa sebesar itukah rasa cintanya terhadap Sakura? Apa benar, rasa cinta yang timbul dari dalam hatinya memang cinta tulus? Atau, hanya perasaan menggebu-gebu hanya karena rasa ingin memiliki tanpa mencintai? Entahlah. Hanya Naruto yang mengerti dengan perasaannya.
Bagaimana mungkin lelaki itu bisa tersenyum sementara gadisnya sedang dalam perjuangan antara 'Hidup dan Mati'. Bahkan, sedikitpun ia tak tahu bahwa Hinata sedang mengalami masa kritis dan sedang dirawat dirumah sakit.
Naruto terlalu egois. Tak pernah sedikitpun memberikan perhatian kepada gadis yang selalu ada untuknya. Gadis yang rela mati untuknya. Hyuuga Hinata.
Naruto mulai memasuki gedung rumah sakit tempat Sakura dirawat. Membawa langkah lebar miliknya untuk menuju keruangan yang ia tuju. Menemui gadis yang selalu saja membohongi dirinya.
Lelaki itu terus memacu langkahnya, hingga kini ia benar-benar tepat berada didepan ruangan Sakura. Membawa kepalan tangan kokohnya untuk mengetuk pintu ruangan tersebut, sebelum akhirnya mendapakan persetujuan masuk dari orang yang berada didalam sana.
"Silahkan masuk." ucap Sakura dari dalam.
Naruto yang mendengar kata itu, langsung menggenggam knop pintu dan membukanya dengan sangat perlahan. Lelaki itu sempat memberikan senyuman manis dibibirnya, yang kemudian menutup kembali pintu ruangan Sakura.
Sang Rokudaime melangkahkan kakinya untuk memperpendek jarak dirinya dengan Sakura. Menatap mata emerald dihadapannya, dengan tatapan yang tak pernah ia tunjukkan kepada Hinata, kekasihnya. Tatapan yang begitu lembut dan penuh dengan kasih sayang.
"H..hai Sakura-chan..." sapa Naruto agak canggung.
"Hai, Naruto-kun." balas Sakura dengan senyuman yang melengkung indah dibibirnya.
Naruto lantas berjalan untuk lebih memperpendek jarak diantara mereka lagi. Mendudukkan dirinya tepat disamping tempat tidur Sakura. Menunjukkan cengiran khasnya, yang sudah lama tak ia perlihatkan. Sakura yang melihat Naruto dari jarak dekat seperti ini, hanya dapat tertegun tak percaya. Tak percaya kalau Naruto memang benar-benar tumbuh menjadi remaja yang sangat tampan. Ketampanan yang membuat dirinya lupa akan segalanya.
Untuk sesaat keduanya asyik dengan kegiatan mereka. Saling memandang satu sama lain, tanpa berniat sedikitpun untuk memecahkan keheningan yang tercipta. Biru laut itu tampak memandang sendu kearah emerald. Entahlah, entah apa maksud dari pandangan itu.
Naruto yang terlebih dahulu menyadari perbuatannya, langsung mengalihkan pandangannya kearah lain. Menghindari kontak langsung dengan mata berwarna emerald yang selalu saja membuat hatinya goyah. Membuat sang kekasih selalu saja tersiksa karena perbuatannya.
Naruto sama sekali tak mengerti apa yang membuat hatinya gundah sejak tadi. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Bukan, bukan karena ia gugup berada didekat Sakura. Dirinyapun tak mengerti dengan perasaan yang mengganjal hatinya.
Sang Hokage sama sekali tak mengerti dengan maksud perasaannya saat ini. Perasaan yang sudah ia tepiskan berkali-kali. Mencoba menghilangkan perasaan 'Takut' yang menyelimuti dirinya.
Tapi apa? Rasa takut? Apa yang harus ditakutkan oleh Hokage sekuat dirinya? Apa yang mesti ia khawatirkan? Bukankah selama ini semuanya berjalan baik-baik saja? Lalu, kenapa rasa takut itu bisa hadir? Rasa takut terhadap apa?
Naruto menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lagi-lagi ia mencoba untuk menepiskan perasaan mengganjal dan ketakutan yang hadir dalam dirinya. Tapi, semua yang ia lakukan selalu saja berujung pada kesia-siaan. Tak bisa, dirinya tak bisa menghilangkan semua perasaan itu.
"Naruto-kun, kau kenapa?" tegur Sakura yang sedikit heran melihat perbuatan Naruto sejak tadi.
"Ah.., tidak apa-apa Sakura-chan. A..aku baik-baik saja." jawab Naruto yang mencoba untuk tersenyum. Tapi entah mengapa, senyuman itu terlihat sangat aneh dan terlalu dipaksakan.
"Oh..." jawab Sakura yang merasa sedikit curiga dengan Naruto.
"Sakura-chan, kenapa kau belum makan? Ini sudah waktunya makan siang." tanya Naruto yang melihat makanan yang masih tergeletak dengan utuh dimeja yang terdapat disamping tempat tidur gadis Haruno tersebut.
"Aku tidak selera makan." jawabnya manja.
"Kalau begitu aku suapi. Apa kau mau?"
"Umh..." angguk Sakura begitu antusias. Gadis itu tak henti-hentinya memamerkan senyum dibibirnya.
Naruto yang mendapat anggukan antusias itu, langsung membawa tubuh tegapnya untuk mengambil makanan itu.
Nyuut...
"Hinata." gumamnya begitu pelan.
Ada perasaan sakit dan perih dihatinya. Sejak tadi fikirannya terus saja mengarah pada Hinata. Tak pernah ia merasakan hal seperti ini. Dadanya terasa sakit tiap kali mengingat wajah gadis itu. Gadis yang sudah sejak kemarin tak ia ketahui kabarnya. Gadis yang ia tinggalkan begitu saja dikantornya.
Lelaki itu membawa sebelah tangan kokohnya untuk menyentuh dadanya. Mencoba untuk menghilangkan perasaan yang sudah menyiksanya seharian penuh. Perasaan yang entah mengapa, ingin membuatnya menangis. Lelaki itu juga tak mengerti kenapa dirinya bisa menjadi selemah ini. Mata biru lautnya tampak terbungkus oleh cairan bening.
Naruto terdiam cukup lama didepan meja tempat makan siang Sakura berada. Membuat gadis Haruno itu semakin merasa curiga saja.
Naruto memejamkan kedua matanya, masih dengan memegang bagian dada bidangnya. Sekuat tenaga menghilngkan perasaan yang begitu menyakitkan tersebut.
'Ada apa denganku? Kenapa bisa menjadi seperti ini. Rasanya wajah Hinata terus saja menghantuiku. Ada apa dengan Hinata?' batin Naruto. Jantungnya berdetak semakin cepat saja.
"Naruto, kenapa lama sekali." kesal Sakura yang membuat Naruto tersadar akan lamunannya.
"Ah, iya Sakura-chan, maaf."
Naruto langsung berjalan mendekati tempat tidur Sakura. Duduk tepat disamping gadis berambut pink itu. Membantu gadis itu untuk duduk diatas tempat tidurnya, dan menggunakan bantal sebagai penyanggah punggungnya.
Dengan sangat perlahan dan berhati-hati, Naruto mulai menyuapkan makanan itu kedalam mulut Sakura. Menunggu setiap kunyahan yang akan ditelan oleh gadis itu. Melakukan hal tersebut secara berulang-ulang.
'Dulu, waktu aku sakit, Hinata yang merawatku. Dia juga yang menyuapiku dengan sangat sabar. Tapi apa? Apa yang bisa aku lakukan saat ia sakit? Entahlah.' batin Naruto yang terus saja mengingat Hinata. Mata biru laut itu terlihat begitu sendu.
"Naruto, ada apa?" tanya Sakura yang lagi-lagi melihat Naruto terus saja melamun.
"Ah, tidak apa-apa." jawabnya cepat. Naruto kembali menyuapkan makanan untuk Sakura.
'Sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku yang berlebihan saja.' batin sang Rokudaime itu lagi, sambil menggelengkan kepalanya. Menepis perasaan itu jauh-jauh.
"Naruto-kun, mungkin hari ini aku akan terus sendirian disini. Kau mau menemanikukan? Kumohon..." pinta Sakura memelas. Naruto tak sanggup menolak permintaan gadis itu.
Entah karena terpaksa atau tidak, lelaki itu pun menganggukkan kepalanya seraya tersenyum kepada Sakura.
"Tidak apa-apa kan Naruto-kun?" tanya gadis bermata emerald itu mencoba untuk meyakinkan.
"Tentu saja."
"Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu. Masih banyak dokumen yang harus kau tanda tangani kan?" tanya Sakura lagi mencoba untuk memancing Naruto.
"Sudahlah, biarkan saja." jawab sang Hokage singkat.
Sakura yang mendapatkan jawaban tersebut, hanya tersenyum licik tanpa diketahui oleh Naruto.
:: Can't I Love You? ::
27 Desember, hari dimana seharusnya Hinata menikmati kebahagiaan hidupnya. Hari yang sudah pasti selalu ditunggu-tunggu oleh gadis Hyuuga tersebut, sepertinya akan menjadi hari terakhir untuk dirinya pula. Hari yang akan menjadi saksi kepergian sang Hyuuga untuk selama-lamanya.
Neji yang baru menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahun adiknya, langsung pergi sesaat untuk membelikan kado untuk Hinata. Sebuah boneka beruang berwarna putih bersih yang berukuran lumayan besar. Boneka yang terlihat sangat manis dan lembut. Seperti kepribadian adik tersayangnya.
Setelah itu, ia dan Tenten lantas meminta izin kepada Shizune-sensei untuk memasuki ruangan Hinata. Mereka memakai pakaian khusus sebelum memasuki ruangan tersebut. Dengan sangat perlahan, Neji mulai memegang knop pintu ruangan tempat Hinata dirawat, beserta Tenten yang berada dibelakangnya. Lelaki itu tak tega saat melihat pemandangan dihadapannya. Ia sampai menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang hendak tumpah.
Neji dan Tenten pun mulai memasuki ruangan yang begitu bersih itu. Membiarkan bau obat menelusup ke indra penciuman mereka. Memperhatikan tubuh mungil Hinata yang kini tergeletak tak berdaya dengan segala macam selang infuse yang terhubung ditubuhnya. Bahkan, gadis itupun harus menggunakan selang oksigen untuk membantu pernafasannya yang memang tak stabil lagi. Detak jantungnya setiap detik semakin melambat dan melambat saja.
Neji berjalan mendekati Hinata yang masih memajamkan matanya, tak sadarkan diri. Dengan penuh kasih sayang, lelaki itu mengusap puncak kepala Hinata, sebelum akhirnya memberikan ciuman lembut didahi gadis itu.
"Otanjuobi omedetto, Hinata-chan." ucapnya lirih.
Neji masih terus membelai rambut Hinata. Memperbaiki poni indigonya yang tampak sedikit berantakan. Bibir mungil itu tampak semakin membiru saja.
"Maaf, kakak lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunmu. Hari yang sudah sangat kau tunggu-tunggu. Kau memaafkan kakak kan, Hinata-chan?" tanya Neji berharap mendapatkan jawaban lembut dari adiknya.
Tapi ia tahu, bahwa harapannya hanyalah harapan bodoh. Harapan yang takkan mungkin terjadi.
Tenten tahu, bahwa Neji sangat terpukul saat ini. Dirinya hanya bisa mengelus lembut punggung Neji.
"Ini, kakak membelikanmu boneka beruang. Dia lucu sekali. Lihat, dia tersenyum padamu. Kakak yakin, beruang ini pasti sangat ingin melihatmu bangun. Dia ingin melihat senyummu. Bahkan, beruang ini juga sangat ingin bermain salju diluar sana dengan dirimu." untuk sesaat lelaki itu menghentikan kata-katanya. Membiarkan air mata mengalir dan membasahi pipi miliknya. Suaranya sudah bergetar saat ini.
Neji sadar, bahwa Hinata tak mungkin bisa menjawab pertanyaannya. Tapi ia yakin, bahwa Hinata bisa mendengar semua ucapannya.
