"Sumpah, gak bohong Chouji lama banget," kesabaran Ino sudah hampir habis. Dia selalu ngedumel apapun beberapa menit terakhir ini. Ini semua gara-gara Chouji.

Mereka bertiga rencananya mau ngumpul bareng, biasa lah reunian. Mereka sudah beberapa bulan ini gak ketemu, alasannya apalagi kalau bukan Ino dan Chouji yang mengikuti program pertukaran pelajar ke SMA lain selama satu semester. Maka dari itu, mereka bertiga sudah sangat lamaaa sekali tidak bertemu. Inilah kesempatan yang bagus buat reunian.

Harusnya sih, dihitung-hitung Chouji sampai ke tempat mereka janjian 15 menit yang lalu. Hem, nyatanya belum kelihatan batang hidungnya. Ngek.

"Lo bisa diam sedikit gak sih?" Shikamaru berkata dengan unsur ketajaman katanya karena di mulai terganggu.

Ino melirik. Alisnya mengkerut.

"Apa?"

"Damn, lo terlalu berisik," Shikamaru tanpa bersalah mengatakan itu pada Ino, yang langsung berubah mimik mukanya.

Ino membalas perkataan Shikamaru. "Heh, maksud lo apa? Gue terlalu annoying? Terserah, gak peduli gue. Yang gue peduliin sekarang, kemana si Chouji itu sampe belom dateng-dateng juga ah,"

Gila, frustasi kali ini cewek. Aduh, kenapa gue tadi gak janjian telat sih sama si Chouji? What a drag.

Pip pip.

Terdengar suara ponsel Shikamaru dari kantong celananya. Dirogohnya saku kanan, lalu membuka poselnya. Satu pesan diterima.

From : Chouji

Shikamaru, kyknya gue gakjadi dtg , ini gr2 kepsek minta gue buat ngisi berkas2 buat form nerusin pertkrn pelajar ya, maap buat Ino juga oke.

"Ck," Shikamaru mendecak. Aah, tau gini beneran gue tidur aja deh.

"Siapa? Oh, jangan bilang itu Chouji," Ino sudah menebak duluan. Tepat sih jawabannya, entah reaksinya gimana.

"Iya,"

"Bilang apaan?" Ino bertanya.

"Dia gak jadi dateng. Suruh ngisi formulir buat nerusin progam yang lo berdua ikutin," Shikamaru menjawab. Dilihatnya pesan dari Chouji sekali lagi, lalu dia menutup ponsel flip-flopnya (buka tutup) dan menaruhnya di saku kanan lagi.

Dan yak, mereka sekarang berdiri kaya pasangan bego di tengah jembatan kayu sungai Tatsuya. Gak malu sih, justru mereka malah kesel. Ino yang langsung memasang tampang putus asa sesekali ngomel gak jelas sementara Shikamaru yang juga sedang mendengarkan lagu dari I-Pod-nya cuma menyenderkan tangannya ke pagar pembatas sambil memandang refleksinya di air sungai yang mengalir pelan itu.

Andai Chouji ada disini, kayaknya mereka bakalan gak perlu sehening ini.

Ada kali 5 menitan, mereka diam tanpa kata. Gak bicara apa-apa. Gak penting juga bicara, mereka juga tahu kalau palingan juga ujung-ujungnya berantem atau ngeluarin pendapat yang berbeda yang membuat mereka adu kata. Lebih males lagi, kan.

Tak disangka-sangka, Ino nyeletuk duluan.

"Lagi denger lagu apaan?" tanya Ino penasaran. Shikamaru sedang mendengarkan lagu, tapi tampangnya biasa aja. Ah, tampangnya kan emang biasa aja. Datar. Salah deh kayaknya, Ino tanya hal macem gitu.

"Kenapa? Mau dengerin?" Shikamaru malah tanya balik.

"Enggak sih, habis lo dengerin lagu tapi tampang lo biasa aja. Denger lagu apa?"

Shikamaru mengeluarkan I-Pod dari kantong kemejanya, lalu mengulurkan Ino supaya dia bisa melihat dengan lebih jelas.

