A/N: Ah, sudah lama saya tidak menampakkan wujud saya di sini..

Apakah ini yang dinamakan author yang bangkit dari kubur? #plak

Sudah berapa lama ya sejak terakhir kali Mii update? *ngelirik chapter terakhir*

Ah, udah hampir 2 tahun ternyata #innocentsmile

Jangan dendam ya? Nanti ngga dilanjutin nih? *dikeroyok*

Dari pada basa basi terus, langsung aja yuk (?)


Ia berada di sana.

Bersembunyi di balik kegelapan, menghindari kerumunan itu.

Baju berwarna hitam seakan menjadi dresscode pada acara tersebut.

Karena sejauh matanya memandang, ia melihat seluruh orang memakai baju segelap langit malam. Tanpa sedikitpun cahaya menghiasi.

Ia sendiri pun memakai baju dengan warna yang sama. Lantas, mengapa ia tidak ikut bergabung dengan kerumunan orang tersebut? Pertanyaan bagus.

Kalau kau berpikir bahwa ia sedang menyaksikan sekelompok orang itu yang sedang bernyanyi dalam nada yang sendu—kau salah besar.

Ia, matanya tidak lepas memandangi apa yang orang-orang tersebut tangisi.

Tempat di mana sahabatnya terbaring untuk selama-lamanya..


Disclaimer

My Icy Prince © Mii Saginomiya

Bleach © Tite Kubo


Pagi itu, langit begitu cerah walaupun sudah memasuki musim gugur. Daun-daun yang sudah kehilangan warna hijau cerahnya pun berjatuhan dengan perlahan, memperlihatkan betapa anggunnya musim gugur itu. Beberapa burung bertengger pada dahan pohon, mencari tempat untuk bersiap-siap menyongsong musim dingin nanti.

Betapa tentramnya suasana ini, bukan? Namun hal ini sangat kontras dengan apa yang menjadi fokus utama pada tempat ini. Beberapa orang tengah menangis sesenggukan, menangisi rekannya. Sisanya hanya berdiri mematung, memandangi benda di hadapannya ataupun menenangkan mereka yang menangis.

Kurosaki Ichigo—lelaki yang memiliki warna rambut paling mencolok dari yang lain berusaha menenangkan 'calon tunangan'nya tersebut dengan melingkarkan lengannya pada pundak sang 'calong tunangan', Kuchiki Rukia. Ichigo menatap nanar pada objek di hadapannya. Objek yang berupa batu, namun merupakan suatu identitas dari sang penghuni. Di sana tertulis,

Terbaring dengan tenang,

Hinamori Momo

Yang dilahirkan tahun 19xx

Kembali pada tahun 20xx

Kami mencintaimu

Hanya beberapa penggal kata, namun memiliki arti yang dalam, itulah yang dipikirkan oleh Ichigo saat ini. Ia memandang kepada sosok yang lebih kecil darinya yang berada dalam rangkulannya. Ia menarik sedikit ujung mulutnya sehingga membentuk seutas senyum penuh kasihan.

'Rukia, kau memang perempuan yang kuat..'

Sementara orang yang tengah dipandang hanya melihat ke arah batu nisan itu dengan tatapan kosong. Batu berwarna violet yang menghiasi kedua matanya yang indah seakan-akan hilang dimakan kegelapan. Ia tidak dapat menangis sekarang—tidak lagi. Kedua matanya sudah terlalu sakit untuk melakukan hal itu.

Tidak terasa waktu telah cepat berlalu. Sudah dalam satu putaran penuh jarum panjang mereka berada di situ, tidak bergerak sama sekali. Para pelayat pun sudah sebagian besar meninggalkan tempat pemakaman itu. Terkecuali beberapa orang yang memang sangat mengasihi sang mendiang.

"Orihime, ayo kita pergi sekarang. Kita tidak boleh larut dalam kesedihan terus. Benar, kan?" ucap seorang wanita berambut hitam pendek dengan potongan seorang tomboyish.

"Kau benar, Tatsuki-chan.. Hinamori-san pasti juga tidak suka melihatku menangis seperti ini terus." Gadis yang dipanggil Orihime itu mengusap—entah sudah berapa kali—air matanya dengan punggung tangannya. Perlahan, ia berdiri dari posisinya yang semula dan membersihkan tanah yang menempel di roknya. Wajahnya yang tadinya muram berganti menjadi sebuah senyuman hangat.