"Hinata-chan, ini kado dari kakak. Kakak tahu, Hinata bisa dengar kakak kan, iya kan?" sambung Neji lagi sambil menggenggam erat tangan kecil yang terasa sangat dingin itu.
"Kau tahu, sebentar lagi semua teman-teman kita akan datang kesini. Ini sudah sore, Hinata-chan. Apa kau tidak lelah terus-terusan tertidur seperti ini? Apalagi, ini adalah hari ulang tahunmu. Apa kau tidak ingin mendapatkan ucapan selamat dari mereka? Bangunlah, kakak mohon padamu. Kalau kau bangun, kita pasti akan membuat pesta disini untukmu. Kau akan meniup lilin, makan kue, memanjatkan permohonan, dan lain sebagainya. Apa kau tidak ingin seperti itu?" tanyanya lagi yang kini mulai menempelkan tangan dingin Hinata kepipi miliknya.
Tenten pun tak sanggup dengan semua ini. Gadis itupun akhirnya menangis. Tak tega menyaksikan pemandangan dihadapannya. Ia membekap bibir mungilnya dengan sebelah tangan lentiknya. Memejamkan matanya seerat mungkin, membiarkan air mata itu terjun dengan leluasa.
"Hinata-chan, kau tahu, sebentar lagi Hiashi-sama dan juga Hanabi-chan akan datang ke Konoha. Mereka sengaja datang untuk melihat keadaanmu. Mereka datang jauh-jauh dari Sunagakure, Hinata-chan. Apa kau tidak rindu pada mereka berdua?"
Tes...
Pertanyaan Neji yang satu ini sukses membuat air mata mengalir membasahi pipi mulus Hinata. Gadis itu menangis dalam pejaman matanya.
Neji dan Tenten yang melihat hal itu, merasa semakin sesak saja. Mereka tahu benar, bahwa Hinata sangat merindukan sosok ayah dan adik perempuannya. Tapi, kenyataan yang ada membuat gadis itu harus selalu memendam rasa rindu dan sayang itu dalam-dalam.
"Tuh kan, Hinata-chan nangis. Itu artinya, Hinata-chan sangat rindu pada mereka berdua. Oleh karena itu, kakak mohon bangunlah..." pinta Neji untuk yang kesekian kalinya. Suara lelaki itu sudah tak terdengar lagi. Air mata yang mengalir dimata lavendernya, hanya membuat dirinya merasakan rasa sesak yang tiada tara. Begitu juga dengan Tenten, gadis itu sungguh tak sanggup menyaksikan ini semua.
"Sudahlah, Neji..." ucap Tenten dengan suara yang tak kalah bergetar. Tak pernah ia lihat Neji yang seperti ini.
Lelaki berambut panjang itu hanya menganggukkan kepalanya, mengerti. Ia letakkan boneka beruang tersebut disamping kepala gadis itu. Membelai lembut kembali puncak kepala Hinata, sebelum akhirnya memberikan ciuman sayang sekali lagi didahi Hinata. Dengan sangat lembut ia membasuh air mata yang mulai mengering dipipi gadis Hyuuga tersebut.
"Jangan menangis lagi ya, Hinata-chan. Kakak menyayangimu..." bisiknya tepat ditelinga Hinata.
Neji lantas menjauh dari tubuh mungil Hinata. Membiarkan Tenten mendekati gadis mungil yang tengah tertidur lelap. Ia pun lantas memberikan kecupan sayang didahi Hinata. Mengucapkan kalimat yang pasti sangat dinantikan oleh Hinata.
"Otanjoubi omedetto, Hinata-chan..." bisiknya yang kemudian berjalan mendekati Neji.
Mereka tahu, bahwa mereka tak boleh terlalu lama berada didalam ruangan Hinata. Hingga mau tak mau, keduanya harus pergi meninggalkan Hinata sendirian diruangannya. Meninggalkan sang putri yang kini kembali meneteskan air mata dari pejaman mata indah tersebut.
:: Can't I Love You? ::
Suhu udara kini terasa semakin turun dan dingin saja. Pertanda bahwa kegelapan malam sudah mulai datang menggantikan siang. Menurunkan salju berwarna putih lembut itu dalam kapasitas yang tak bisa dianggap remeh. Mengakibatkan tubuh menggigil karena harus menahan dan melawan rasa itu.
Semua Ninja seangkatan dengan Hinata, telah datang kerumah sakit tersebut. Berlalu lalang secara bergantian memasuki ruangan Hinata, untuk mengucapkan kata sakral yang sudah pasti selalu dinantikan gadis itu.
Mereka semua terus menunggu dirumah sakit tersebut. Ingin melihat dan menantikan bangunnya sang Hyuuga. Tapi mereka tahu, bahwa penantian mereka akan menjadi hal yang sia-sia saja.
"Jadi, Hinata telah difonis tidak akan bertahan lebih dari ini. Lalu, kenapa sensei tak pernah memberitahukan kepada kami?" ucap Ino yang amarahnya sudah tak terbendung. Gadis it terlihat berkaca-kaca. Semuanya tercengan tak percaya mendengar penjelasan Shizune-sensei tentang keadaan Hinata.
"Maaf, tapi ini adalah keinginan Hinata. Dia tak ingin kalian mengetahui semua ini." jelas Shizune yang menahan tangisnya.
Semua terdiam, lesu, tertunduk menyesal. Kenapa, kenapa mereka tak menyadari bahwa selama ini gadis itu sakit? Kenapa mereka terlalu bodoh? Kenapa?
Semuanya merutuki diri sendiri. Menyesal dengan keadaan yang terjadi.
"Lalu, apakah Naruto telah mengetahui semua ini?" tanya Kiba dengan tangan yang memang sudah terkepal kuat.
"Belum. Hanya dia yang belum mengetahui kabar Hinata. " jawab Shizune yang tertunduk menyesal.
"Brengsek." tambah Kiba yang sudah tak sanggup meredam emosinya. Lelaki itu ingin membunuh Naruto saat ini juga.
"Lantas, dimana dia sekarang?"
"Dia sedang menjaga Sakura. Sakura kecelakaan, tapi kedaannya sudah mulai membaik."
"Apa mau dia sebenarnya?" amuk Kiba yang langsung melayangkan tinjunya pada dinding didekatnya. Menjadikan tempat itu sebagai pelampiasan.
"Tenanglah, Kiba." kata Shizune mencoba untuk menenangkan.
Banyak dari teman-temannya yang sudah menangis. Tak menyangka bahwa Hinata yang baik hati akan berakhir seperti ini.
"Percuma saja kau marah seperti itu. Karena Hinata, dia menyuruhku agar kita semua tak mencampuri hubungannya dengan Naruto. Ia ingin menyelesaikannya sendiri." tutur Neji dengan nada dingin. Tampak jelas, lavender itu begitu kosong.
Keheningan kembali menyelimuti ruanga Shizune-sensei. Semuanya tenggelam dalam amarah, kebencian, bahkan penyesalan yang sangat mendalam. Tapi sayang, kesunyian itu harus terganggu saat...
BRRAKK
Seorang perawat langsung membuka pintu ruangan Shizune-sensei dengan terburu-buru. Keringat tampak mengucur didahinya. Tapi akhirnya, perawat itu malah tersenyum kepada Shizune-sensei.
"SHI..SHIZUNE-SENSEI, HINATA HYUUGA TELAH SADAR..." ucapnya dengan nafas tak beraturan.
Shizune dan Neji yang mendengar penuturan itu, langsung berlari secepat mungkin menuju ruangan Hinata. Ada perasaan senang pada diri keduanya. Tapi, apakah mereka tahu untuk apa gadis Hyuuga itu terbangun? Tidak bukan.
Teman-teman mereka yang lain, hanya bisa menunggu diruangan Shizune. Mereka tak boleh ikut campur dalam masalah ini.
Shizune masuk keruangan Hinata dengan cepat. Ia langsung memeriksa keadaan tubuh Hinata. Sama saja, tak ada perbaikan dan pemulihan sedikitpun pada tubuh mungil itu. Malah, tubuh Hinata semakin melemah dan melemah saja.
"Hinata-chan, kau dengar aku?" tanya Shizune yang begitu sedih menyaksikan Hinata yang terus menangis. Menangis tanpa isakan yang keluar dari bibir mungilnya.
"Umh...Na..Naruto-kun. Mana Naruto-kun?" tanya gadis itu dengan suara yang begitu lirih. Uap tampak begitu jelas mengepul dari bibir mungilnya. Mata lavendernya pun, masih belum bisa terbuka secara utuh. Mata indah itu tampak sekuat tenaga untuk menghalangi kelopaknya untuk tak terus menyembunyikan lavendernya.
"Na..Naruto, dia..."
"To..tolong sensei, panggilkan Na..Naruto-kun kesini. Aku ingin bersamanya. Ku..kumohon, ini permintaan terakhirku." ucap Hinata dengan nafas yang putus-putus. Air mata tampak menggenang dikedua matanya, walaupun gadis itu belum membuka mata indah itu dengan sempurna.
Neji hanya bisa diam ditempatnya. Terpaku tak percaya mendengar ucapan dari bibir mungil adiknya. 'Permintaan Terakhir'? Bagaimana mungkin?
"Tunggulah sebentar, Hinata-chan. Kakakmu sedang mengusahakan secepatnya. Bertahanlah..." tutur Shizune sambil menggenggam tangan Hinata yang sudah terasa sangat dingin. Memperhatikan wajah jelita yang tampak sangat gelisah tersebut. Gadis itu sampai harus menggerakkan kepalanya beberapa kali, kekanan dan kekiri demi untuk meredam rasa sakit yang sudah tak tertahankan.
Neji yang mengerti maksud sang sensei, lantas keluar ruangan untuk segera menghubungi sang Rokudaime. Memberitahukan kepadanya, bahwa seorang gadis Hyuuga sedang terbaring lemah tak berdaya dan saat ini sangat membutuhkan dirinya.
Lelaki itu segera mengambil ponselnya. Mencari nama sang Rokudaime didalam kontak nama yang tersimpan disana.
Tuut...
Lelaki keturunan Hyuuga itu merasakan sedikit kelegaan saat panggilannya tersambung pada sang Hokage. Lama ia menunggu, tak ada tanda-tanda Handphone itu akan diangkat.
Tanpa kenal lelah, lelaki itu kembali menelepon lelaki blonde tersebut, dan kali ini usahanya berhasil.
"Ada apa Neji?" kata seseorang diujung sana yang langsung bertanya tanpa basa-basi.
"Naruto, kau dimana sekarang?"
"Aku sedang keluar membelikan Takoyaki untuk Sakura-chan. Dia sedang sakit. Memangnya ada apa?" Neji yang mendengar penuturan sang Hokage, hanya bisa tersenyum miris. Bagaimana mungkin lelaki itu bisa memperhatikan gadis lain, disaat gadisnya sendiri sedang sangat membutuhkan dirinya.
"Hinata sedang sakit. Dia dirawat dirumah sakit Konoha sejak kemarin. Dia, dia membutuhkanmu saat ini Naruto." jelas Neji penuh dengan penekanan. Lelaki itu tak tega melihat keadaan adiknya.
Naruto yang mendengar hal tersebut, entah mengapa merasakan perasaan aneh lagi dalam dirinya. Entah mengapa hatinya terasa sangat perih. Tapi mau bagaimana lagi, keegoisan mengalahkan segalanya.
"Maaf, aku tidak bisa. Sakura-chan sedang sendirian saat ini. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Lagi pula, Sakura-chan juga belum makan."
"Hey, disaat sepenting ini kau malah memikirkan gadis lain? Kau tidak tahu bagaimana keadaan Hinata sekarang. Dia sangat membutuhkanmu. Sejak tadi, dia terus saja memanggil namamu. Kenapa kau memperlakukan adikku seperti ini?" teriak Neji yang amarahnya mulai tersulut. Ia sangat tak menyangka dengan semua sikap Naruto.
Untuk sesaat Naruto terdiam ditempatnya. Entah mengapa, Neji merasakan bahwa matanya mulai memanas. Lelaki itu tak sanggup untuk membendung kesedihan dalam dirinya.