Saosin – Penelope (acoustic).

"Oh," Ino hanya bisa berkata itu. Lalu, dia memandang Shikamaru sebentar. Dilihatnya dia memasukkan kembali I-Pod-nya, tapi dia menghentikannya ditengah jalan. Dia melirik Ino.

Diam.

"Hm, lo mau dengerin?"

Ngek.

Ino mendengus, kirain apaan tadi. Hedeh.

"Mau sih, tapi kan lo lagi dengerin. Jadi ya, gak usah lah," Ino membalikkan badannya, punggungnya menyender pada pagar pembatas. Dia sekarang meliat bagian sungai di sisi kiri jembatan. Pemandangannya bagus, ada beberapa pohon sakura di sampingnya. Andai tadi dia membawa kamera. Sayang yang dibawanya hanyalah kamera ponselnya yang buram. Hm.

Shikamaru mencopod earphone-nya lalu memberikan I-Pod serta earphone ke Ino. Ino memandangnya dengan bingung. Kayaknya tadi dia sudah mengatakan sesuatu deh. Emang dia gak denger ya?

"Nih, gue agak bosen dengerin lagu terus. Pake aja," Shikamaru menawarkan. Ino pun mau tak mau mengambil I-Pod-nya. Dia lalu memakai earphone ke telinganya. Dilihatnya layar I-Pod, masih tertera Saosin – Penelope (acoustic).

Beberapa saat kemudian, sesaat sebelum lagunya habis, Ino berkomentar. "Lagunya bagus deh, gue suka akustikannya. Tumben selera lo kayak gini Shika. Perasaan dulu sebelum gue pergi, lo suka macem-macem Pop-Rock-Alternative segala macem deh. Sekarang kenapa jadi akustikan?" Ino berkata sambil melirik Shikamaru. Shikamaru langsung menegakkan badannya.

Kayaknya makin tinggi aja ini cowok. Bagus deh, tambah ganteng. Hehe. Hm, eh apa tadi? Ganteng?

"Yah, gak enak juga ternyata suka sama sesuatu yang itu-itu doang. Makanya gue nyoba sesuatu yang beda." jawab Shikamaru pelan. Pandangannya terlihat ke titik hilang sungai itu.

"Hm, gitu," Ino menjawab. Dilihatnya beberapa playlist dalam I-Pod Shikamaru. Yah kayaknya emang akustik semua.

Wonderwall – Oasis

Ordinary People – John Legend

Comforting Sounds – Mew

Symmetry – Mew

Sattelite Heart – Anya Marina

"Terus gimana, disini tanpa gue sama Chouji? Hm, tunggu gue tau jawabannya. Pasti lo bakalan bilang kalo semuanya jadi lebih tenang, lebih adem, lebih ngebuat lo rileks gak ada kita berdua. Ya kan?" Ino tersenyum kecil. Sesekali melirik Shikamaru. Yang sangat mengejutkan adalah, Shikamaru ikutan tersenyum. Oh my God, hello, ini Shikamaru kan? Bisa juga dia senyum-senyum.

"Sebenarnya sih iya, tapi faktanya gak gitu," Shikamaru masih memakai senyuman itu di wajahnya, "Kadang gue juga rindu sih, sama lo berdua."

Ino mendengus, matanya sedikit membesar. Lalu dia memukul lengan kiri Shikamaru dengan tangan kanannya.

"Demi apa, lo kangen sama kita? Aduh, Shikamaru bisa kangen juga sama kita. Gue jadi terharu," ujar Ino diakhiri dengan tertawa pelan.

"Faktanya emang iya,"

Ino agak kaget juga sih, habis suara terakhirnya ini keliatannya beda sama sebelum-sebelumnya. Ino terus melirik lagi ke arah Shikamaru. Wih, pandangannya men jadi serius gitu.

"Pas lo berdua gak ada, gue jadi sendiri. Sepi juga sih,"

Ino hanya manggut-manggut tanda dia mengerti. "Emangnya lo gak main sama anak cowok lain apa? Shino? Sai? Kiba? Masih banyak kali temen-temen lain,"

"Masalahnya, lo tau sendiri gue gimana."