"Hinamori-san, aku kembali dulu ya," ucapnya dengan nada yang riang, seakan-akan Momo sedang berdiri di hadapannya. Tiba-tiba, air mata perlahan turun lagi menuruni lekuk wajahnya. Dapat terlihat ia tengah memaksakan diri untuk tersenyum. "Semoga kau tenang di sana.." Ia berbisik sangat pelan, sehingga yang bisa mendengarnya hanya ia sendiri—atau mungkin Momo juga?

Orihime dan Tatsuki membungkukkan badannya dan mulai melangkah untuk pergi. Tatsuki melihat Ichigo dan Rukia dari sudut matanya dan berkata,"Aku duluan, Ichigo," yang dibalas anggukan oleh Ichigo.

Sepi. Itulah suasana yang tergambarkan saat ini. Ichigo mengarahkan pandangannya pada gadis di dekapannya ini. Ingin sekali mengajaknya bicara, namun takut mengenai daerah sensitif sang gadis. Ia menghela napasnya perlahan dan memberanikan dirinya untuk mengeluarkan apa yang sedari tadi berada di pikirannya.

"Rukia, ayo kita pulang?"

Tetapi tidak ada jawaban dari Rukia. Ia tetap bergeming.

"Rukia?"

Terdengar hembusan napas dari balik punggungnya yang kecil. Ia membalikkan tubuhnya dan tersenyum selebar yang ia bisa.

"Ayo, Ichigo."


Matamu mengawasi mereka dengan waspada. Tak sedetikpun matamu teralihkan dari kedua objek yang kau pandang. Objek itu ialah seorang pemuda tinggi yang tengah merangkul wanita yang kau cintai. Namun saat ini kau tidak begitu memusingkan masalah itu, karena ada satu hal yang ingin kau lakukan.

Setelah memastikan mereka berdua sudah pergi, kau keluar dari tempat persembunyianmu semula. Tempat di mana kau sembunyi dari orang-orang itu. Kau takut. Ya, kau takut akan tatapan yang nantinya akan kau dapatkan dari orang-orang itu jika kau tidak bersembunyi seperti tadi. Tatapan yang mencemoohmu. Tatapan yang merendahkanmu. Tatapan yang mencelamu sebagai seorang pembunuh.

Kau menggelengkan kepalamu, berusaha mengusir semua rasa takut yang muncul kembali ke kepalamu. Rambut putihmu bagaikan salju pada musim dingin tergoyang keras. Kedua tanganmu kau kepalkan, mempersiapkan diri untuk menemui orang yang kau kasihi.

Langkahmu pelan tapi pasti menuju tempat itu. Tempat dimana orang yang berharga bagimu terbaring untuk selamanya. Kau berhenti tepat di hadapannya. Kau menyoroti batu nisan itu dengan mata emeraldmu. Jantungmu berdegup cepat—tentu tidak seperti saat kau bertemu dengan seseorang yang kau taksir. Namun seperti menghadap kepada suatu kesalahan yang telah kau perbuat. Sesuatu yang telah menghilangkan nyawa orang lain. Dulu kau berkata untuk selalu melindunginya dan tak segan-segan untuk membunuh siapapun yang berani menyakiti orang ini. Namun sungguh ironis, orang ini mati di tanganmu sendiri.

Kau sungguh membenci dirimu sendiri akan hal ini.

"Hinamori.."

Kau merendahkan dirimu, berusaha untuk mengelus batu nisan dengan hati-hati layaknya memegang seorang bayi yang baru lahir.

Dan kau—Hitsugaya Toushirou.


Rukia berada di dalam mobil Ichigo yang melaju dalam kecepatan rata-rata. Keheningan terus menyelimuti mereka berdua setelah pulang dari pemakaman. Ichigo yang merasa tidak nyaman berada dalam suasana seperti ini mencoba mencari topik untuk dibicarakan dengan gadis yang dicintainya itu.

"Rukia, kau mau ke rumahku? Kudengar kakakmu sedang pergi keluar kota, kan?"

Namun tidak ada jawaban yang berarti dari yang ditanya. Ichigo menghela napasnya dan berusaha membangunkan Rukia dari lamunannya.