"Untuk sekali ini saja, aku memohon padamu Rokudaime-sama. Tolong datang kesini. Hinata sangat membutuhkanmu sekarang." ucapnya penuh penekanan dan dengan nada memohon.
Lagi-lagi Naruto harus membeku ditempatnya. Baru pertama kali ia mendengar seorang Hyuuga Neji memohon kepada dirinya. Hyuuga Neji yang bahkan berhati dingin, sedingin es yang membeku.
"Ta..tapi."
"Kumohon."
"Baiklah." jawab Naruto yang akhirnya mengalah.
Sejujurnya, ada perasaan tak tega dalam diri sang Rokudaime tersebut. Tak tega kalu harus melihat 'kekasihnya' yang terus menatikan kehadiran dirinya. Tapi dilain sisi, ia juga sedang menghawatirkan keadaan Sakura karena gadis itu sedang sendirian saat ini.
Entahlah, sang Hokage tak pernah tahu betapa sang Hyuuga sedang sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Menemaninya hanya untuk malam ini. Menjaganya hingga Hyuuga harus tertidur lelap untuk selamanya.
Setelah memutuskan hubungan telepon dengan Naruto, Neji lantas kembali memasuki ruangan Hinata. Lelaki itu mendekat kearah Shizune-sensei yang masih memeriksa keadaan Hinata dengan sangat teliti. Lelaki itu terus memperhatikan wajah Hinata yang sedang menahan rasa sakit yang mendera seluruh bagian tubuhnya.
Bibir mungil itu tampak bergetar, dan semakin membiru saja. Bahkan, untuk mengangkat sebelah tangannya pun Hinata sudah tak sanggup.
"Hinata-chan, bertahanlah. Sebentar lagi ia pasti akan datang. Kau harus kuat."
Hinata hanya menganggukkan kepalanya seraya mengukirkan senyuman lemah dibibirnya. Senyuman yang sama sekali tak bisa diartikan.
"A..apa ayah dan Hanabi-chan belum datang?" tanya gadis itu seperti sedang berbisik.
"Sebentar lagi. Karena itu, kumohon bertahanlah." jelas Neji yang terus menggenggam tangan mungil Hinata.
"Tolong, tinggalkan aku sendiri untuk saat ini. Aku ingin bersama degan Naruto-kun berdua saja nanti." ucap gadis Hyuuga itu dengan nafas yang memang sudah semakin memendek. Detak jantungnya pun sudah tak bisa memompa darah keseluruh bagian tubuhnya, sebagaimana mestinya.
Neji dan Shizune-sensei yang mendengar penuturan terebut, hanya menatap nanar kearah Hinata yang yang perlahan-lahan memejamkan kedua matanya, untuk beristirahat sejenak menunggu kehadiran sang Hokage. Setelah itu, keduanya hanya bisa pasrah keluar dari ruangan itu. Meninggalkan sang putri yang menanti pangerannya.
:: Can't I Love You? ::
Naruto melangkahkan kakinya menuju rumah sakit tempat Hinata dirawat. Entah mengapa, jantungnya terus berdebar tak karuan. Fikirannya pun telah terbagi entah kemana-mana. Lelaki itu tampak sangat tergesa-gesa. Entah apa yang menyebabkannya sampai segelisah saat ini. Dirinya pun tak mengerti dengan yang terjadi.
Lelaki itu lantas segera melangkahkan kakinya keruangan dimana Hinata sedang terbaring tak berdaya. Sesaat ia harus terbelalak kaget, karena melihat banyak teman seangkatannya yang sedang menunggu diruang tunggu. Tapi, ada beberapa juga yang harus pulang karena masih memiliki urusan.
Tapi, hal yang paling membuatnya merasa aneh adalah karena semua temannya menatap tajam kearahnya. Dirinya terlihat sangat dipojokkan saat ini. Dan yang membuatnya semakin heran, sebahagian temannya bahkan hanya mampu menundukkan kepalanya seperti sedang menyesali sesuatu. Sesuatu yang tak termaafkan.
Tanpa mengulur waktu lagi, Naruto langsung memegang knop pintu ruangan Hinata, dan membukanya dengan sangat perlahan.
KREK...
Bunyi khas decitan pintu itu kembali membawa sang gadis Hyuuga yang tengah terbaring lemah itu kedalam alam nyata. Memperhatikan wajah tampan lelaki yang kini berdiri dibalik pintu ruangannya. Senyum tampak menghiasi wajah jelita yang terlihat sangat pucat tersebut.
Sebenarnya, Hinata tak mau membuka kedua matanya karena saat melakukan hal itu, segalanya terasa bagaikan berpputar-putar. Membuatnya merasakan rasa pusing yang semakin menggila. Tapi sekali lagi, apapun akan ia lakukan untuk Naruto. Semua, walau harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Tanpa membalas senyum Hinata, lelaki itu langsung mengambil posisi duduk disamping tempat tidur Hinata. Sang Hokage masih enggan untuk menatap mata indah sang Hyuuga. Gadis itu hanya bisa pasrah ditempatnya, seiring menghilangnya senyuman yang tadinya ia lukiskan dibibir mungil pucatnya.
"Hai, Naruto-kun..." sapa Hinata yang lagi-lagi terdengar seperti sedang berbisik, menahan rasa sakit yang terus saja menyiksa dirinya.
Hening.
Tak ada jawaban apapun yang terlontar dari bibir sang Hokage. Ia lebih memilih diam dan mengarahkan pandangannya kearah lain. Hal inilah yang membuat Hinata merasakan rasa sakit yang semakin tak bisa ia tahan.
"Na..Naruto-kun, masih marah padaku?" tanya gadis itu lagi sekuat tenaga yag ia bisa. Nafasnya sudah benar-benar tak karuan. Tapi, tetap saja ia ingin mencoba berbicara senormal mungkin dihadapan Naruto.
"So..soal kalung, ma..."
"Jangan bahas hal itu lagi." potong Naruto ketus tanpa menatap sedikitpun kearah Hinata yang sedang mencoba untuk membendung air matanya.
Hinata hanya bisa tersenyum dipaksakan.
Kantongan plastik yang masih berada dalam pegangan Naruto, membuat gadis itu merasa sedikit penasaran. Ia terus saja menatap sesuatu yang sedang berada dalam pegangan sang kekasih. Sesuatu yang menyalurkan aroma enak dan hangat dari sana.
"Apa itu Naruto-kun?" tanya Hinata penasaran.
"Takoyaki. Ini untuk Sakura-chan. Dia sedang tidak selera makan, makanya aku membelikannya ini. Dia belum makan malam." jelas Naruto yang tanpa sadar sudah sangat menyakiti hati gadis yang tengah berbaring disana. Dia tidak akan pernah tahu, betapa terlukanya perasaan Hinata.
Bagaimana mungkin, kekasihnya jauh lebih memperhatikan gadis lain ketimbang dirinya. Hinata tahu, Naruto tak pernah mencintai dirinya sedikitpun. Tapi, apa tak bisa memberikan perhatiannya sedikit saja untuk gadis yang selalu ada untuknya itu?
"Oh."
"Lalu, ada masalah apa menyuruhku kesini?" tanya Naruto lagi. Hinata ingin mengangis saat ini juga. Kenapa, kenapa sedingin itu terhadap dirinya? Bukan, ini bukan Naruto yang ia kenal. Bukan seperti ini yang ia inginkan.
"Aku ingin, Naruto-kun menemaniku disini, sampai nanti pagi. Hanya untuk malam ini."
"Apa?" ucap Naruto percaya.
"Kenapa? Naruto-kun keberatan?" tanya gadis itu yang sudah mulai berkaca-kaca. Matanya pun terasa semakin berat saja.
"Tapi, aku harus menjaga Sakura-chan. Dia sendirian disana. Kenapa kau begitu egois?" tanya Naruto yang emosinya sudah mulai terpancing.
"Lagipula disinikan banyak teman-teman yang lain. Setidaknya kau tidak akan merasa kesepian. Sementara dia, Sakura sedang sendirian disana. Apa kau tega?"
"Tapi akulah yang sedang sangat membutuhkanmu saat ini, Naruto-kun. Aku mohon, hanya untuk malam ini saja, sampai besok pagi. Aku ingin Naruto-kun menemaniku saja, tidak lebih. Setelah semuanya selesai, Naruto-ku bisa kembali lagi. Aku mohon dan aku janji, setelah ini aku tidak akan pernah meminta apa-apa lagi kepada Naruto-kun. Aku tidak akan meminta apapun lagi, aku berjanji." jelas Hinata sekuat tenaga. Air mata telah membasahi pipi pucatnya. Bibirnya pun sudah sangat membiru. Rasa sesak didadanya semakin membuatnya tak bisa berbuat apa-apa.
"Aku hanya ingin Naruto-kun menemaniku saja. Hanya untuk hari ini."
Naruto tak bisa menjawab apapun. Ia hanya bisa terdiam diempatnya. Sebenarnya ia tak tega melihat keadaan Hinata mengingat bahwa gadis itu masih menyandang status sebagai kekasihnya. Tapi harus bagaimana? Lelaki itu dilema.
Sementara itu diluar ruangan.
Tampak dari jauh sesosok lelaki paruh baya yang sedang mendekati ruangan Hinata. Ia tidak sendiri, ada seorang gadis kecil yang berada disampingnya. Gadis yang memiliki warna mata lavender indah sama seperti sang ayah.
Semua orang tampak menunduk hormat kepada pemimpin clan Hyuuga tersebut, tak terkecuali Neji Hyuuga. Jelas, tampak jelas diwajahnya yang sudah mulai menua bahwa sosok ayah itu sangat mengkhawatirkan putrinya. Kesedihan itu ia simpan dalam-dalam dihatinya. Menyisakan rasa sakit yang harus ia alami untuk kedua kalinya.
"Dimana Hinata?" tanyanya setenang mungkin. Tapi mereka tak akan pernah tahu, betapa sakitnya perasaan sang ayah saat ini.
"Ada apa dengan Hinata-nee? Apa yang terjadi dengannya?" timpal Hanabi yang sudah mulai berkaca-kaca. Gadis kecil itu memang kuat, tapi hatinya tak akan bisa lebih kuat kalau harus mengalami hal seperti ini.
"Hiashi-sama, Hinata sedang berada didalam dengan Naruto. Hinata bilang, ia ingin ditemani oleh Naruto saat ini. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi." jelas Shizune dengan suara yang dibuat agar terdengar tak bergetar.
"Tolong jelaskan semua yang terjadi kepadaku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan putriku." ucap Hiashi meminta penjelasan khusus. Sosok ayah itu sedang mencoba untuk melawan cairan bening agar tak menggenangi mata lavender keperakannya.
Shizune yang mengerti perasaan pemimpin clan Hyuuga tersebut, lantas menghampiri keduanya dan membawa mereka kedalam ruangannya. Neji pun ikut masuk kedalam ruangan Shizune sensei untuk menjelaskan semua yang terjadi dengan Hyuuga Hinata.
:: Can't I Love You? ::
"Naruto-kun, aku mohon. Aku hanya meminta kali ini saja. Setelah itu aku takkan pernah meminta lagi. Aku janji." mohon Hinata dengan derai air mata yang tak bisa ditahan lagi. Diantara semua perlakuan Naruto selama ini, menurutnya hal inilah yang paling menyakitkan.
Bahkan, untuk memenuhi permintaan terakhirnya pun, lelaki itu tak bisa.
"Tapi Sakura-chan sendirian disana. Mengertilah. Maaf, aku tidak bisa." jawab Naruto yang langsung bergegas untuk berdiri. Tapi, belum sempat ia melangkahkan kakinya, sebuah tangan dingin telah menahan kepergiannya. Tangan yang menggenggam langsung tangan Naruto. Tangan yang sedingin es.
"Naruto-kun, aku mohon padamu. Tolong penuhi permintaanku." air mata itu terus mengalir tanpa henti. Tapi sama sekali Naruto tak mau untuk menghentikan niatnya.
"Maaf."
