Magnolia

Chapter 12

Language: Indonesian

Rated: T

Genre: Supernatural/Drama/Romance

Disclaimer: Always Masashi Kishimoto

Summary: /Completed/"Akhirnya aku mengerti cara mengalahkanmu," desis Naruto pelan. "Bukan menyerangmu… tapi melemahkanmu―"/AU/

x-x-x

Langit hitam mendung sempurna, memayungi sebuah gedung sekolah besar bergaya kuno, dengan dinding-dindingnya yang terbuat dari batu alam. Satu dua rintik-rintik air hujan mulai meninggalkan bekas agak gelap pada jalanan, serta dinding-dinding batu disana.

Kemuraman langit malam, juga sama muramnya dengan wajah seorang pria berambut perak. Tangannya yang berbalut sarung tangan tebal berwarna biru muda dengan mantap memangku dagunya. Ia menatap suram kearah seorang wanita berambut hitam pendek yang tengah membaca di hadapannya.

Menyadari bahwa tatapan pria itu tertuju padanya, wanita itu mengalihkan pandangan onyxnya dari buku berjudul 'Bagaimana Mengatasi Kegugupan di Depan Bos Anda.'

"Ada sesuatu yang ingin kau pelajari dari wajahku, Kakashi?" tanya wanita itu lembut, dengan tersenyum.

Pria itu terlihat agak mengangkat sebelah alisnya. Matanya sedikit membulat, saat disadarinya wanita di hadapannya itu kini balik menatap lurus ke arahnya.

Ia menggeleng pelan.

"Tidak," jawabnya canggung. Untung saja ia sempat mendengar pertanyaannya.

Wanita itu tersenyum lagi. "Lalu? Tak biasanya kau berubah jadi pengamat begini," ujarnya, sambil membuat pembatas pada halaman yang ia baca, "ceritalah kalau ada masalah."

Kakashi Hatake―nama pria itu―menghela nafas pelan. Jika saja ia tidak memakai masker biru tua itu menutupi setengah wajahnya, mungkin kini uap-uap tipis keluar dari mulutnya, lantaran cuaca dingin.

"Ini… tentang dirimu. Aku… tak tahu harus melindungimu dengan cara apa saat tiba waktunya nanti," ujar Kakashi pelan, sedikit tidak enak saat mengatakannya. "Aku cemas."

Wajah wanita itu sedikit terbelalak atas kalimat Kakashi. Terlihat seperti ia baru dilamar, atau mendapat berita buruk menggemparkan. Intinya, bahagia atau tak suka, tidak dapat disimpulkan dari ekspresinya.

Namun, sedetik kemudian, kekehan kecil terdengar dari arah wanita itu.

"Ya ampun. Kukira kau kenapa," kata wanita itu santai, "ternyata kau pikirkan hal itu lagi? Sudah kubilang, kan. Jangan memikirkannya terlalu larut."

Dahi Kakashi mengerut. "Dengarkan, Shizune. Semua ini berdampak pada keselamatanmu. Dan sedari tadi… itulah yang kucemaskan hingga sekarang," ujarnya dengan nada lesu.

Seulas senyum tipis tergambar di atas wajah Shizune. Kedua telapak tangannya bertumpu pada permukaan meja, sehingga dapat membantunya berdiri.

Ia berjalan pelan kearah Kakashi, dan berdiri tepat di sampingnya. Satu tangannya membelai lembut bahu pria itu, setelah sebelumnya menuangkan cairan teh pekat, hingga cangkir kosong di hadapan Kakashi terisi hampir penuh.

"Kakashi… dengarkan aku," ucap Shizune lembut, "mati atau tidaknya, itu yang kurasakan. Kau jangan terlalu cemas soal hal itu. Kau tahu? Aku sedikit menyesal karena waktu itu meminta perlindungan darimu. Toh itu semua karena kebodohanku menerima ajakannya."

Pria itu menghela nafas lagi. "Tapi Shizune, kau―"

"Hush! Diamlah," potong Shizune cepat, layaknya melarang anak sendiri. "Sekarang minum tehmu, dan cicipi kue buatanku, dengan keju meleleh di atasnya kesukaanmu."

Tahu ia tidak bisa membantah sedikit lagi, Kakashi mengulurkan tangannya mengambil sepotong kue kecil yang 'mungkin' masih hangat. Dengan rasa cemas yang masih menggelitik, ia menggigit pinggiran kuenya, setelah menyeruput tehnya. Tentu saja ketika maskernya setengah terbuka.