"Hey, Rukia."

Tetap tidak ada jawaban.

'Heh.. apa yang harus kulakukan untuk menyadarkannya?'

Seperti mendapat ide entah dari mana, Ichigo memasang sebuah senyum ketika memikirkan ide 'gila' itu. Ia menghentikan mobilnya secara mendadak, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuyarkan lamunan sang putri.

"Hey Ichigo, kenapa rem mendadak seper—"

Ucapannya terhenti ketika ia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh salah satu sisi wajahnya. Wajahnya dipenuhi oleh semburat merah seketika.

"Ichigo! Apa-apaan kau! Apa maksudmu menciumku tadi?" teriak Rukia tanpa memandang ampun ke lawan bicaranya yang telah menyumbat kedua telinganya.

"Jangan teriak-teriak seperti itu, kau membuat kedua telingaku sakit, tahu! Habisnya dari tadi melamun terus. Padahal sudah kupanggil berapa kali, kau tetap tidak menyahut."

Wajah Rukia yang tadinya mengeras pun perlahan melunak. Matanya menatap sedih, seakan tenggelam pada lamunannya beberapa detik yang lalu. Ichigo menatap penuh simpati pada gadis ini. Ia tahu—sangat tahu apa yang tengah berkecamuk pada benak gadis ini.

Tatapan Ichigo melunak dan nada bicaranya ia turunkan beberapa oktaf dari nada bicara yang sebelumnya.

"Aku tahu ini memang sulit.. Tapi kalau kau bersedih seperti ini terus, maka Hinamori akan bersedih juga kan?"

"Iya.. aku tahu, Ichigo. Hanya saja, aku tak menyangka hari ini akan datang begitu cepat.. Padahal aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa ia akan meninggal seperti ini.."

Rukia menahan napasnya. Ia tidak tahu mengapa napasnya tiba-tiba tercekat seperti ini, seakan tertahan di tenggorokan.

"Semua orang juga tidak akan tahu kapan kematian akan menjemput mereka. Tidak ada yang tahu akan hal itu. Bisa saja aku meninggal sekarang," ucap Ichigo santai.

"Ichigo! Jangan bicara seperti itu! Aku.. aku belum siap kehilangan orang terdekatku lagi.."

"Ah, maafkan aku Rukia.. Namun aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Aku bertanya padamu satu pertanyaan. Jika kau tahu kalau kematian akan mendatangimu malam ini, apa yang akan kau lakukan? Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu, coba jawab saja."

Rukia terlihat berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Ichigo tadi. Memang pertanyaan yang cukup mendadak. Ia perlu mendalami pikiran dan perasaannya lebih dalam.

" Aku akan meminta maaf kepada semua orang yang pernah aku sakiti.. ah, bukan kepada orang yang aku sakiti saja, tetapi kepada semua orang. Dan aku akan berterima kasih karena mereka begitu berarti bagiku. Karena mereka menerimaku apa adanya. Dan.. aku akan menyampaikan sesuatu kepada orang yang spesial untukku.." jawab Rukia penuh keyakinan.

"Nah, itulah yang dilakukan oleh Hinamori, benar, kan?"

Rukia terdiam. Pikirannya menerawang ke hari di mana terakhir kalinya ia dapat melihat kedua mata sahabatnya itu terbuka. Dan hari itu baru saja kemarin. Cepat sekali waktu berlalu, iya bukan?

"Detik-detik sebelum ia meninggalkan kita semua, ia masih mempunyai waktu untuk mengeluarkan semua yang ada di pikirannya saat itu sehingga ia tidak mempunya beban sedikitpun saat meninggalkan dunia ini. Dan sekarang ia dapat beristirahat dengan tenang."

Kata-kata Ichigo tadi terus berputar di dalam kepala Rukia. Ia teringat akan pesan sahabatnya itu. Pesan untuk.. bersama dengan Toushirou.

Rukia menyunggikan sebuah senyuman tipis. Sepertinya perkataan Ichigo telah berhasil membuat gadis penggila Chappy ini bersemangat kembali.

"Bawa aku ke rumahmu, Ichigo."

"He?"

"Tadi kau mengajakku ke rumahmu, kan? Tunggu apalagi, jeruk. Nyalakan mobilmu atau sebentar lagi kita akan terkena tilang karena berhenti seenaknya di tengah jalan."