Naruto mencoba untuk melepaskan genggaman Hinata. Lelaki itu terus memaksa agar Hinata melepaskan genggamannya, tapi Hinata tak mau melakukan semua itu. Gadis itu mati-matian mencoba untuk mendudukkan tubuhnya.
Tidak, semuanya terasa berputar dipandangan lavendernya. Selang infuse yang telah dijalari darah dari uratnya, tak ia gubris. Biar, biar rasa sakit itu mendera agar Naruto ada untuknya. Hanya untuk hari ini saja. Hari yang sudah lama ia tunggu. Hari ulang tahunnya yang bahkan tidak dikeahui oleh Naruto.
Selang oksigen yang tadinya terpasang dihidung kecil milik Hinata, kini lepas sudah. Membuat gadis itu semakin merasakan rasa sesak. Mengakibatkan air matanya harus keluar. Hinata tak peduli dengan tubuhnya. Ia hanya butuh Naruto saat ini. Hanya Naruto.
Gadis itu mendudukkan tubuhnya dan langsung memeluk erat lengan Naruto. Hinata tampak memejamkan matanya sambil menggigit bibir bawahnya demi meredam rasa sakit. Air mata terus mengalir dari sana.
Naruto tak percaya dengan ini semua. Sebegitu memerlukan dirinyakah gadis itu sampai melakukan hal semacam ini? Sebegitu tegakah ia meninggalkan Hinata dalam keadaan yang tak bisa dianggap remeh? Hanya lelaki itu yang mengerti dan mengetahui jawabannya.
Gadis itu semakin mempererat pelukannya pada lengan Naruto. Tak ia pedulikan selang infuse yang tertarik akibat ulahnya. Mengakibatkan rasa nyeri timbul tepat ditempat dimana selang itu terpasang. Tapi, sakit itu tak ada apa-apanya dengan rasa sakit yang selalu menyiksa perasaan sang Hyuuga. Rasa sakit yang tak akan pernah berujung.
"Aku mohon Naruto-kun." ucap Hinata yang kini sudah semakin susah untuk bernafas.
"Maaf, aku tidak bisa." jawab sang Hokage yang langsung melepaskan pelukan Hinata pada lengannya.
Berhasil, lengan itu berhasi terlepas. Dengan cepat Naruto langsung berjalan menjauhi Hinata. Lelaki itu sedikit berlari.
"NARUTO-KUUN!" teriak Hinata dengan isak tangis tak tertahankan. Untuk yang pertama kalinya Hinata menjerit memanggil nama itu. Nama seseorang yang sangat dikasihinya.
BRAK...
Pintu ruangan Hinata dibuka paksa oleh Naruto. Lelaki itu langsung meninggalkan Hinata.
Tidak, Hinata tidak ingin sendirian. Gadis itu langsung mencabut paksa selang infuse yang masih terpasang ditangannya. Menyebabkan darah segar memancar dari tempatnya. Pakaian Hinata kini telah ternoda oleh darah. Tak peduli, ia tak peduli.
Sebisa mungkin Hinata langsung berlari keluar kamarnya. Orang-orang yang berada diluar merasa sangat terkejut dengan semua kejadian ini. Ingin mencegah, tapi mereka tahu ini keinginan Hinata. mereka tak mungkin mencegah keinginan terakhirnya.
Hinata terus mengejar Naruto yang berada tidak terlalu jauh didepannya. Darah itu tampak masih menetes mengotori lantai yang dilalui oleh sang Hyuuga. Naruto pun tak tahu apa yang membuat tubuhnya tak ingin berbalik untuk sekedar menemani gadis itu. Ia tak mengerti.
Hinata terus mengejar Naruto sampai keluar dari rumah sakit itu. Naruto sama sekali tak mengindahkan panggilannya. Hinata tak peduli lagi pada dinginnya salju yang sudah menghinggapi tubuhnya. Ia hanya ingin lelaki itu mengakui dan menyadari kesungguhan gadis itu. Kesungguhan dalam mencintai dirinya.
"NARUTO-KUN AKU MOHON..." jerit Hinata yang berharap Naruto akan berbalik dan merubah keputusannya.
Tapi, kelihatannya hal itu akan menjadi sia-sia saja.
Hinata merasakan tubuhnya yang semakin melemah. Nafasnya putus-putus, pandangannya gelap. Hingga akhirnya...
BRUUKK
Tubuh mungil itu kembali tersungkur kedepan. Dinginnya salju yang sudah menapaki jalan, terasa sangat menusuk tubuh gadis itu. Dingin, menggigil, sakit semua rasa itu mendera menyiksa batin sang Hyuuga.
"Na..Naruto-kun..." ucapnya lagi yang kali ini tak bisa terdengar.
"Uhuk..uhuk..."
Hinata terbatuk dengan posisi yang sama. Mengakibatkan darah itu kembali memuncrat dari bibirnya yang sudah membiru. Darah tampak mengalir dari hidungnya.
Hinata merasakan pandangannya yang semakin buram. Matanya berat, tubuhnya menggigil. Hingga akhirnya gadis itu tak sanggup lagi menahan segalanya. Ia masih setengah sadar, tapi tak sanggup lagi untuk melakukan apapun.
Hinata hanya membiarkan dirinya disana. Salju itu telah ternoda oleh darah sang Hyuuga. Kesedihan Hinata dimalam bersalju. Dihari ulang tahunnya. Hari yang takkan pernah ia lupakan sampai akhir hayat.
:: Can't I Love You? ::
Naruto sama sekali tak tahu hal apa yang terjadi dengan Hinata. Ia terus saja melangkahkan kakinya menjauhi gadis itu. Tapi apa yang membuatnya menangis? Tanpa ia sadari pipi tan miliknya telah basah oleh air mata.
Apa yang menyebabkan hatinya terasa sesakit ini? Ia ingin kembali, ingin memeluk Hinata. Tapi, apa mungkin ia melakukan semua itu. Mengingat semua hal yang telah ia lakukan kepada sang gadis.
Naruto yang telah sampai dirumah sakit tempat Sakura dirawat, mencoba untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu. Lelaki itu menghapus dan membasuh wajahnya dengan air agar terlihat tak mencurigakan. Tapi lagi-lagi rasa perih itu menyiksa batinnya. Kenapa?
Lelaki itu berjalan gontai menuju ruangan Sakura. Tatapannya serasa kosong. Ia ingin kembali bersama dengan Hinata. Fikiran itu terus muncul dikepala sang Hokage.
Baru saja ia hendak memegang knop pintu ruangan Sakura, tapi semua itu ia hentikan karena mendengar percakapan yang sangat mengejutkan untuk dirinya. Bagaikan sambaran petir, yang mampu menyadarkan dirinya akan segala perbuatan yang telah ia perbuat selama ini.
"Jadi, kau yang mengambil kalung itu dari dalam tas Hinata-chan?"
"Ia. Memang aku yang melakukannya. Selama ini aku terus mengarang cerita kepada Naruto, dan dengan mudahnya ia percaya. Kenapa? Kau ingin mengadukannya? Adukan saja. Aku tidak takut sama sekali. Asal kau tahu saja, Naruto hanya akan mempercayaiku. Dia itu bodoh."
"Tapi kenapa kau tega?"
"Karena aku membenci Hinata. Aku ingin dia mati. Dia selalu merenggut kebahagiaanku. Aku tak ingin melihatnya bahagia bersama Naruto. AKU BENCI HINATA." teriak Sakura dengan suara yang begitu lantang.
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"AKU INGIN DIA MATI." teriak Sakura yang sudah tak sanggup membendung emosinya.
Sementara Naruto, lelaki itu terdiam ditempatnya. Tak mampu berkata apapun. Pengakuan yang terdengar langsung dari bibir orang kepercayaannya. Orang yang selalu ia percayai. Gadis yang selalu saja menyiksa Hinata tanpa ia ketahui.
Naruto mengepalkan tangannya erat. Emosinya memuncak, wajahnya memerah menahan amarah. Rasa benci kini telah menjalari hatinya. Benci terhadap orang yang sangat ia percayai. Perbuatan terbodoh yang pernah ia lakukan karena telah menyia-nyiakan gadis sebaik Hinata. Berharap mendapatkan cinta dari seorang gadis yang hatinya tak lebih bagaikan iblis.
Naruto membuka pintu rungan Sakura dengan paksa. Membuat dua pasang mata itu menatap kerahnya dengan tatapan yang berbeda. Wajah sang Hokage telah benar-benar berubah warna saat ini. Amarahnya berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Dengan langkah lebar dia mulai berjalan mendekati Sakura dan...
PLAKK...
Sebuah tamparan mendarat dipipi gadis Haruno itu. Matanya terbelalak kaget, mendapat pelakuan seperti ini dari Naruto. Tak pernah ia duga, bahwa Naruto akan melakukan hal semacam ini terhadapnya.
"KESALAHAN TERBESARKU ADALAH KARENA AKU PERNAH PERCAYA DAN MENCINTAI GADIS SEPERTIMU!" teriak Naruto seraya mengguncang bahu Sakura. Gadis itu hanya bisa terisak.
"Na..Naru.."
"DIAM KAU. AKU MEMBENCIMU!" teriak Naruto lagi sambil menjambak bagian depan rambutnya. Lelaki itu lantas terduduk lemas dan terus meninju lantai tempat ia berpijak. Dirinya menyesal, menyesal karena selalu saja mempercayai Sakura. Menyesal karena tak pernah menyadari bahwa ada seseorang yang mencintai dirinya dan rela berkorban lebih dari apapun.
Sang Hokage lantas keluar ruangan dan membanting kasar pintu ruangan Sakura. Lelaki itu memerosotkan tubuhnya ditembok rumah sakit itu. Untuk pertama kalinya ia merasa sangat bersalah. Sang Hokage menyesal. Ia ingin bertemu dengan Hinata saat ini.
Shikamaru pun langsung mengikuti Naruto dan meninggalkan Sakura yang masih terisak. Sepertinya kebenaran telah terbongkar. Mengembalikan dan menciptakan sebuah balasan cinta tanpa bisa diterka. Shikamaru hanya bisa melihat nanar Naruto yang kini menangis tak karuan. Air matanya kini telah membanjiri pipi lelaki itu. Senyuman dan keceriaan yang biasa terukir disana, kini telah berubah menjadi kesakitan dan tangisan penyesalan.
"Bodoh, bodoh, bodoh..." ucapnya beberapa kali sambil membawa kepalan tangannya, untuk meninju kelantai tempat ia berada. Shikamaru hanya bisa memejamkan matanya. Tak tega, tapi inilah kenyataan. Dan kini, sang Rokudaime telah mengetahui kebohongan yang telah diciptakan oleh orang kepercayaannya.
"Sudahlah Naruto, tak usah menyesali. Aku sudah pernah mencoba memperingatkanmu kan." jelas Shikamaru dengan nada datar. Lelaki itu lantas melepatkan tangannya didepan dada, masih dengan memejamkan mata.
"Ta..tapi, aku ini begitu bodoh. Ba..bagaimana mungkin aku bisa meminta maaf kepada Hinata-chan..." ucap lelaki itu sesenggukan. Naruto benar-benar menyesali semuanya kali ini. Air matanya terus mengalir membasahi pipi miliknya.
'Mungkin, rasa sakit ini masih belum bisa menandingi rasa sakit yang selalu saja diterima Hinata-chan dariku. Maafkan aku' batin lelaki bermata biru laut itu.
"Sudahlah Naruto, temui dia sekarang juga. Ini hari ulang tahunnya bukan? Ini tanggal 27 Desember."
Naruto terdiam mendengar ucapan Shikamaru. Bahkan, hari ulang tahun kekasihnya pun ia tak tahu. Lelaki macam apa dia ini?
"A..aku, aku tidak tahu kalau hari ini hari ulang tahun Hinata-chan."
"Bodoh kau. Apa kau tahu satu hal yang tak kau ketahui lagi, saat kau terbaring lemah dirumah sakit, Hinata yang selalu menemani dan selalu ada untukmu. Dan asal kau tahu, gadis itu yang sudah menyumbangkan darahnya untukmu, bodoh. Gadis yang selalu saja kau sakiti, gadis yang selalu saja menangis karenamu. Dia terlalu mencintaimu, Naruto." tegas Shikamaru yang menaikkan volume suaranya.