Ia makan dalam diam, sementara Shizune melangkah melewatinya menuju kamar kecil.

x-x-x

Lain ruangan, umumnya lain pula suasana hati para penghuninya. Di salah satu ruangan kamar asrama murid, berbaringlah seorang gadis berambut merah muda di dalamnya. Ia tengah meringkuk di atas tempat tidurnya, di dalam selimut, mencoba berperang melawan hawa dingin.

Sudah beberapa kali dirinya bolak-balik mengganti posisi tidur, namun tetap saja kantuk belum menyerangnya. Sialnya lagi, ia juga belum bisa menemukan kehangatan di dalam selimutnya yang berkali-kali sudah terkena tatapan istimewa-nya.

Ingin sekali ia menyihir api dalam perapian. Namun, tak ada cukup ruang untuk membuat perapian di ruangan itu, dan ia tak mau mengambil resiko ruangan terbakar saat ia ketiduran nanti.

Maka, dengan sekali lagi berganti posisi tidur, ia berharap menemukan kantuk. Yah, cobalah, jika saja tak ada ketukan lembut di kaca jendelanya.

Sakura Haruno―nama gadis itu―mendelikkan sepasang emeraldnya kearah jendela yang ditutupi oleh kurdin biru muda. Dengan nafas yang tiba-tiba menderu, dan ketakutan yang menjalari tubuhnya, ia sedikit melongokkan kepalanya kearah sana.

'Sialan. Siapa itu? Kenapa mengganggu di waktu tak tepat, sih?' protesnya dalam hati.

Dengan enggan, ia menyibakkan selimutnya dan menjejaki karpet yang sudah terasa dingin menusuk kaki. Sakura masih berpakaian lengkap. Kaus putih, celana kain cokelat muda, ditutupi dengan sweater ungu tua, bergaris ungu muda. Dinginnya cuaca, membuatnya malas berganti baju.

Mencoba untuk mengusir rasa takut dalam dirinya, ia langkahkan kakinya sedikit demi sedikit, hingga tersisa satu langkah.

Sedetik sebelum ujung jarinya menyentuh pengait jendela, pintu yang menempel beberapa langkah di belakangnya diketuk dengan keras.

x-x-x

Sudah 5 jam, Hyuuga Neji beserta Uzumaki Naruto berdiskusi di apartemen kawan mereka, Tenten, dengan berbagai macam pikiran melintasi kepala mereka. Tenten, sebaliknya, berkali-kali bolak-balik dapur menawarkan mereka makanan untuk mengusir rasa dingin.

Bahkan, Naruto bersumpah tidak lama lagi akan ada badai salju.

"Menginaplah malam ini," ujar Tenten pelan, setelah kembali dari menaruh toples kosong di dapur. "Cuaca sedang menggila."

Keraguan mulai muncul di wajah Neji. "Tidak bisa. Aku harus secepatnya kembali ke sekolah, dan memberitahu Sasuke, serta Sakura," ujarnya cepat, "dan kalau bisa menyelamatkan seisi sekolah."

Dahi Tenten mengerut. "Apakah kekuasaannya juga mempengaruhi seluruh sekolah, dan hanya tidak kepada kalian berempat?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

Naruto mengangguk lemah. "Ya, sayangnya begitu," ujarnya sedikit lesu, "kebangkitan nenek jelek itu, berarti kebangkitan dunia sihir juga. Dan tak diragukan lagi, dia akan berkuasa."

Gadis bercepol dua itu sungguh hampir tidak mempercayai kenyataan dalam 5 jam terakhir ini. Dua teman sekelasnya dari sekolah datang, bertanya tentang awal kecelakaan di sekolah yang mengenainya.

Setelah lama berdiskusi, maka ditemukanlah titik terangnya. Sayangnya, titik terang itu ditemukan, saat matahari kembali ke peraduannya. Jujur, Naruto dan Neji pun saat ini masih memikirkan cara untuk membawa kembali mereka ke sekolah.

Wajah gadis itu masih diselimuti kecemasan, saat Neji dan Naruto bangkit dari sofa, dan mulai mengenakan jaket mereka. Kesepuluh jarinya bertaut, dan saling menghangatkan satu sama lain.

"Kalian yakin semuanya akan baik-baik saja? Kalian tahu kan, nenek itu kalau marah seperti apa?" cemas Tenten, "aku saja sampai begini, hanya karena dasiku longgar."

Naruto nyengir. "Kami janji. Untung waktu itu Shikamaru mengatakan kata kuncinya, maka semua ini cepat terselesaikan."

"Ya, dan terima kasih banyak untukmu juga, Tenten. Untung kau mengingat rentetan kejadiannya, "tukas Neji, sambil kembali memakai sepatunya, "mudah-mudahan nenek itu tidak memilih malam ini."