Matahari bersinar cukup mendung mengingat musim apa sekarang ini. Terlihat seorang wanita bertopi tengah berlari dengan antusias ke arah pesawatnya. Ya, kalian benar jika menduga bahwa setting kali ini berada di bandara. Gadis itu memakai sweater miliknya yang berwarna campuran antara kuning dan jingga—senada dengan warna daun musim gugur. Rambutnya yang diikat berayun kesana-kemari saat mencari pesawat mana yang harus ia naiki.

"Huh.. bandaranya sangat ramai sekali!" umpat gadis itu, namun tak cukup keras untuk terdengar karena bandara tersebut terlalu bising.

Ia memperhatikan baik-baik tiket yang berada di tangannya saat ini. Ia melihat ke kanan dan ke kiri, dan..

"Aha! Itu dia pesawatku!" teriaknya kegirangan, menimbulkan tatapan aneh dari penumpang yang lain. Ia menarik topinya untuk lebih menutupi kedua mata ambernya. Ia menarik kopernya tidak sabaran dan berlari lebih cepat dari sebelumnya.

"Ichigo, aku datang!"


Mereka berdua telah sampai di rumah Ichigo. Begitu mereka berdua menjejakkan kaki ke dalam rumah Ichigo, mereka langsung disambut oleh seekor paus besar—ayah Ichigo—yang langsung saja menghambur ke tubuh sang anak.

"Ichigoooooo! Kau kenapa tidak bilang-bilang kepadaku kalau temanmu ada yang sedang berduka?" teriak Isshin, sang ayah.

"Kau berisik sekali, ayah!" ucap Ichigo jengkel dengan perlakuan sang ayah.

Rukia termangu menyaksikan hubungan antara ayah dan anak itu. Takut dikira tidak sopan, ia memberi salam kepada kepala rumah,"Apa kabar, tuan?"

Isshin yang tengah memeluk dan hampir adu jotos dengan Ichigo mengarahkan pandangannya kepada asal suara. Matanya mengerling kagum dan tidak percaya.

"Ichigo! Kau memang anakku yang paling hebat!"ucapnya seraya menepuk punggung Ichigo dengan terlewat keras.

"Ouch, apa-apaan sih!" teriak Ichigo, tidak terima diperlakukan seperti itu.

"Kau pasti Rukia-chan, kan? Ahh, kebetulan sekali! Ayo masuk!"

"Terima kasih tuan telah memperbolehkan saya masuk."

"Tidak usah segan-segan, anggap saja rumah sendiri. Dan tidak usah panggil aku tuan, panggil saja aku ayah! Anggap saja aku ayahmu sen—" Isshin tidak dapat menyelesaikan perkataannnya karena wajahnya sudah ditendang terlebih dahulu oleh Ichigo.

"Kau! Baka oyaji, jangan bicara yang macam-macam!"

"Kau menghancurkan imej ayahmu saja di depan Rukia-chan!"

Rukia memandang dengan sweatdrop kedua makhluk di depannya. Ia tidak mengerti, mengapa dua orang seperti itu ditakdirkan menjadi seorang ayah dan anak..

Ia memasuki rumah itu dan melihat-lihat sekeliling. Cukup sederhana dan rapi, itulah yang ada di pikirannya setelah melihat desain rumah Ichigo. Memang rumah Ichigo lebih kecil dari rumahnya, tetapi entah mengapa ia merasakan sesuatu yang tidak ia rasakan di rumahnya.

Kehangatan.

Rukia merasa nyaman berada di sini.

"Karin dan Yuzu mana?" tanya Ichigo kepada ayahnya.

"Yuzu tadi sedang memasak, kalau Karin sepertinya dia sedang mengerjakan tugas di meja makan," balas Isshin sambil mengingat-ingat.

Ichigo segera berjalan meninggalkan ayahnya yang masih asyik mengingat-ingat.

'Memang orang tua itu butuh waktu untuk berpikir sendiri, maklum sudah tua,' pikirnya.

Ia melangkahkan kakinya ke arah dapur diikuti oleh Rukia dibelakangnya. Dan di sana terlihat kedua adiknya yang manis tengah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Karin, Yuzu, kita kedatangan tamu," kata Ichigo kepada mereka berdua.