Lelaki berambut nanas itu sedikit mengatur pernafasannya yang tak teratur. Membiarkan dirinya meledak-ledakkan emosi yang sudah lama ia pendam. Membongkar semua rahasia yang sama sekali tak pernah diketahui oleh sang Hokage dihadapannya.
Naruto tercengang. Tenggorokannya terasa tercekat, bibirnya kelu. Ia menyesal, menyesal akan semua perbuatan jahat yang selalu ia lakukan kepada Hinata. Menyesal karena tak bisa membalas kebaikan gadis Hyuuga itu.
'Be..berarti, darah Hinata-chan telah mengalir dalam tubuhku...' batin Naruto tak percaya.
"CEPAT PERGI DAN MINTA MAAF PADANYA!" teriak Shikamaru dengan emosi yang sudah membuncah. Lelaki itu tampak berkaca-kaca. Mencoba untuk menahan tangisan yang hendak keluar dari matanya.
Naruto yang mendengar perintah tersebut, langsung melangkahkan kakinya untuk pergi. Menjauh dari rumah sakit tempat Sakura dirawat. Membiarkan derai air mata membasahi pipinya.
"Semoga kau belum terlambut, Hokage-sama." lirih Shikamaru yang sudah tak sanggup menahan air matanya. Lelaki itu bisa merasakan matanya yang semakin memanas saja, hingga air mata itu membasahi pipi miiknya.
Semakin lama, langkah kaki itu semakin cepat. Naruto terus memacu langkahnya hingga kini ia tak lagi berjalan, melainkan telah berlari. Menembus hujan salju yang sedang menurunka dirinya dibumi Konoha. Membiarkan rasa dingin menggigilkan tubuh kuatnya.
Rindu, lelaki itu rindu kepada Hinata. Ia ingin segera memeluk gadis itu, bahkan berlutut dikakinya untuk meminta maaf. Rasa cinta itu kini benar-benar tumbuh dan mengakar dalam hati sang Hokage. Membiarkan akar-akar itu tertanam dan mencengkram kuat hingga kesetiap sel aliran darahnya. Cinta, ia mencintai Hinata. Dan dirinya baru menyadari hal itu sekarang. Setelah apa yang ia lakukan kepada gadis lembut itu.
Naruto tak tahu mengapa, tapi perasaan yang tumbuh dari dalam hatinya lebih besar dari sebelumnya. Bahkan berkali-kali lipat. Lelaki itu hanya ingin Hinata. Ia cinta Hinata. Ia butuh Hinata. Ia tak bisa hidup tanpa Hinata. Otaknya serasa berputar. Hatinya terus memanggil nama gadis itu, Hinata, Hinata dan Hinata. Hinata Hyuuga.
"Aku mencintaimu, Hinata-chan..." lirih Naruto yang masih berlari menembus hujan salju yang tengah turun dibumi Konoha.
:: Can't I Love You? ::
Tampak dari kejauhan sosok lelaki tegap itu mendekati gedung yang sebentar lagi akan ia masuki. Langkahnya begitu tergesa-gesa. Jejak air mata masih tampak sangat jelas terukir dikedua belah pipinya. Nafas lelaki itupun sudah tak teratur lagi. Tampak jelas dari udara yang mengepul melalui bibir miliknya. Menjadi bukti perjuangannya untuk menyampaikan kalimat itu.
Naruto terus memacu langkahnya, semakin cepat dan cepat. Jantungnya telah bekerja dan berdetak lima kali lebih cepat dari sebelumnya. Perasaannya menggebu-gebu. Ini, perasaan yang tak pernah ia rasakan. Perasaan yang begitu dalam dan nyata. Perasaan yang tak bisa lagi untuk ia pendam.
Sang Hokage ingin secepat mungkin ketempat Hinata. Ia ingin memeluk gadisnya. Meminta maaf sebesar-besarnya dan menyatakan rasa cinta yang tak tertahankan dari dalam relung hatinya. Semuanya bergejolak tak karuan. Hatinya terus memanggil nama itu. Hanya dia. Satu nama. Hyuuga Hinata.
Senyuman tampak mengembang dibibir lelaki bermata sebiru laut itu, saat ia telah berhasil menjejaki rumah sakit tempat kekasihnya dirawat. Secepat mungkin ia langsung berlari melewati koridor demi koridor untuk mencapai ruangan gadisnya. Tak peduli dengan banyak pasang mata yang terus memperhatikan kelakuannya. Tak peduli dengan paru-paru yang menjerit karena kekurangan pasokan oksigen didalamnya. Semuanya hanyalah hal tak penting untuk Naruto. Karena bagi sang Hokage, Hinata lah satu-satunya yang terpenting dalam hidupnya.
Sesuatu yang berada dalam genggaman tangan kokohnya harus menjadi sedikit kusut karena ulahnya sendiri. Sesuatu yang akan menjadi tanda cinta ketulusan untuk sang gadis. Ya, sebucket bunga mawar merah.
Lelaki itu sengaja membelikan bunga itu sebagai kado ulang tahun, dan juga sebagai bukti tanda cintanya kepada Hinata. Susah payah ia mendapatkan bungan indah itu dimalam penuh salju seperti sekarang ini. Tapi, dengan kegigihan yang ia punya, akhirnya ia bisa membelikan bungan indah itu untuk kekasih tercinta.
Senyuman Naruto semakin mengembang kala melihat pintu ruangan sang gadis. Sedikit lagi, hanya tinggal beberapa langkah saja maka ia akan menggapai segalanya. Merengkuh gadis itu dan menghangatkan tubuh mungilnya.
BRAKK...
Dengan kasar sang Rokudaime menggebrak pintu ruangan Hinata. Membungkukkan badannya sesaat untuk mengatur nafasnya yang sudah tak terkendali. Setelah dirasa cukup, Naruto lantas mengukirkan senyum dan mengangkat kembali wajah tampannya untuk melihat keadaan Hinata.
"Haah..., Hinata-chan, aku datang..." ucap Naruto lantang yang masih ngos-ngosan dan langsung membawa matanya untuk menatap kedepan.
Tapi tak satu jawabanpun ia dapatkan, kecuali tatapan tajam nan menusuk yang ditujukan untuk dirinya. Memandang langsung dan menusuk langsung keulu hatinya. Sakit.
Naruto merasa sangat bingung saat melihat sekerumunan teman-temannya yang mengelilingi tempat tidur Hinata. Tangan kokohnya semakin menggenggam erat bunga mawar tersebut. Kekahawatiran semakin merajai hati sang Hokage, kala melihat air mata yang mengalir dipipi semua teman-temannya tanpa terkecuali. Ada rasa sakit tak tertahankan saat melihat tangisan itu.
Setelah menatap sang Hokage untuk beberapa detik, mereka lantas menundukkan wajah mereka masing-masing. Tak ingin menunjukkan kesedihan itu lebih dalam lagi. Naruto cemas, cemas dengan keadaan Hinata. Apa yang terjadi dengan gadisnya sampai-sampai semuanya harus bertingkah seperti sekarang ini? Entahlah, hanya lelaki itu yang tak mengetahuinya.
Dengan nafas yang tak beraturan dan langkah yang gontai, Naruto mulai mendekati kerumunan teman-temannya yang masih mengelilingi tempat tidur Hinata. Senyuman lemah masih terukir dibibir sang Rokudaime.
"Hey, apa yang kalian lakukan disini? Kenapa beramai-ramai diruangan Hinata-chan? Kalian tahukan, dia butuh istirahat.." tanya Naruto mencoba untuk mencairkan suasana.
"..."
Hening.
Tak ada jawaban apapun. Semuanya lebih memilih diam.
Rasa cemas kembali menguasai hati Naruto. Membuat dadanya serasa sesak dengan mata yang semakin memanas. Tapi, lagi-lagi ia menepiskan perasaan itu.
Naruto tahu ia sedang diabaikan saat ini. Tapi, semuanya tak penting, karena yang terpenting hanyalah gadisnya.
Dengan langkah yang begitu bersemangat, Naruto langsung berjalan semakin mendekati tempat tidur Hinata. Memaksa kepada teman-temannya yang lain untuk memberikan jalan kepadanya. Memberikan jalan agar bisa melihat langsung sang Hyuuga yang tengah terbaring. Terbaring tak bernyawa tanpa sepengetahuan dirinya.
Senyuman masih melengkung dibibir sang Hokage. Tangannya terangkat untuk mempersembahkan bunga yang telah ia cari dengan susah payah. Tanpa memikirkan yang lainnya, ia langsung berdiri tepat disamping tubuh tak bernyawa itu. Mengatur nafas sesaat, kemudian mengukir senyum kembali dibibirnya.
"Haah, Hinata-chan, maafkan aku. Aku janji, hari ini akan menemanimu sampai esok pagi. Bukan, bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk selamanya. Aku berjanji padamu, Hinata-chan. A..aku mencintaimu." jelas Naruto dengan susah payah sambil menunjukkan senyuman lemahnya.
Hening...
Lagi-lagi tak ada jawaban yang ia terima, bahkan dari sosok gadis dihadapannya. Perlahan, senyuman Hokage semakin meluntur kala melihat bibir Hinata yang sudah membiru. Matanya tertutup rapat. Menimbulkan kecemasan dihati lelaki berambut blonde tersebut.
Naruto tak mengerti, tapi tiba-tiba saja air matanya meluncur. Membasahi pipi tan miliknya. Meruntuhkan pertahanan dan pengakuan yang telah ia ungkapkan.
"Hi..Hinata-chan, kenapa kau diam saja? Kau dengar aku kan?" tanya Naruto lagi yang kini menggenggam tangan kecil milik Hinata. Mata biru laut itu membelalak sempurna saat merasakan tangan yang sudah sedingin es itu.
Otak Naruto langsung memproses cepat dengan sesuatu yang terjadi. Konsentrasinya pecah saat mendengar tangisan Ino yang sudah tak tertahankan. Gadis itu menangis, terisak sejadi-jadinya.
"Percuma Naruto. Percuma..." tangis Ino yang langsung memeluk tubuh Sai yang berada diisampingnya.
Naruto mengerti. Ya, dia mengerti dengan keadaan saat ini. Apa yang telah terjadi dengan gadisnya. Tapi, hatinya masih belum bisa percaya. Kenapa? Kenapa secepat ini? Tidak mungkin kan?
Bodoh.
"Hi..Hinata-chan..." lirih Naruto dengan asap yang mengepul dari bibirnya. Lelaki itu tahu. Tapi, lagi-lag ia masih belum bisa percaya. Tidak mungkin, tidak mungkin Hinata meninggalkan dirinya.
"HINATA-CHAN, KUMOHON JAWAB AKU!" teriak Naruto sambil mengguncang tubuh mungil gadisnya. Berharap mendengar dan mendapat jawaban lembut dari bibir mungil gadisnya. Berharap melihat senyuman indah yang selalu terukir manis disana.
Percuma, percuma ia lakukan semua itu. Gadis itu telah pergi untuk selamanya.
"HINATA-CHAN AKU MENCINTAIMU... KENAPA KAU MENINGGALKANKU DISAAT AKU SUDAH MULAI MENGERTI APA ARTI CINTA SEJATI? KENAPA KAU HARUS PERGI DISAAT AKU BENAR-BENAR MENCINTAIMU, KENAPA?" teriak Naruto lagi yang terus mengguncang tubuh mungil gadisnya.
Emosinya tak tertahankan. Kerinduan dan rasa cinta yang hendak ia rajut hancur sudah. Meninggalkan kepedihan dan pengakuan cinta yang tak sempat untuk diutarakan. Membiarkan jeritan dan air matanya menjadi suatu bukti bahwa ia sangat mencintai sang Hyuuga. Pedih.
Teman-teman Naruto yang lain sungguh tak sanggup untuk menyaksikan ini semua. Dengan langkah gontai mereka mulai meninggalkan Naruto yang masih menangis terisak. Menyesali segala sesuatu yang pernah ia perbuat kepada gadisnya.