Tenten tersenyum lemah, sambil berpegangan pada pinggiran pintu, dan menyenderkan kepalanya disana. Ia menatap Neji dan Naruto yang bersiap-siap dalam diam, kecuali dengan satu dua keluhan kecil dari Naruto seperti 'Masa kita naik taksi?' atau 'Ingat saja, aku tak punya uang. Kutinggalkan di asrama.'

Begitu keduanya bangkit, Tenten masih disana. Mengantarkan mereka sebatas pintu depan apartemennya, dengan wajah cemas.

"Kabari aku kalau kalian berhasil," ujarnya, "dan sampaikan salamku untuk Sakura dan Sasuke."

Kedua pemuda itu mengangguk, sebelum berbalik dan segera melangkah menuju pintu keluar di lobby utama. Neji sengaja mengambil langkah cepat, yang segera saja disusul oleh Naruto di sampingnya.

Baru ketika mereka disambut oleh suasana malam, dan angin yang bikin menggigil, Naruto kembali mengungkit masalah transportasi mereka. Ia bahkan semakin cerewet ketika Neji menunjuk taksi di kejauhan.

"Bagaimana kita membayarnya? Kau tahu jarak dari sini ke asrama tidak sedekat pikiranmu?" tanya Naruto, sedikit berbisik, ketika sang pengemudi taksi mulai menurunkan kaca jendelanya.

"Astaga. Kau ini penyihir atau bukan, sih?" jawab Neji, kembali berbisik pada Naruto.

x-x-x

Kurang lebih, sudah hampir 4 kali Kakashi melirik kearah jam tangannya, namun Shizune belum juga kembali dari kamar mandi. Inginnya berteriak dan bertanya, namun niat itu diurungkannya, mengingat betapa seriusnya seorang wanita ketika berada di dalam kamar mandi.

Ia juga coba membuang jauh-jauh pikiran cemasnya mengenai Shizune yang tiba-tiba diserang di kamar mandi, atau lebih buruknya diculik. Hm, memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu saja sudah membuat perutnya serasa melilit.

Suara air keran yang dibuka secara penuh di kejauhan, setidaknya menjawab pertanyaan Kakashi tentang apa gerangan yang dilakukan Shizune di dalam. Ia juga sedikit lega, ketika mendengar suara air yang diciduk, lalu menubruk lantai.

'Mungkin mandi. Higienis juga dia,' pikirnya, sambil mengambil sepotong kue keduanya.

Klang.

"Argh!"

Lidahnya hampir tergigit, sedetik setelah didengarnya gayung yang berkelontangan, serta jerit kesakitan yang memekik. Tanpa peduli, Kakashi melempar kuenya dan segera berlari menuju pintu kamar mandi, dan coba memutarnya.

Nihil. Terkunci dari dalam.

"Shizune! Buka kuncinya!" teriaknya frustasi, sambil memutar-mutar knop yang bahkan tidak bergerak itu.

Instingnya dengan jelas mengatakan, sebuah kekuatan entah apa itu menyerang Shizune di dalam, sehingga teriakannya mengalahkan suara keran yang sudah bising.

Semakin keras teriakan Shizune, semakin gila juga Kakashi menggedor-gedor pintunya. Bahkan berulang kali, ia mencoba mendorong pintu itu dengan bahu kanannya. Namun, seolah ada kekuatan yang menjadi perisai, bahunya seolah disodok oleh pentungan raksasa.

"Shizune!" teriaknya lagi.

Lalu, dengan teriakan yang berangsur-angsur menjauh, mendadak ia tahu apa yang harus dilakukannya.

x-x-x

"Ya Tuhan! Sasuke, kenapa kau mengetuk pintu seperti orang depresi?" amuk Sakura, ketika ia membiarkan seorang pemuda berambut raven mencuat memasuki ruangannya.

Pemuda itu berjalan melewatinya dengan wajah bingung. "Kau sendiri? Kenapa wajahmu mirip orang yang habis melihat hantu?" tanyanya balik.

Semburat merah terbersit di kedua pipi pucat gadis itu. Perlahan, ia menutup pintu kamarnya, sebelum berbalik dan melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. Tangannya terulur untuk mengambil selimut, dan kembali menghangatkan diri di dalamnya.

Sasuke yang memilih duduk di kursi, memandangnya dengan alis terangkat satu. Sama seperti Sakura, ia masih berpakaian lengkap. Celana panjang hitam, dengan kaus biru muda yang ditutupi jaketnya. Kesepuluh jarinya bertaut, menghangatkan.