Ngeng, oke. Kayaknya Ino tau deh, masalahnya apa. Shikamaru terlalu amat sangat malas buat ngomong sekedar ngajak main atau ngobrol segala macem sama tuh cowok macem Sai, Kiba, Shino. Yah, palingan gak nyambung nanti apa yang diomongin. Topiknya beda ceritanya, dia kan si jenius.

Lagian, palingan nanti si gerombolan cowok itu pada ngomongin cewek doang. Hah, Shikamaru kan paling anti sama yang namanya ngomongin cewek.

"Hm, ya ya gue tau. Jadi lo gak main sama siapapun gitu? Lo tuh jenius tapi kuper ya,"

Shikamaru melirik Ino, gantian kali ini alisnya yang mengerut. "Gue gak kuper, gue cuma males."

"Males itu awal dari kuper, lo tau?"

"Cih, apaan tuh?"

"Untung cuma Chouji yang ngelanjutin sekolahnya disana. Coba kalo gue lanjut juga. Yakin seratus persen, lo bakalan dapet polling buat orang termisterius."

Shikamaru memalingkan wajahnya.

"Gimana kalo lo berdua?" dia bertanya.

"Gimana apanya?" Ino agak bingung. Gimana dengan dia dan Chouji?

Shikamaru mendesah. Untung dia mau sabar ngelayanin ini cewek super aktif. Kalo enggak, palingan dia udah pergi ninggalin dia, tidur dirumah.

"Lo berdua gak ada gue, gimana?" Shikamaru mencoba mengulang pertanyaannya tadi.

Ino lalu mengangguk, mulutnya membentuk huruf O. Dia berpikir sejenak. Hm, gak ada Shikamaru?

"Hm, gimana ya bilangnya," Ino masih memikirkan kata-kata apa yang hendak diucapkannya. "Kalo Chouji gue gak tau, soalnya kita beda sekolah. Tapi masa sih, dia gak kangen sama lo? Lo kan sahabatnya sedari kecil juga."

Shikamaru mengangguk. "Kalo lo?"

Ino masih berpikir. Enam bulan tanpa bertemu langsung dengan Shikamaru emang ngebuat dia rindu segala macem tentang dia. Dibanding Chouji, dia lebih rindu dengan Shikamaru. Padahal kan mereka berdua sahabatnya dari kecil juga. Ada yang salah gak sih?

"Gue… ya rindu lah. Haha, gue kan sahabat lo juga dari kecil. Komunikasi sebatas sms atau telpon kadang ngaruhnya kecil buat gue. Tapi gue rindu kok sama lo," kata Ino. Dia tertawa, memamerkan gigi-giginya yang putih.

Shikamaru cuma balas tersenyum tanpa melihat ke Ino.

"Walaupun kita ini sering beda pendapat ya, Shika, kalo gak ada lo jadi aneh aja. Gak ada yang ngerceokin gue lagi, haha aneh emang. Tapi justru disitu kerinduan gue terhadap lo. Kadang kita ngeliat orang lain rindu sama sahabatnya yang cuma rindu fisik. Entah kenapa ya, kalo gue beda. Gue malah rindu dalemnya. Haha, udah ah gak usah dilanjutin," Ino tetap tertawa kecil sesekali melihat ke arah Shikamaru dan I-Pod-nya.

Shikamaru pelan-pelan mencerna kata-kata Ino. Gue malah rindu dalemnya? Rindu apanya? Wataknya? Sifatnya? Hatinya?

No. Gak mungkin lah, ini Ino.

Shikamaru melayangkan pandangannya ke refleksi dirinya di air sungai itu. Dia makin berpikir. Yah, maklum lah dia terlalu jenius mikir-mikir apa yang gak penting sebenarnya.

"Tapi darimana lo tau juga, kalo mereka rindu fisiknya?"