"HINATA-CHAN, KUMOHON BANGUNLAH..." teriak sang Hokage lagi dengan derai air mata yang sudah tak sanggup ia tahan. Lelaki itu memeluk tubuh gadis yang sudah tak bernyawa itu dengan begitu erat. Berharap sang gadis bisa menyadari dan mengerti betapa terlukanya ia saat ini. Menyasal. Dirinya sangat-sangat menyesal...
"LIHAT INI, AKU MEMBAWAKAN BUNGA UNTUKMU. APA KAU TAK PERCAYA BAHWA AKU SANGAT MENCINTAIMU?"
"AKU MENCINTAIMU, HINATAA... BANGUNLAH..." teriaknya lagi dengan suara yang sudah serak. Pipi sang Hokage telah basah oleh air mata.
"Bangunlah Hinata-chan, kumohon..." pinta Naruto sambil menggenggam tangan Hinata yang sudah mendingin. Suaranya sudah serak. Hatinya sakit. Leututnya terasa sangat-sangat lemas. Tidak, tak pernah Naruto merasa sampai seperti ini. Bahkan, saat Jiraiya meninggal pun, ia tak pernah merasa sesakit ini.
Tapi kali ini berbeda. Hatinya benar-benar hancur. Dia menyesal-bahkan sangat-sangat menyesal. Disaat ia sudah benar-benar mencintai Hinata, gadis itu telah pergi meninggalkannya. Disaat ia telah membawakan bunga sebagai tanda cintanya, gadis itu telah menutup mata indahnya dari kepedihan dunia. Meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Mata biru laut Naruto sudah benar-benar sembab bahkan membengkak. Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Baru ia tahu, beginilah rasanya kesakitan yang dialami oleh gadisnya. Kesakitan karena ulahnya sendiri. Tapi tidak, rasa sakit ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit yang selalu mendera Hinata. Rasa sakit yang selalu saja menyiksa batin gadis mungil itu.
"A..aku menyesal..." lirih Naruto dengan tubuh dan suara yang sudah bergetar. Sang Hokage itu lantas memerosotkan dirinya kelantai. Membiarkan dinginnya lantai menggigilkan bagian tubuhnya.
"Bangunlah Hinata-chan, kumohon. Aku sangat mencintaimu." sambungnya lagi sambil menundukkan wajah tampannya. Membiarkan air matanya jatuh kelantai rumah sakit. Berharap Hinata bisa membuka matanya. Bodoh, ia tahu bahwa semua itu hanya harapan orang bodoh. Orang bodoh seperti dirinya, yang selalu saja menyia-nyiakan gadis yang telah mencintai dirinya dengan kesungguhan bak malaikat.
Menyesal? Untuk apa? Sudah terlambat.
Bunga mawar yang telah mati-matian dicari oleh sang Hokage, kini layu sudah. Tak tahu kenapa, mungkin karena genggaman lelaki itu yang terlalu kuat. Atau, udara sekitar yang tak cocok dengan bunga cinta itu. Atau mungkin, itu adalah suatu gambaran bahwa cintanya kandas sudah. Entahlah... Setiap benda pasi memliki perasaan, bukan?
Naruto masih menangis. Lelaki itu mencoba untuk berdiri dan memperhatikan wajah teduh yang kini telah tertidur damai. Hatinya masih belum percaya bahwa gadisnya telah pergi.
"Hi...Hinata-chan, aku mencintaimu. Apa kau tidak mencintaiku lagi?" tanya sang Hokage lagi sambil membelai pipi yang sudah mendingin itu. Ia belai pipi Hinata menggunakan ibu jarinya. Sosok yang begitu mungil nan rapuh yang seharusnya ia lindungi, malah ia sia-siakan.
Rasa sesak yang bersarang didadanya, memaksa diri untuk mengeluarkan bulir penyesalan dan kesedihan dari birunya. Menjatuhkan air mata tepat diwajah sang Hyuuga.
"Kau kedinginan ya, sayang..."
Tak tahu kenapa, tapi Naruto ingin terus bersama dengan Hinata. Tak peduli dengan jawaban yang sudah pasti tak akan ia dapatkan. Ia hanya ingin Hinata, ia rindu kekasihnya.
Naruto semakin mendekatkan wajahnya kewajah Hinata. Menyadari bahwa takkan ada lagi hembusan nafas dari gadis mungil dihadapannya. Mengingat itu saja, hatinya sudah bagaikan tercabik-cabik. Tangan kokoh miliknya mulai ia gunakan untuk merapikan poni indigo gadis itu. Tersenyum miris saat menyadari betapa cantiknya gadis dihadapannya. Gadis yang selalu saja menyembunyikan kecantikan dan keindahannya dalam suatu kelembutan dan keanggunan. Kelembuta dan kehangatan yang takkan pernah dimiliki oleh gadis lain dimanapun dan kapanpun.
"Kau sangat cantik kalau sedang tertidur. Tapi akan lebih cantik lagi kalau kau bangun dan tersenyum padaku. Untuk itu, bangnlah..." pinta sang Hokage untuk kesekian kalinya.
Titik demi titik air mata sang Hokage telah menetes diwajah cantik gadisnya. Dengan perlahan dan penuh kasih sayang, ia usap air mata itu. Naruto semakin mendekap wajah mungil nan teduh gadisnya. Meletakkan pipinya didahi Hinata dengan air mata yang masih mengalir dari sana. Mungkin inilah rasa sakit yang sesungguhnya.
Dengan begitu lembut, Naruto mulai mencium dahi Hinata dengan penuh kasih sayang. Mencoba untuk mematri aroma harum gadis itu dalam ingatannya. Kemudian, mencium kedua mata Hinata yang telah tertutupi oleh kelopaknya. Membagi rasa dingin yang telah menjalari tubuh gadisnya. Naruto terus memejamkan birunya untuk dapat merasakan kehangatan dan kelembutan karena pernah memiliki Hinata.
Mencium hidung kecil nan mancung milik gadisnya, sebelum akhirnya mencium kedua belah pipi Hinata untuk yang terakhir kalinya. Lelaki itu menangis dan membiarkan air matanya membasahi wajah mungil dihadapannya.
"Otanjoubi omedetto, Hinata-chan. Aishiteru..." bisik lelaki itu dengan begitu pelan. Naruto masih mendekap tubuh Hinata. Menyesal karena tak kuat dengan kenyataan.
Naruto langsung tersadar akan dirinya, saat mendengar suara berat yang terdengar begitu penuh dengan penekanan. Seseorang yang sejak tadi melihat apa yang ia lakukan dan katakan kepada Hinata.
"Apa yang kau lakukan Hokage-sama." ucap seseorang yang sukses membuat Naruto membuka bola mata birunya untuk melihat orang itu. Mata lelaki itu sontak membulat sempurna. Tak percaya dengan hal yang dilihatnya.
"Hi..Hiashi-sama..." ucap Naruto yang terdengar seperti berbisik.
Keterkejutan sang Hokage belum berakhir disitu saja, karena ia melihat Hiashi Hyuuga tak sendiri, melainkan bersama dengan Hanabi dan Neji yang memandangnya dengan tatapan kecewa.
Neji yang sudah mengerti, langsung berjalan mendekati tubuh Hinata yang sudah terbaring tak bernyawa. Naruto sempat heran saat Neji mulai menyelipkan tangan kokonya diantara betis dan paha Hinata, lalu hendak membawa gadis itu.
"Mau kau bawa kemana, Hinata?" tanya Naruto mencoba untuk menghalangi Neji.
"Sudahlah Hokage-sama. Jangan menghalangiku lagi. Biarkan adikku tenang untuk selamanya. Jangan tambah bebannya dengan perbuatanmu ini." jelas Neji dengan tatapan sendu. Naruto yang mendengar kalimat itu, sampai tak percaya.
Tapi biar bagaimanapun, ia masih ingin bersama dengan Hinata. Tak peduli walaupun detak jantung gadisnya telah berhenti. Ia ingin bersama dengan Hinata.
"Ja..jangan bawa dia, Neji. Aku ingin bersamanya." tegas Naruto yang mencoba untuk menurunkan tubuh mungil itu dari gendongan Neji. Tanpa menjawab sedikitpun, Neji langsung membawa tubuh tak bernyawa adiknya. Berlalu meninggalkan sang Hokage yang terus berontak agar dirinya tak membawa Hinata.
"Neji, setidaknya biarkan aku yang melakukannya. Aku ingin menghantarkan kepergiannya..." tegas Naruto dengan mata yang memanas. Emosinya mulai tersulut saat melihat betapa keras kepalanya Hyuuga dihadapannya.
Naruto mencoba untuk mengejar Neji yang sebentar lagi keluar membawa tubuh gadisnya dari ruangan Hinata. Tapi, kakinya terasa sangat lemas. Ia masih trelalu shock dengan kenyataan yang terjadi.
"NEJI KEMBALIKAN DIA PADAKU..." teriak Naruto yang mencoba untuk berdiri.
"Putriku bukan siapa-siapamu, Hokage-sama. Bukankah kau tidak mencintainya?" kata Hiashi yang masih berdiri dengan tenang didepan pintu. Sosok ayah itu mencoba untuk menghalangi Rokudaime yang hendak mengejar putrinya.
"Hi..Hiashi-sama, i..itu a..aku.."
"Diamlah. Kau tak usah mengasihani putriku lagi. Hentikan semua kepura-puraanmu. Kau yang mengatakan sendiri bahwa kau tidak pernah mencintai Hinata. Lantas, untuk apa kau sampai menangis seperti itu. Putriku tak perlu rasa kasihan itu." ucap Hiashi mencoba untuk tetap tenang.
"KAU SALAH. AKU MENCINTAI PUTRIMU LEBIH DARI SIAPAPUN." teriak Naruto dengan air mata yang tak bisa ia bendung. Lelaki itu sungguh tak suka saat pemimpin clan Hyuuga itu mengucapkan kalimat tersebut.
Memang benar, dulu rasa cintanya terhadap Hinata hanya sebatas rasa kasihan dan balas budi. Tapi sekarang, ia benar-benar mencintai gadis itu. Ia cinta kelembutan dan kehangatan Hinata. Ia butuh gadis itu. Sangat membutuhkannya.
"Sudahlah, Hokage-sama. Kau tidak mencintai putriku sama sekali. Dia hanya kau jadikan sebagai alat pelampiasanmu. Cukup, sudahi semua perbuatanmu."
"AKU SANGAT MENCINTAINYA. KUMOHON PERCAYALAH..." tangis Naruto meledak didepan sang Hiashi Hyuuga. Beginilah sakitnya saat kau mencintai seseorang, tapi tak ada seorangpun yang percaya bahwa kau mencintainya.
"Jangan datang diupacara pemakaman putriku. Jangan pernah kunjungi makamnya. Aku tak akan pernah mengizinkanmu menyentuh nisan putriku, karena aku tidak akan pernah mengampunimu jika kau melakukannya. Segel akan dipasang disekeliling makam Hinata. Dan kau tahu, hanya kau satu-satunya orang yang tak boleh mengunjungi makamnya." jelas Hiashi tegas dan penuh penekanan.
Naruto yang mendengar penjelasan itu, hanya bisa membeku ditempatya. Belum satu kesedihan menghilang, tapi kesedihan dan masalah lainnya datang menimpa dirinya. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia bisa melakukan semua itu? Tak boleh menghadiri upacara pemakaman Hinata, bahkan mengunjungi makam gadisnya. Mana mungkin sanggup ia melakukannya.
Hiashi hendak pergi menyusul Neji, tapi langkahnya harus terhalang oleh sesuatu dibawah sana. Ya, sang Hokage kini tengah berlutut dihadapan sang Hyuuga agar ia bisa menarik semua ucapannya. Tapi, tidakkah ia tahu bahwa seoorang Hyuuga tak akan mungkin melakukan hal seperti itu.
Naruto memegang kaki lelaki paruh baya dihadapannya, agar tak pergi secepatnya. Berharap tangisan, jeritan, isakan dan air mata yang keluar dari kedua birunya bisa meluluhkan hati Hiashi-sama. Tapi percuma. Seorang Hyuuga takkan pernah menarik kembali perkataannya.