Sepasang onyxnya mengawasi sosok gadis itu dalam cahaya keremangan. Sadar bahwa kedua mata Sasuke terarah padanya, gadis itu dengan cepat menatapnya balik.

"Kau… kenapa tiba-tiba datang kesini?" tanyanya, mengingat waktu sudah lewat 1 jam dari tengah malam. "Tidak mengantuk?"

Pemuda itu mengangkat bahunya cuek, dan menggeleng. Ia menekuk sikutnya, dan menumpunya di atas senderan kursi, serta mengangkat satu kakinya. Tidak jelas ia memandang kemana, di ruangan kurang cahaya itu. Tapi tetap saja saat itu Sakura merasa diawasi.

Sementara gadis itu makin merapatkan selimutnya, Sasuke mengangkat tubuhnya dan berjalan menuju Sakura. Ia membiarkan tubuhnya duduk di samping Sakura yang agak menggigil kedinginan.

"Kurasa… aku tahu siapa orangnya," kata Sasuke tiba-tiba, dengan nada setengah berbisik.

Sakura tiba-tiba terdiam mendengar kata-kata sang Uchiha muda itu. Perlahan, kepalanya menoleh kearah pemuda itu, dan otaknya mulai penuh terisi pertanyaan 'mengapa'.

"Buk-buktinya?"

Pemuda itu menyeringai dalam keremangan. "Ingat waktu kita menjemput Naruto di ruang kesehatan?" tanya Sasuke, yang segera dijawab oleh anggukan pelan dari Sakura. "Shikamaru menerobos masuk, kan, setelah Neji membawa Tenten yang dikutuk kesana. Kau ingat kata-kata Shikamaru?"

Gadis itu mengernyitkan dahi, dan sedetik kemudian memejamkan matanya rapat-rapat. Ia memaksa pikirannya untuk berlari balik, menerobos ingatannya di masa lampau.

Sejenak ruangan itu sunyi, sebelum Sakura komat-kamit tidak jelas, meniru kalimat yang dikatakan Shikamaru, dengan malas, ketika ia mencapai ruang kesehatan.

"Neji, pastikan kau jaga Tenten baik-baik. Baringkan ia di kamar ini. Ini pesan dari nenek bawel itu…" Sakura masih komat-kamit, sambil memejamkan mata, sementara Sasuke menunggu dengan sabar.

"Kau dengar gumamamnya?" tanya Sasuke pelan, seolah memberi jalan terang bagi gadis itu.

Sontak, Sakura membuka matanya, dan kini menatap lurus kearah Sasuke. Ia masih melongo tak percaya, sementara otaknya masih mengingat gila-gilaan tentang kalimat itu.

Memorinya seakan menyentil kepalanya, dan memaksa Sakura untuk mengingat lebih keras lagi.

"Ya! Aku mengingatnya!" pekiknya tertahan, yang disambut oleh seringai tipis Sasuke. "Nenek aneh. Tiba-tiba datang ke kelas."

Seringai pemuda itu melebar. "Persis! Bukankah itu janggal untukmu?" tanyanya, coba meyakinkan, "maksudku, jelas dia datang setelah Tenten diserang. Dari kata-kata Shikamaru, bukannya tergambar jelas kalau ia melihat penyerangan itu? Atau bisa jadi, melakukannya."

Sakura mengernyitkan dahinya lebih dalam lagi. "Baringkan ia di kamar ini. Menurutku… ia berkata begitu untuk meyakinkan kalau Tenten benar-benar berada di ruangan itu sampai malam."

"Lalu… Neji bilang Tuan Kakashi diserang tepat di ruangan itu," ujar Sasuke pelan, "sudah jelas pelakunya si sosok bertudung. Siapa lagi sosok bertudung yang datang kesana untuk mencari satu tujuan?"

Sakura tersenyum lebar. "Kalau bukan Tenten sebagai korbannya…"

Senyum kemenangan menghiasi wajah keduanya, dan bersamaan dengan itu, Sakura membuka selimut yang menyelubunginya. Saking senangnya, cuaca dingin yang sedari tadi hampir membekukannya, kini mendadak terasa hangat.

Namun, semua itu sirna dengan terbukanya pintu kamar Sakura dengan keras dan dipaksa. Dan mereka harus berhadapan dengan seseorang yang paling tidak ingin mereka temui malam ini.

"Huh! Sayang sekali kalian sudah membongkarnya," tandas sosok itu tajam, "nikmatilah waktu kematian kalian."