"Hah? Aduh Shikamaru, masih aja ini topik," Ino menghembuskan nafasnya. Lalu bersiap mengucapkan kata-kata selanjutnya. "Gini ya, lo liat kan, kalo orang baru ketemu setelah sekian lama mereka gak ketemu pasti mereka pelukan, terus bilang 'ih, muka kamu masih tetep ya kayak yang dulu' atau 'wah, kamu tambah tinggi ya' atau malah 'ya ampun, rambut kamu bagusan yang dulu deh'. Emangnya itu bukan ciri-cirinya kangen fisik? Ya itu sih pendapat gue,"

"Kita gak pelukan, tapi,"

Ngek.

Ino melotot, matanya melirik tajam ke Shikamaru. Dia cuma melipat tangannya di pagar pembatas, lalu membiarkan kepalanya tergeletak di atas lipatan tangannya. Kayaknya ekspresinya biasa banget.

"Terus lo mau kita pelukan gitu? Berart—,"

"Kalo iya?"

Ngeeeeeek.

Eh, apa-apaan sih ini? Maksudnya dia ngerjain gue? Apa gimana? Apa emang—ehm, dia mau peluk gue? Sumpah, God I need you deh.

"Maksudnya?" Ino mengernyitkan alis, dia sekarang disamping Shikamaru pas banget. Biar bisa ngeliat dia dengan lebih jelas, keliatannya. Earphone sudah dicopot dari telingannya. Oke, sekarang harus mencoba serius. Ini bukan sekedar lelucon kan, ya.

Shikamaru gantian, dia berputar. Sekarang posisinya sudah hadap-hadapan. Sumpah, Ino baru nyadar kalo tingginya emang tambah menjulang ini cowok sejak terakhir kali dia pergi.

Kalo dipikir-pikir, dia terlalu ganteng sih buat jadi seorang jenius. Rumor yang didenger sejak kelas 1 SMA dulu emang banyak cewek yang naksir sama dia. Udah ganteng, cool, jenius pula—kata orang sih itu. Serius.

Lagian, hello, siapa sih yang gak suka sama Shikamaru Nara? Bahkan guru-guru selalu menyanjung si jenius ganteng ini. Ngeh.

Dan Ino baru sadar gitu. Kenapa dia gak sadar ya sejak dulu, kalo Shikamaru—teman masa kecilnya ini, telah tumbuh jadi cowok yang sangat diidolakan, yang ganteng, yang cool, yang beda dari Sasuke (oke, Sasuke ini orang yang dia sukain pas SMP). Konyol gak sih.

Sebenarnya pikiran yang satu ini nih, tepat setelah ini, dia uadh mikirin sejak lama. Sebelum dia pindah ke SMA lain malah. Cuma sayang banget, ini sama sekali gak ada yang tahu. Bahkan si jenong pun gak tau.

Emangnya gue suka ya, sama si jenius ini?

"Gak apa-apa," Shikamaru hanya bilang itu.

Krik.

Hello, tadi dia nyadar gak sih udah bilang kata yang bikin jantungnya Ino jadi dag-dig-dug terus? What a boooooy!

"Eh, tunggu," Ino memberhentikan Shikamaru. Habis, sepertinya dia mau pulang, soalnya dia langsung membalikkan badannya berjalan ke arah yang berlawanan dengan Ino.

"Hn?"

"Lo—belom jawab gue, perasaan. Maksudnya apa tadi?"

Diam. Sumpah, untung bukan malam hari. Jangkrik menang tuh adu suara, kalo malam.

"Gue cuma mau bilang pendapat gue. Mereka pelukan sebenarnya karena mereka udah dapet ikatan yang kuat satu sama lain, gue kira. Kenapa kita gak pelukan pas lo pertama kalo ngeliat gue? Karena basically kita gak punya ikatan yang kuat," jelas Shikamaru.

Tunggu.

"Kata siapa kita gak kuat? Kesimpulan darimana tuh?"