"Kumohon jangan lakukan itu, Hiashi-sama. Aku mohon padamu. Anggap ini sebagai permintaan terakhirku. Aku hanya ingin mengunjungi Hinata setiap hari, setidaknya agar ia bisa memaafkanku. Ku mohon..." pinta Naruto yang masih berlutut dikaki Hiashi Hyuuga. Menangis sejadi-jadinya, tanpa menghiraukan tatapan-tatapan kesedihan dari yang lainnya.
"Permintaan terakhir kau bilang? Bagaimana mungkin aku bisa memenuhinya, jika permintaan terakhir putriku pun tak bisa kau penuhi. Kau itu egois. Lepaskan kakiku sekarang juga. Untuk apa seorang Hokage berwibawa sepertimu melakukan hal seperti ini? Menangis hanya untuk gadis yang tak kau cintai. Masih banyak gadis diluar sana yang menunggumu. Tak perlu kau tangisi Putriku yang sudah tak bernyawa itu." jelas Hiashi yang langsung menarik paksa kedua kakinya dari Naruto. Lelaki paruh baya itupun lantas pergi secepat mungkin meninggalkan Hokage yang masih berlutut dan menangis tak karuan.
'Itu kesalahanmu, dan kau harus mempertanggung jawabkannya.' batin Hiashi yang langsung menaiki mobil dan lantas pergi dari Rumah Sakit Konoha.
Naruto mencoba untuk mengejar mobil yang kini melaju dalam guyuran salju. Memanggil nama gadisnya beberapa kali sampai lidahnya terasa kelu. Kali ini, ia benar-benar merasakan sesuatu yang selalu dirasakan oleh Hinata.
:: Can't I Love You? ::
Tak menyangka. Tak menduga. Secepat ini kekasih yang baru saja dicintainya harus meninggalkannya. Baru saja merasakan perasaan rindu dan sayang menggebu-gebu dalam kalbu, tapi gadis itu telah berlalu. Meninggalkan sang Hokage dalam penyesalan terdalam. Penyesalan seumur hidup yang takkan pernah teratasi. Kebodohan dan kesalahan terbesarnya karena telah menyia-nyiakan kekasih hatinya.
Lelaki itu tak mau terus seperti ini. Ia mencoba berkali-kali memasuki mansion Hyuuga yang sangat mewah itu, untuk sekedar menghadiri upacara pemakaman. Tapi apa yang ia dapat, penolakan mentah-mentah dari pemimpin clan Hyuuga. Tak mengizinkan dirinya untuk melihat wajah gadisnya yang telah tertidur dan takkan pernah terbangun lagi.
Perasaannya terasa begitu perih, saat mengetahui bahwa dirinya sajalah yang tak boleh menghadiri pemakaman sang Hyuuga. Lelaki itu menjerit, memohon, bersujud kepada pemimpin clan Hyuuga tersebut agar diizinkan untuk melihat Hinata. Tapi apa, semua yang telah ia lakukan takkan pernah berujung pada hasil yang ia inginkan. Seberapa banyak air mata yang ia keluarkanpun, takkan bisa meluluhkan hati seorang Hiashi Hyuuga.
Naruto terpaku ditempat saat menyadari bahwa dirinya tak bisa sedikitpun mendekati makam Hinata. Beberapa kali ia mencoba, tapi tubuhnya bagaikan tersetrum jutaan volt listrik. Tak mengindahkan tatapan semua orang yang begitu menatap nanar kepada Hokagenya.
Sebegitu besarkah rasa cintanya kepada Hinata? Benarkah rasa cinta itu memang benar cinta yang tulus? Tak ada yang percaya dan mengerti dengan perasaannya saat ini.
Lelaki itu hanya bisa melihat dari jauh saat tubuh tak bernyawa gadisnya dikebumikan. Meninggalkan suatu kepedihan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya mengalir, tubuhnya bergetar, hatinya sakit, lidahnya keluh, semuanya bagai mati rasa. Beginikah rasanya kehilangan sosok seseorang yang sangat kita cintai?
"Aku mohon jangan lakukan ini, Hiashi-sama." ucap Naruto yang membiarkan dirinya terjatuh lemah diatas tanah bersalju. Menerima setiap butir demi butir bola lembut itu menyentuh kulit tannya. Menggigilkan diri kuatnya yang tak pernah serapuh sekarang.
Naruto benar-benar terlihat kacau saat ini. Jubah kebesaran yang selalu ia kenakan, tak ia hiraukan lagi. Kantung mata yang yang tampak jelas dibawah birunya, menandakan bahwa sang Hokage terus menangis dan tak tidur semalaman. Mengenang semua kebaikan hati sang gadis.
Salju yang turun kebumi Konoha semakin lebat saja. Mengikuti kesedihan dan kepergian sang Hyuuga. Menyelimuti tempat peristirahatannya dengan benda yang paling gadis itu sukai. Salju.
Pemakaman telah selesai. Satu persatu telah kembali kerumah masing-masing untuk menghangatkan diri. Tapi tidak untuk sang Rokudaime. Lelaki itu lebih memilih diam dari tempatnya-masih dalam jarak kejauhan. Memperhatikan makam sang gadis yang mulai tertutupi salju. Hari yang seharusnya menjadi kebahagian bagi Hinata, harus menjadi hari terakhir untuknya pula.
Naruto masih terdiam ditempatnya. Terduduk diatas bumi berselimut salju tebal. Bibir lelaki itu tampak membiru dan bergetar karena menahan kedinginan yang ada. Mata biru lautnya terus mengeluarkan air mata. Uap tampak mengepul jelas tiap kali lelaki itu menghembuskan nafas.
Dia harus bagaimana? Bahkan untuk melihat makam itu dari jarak dekatpun tak bisa. Hanya bisa memandang dari kejauhan tanpa bisa menyentuh sedikitpun.
"Sudahlah Rokudaime-sama, tak usah kau sesali." ucap seseorang yang berada tepat dihadapan Naruto. Lelaki itu sampai harus mendongakkan kepalanya, untuk melihat seseorang tersebut.
Naruto hanya bisa diam. Dadanya masih terasa sangat sesak. Bahkan, untuk berbicara pun rasanya sangat sulit.
"Hinata pasti akan sangat sedih kalau melihatmu seperti ini." sambung orang itu yang tak lain dan tak bukan adalah Hyuuga Neji.
"Sebenarnya, aku sangat-sangat membencimu, Hokage-sama. Padahal aku sudah mempercayaimu untuk menjaga Hinata. Tapi, apa yang kau lakukan padanya? Kau terus mengabaikannya. Kau takkan pernah tahu betapa sakitnya perasaannya selama ini. Semua pengorbanan yang telah ia tujukan untukmu, semata-mata hanya karena ia ingin melihat senyumanmu. Beberapa kali ia pingsan dan koma karena penyakitnya, tapi kau tak pernah tahu akan semua itu. Kau terlalu sibuk dengan perasaanmu yang selalu saja memikirkan Sakura, Sakura, dan Sakura. Kau tak pernah tahu betapa besar cinta Hinata untukmu." jelas Neji panjang lebar sambil memejamkan kedua bola mata lavendernya untuk mengenang semua tentang Hinata.
Naruto masih menangis ditempat. Ia benar-benar ingin mati dan bertemu dengan Hinata saat ini.
"Kau tahu, sakit Hinata itu disebabkan oleh serangan Pain saat itu. Aku yakin kau masih sangat ingat dengan kejadian itu. Entahlah, aku juga tak tahu mengapa Hinata masih bisa memaafkanmu, padahal kau sudah terlalu sering menyakitinya. Bahkan, dia juga melarangku untuk membencimu. Bagaimana mungkin?"
FlashBack
"Hinata-chan, kau bisa dengar kakak?" tanya Neji yang kini telah membawa tubuh gadis itu kedalam ruangannya kembali. Tangannya terus membersihkan darah yang hampir mengering disekitar bibir gadis itu. Air matanya terus mengalir dan membasahi pipi putih Hinata.
Dengan sangat lemah, Hinata menyingkirkan tangan Naeji yang masih membersihkan darah dari sana. Memberikan senyuman getir yang sudah sangat dipastikan. Menatap dalam mata lavender yang tengah menangisi keaadaannya.
"Kakak, jangan menangis lagi. Aku tak ingin kau seperti ini gara-gara aku. Kumohon, tersenyumlah..." lirih Hinata dengan nafas putus-putus. Mata lavender miliknya sudah hampir menutup, tapi sekuat tenaga gadis itu mencoba untuk menyampaikan kata terkhir untuk seseorang yang berada dhadapannya.
Neji yang mendengar kalimat itu semakin tak mampu membendung air matanya. Tangisnya pecah saat itu juga.
"Kau tahu, dia tak mencintaiku. Naruto-kun tak pernah mencintaiku. Dia masih mencintai Sakura-chan." tambah gadis itu yang kali ini pun harus menangis juga. Neji tak tega melihat tangisan itu. Ia tak pernah menyangka kalau Naruto akan memperlakukan Hinata sampai seperti ini.
"Tapi ya sudahlah, tidak apa-apa. Asal aku bisa melihat senyumannya, itu sudah cukup untukku."sambungnya lagi dengan nafas yang sudah tak karuan. Gadis itu sedang mencoba melawan rasa sakit yang terus mendera tubuhnya.
"Kau harus mementingkan kesehatanmu dulu, Hinata-chan. Jangan fikirkan dia lagi."
"Emhh..., aku tahu. Kakak, apa ayah sudah datang?"
"Iya, Hiashi-sama sudah datang. Apa kau ingin bertemu dengannya?" tanya Neji dengan suara serak. Hiashi dan Hanabi yang memang sudah berada didalam ruangan itu, langsung berjalan mendekati tubuh Hinata yang terbaring lemah. Tampak jelas dilavender keduanya, bahwa mereka sedang merasa sangat hancur saat ini.
Hanabi yang tak sanggup akan kesedihan dan rasa rindunya, langsung berlari menghampiri tubuh Hinata. Gadis kecil itu menangis meraung-raung diatas tubuh kakaknya. Dengan sekuat tenaga yang masih dimilikinya, Hinata mulai membelai lembut kepala adiknya dengan penuh kasih sayang. Berharap adik perempuannya tak lagi menangisi dirinya.
Neji yang menyaksikan hal itu, hanya bisa mundur beberapa langkah. Membiarkan keluarga itu melepas kepergian Hinata yang tinggal menghitung mundur saja. Merelakan segalanya hilang dan takkan pernah kembali lagi.
"Jangan menangis Hanabi-chan." bukannya makin mereda, tangis itu semakin meledak disana. Mungkin saat ini akan menjadi saat terakhir bagi sang adik untuk memeluk dan menghirup aroma kakaknya dalam-dalam. Memahat semua kenangan indah dalam memori dan ingatan yang ia punya.
Neji yang mengerti dengan hal seperti ini, langsung berjalan mendekati Hanabi. Lelaki itu lantas menuntun tangan gadis kecil yang memang sudah lemas itu, untuk menjauh dari sang kakak. Memberikan ruang kepada sang ayah untuk berbicara kepada putrinya sebelum semuanya terlambat.
Hanabi terus saja menangis sesenggukan. Padahal, tak pernah sebelumnya gadis kecil itu menangis sampai seperti ini, walau dalam pertarungan seperti apapun. Tapi untuk kali ini, ia tak sanggup untuk menahannya lebih lama lagi. Neji mengerti benar perasaan gadis kecil Hyuuga tersebut, karena dirinya pun merasakan hal yang sama. Dengan sangat lembut, lelaki itu memeluk tubuh mungil adiknya itu. Membiarkan tangisan itu meledak bersama kesakitan yang selama ini selalu ia tahan.
Hiashi menatap nanar putrinya yang kini terbaring tak berdaya. Membiarkan rasa sesak dan sakit bersarang didadanya tanpa harus dikeluarkan sedikitpun.
"A..Ayah, bolehkah aku memelukmu?" pinta Hinata dengan mata yang hampir menutup keseluruhan. Detak jantung gadis itu kian melambat.