Sasuke menyeringai sadis. "Tidak akan," desisnya, sambil mendorong tubuh Sakura, sedetik sebelum sebuah kursi kayu melayang kearah mereka.

x-x-x

"Kali ini… pasti benar-benar akan kumusnahkan dunia itu," desis Neji geram, sedetik setelah kakinya menapak di atas jalanan aspal setengah basah.

Hujan mulai turun rintik-rintik, mengirimkan tetes-tetes lembut di atas kepala mereka. Neji merapikan jaketnya, dan bergegas mendorong pintu pagar sekolah yang berdesing, meninggalkan Naruto yang masih berdiri di depan pintu taksi.

Naruto menolehkan wajahnya dengan santai kearah si pengemudi, ketika ia dengan cerewet minta bayarannya.

Kilatan hitam lewat melintang di atas pupil biru lautnya, masih diselingi dengan cengirannya yang biasa. Dalam sekejap, pandangan si pengemudi tiba-tiba kosong, dan sedetik kemudian ia menatap aneh kearah Naruto.

"Hoi! Lain kali serius kalau ingin naik taksiku. Kau pikir lucu dengan menyetopku dan kau hanya berdiri disana?" cemooh si pengemudi, sambil menginjak gas dan melenggang pergi.

Pemuda berambut kuning itu masih berdiri di tempatnya. "Hm. Terima kasih sudah mengantar."

Kakinya dengan sigap membawanya menyusul sosok Neji, yang cepat-cepat mendaki tangga pualam yang menuju lobby utama sekolah. Keduanya seakan membeku ketika mereka dengar derap langkah segerombolan orang di balik pintu besar kayu di depan mereka.

Naruto mengernyitkan dahinya bingung. "Ada apa ini? Apa ada kebakaran?" tanyanya.

Sebelum Neji sempat menjawabnya, pintu kayu berdebam terbuka. Kurang lebih berpuluh-puluh pasang kaki membawa tubuhnya keluar dari bangunan itu. Wajah murid-murid yang berkeringat terlihat kurang jelas di bawah temaram bulan, yang tertutup awan mendung.

Naruto dan Neji memilih untuk menyingkir daripada mengambil resiko saling tertabrak.

Beberapa murid yang berlari di barisan agak depan kurang mereka kenal. Yang mereka ketahui hanyalah, mereka adalah gerombolan kelas 1 atau 2.

Lompat beberapa gerombolan, akhirnya mata Neji menangkap sesosok wajah yang dikenalnya. Tanpa menunggu lebih lama, ia menarik lengan sosok itu keluar dari barisan.

"Ada apa?" tanya Neji yang harus sedikit berteriak, di bawah kehebohan itu.

"Tuan Kakashi memberitahu kami sekolah akan diserang, lewat pengeras suara," jawab sosok itu tersengal, "katanya, menjelang pagi bangunan ini akan runtuh. Rata dengan tanah."

Dahi Neji mengerut, dan ia teringat kata-kata Kakashi sebelum hari ini. Matanya juga masih mencari-cari sosok Tuan Kakashi di antara murid-murid yang masih serabutan keluar sekolah.

"Baiklah. Terima kasih infonya, Shikamaru," ujar Neji, sambil menyilakan pemuda itu untuk kembali bergabung bersama rombongan, mengikuti jejak Nyonya Kurenai.

Shikamaru menarik nafas singkat. "Kalau kalian pintar, kalian juga ikut bergabung sekarang," katanya.

Naruto menyeringai kecil. "Sayangnya kami harus ikut serta membantu merubuhkan bangunan ini, Shikamaru," ujarnya. "Daag…! Hati-hati di jalan."

Di tengah-tengah keributan, dan keluasan untuk mencari celah masuk, sebuah ingatan penting menyentil kepala Neji, keras.

"Sasuke dan Sakura!"

x-x-x

"Hoho… pintar. Tidak sia-sia aku mendidik murid-muridku dengan keras, sehingga menghasilkan murid cerdas begini," puji sebuah suara feminin dari kegelapan.

Sasuke yang masih tersengal, dan menyender pada dinding berbatu, menatap geram kearah bayangan hitam di bawah cahaya lampu kuning remang-remang. Mata onyxnya menelusuri daerah sekitar sana, mengawasi jika ada serangan tiba-tiba dari sosok yang tengah bersembunyi itu.

Di sampingnya, Haruno Sakura terkulai lemas. Kepalanya tertunduk, sehingga rambut merah mudanya menggelusur turun, menutupi sebagian wajahnya yang setengah kaku. Sihir tingkat tinggi dari sosok itu akan membuatnya tidak sadar, dalam waktu kurang lebih 10 menit.

Sasuke yang sudah mengerti akan hal ini, hanya bisa memegang lengan gadis itu erat-erat agar tidak pergi dari sisinya. Saat ini, kelicikan sosok itu sudah mulai kelihatan kembali.