"Gue jenius, lo tau,"

Jenius? Gak kuat? Hey, kita sahabatan dari kecil banget men. Lo sama gue ketemu pas umur berapa tahun deh itu, aduh gue lupa. Gila ya, gue gak terima gue sama lo dibilang lemah dalam persahabatan. Kayak gitu sama aja gue gak di anggap sahabat lo. Hell!

"Eh, Shika denger ya. Gue gak mau berdebat nih sama lo, tapi kita ini sahabat dari kecil. Lo kalo bilang kita ini gak ada ikatan, namanya lo gak anggap gue jadi sahabat lo. Sumpah ya, lo tuh, ck,"

Shikamaru cuma diam. Beberapa saat kemudian, dia berkata pelan.

"Kalo kita punya ikatan, kenapa lo gak peluk gue waktu itu?"

Oke, this is definitely sebuah masalah yang serius. Ino sama sekali gak bisa bales kata-kata Shikamaru karena pada dasarnya emang pas pertama kali dia dateng balik kesini, dia cuma senyum doang terus langsung ngobrol-ngobrol sama Shikamaru. Dia baru sadar si Chouji kan meluk dia ya, waktu itu. Ah, pelukan apaan sih? Hell.

"Gue… Shikamaru, itu bener-bener… Ck, gue—," mendadak Ino gak bisa ngomong apapun kecuali shocked.

Gimana dia gak kaget coba, pelan-pelan tangannya Shikamaru melingkar di pinggangnya Ino terus dalam beberapa detik kepalanya Ino sudah berada di dadanya Shikamaru. Sumpah, kalo lo jadi Ino apa yang bakalan lo lakuin?

Mata Ino membesar. Masih terlalu sulit ya, dipercaya. Ini Shikamaru. Orang nomor satu terjenius di SMAnya. Orang yang masuk dalam kategori cool di SMAnya. Orang yang juga masuk nominasi di bidang kepopulerannya dikalangan cewek-cewek. Sekarang ngapain? Ya, memeluk Ino.

Ino gak tau, ini cara dia buat nyelametin dia gara-gara gak bisa nemuin kata yang tepat buat jawab pertanyaan gilanya tadi atau emang dia beneran mau peluk Ino.

Dan oke, itu cuma berlangsung beberapa detik doang. Pas Shikamaru melepas pelukannya Ino. Dia langsung tersenyum kecil. What the hell?

"Ino, lo gak tau gimana gue jalanin enam bulan tanpa lo,"

M-m-maksudnya? Shi-Shikamaru, bisa diulang?

Tapi, Ino gak bales apapun. Dia cuma bingung, ngelongo gak jelas. Serius, kalo diliat sekarang tampang Ino terlihat idiot banget. Gak bohong.

Dan dengan itu pula Shikamaru langsung meninggalkan Ino sendirian, di jembatan kayu itu. Langkahnya masih terdengar jelas. Lama-lama menghilang. Ino belum juga sadar. Entah berapa lamanya setelah hal itu, Ino baru sadar.

"Tunggu, tunggu," Ino berseru. Tapi, dilihatnya ke sekeliling. Oh, God gak ada Shikamaru.

"Sumpah, Shikamaru kenapa sih?" Ino terpaku. Dia terus memutar ulang kata-katanya. Dia gak tau gimana dia jalanin 6 bulan tanpa dia. God, itu pernyataan ya?

Gue gak mau salah mengartikan kata-kata itu. Please, jangan bilang… Jangan pernah bilang kalo…

"…dia suka sama gue?" Ino bertanya-tanya sendiri kepada dirinya. Berharap kata-katanya yang tadi itu, benar. Tapi, dia juga disatu sisi gak mangharapkannya. Takut kalau dia salah mengartikan, dia akan sakit hati. Karena itu dia masih berpikir, alasan apa yang bisa mambuat Shikamaru berkata seperti itu.

"Sumpah, Shikamaru. Gue gak tau apa yang bakalan gue lakuin, kalo gue ketemu lo besok. Aah, Shit. Gembel banget, kenapa sih selalu ngegantung kalo ngomong sama Shikamaru?"

Tiba-tiba Ino diam.

"Tapi kayaknya, gue juga suka sama dia deh,"