Mereka menghentikan aktivitas mereka sementara waktu untuk melihat siapakah sang tamu tersebut. Ketika melihat sang tamu ternyata adalah calon tunangan sang kakak, mereka berdua tersenyum.

"Selamat datang!"

Rukia tersenyum. Ia sangat tersentuh akan sambutan hangat dari para penghuni rumah. Rumah Ichigo begitu hangat, sangat berbeda dengan rumahnya yang dingin. Ia berpikir, ia akan betah untuk tinggal lebih lama di rumah ini..

"Aku sedang memasak untuk makan siang, aku harap onee-chan menyukai miso." Yuzu memperlihatkan senyum manisnya sambil mengaduk-aduk sup miso yang hampir matang itu.

"Terima kasih banyak, aku pasti akan sangat menyukai itu." Rukia tersenyum lembut. Pasti senang sekali rasanya memiliki adik yang seperti ini.

"Kakak suka olah raga, tidak?" tanya sang adik yang satunya lagi. Sulit bagi Rukia untuk mempercayai bahwa mereka adalah kembar. Selain rupa mereka yang berbeda, kepribadian pun juga jauh berbeda. Yuzu yang memiliki rambut berwarna cokelat dan bersifat keibuan. Sedangkan Karin memiliki rambut berwarna hitam dan bersifat tomboy. Tetapi perbedaan itu menjadi pelengkap bagi mereka.

"Lumayan suka kok. Memangnya olah raga apa yang paling kamu sukai?"

"Aku paling suka sepak bola!" jawab Karin berapi-api.

"Sepak bola? Kalau begitu sama! Aku juga paling suka olah raga itu!" kata Rukia, tidak kalah bersemangatnya dengan Karin.

Ichigo memandang itu semua. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya. Tidak ia sangka Rukia bisa akur dengan keluarganya begitu cepat. Entah mengapa ia berharap Rukia akan terus seperti ini, tersenyum dan melupakan semua kesedihannya.


Hinamori.. aku mohon maaf karena telah membuatmu seperti ini..

Aku tidak bermaksud melakukan hal ini, tetapi saat itu aku sungguh telah dikuasai oleh emosi.

Aku tahu aku tidak pantas untuk kau pandang lagi,

Namun aku mohon, ampunilah aku...

Hitsugaya Toushirou jatuh berlutut di depan nisan Hinamori Momo. Ia memejamkan matanya dengan berat, berusaha menahan rasa sakit yang timbul di dadanya. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya terasa kelu untuk berbicara, mulutnya pun sulit untuk terbuka. Hanya suara di dalam hatinya—semua rasa sakit dan rasa penyesalannya yang berbicara.

Sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana, berlutut dalam diam. Ia berusaha untuk mengucapkan satu kalimat. Satu kalimat hanya terangkai dari beberapa kata. Singkat, namun memiliki arti yang banyak.

"Aku menyayangimu, Hinamori.."


Matahari sudah mulai berganti dengan bulan. Langit malam memang terlihat seram sekaligus elegan dengan bulan purnama menghiasi langit yang begitu luas. Dua sosok insan sedang berjalan-jalan di sebuah taman setelah pulang dari pusat perbelanjaan. Mereka tidak membawa satu pun kantong plastik ataupun tas yang menandakan mereka baru saja pulang dari tempat itu. Mereka hanya berkeliling saja di tempat itu. Mengunjungi cafe favorit mereka dan bersantai sejenak di sana. Setelah puas, Rukia mengajak Ichigo untuk pergi ke taman yang tidak jauh dari rumah mereka. Ichigo pun setuju-setuju saja akan ajakan Rukia. Sampai ia menyadari satu hal..

"Hey Rukia, taman ini sangat sepi. Kau tidak salah memilih tempat?" kata Ichigo yang mulai merasa tidak enak setelah memastikan bahwa hanya mereka berdua yang berada di taman itu sekarang.

"Tidak, kok. Kalau sepi bukannya enak? Apalagi sekarang lagi bulan purnama. Di sini adalah tempat paling bagus untuk melihat bulan, kau tahu?" Rukia menengadahkan kepalanya untuk memandangi bulan yang bersinar terang di atas kepalanya.