"Katakan padaku, anak muda," ujar sosok feminin itu lagi, "petunjuk-petunjuk apa yang kau dapatkan?"

Gigi-gigi Sasuke rasanya saling beradu, dan tubuhnya gemetar saking geramnya. Kelima jari yang tidak memegang Sakura mengeras, menenggelamkan kukunya ke dalam telapak tangannya, sehingga buku jarinya tampak pucat.

"Kasus Tenten, yang kau kutuk dengan kalung bodohmu," desis Sasuke geram.

Terdengar suara kekehan kecil sedetik setelahnya. "Sungguh murid berbakat. Kau tahu? Kalau saja Shizune tolol itu langsung membunuh Kakashi saat kuserang dia malam itu, semuanya akan lancar," kini giliran suara itu yang menggeram. "Bodohnya aku memilih budak macam dia."

Sasuke menyeringai dalam lelah. "Bodoh budaknya, maka bodoh tuannya," ujarnya santai. "Saat Nona Shizune muncul di aula dengan wajah segar, sudah merupakan petunjuk empuk bagiku. Nona Shizune pasti merawat tubuh lemahmu, yang hampir tak mendapatkan korban―tentu saja itu sebelum kasus Rock Lee terbunuh di kamar mandi…"

"…dan kelakuan bodohmu meminta alamat Sakura. Kau jelas tahu, kami berempat akan menghabiskan waktu di rumahnya, dan kau tidak akan melewatkan kesempatan emas ini."

Kekehan kecil dingin kembali terdengar. Pemuda itu sadar, yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah menahan agar dia tak mencoba melakukan serangan.

Minimal sampai Sakura sadarkan diri, dan dua rekannya yang lain tiba di sekolah. Yah, mereka pasti sampai, dan ia yakin akan hal itu.

"Huh! Kalau saja Shizune tidak dengan lalainya meninggalkan hak sepatu hitamnya di rumah Haruno. Aku akan kembali dengan bebas kesana!" amuk suara itu dingin. "Dan sialnya, saat aku datang, kalian sudah sangat waspada."

Sasuke mendengus. "Heh, kesalahanmu sama dengan kesalahan Nona Shizune. Lengan bajumu merosot, memperlihatkan padaku bagaimana kukumu diwarnai kuteks merah, dan kau juga meninggalkan hak sepatumu…"

"…lalu di sekolah. Dengan bodohnya kau mengganti warna sepatumu, tanpa menyadari ada dua gadis mata-mata yang senang memperhatikan bagaimana penampilanmu. Wajah lelahmu juga menunjukkan semuanya."

Lorong di depan kamar murid-murid asrama itu sejenak hening tanpa suara. Sungguh tidak enak rasanya berada di lorong, dengan pintu-pintu kamar yang terbuka lebar. Cahaya lampu kuning keremangan juga tak membantunya.

Masih memegang tangan Sakura sambil mengelus punggung tangannya dengan ibu jari, mata onyxnya masih tertuju waspada kearah bayangan hitam itu.

Entah apa yang dilakukannya. Membuat mereka menunggu dalam keremangan, dengan satu tontonan memilukan, tak jauh di depan mereka.

Nona Shizune yang setengah basah kuyup, tersender lemah di dinding, dengan keadaan tak jauh buruknya dengan Sakura. Bedanya, nasib Nona Shizune mungkin di ambang batas, lantaran sewaktu menyihirnya, wajah si nenek tua itu kelihatan puas sekali.

"Coba saja kusimpan data diri kalian berempat baik-baik," sosok itu mulai bicara kembali, "aku tak perlu tampak bodoh dengan menanyakan alamat lengkap Haruno, dengan alasan dia murid baru…"

"…untung saja dia tak bertanya macam-macam."

Sasuke terkesiap, karena detik setelahnya, kekehan kecil yang dingin justru bersumber dari sisi tubuhnya. Dilihatnya sepasang emerald Sakura, yang kini bahkan lebih gelap dari biasanya.

Walaupun wajahnya menatap tembok, namun Sasuke tahu betul Sakura tengah meredam amarahnya. Setidaknya ia dapat merasakan genggaman tangan yang agak lebih kuat dari gadis itu.

"Berterima kasihlah pada Sasuke karena dia lupa mengembalikannya ke ruang Tata Usaha…" nafas Sakura sedikit tercekat, "…Nona Tsunade."