Tanpa menjawab sedikitpun, Hiashi lantas merendahkan tubuhnya untuk menggapai tubuh kurus putrinya. Memeluk putrinya dengan sangat erat. Membiarkan sang putri meresakan kehangatan yang telah lama menghilang.
"A..aku merindukanmu, ayah…" tangis Hinata pun pecah saat merasakan kehangatan ayahnya kembali. Gadis itu balas memeluk ayahnya dengan bibir yang sudah sangat membiru dan bergetar hebat.
"Ayah, saat aku koma beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan ibu. Aku ingin ikut dengannya. Tapi saat aku meminta hal itu, ibu bilang aku harus bertanya dengan ayah dulu. Dan sekarang, Ibu telah datang menjemputku. Dia menungguku, Ayah. Apa aku boleh ikut dengan Ibu?" tanya Hinata dengan tubuh yang sudah sangat mendingin.
"Ummh.. Terserah Hinata-chan saja." angguk Hiashi sambil meneteskan air mata yang sebelumnya tak pernah ia lakukan. Untuk kedua kalinya sosok ayah itu merasakan rasa sakit yang sama. Dadanya sesak, bahkan sangat-sangat sesak.
"Te..terima k..kasih, Ayah. Ku..kumohon, j..jangan benci Na..Naruto-kun. i..itu permin..taanku..," ucap gadis itu dengan sangat susah payah.
Hanabi yang mendengar hal itu lantas mengeratkan pelukannya kepada Neji. Tangisnya semakin pecah dan menjadi-jadi. Begitu pula yang dilakukan Neji. Lelaki itupun tak kuasa untuk menahan kesedihannya.
"A..Aya..h, Hi...Hinata p..pergi d..dulu ya.." ucap Hinata untuk terakhir kalinya. Perlahan namun pasti, mata indah keparakan Hinata tertutup dengan sangat lemah. Gadis itu kini telah menutup matanya rapat-rapat dan tak akan mungkin terbuka lagi. Detak jantungnya berhenti sudah. Sang putri telah tertidur untuk selama-lamanya. Pergi bersama dengan sang Ibu yang telah menunggunya.
Hiashi bisa merasakan pelukan putrinya yang semakin merenggang, hingga akhirnya tangan kecil milik Hinata harus melepaskan pelukannya dari sang Ayah. Ya, sang putri Hyuuga pergi dalam pelukan sang Ayah yang sangat ia rindukan.
Hiashi menangis. Pemimpin clan Hyuuga itu menangis sambil memeluk erat tubuh Hinata yang sudah tak bernyawa itu lagi. Untuk kedua kalinya ia harus kehilangan orang-orang yang ia cintai. Untuk kedua kalinya pula ia harus menangis dan merasakan luka yang menganga lebar didadanya.
Mencoba untuk tegar, Hiashi melepaskan pelukannya pada Hinata. Sosok Ayah itu lantas memberikan kecupan hangat didahi putrinya untuk terakhir kali.
"Selamat tidur, putriku." ucap Hiashi begitu pelan.
Keluarga Hyuuga itu pergi dari dalam rangan Hinata untuk sementara. Memberikan kesempatan kepada teman-temannya yang lain untuk masuk dan melihat sang gadis untuk yang terakhir kalinya. Menjatuhkan air mata yang akan menjadi penghantar kepergian sang Hyuuga.
End Flashback
Naruto membeku ditempatnya. Baru ia sadari betapa besar rasa cinta Hinata terhadap dirinya. Baru ia tahu bagaimana rasanya dicintai setulus hati oleh seorang gadis yang bahkan elalu saja ia sakiti. Sang Hokage hanya bisa menangis, menyesali semua perbuatan bodohnya selama ini.
"Sudahlah, Hokage-sama. Kau tak perlu menangis terus seperti itu. Tak usah paksakan perasaanmu. Jika kau masih mencintai gadis Hauno itu, pergilah bersamanya. Karena aku yakin, Hinata akan sangat mengizinkanmu." jelas Neji yang membuat Naruto geram. Tak mungkin, tak mungkin dirinya bisa mencintai gadis yang selalu saja membohongi dirinya.
"Ke..kenapa kau tak percaya bahwa aku sangat mencintai Hinata?" tanya Naruto dengan suara bergetar.
"Hn, sudahlah Hokage-sama. Jangan membohongi perasaanmu terus menerus. Kau sudah lepas dari Hinata sekarang. Dan itu artinya, kau boleh bersama dengan siapapun, sesukamu."
Naruto pasrah. Tak ada seorangpun yang mempercayai dirinya.
"Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu. Ini pemberian Hinata-chan." jelas Neji sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dari jaket tebalnya. Lelaki itu lantas menyerahkannya kepada Naruto.
"Itu adalah syal yang dirajut oleh Hinata sendiri. Awalnya ia ingin memberikannya kepadamu, saat tahun baru. Tapi, kau tahukan kalau itu tak mungkin. Jadi, dia menitipkan ini padaku. Yasudahlah, aku pulang dulu. Sebaiknya kaupun juga begitu. Kau terlihat sangat kacau. Apa kau tidak malu kalau lebih banyak lagi orang yang melihatmu seperti ini?" ucap Neji sambil mencoba untuk mengukir senyuman lemahnya.
Tanpa menunggu jawaban sedikitpun, lelaki berambut coklat itu lantas meninggalkan sang Hokagenya yang masih terpaku tak percaya. Meneliti tiap serat yang menyatu menjadi sebuah syal berwarna orange. Hasil rajutan tangan yang sudah pasti dibuat dengan penuh cinta.
"Hi..Hinata-chan, aku merindukanmu..." lirih Naruto yang kemudian menggenggam dan meremas syal berwarna orange tersebut. Menghirup dalam-dalam aroma khas seorang Hyuuga Hinata. Aroma yang sudah sangat dirindukannya, bahkan membuatnya hampir gila.
"Kau tahu, tidak ada yang percaya bahwa aku sangat mencintai dirimu." sambungnya lagi sambil tersenyum miris. Matanya tampak kosong. Sang Hokage benar-benar terlihat sangat kacau.
:: Can't I Love You? ::
Hari berlalu semakin cepat. Meninggalkan dan menumpukkan cinta dan rasa rindu dalam hati sang Hokage. Mengenang semua kelembutan, kehangatan dan perhatian yang pernah ia dapatkan dari gadisnya. Lagi, rasa sakit itu kembali menyesakkan dadanya. Rasa sakit itu kembali bertambah parah, saat menyadari bahwa gadisnya tak akan pernah memanggil namanya.
Naruto tak peduli dengan semua pendapat orang diluar sana. Biar mereka tak mempercayai dirinya, asalkan ia yakin bahwa cinta yang tumbuh dilubuk hatinya yang terdalam memang benar-benar cinta yang menggebu-gebu. Cinta tulus yang hanya akan ia berikan dan persembahkan untuk sang Hyuuga. Hyuuga Hinata. Hanya dia, takkan ada satu orangpun yang mampu menggantikan posisi Hinata dalam hati Naruto.
"Sudah jam 12. Aku akan mengunjunginya dulu..." ucap Naruto seraya bangkit dari bangkunya dan pergi dari gedung tersebut. Menuju sebuah tempat yang selalu ia kunjungi setiap hari. Tak peduli badai salju yang datang, tak peduli kalau dirinya tak bisa mendekati makam itu. Karena baginya, bisa melihat makam Hinata dari jauh pun, itu sudah lebih dari cukup. Hal itu dianggap Naruto sebagai balasan akan dirinya yang selalu menyakiti Hinata.
Lelaki itu berjalan disepanjang guyuran salju. Salju yang selalu mengingatkannya akan Hinata. Salju yang menjadi saksi bisu akan kesedihan dan rasa cinta yang telah tumbuh dalam hatinya. Lagi-lagi ia menyelipkan sesuatu dalam jaketnya. Sesuatu yang selalu ia bawa tiap kali mengunjungi makam gadisnya. Makam yang hanya bisa ia lihat dari jauh.
Setelah berada disana, Naruto lantas memendang nanar makam yang tampak putih karena terselimuti sang salju. Senyum miris tampak terukir dibibir sang Hokage. Ia hanya bisa berdiri jauh dari maka Hinata. Memandangnya dari batas segel yang telah melindungi makam tempat gadisnya beristirahat. Hanya dia, hanya dirinya yang tak diperbolehkan kesana.
Mencoba untuk tegar, Naruto mulai berjongkok didepan segel yang melindungi makam Hinata. mengatupkan kedua tangan, lalu memejamkan kedua bola mata birunya. Lelaki itupun mulai bedoa dengan begitu khusyuk, mengeluarkan segala keluh kesah dan kerinduannya.
"Hinata-chan, apa kabar? Aku yakin kau baik-baik saja disana. Kau tahu, tak ada satu orangpun yang percaya bahwa aku mencintaimu. Tapi aku yakin, kau percaya pada perasaanku. Kau yang selalu mengerti dengan air mataku. Aku mencintaimu. Katakan kepada kami-sama, bahwa aku akan berada disampingmu kelak. Aku akan menjemputmu disana. Dan saat itu terjadi, akan akan langsung memelukmu. Beristirahalah, Hinata-chan. Aku akan selalu datang untukmu. Aku mencintaimu."
Naruto membuka kedua bola matanya seraya mengakhiri doanya.
Setelah itu, lelaki itu mengambil sesuatu dibalik jaketnya. Ya, sebucket rangkaian bunga lili dan bungan lavender. Dimana dalam bucket itu, terdapat 24 tangkai bunga lili yang berarti 'Setiap saat aku akan selalu mengingatmu', dan juga 1 tangkai bunga lavender yang berarti 'Cintaku hanya untukmu seorang'.
Naruto memandang tumpukkan bunga yang selalu ia bawa setiap hari. Senyuman lemah mengukir bibir indahnya. Lelaki itu kembali memejamkan kedua bola matanya, dan menghembuskan nafasnya berat. Membawa tubuh kuatnya dalam posisi tegak.
"Hinata-chan, aku pulang dulu ya. Besok, aku akan datang lagi. Bersistirahatlah. Aku mencintaimu..." lirih Naruto yang kemudian berlalu meninggalkan makam Hinata. Tanpa lelaki itu sadari, seorang gadis dengan pakaian seputih salju tengah memperhatikannya dengan senyuman yang sangat manis. Menatap kepergiannya dengan kelembutan dan kehangatan yang selalu tercipta dari sana.
"Aishiteru yo, Naruto-kun..." ucap gadis itu yang kemudian menghilang saat hembusan angin membawa tubuhnya.
Kini, cinta itu telah tumbuh dalam hati sang Hokage. Tak peduli walau terpisah didimensi yang berbeda. Yang jelas, suatu saat sang Rokudaime akan pergi menjemput sang Hyuuga, dan membawa gadis itu dalam pelukannya.
Cinta, Cinta yang membutuhkan pengorbanan terdalam...
...
...
...
The End
Tamat...
Huah... ampuni dan maafkan . Tapi jujur, inilah ending yang telah fikirkan matang-matang. Tolong maafkan... ToT
Selain itu, mau terima kasih sebanyak-banyaknya untuk yang udah mau review atau baca cerita . Gag ada penghargaan terbesar, selain review dari kalian. Pokoknya berterima kasih sebanyak-banyaknya. Love you All. Muachhhhh... #PeyukPeyuk.
Nah, mumpung ini ending, jadi pengen kalian Nyimpulkan suatu makna dari cerita ini. semua cerita pasti memiliki makna yang tersirat bukan? Nah, harap kalian bisa menyimpulkan berdasarkan pendapat masing-masing.
Soal balasan review, gomen gag bisa kasih lagi..._PLAKK soalnya ni chapter panjang banget. Jadi, takutnya entar error. Pokoknya makasih untuk semuanya... . #HugsAgain
Nah, sampai jumpa difict yang lain ya...
Awas loh, jangan pelit Review –PLAK PLAK hehehe
Oh ya, dan juga Untuk itu Lie-chan mau minta tolong bwat R n R lagi ya….*Chappy eyes no jutsu*
R n R PLIZ…..
ARIGATOU GOZAIMASU ! =)