"Tapi kan tidak enak juga kalau hanya berdua saja,"ucap Ichigo yang terlihat mulai salah tingkah. Rukia yang tidak menyadari akan perubahan sikap Ichigo pun menoleh ke arahnya dengan pandangan heran.

"Memangnya kenapa kalau hanya berdua?" tanya Rukia dengan polosnya.

"Ah, lupakan saja."

"Kenapa harus aku lupakan?"

"Aku tidak ingin membicarakannya.."

"Memangnya hal apa itu?" desak Rukia tak mau kalah.

"Sudahlah, jangan mendesakku terus!" Andai saja gelapnya malam tidak menutupi wajah Ichigo, saat ini pasti Rukia bisa melihat semburat merah yang muncul menghiasi wajahnya.

"Iya, iya. Jangan marah begitu dong, jeruk! Habisnya kau membuatku penasaran saja."

"Hey, kita duduk di sana saja, yuk?" Ichigo menunjuk dengan jari telunjuknya sebuah bangku taman yang terletak kurang lebih tiga meter dari tempatnya berdiri sekarang. Rukia mengangguk singkat dan mereka berdua duduk di sana.

Mereka terdiam sesaat dan Ichigo secara diam-diam mencuri pandang kepada Rukia. Entah mengapa ia berpikir Rukia terlihat lebih mungil pada malam hari.

"Hey Ichigo, menurutmu ke mana saja Toushirou hari ini?"

Ucapan Rukia langsung membuyarkan lamunan Ichigo. Ia berpikir,

'Benar juga ya.. aku belum melihat dia hari ini.'

"Aku tidak tahu, aku belum melihatnya hari ini.."

"Apa menurutmu dia ada di makam Hinamori sekarang?"

"Mungkin saja. Mungkin dia butuh waktu untuk berdua dengan Hinamori. Mungkin seperti ada sesuatu yang perlu dibicarakan."

Rukia terdiam. Sesosok lelaki bertubuh lebih pendek darinya muncul dalam pikirannya.

'Apa yang sedang ia lakukan sekarang ya.. Aku harap ia tidak terus-terusan menyalahkan dirinya..'

Ichigo menatap penuh arti gadis di sebelahnya ini. Ia tidak ingin gadis ini bersedih lagi, karena ia paling tidak tahan melihat gadis ini menangis. Ia menakupkan kedua telapak tangannya pada wajah sang gadis dan menatapnya sampai mengenai bagian terdalam dari matanya.

"I-Ichigo?" ucap Rukia kebingungan atas perlakuan Ichigo yang terbilang mendadak ini.

"Aku tidak mau melihatmu bersedih lagi, Rukia. Berjanjilah padaku untuk tidak larut dalam kesedihan terus."

"Memangnya kenapa? Kenapa kau begitu memperhatikanku?"

"Karena aku mencintaimu, Kuchiki Rukia."

Rukia tidak dapat berkata apa-apa. Ia jelas sudah tahu kalau Ichigo menyukainya—tapi tidak tahu kalau ia mencintainya. Tentu takaran antara suka dan cinta itu berbeda, kau tahu?

Belum sempat Rukia berbicara, mereka terlebih dulu dikagetkan oleh sebuah suara yang sangat nyaring—

"Ichigooo!"

Mereka berdua tersentak dan segera kembali ke posisi semula. Kedua wajah mereka memerah membayangkan ada orang yang melihat posisi mereka tadi. Tapi, siapa yang memanggil Ichigo tadi?

Mereka melihat ke asal suara, dan melihat seorang gadis yang memakai sweater tengah melambai ke arah mereka. Lebih tepatnya bukan mereka, tetapi Ichigo.

"Ichigo, siapa gadis itu? Kau kenal?" tanya Rukia sambil menyipitkan matanya agar dapat melihat gadis itu lebih jelas.

"Entahlah, aku tidak tahu," jawab Ichigo menaikkan bahunya tanda tidak tahu.

"Coba kau pastikan dulu."

"Iya, iya.."

Ichigo melangkah mendekati gadis girang tersebut. Dan bisa ditebak, sang gadis semakin berteriak histeris ketika Ichigo menghampirinya. Dan sekarang, Ichigo tepat berada di hadapannya.