Dalam kisaran waktu sedetik, Sakura menoleh tajam kearah daerah yang sejak tadi diawasi oleh pemuda di sebelahnya. Kilatan hitam, yang bahkan lebih mengilat, lewat melintang di atas emeraldnya. Sesaat kemudian, bagaikan diputar dalam slow motion, dinding kokoh tempat sosok itu bersembunyi hancur, seakan terkena bom.

Sakura menyeringai puas, sebelum tangannya bertumpu pada lantai dan mengangkat tubuhnya berdiri. Pemuda di sampingnya mengikuti jejak Sakura, dan menunggu kehadiran sosok itu kembali.

"Aku tak heran kalau anda yang malam itu datang membunuh kedua orang tuaku," Sakura mulai berbicara, sedikit tak peduli sosok itu mendengarkan atau tidak. "Berani bertaruh, kau datang kerumahku untuk mengenali wajahku."

Alih-alih muncul di hadapan mereka, sosok yang mereka panggil 'Nona Tsunade' telah lebih dulu menghembuskan nafas hangatnya di belakang keduanya. Menyeringai puas, ia berpikir dua musuh ciliknya ini sudah terkunci.

"Brilian! Sungguh encer otakmu berpikir sejauh itu," puji Nona Tsunade, sumringah.

Sakura menyeringai. "Pola cabikan luar biasa. Leher mengucur darah, namun luka perut yang kering sama sekali. Mudah dikenali, karena kau menggunakannya pada banyak korbanmu," jelasnya tajam.

Sasuke yang sibuk menggerak-gerakkan sesuatu di kejauhan, hanya sedikit mendengar pembicaraan mereka. Setidaknya ia harus berterima kasih pada Sakura karena telah memberikannya kesempatan semacam ini.

"Bisa kau sebutkan, Nona muda…?"

Seringai Sakura belum juga hilang dari wajahnya. "Mudah. Petugas kebersihan, Rock Lee, Kin, dan ayahku. Tak pernah kulupakan pola cabikan itu asal kau tahu."

Suara tepukan tangan yang terkesan dipaksakan terdengar dari arah belakang mereka. Sentilan lembut di punggung tangan Sakura menandakan kalau rencana mereka sebentar lagi berakhir.

Sementara menunggu Nona Tsunade menghentikan tepukan bodohnya itu, Sakura memilih untuk berdiri santai dengan melipat lengannya. Nona Tsunade yang melihat pemandangan ini, sontak kembali memunculkan wajah kagumnya.

"Tenang sekali dirimu, Nona," ujarnya, dengan nada kagum dibuat-buat, "coba lihat bagaimana ekspresimu saat didatangi malaikat maut―"

"Oh sayangnya tidak sekarang," potong Sasuke pendek.

Dalam kisaran waktu sempit, didorongnya tubuh Sakura supaya merendah, sehingga ujung kayu tajam di kejauhan dapat dengan bebas melaju kearah mereka. Gadis itu tentu saja tidak tinggal diam membiarkan Nona Tsunade kembali menyihir kayunya.

Dengan kilatan matanya sendiri, mendadak tubuh nenek itu terangkat paksa, dan terlempar ke ujung lorong sampai punggungnya menubruk dinding dengan keras. Sasuke menyeringai sadis dengan pemandangan itu, sekaligus saat kayu lewat berdesing di sebelahnya.

Kraak!

Setidaknya dengan suara bising itu menandakan kayu sudah tertancap di manapun di anggota tubuh Nona Tsunade. Sasuke dan Sakura menghela nafas pelan. Keduanya menyambut derap langkah dari kejauhan, dan sayup-sayup suara tersengal.

Kepala penuh dengan rambut kuning muncul di kejauhan, membuat senyum terukir pada masing-masing wajahnya. Mereka berjalan ringan menuju arah derap langkah itu.

Naruto sungguh kaget gila-gilaan mendapati dua sahabatnya masih bernafas. Dengan gaya seorang detektif, ia mengelilingi tubuh Sasuke, berpura-pura mengecek apakah ada yang salah atau tidak. Tentu saja ia segera berhenti ketika menyadari delikan Sasuke kearahnya.

"Baguslah kalian berdua tidak apa-apa," ujar Neji, menghela nafas berat. "Siap mengambil darahnya untuk dibakar dengan surat ini?" tanyanya, mengacung-acungkan gulungan kertas kumal yang mereka kenal.

Ketiganya menoleh kearah Neji dengan gulungan kertas kumal di tangannya. Mereka mengangguk berbarengan, dan berbalik, menuju arah tangga ke bawah.

Saat itu, posisi Sakura kebetulan agak ke depan. Sedetik sebelum ia berbalik, wajah Naruto yang berdiri tepat di sampingnya mendadak pucat sambil mendelik tajam kearah Nona Tsunade tadi tertancap.