"Ichigo! Aku kangen denganmu!" teriak gadis itu yang langsung menghambur untuk memeluk Ichigo. Ichigo yang tidak mengerti menatap gadis ini heran. Rukia yang melihatnya tentu saja kaget, dan memutuskan untun menghampiri mereka berdua. Ichigo melepaskan pelukan dari gadis itu dengan lembut, menuntut penjelasan atas apa yang tiba-tiba dilakukan oleh gadis ini.

"Maaf, tapi kau siapa ya?" kata Ichigo dengan sopan.

Wanita di depannya terlihat menggembungkan salah satu sisi pipinya dan ia mulai berkacak pinggang.

"Sudah berapa tahun sih sejak aku bertemu denganmu sampai-sampai kau tega melupakanku! Kau jahat sekali, Ichigo!" ucap wanita itu kesal.

"Eh, maaf.. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Ichigo, masih belum mengerti.

"Hhh.. ingatanmu memang payah! Sekarang coba kau lihat mataku dalam-dalam! Apa yang kau lihat?"

Ia tetap tidak mengerti, tetapi ia mencoba untuk melakukannya. Pada awalnya ia tetap tidak mengerti apa maksud dari gadis ini untuk melihat ke dalam matanya. Namun seperti tersambar oleh petir, pikirannya sadar seketika. Wajahnya memucat, entah mengapa keringat dingin mulai bermunculan juga.

"Kau..."

"Kau pasti sudah bisa menebak siapa aku, kan?" tanyanya sambil tersenyum.

"Se—Senna? Kenapa kau berada di sini?" ucap Ichigo tak percaya. Seingatnya Senna sudah pergi ke Kyoto beberapa tahun yang lalu.. Mengapa sekarang ia muncul lagi.. di hadapannya?

"Akhirnya kau ingat juga siapa aku! Aku ke sini untuk menemuimu, Ichigo! Sudah kubilang, kan, kalau aku merindukanmu!" Gadis bernama Senna itu pun langsung bergelayut manja pada salah satu lengan Ichigo.

'Sudah kuduga akan seperti ini jadinya..'

Rukia terheran-heran akan siapa sebenarnya gadis itu? Berani sekali langsung memeluk dan bergelayut manja seperti itu. Sungguh, Rukia tidak dapat menahan rasa penasarannya lagi untuk bertanya.

"Maaf, kalau boleh tahu kau itu siapanya Ichigo? Kau mengenalnya?"

Senna menoleh dengan sebal ke arah Rukia. Sepertinya tadi ia melihat bagaimana Ichigo memegang kedua sisi wajah Rukia dengan telapak tangannya.. Ia segera merangkul Ichigo dan menempatkan agar wajah mereka berdekatan. Ichigo hanya terdiam ketika Senna menampakkan sebuah senyum—tidak sesuai untuk di katakan sebagai senyum girang seperti sebelumnya. Senyumnya kali ini terlihat ganjil.

"Aku kekasih Ichigo."

TO BE CONTINUED


A/N: Maafkan ya kalau Mii baru update sekarang *nangisgulingguling*

Mii pengen bikin fanfict baru, tapi ngga sreg rasanya kalau fict lama belum beres :D

Dan kayaknya tinggal satu chappie lagi nih ;)

Terima kasih juga buat para reviewer yang setia ngasih semangat ke Mii buat ngelanjutin fict ini!

Kalau ga ada kalian, Mii udah bener-bener menelantarkan fict ini *dibuang*

Dan dapat kalian lihat sendiri, gaya penulisan Mii udah beda dari yang dulu.

Mii belajar banyak selama Mii hiatus

Tapi itu ngga menutup kemungkinan bagi kalian untuk menemukan typo di sini ;)

Untuk membalas semua review yang ada, Mii tulis di sini aja deh,

Big thanks and big hug buat semuanya yang udah ngereview sekaligus nyemangatin Mii! *pelukkecupsatusatu* Walaupun hiatusnya ga ketulungan lamanya, tetapi berkat kalian Mii berhasil nyelesaiin chapter ini! *yeay!*

Maaf juga kalau kalian merasa chapter ini terlalu pendek dan ngga ada HitsuRukinya sama sekali.. ._.

Malah menemukan IchiRuki sepanjang fict.. hiks.

Okayy, mind to Review? ;)