Seakan dalam gerakan lambat, tubuh gadis itu jatuh dengan pegangannya yang lemah coba mencabut kayu panjang yang tertanam dalam tubuhnya.

"Sakura!" sahut Sasuke tajam, yang dengan sigap menangkap tubuhnya.

Dengan tarikan pelan terakhir dari gadis itu, kayunya pun tercabut dan terkulai di lantai. Naruto masih memelototi sosok Nona Tsunade yang tertawa terbahak-bahak di kejauhan, sambil memegangi perutnya yang bersimbah darah.

Masih gemetaran, gadis itu mencoba menguasai dirinya. Dengan Sasuke yang terus-menerus berbisik untuk menyuruhnya tetap terjaga, Sakura menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa saat itu. Pandangannya serasa berputar, dan kepalanya mulai pusing, sedetik setelah kayunya berhasil dilepaskan.

Berjalan bagaikan seorang pemenang, Nona Tsunade merapikan pakaiannya yang kusut dan kotor terkena darahnya sendiri. Seringai kemenangan terpampang di wajahnya, membuat Naruto mendelik sebal kearahnya. Dan saat itulah, sebuah ide cemerlang menyentil kepala pemuda itu.

"Tak semudah itu kau singkirkan kami, Nona Tsunade," gumam Naruto tajam, sambil membiarkan kilatan hitam melewati pupil birunya.

Sontak, kayu yang tadi tergeletak lemah di lantai mulai terangkat ke udara. Tetes-tetes cairan merah seakan menemani kayu itu berdesing maju, lagi-lagi menunjuk tepat kearah Nona Tsunade.

Senyuman lebar sudah terpasang di wajah wanita itu, namun hal itu sama sekali tidak membuat cengiran di wajah Naruto menghilang. Mungkin wanita itu merasa dapat menangani serangan balik ini dengan mudah, tapi hal itu justru berkebalikan dengan apa yang ada di pikiran Naruto.

Kira-kira semeter sebelum kayunya mencapai tempat Nona Tsunade, tiba-tiba saja kembang api merah menyembur keluar dari permukaan kayu. Cahayanya sungguh kuat, sehingga membuat Neji mengangkat lengannya untuk menyembunyikan sepasang mata lavendernya.

Sedetik kemudian, benda itu bukanlah lagi seonggok kayu penuh tetesan darah, melainkan kurang lebih seribu tusuk gigi kayu kecil yang tajam, tengah berpusat pada satu tujuan.

"Apa?" terdengar amukan Nona Tsunade dari kejauhan.

Tak ayal lagi, seribu tusuk kayu itu bersarang pada tubuhnya 3 detik kemudian, diiringi oleh suara teriakan lengking panjang yang menyakitkan telinga. Nona Tsunade kembali terlempar ke belakang, dengan ratusan tusuk gigi yang bersarang pada tubuhnya.

Naruto berbalik, hendak memeriksa keadaan Sakura yang bahkan saat itu sudah memucat wajahnya. Ibu jarinya hendak memeriksa pergelangan tangan gadis itu, setelah disadarinya lengking kesakitan itu berubah menjadi lengkingan tawa penuh kemenangan.

"K-kau…" Neji menggeram, yang kali ini mendelik kearah wanita itu.

Dengan satu kibasan tangan, ketiga pemuda itu terlempar ke belakang. Untunglah, tubuh Sakura masih berada dalam pegangan Sasuke saat punggungnya menabrak pintu yang tertutup. Ia mendecih kesakitan, sambil berupaya menidurkan tubuh Sakura di areal aman.

'Mungkin sedikit sihir penyembuh bisa membantumu, Sakura. Bertahanlah,' batin Sasuke.

Lengkingan tawa itu mulai mendekat, dan dengan sigap, ketiga pemuda dengan lecet dan luka di sekujur tubuh mereka berdiri menghadapi si empunya suara.

x-x-x

Keadaan tak bisa lebih buruk dari ini. Bergantian, ketiga pemuda itu melancarkan serangan kearah Nona Tsunade, namun tidak jarang mereka gagal. Sudah begitu, Nona Tsunade akan dengan sigap melempar serangan balik yang agaknya selalu berhasil membuat salah satu bagian tubuh mereka seakan mati rasa.

Begitu menyadari ada kesempatan menghindar, maka Sasuke akan secepat kilat berpindah ke tempat Sakura ditidurkan tadi. Tiga kali ia mengecek keadaannya, dan sepertinya areal wajah gadis itu sudah kembali dialiri oleh transportasi darah.

Namun, ia harus membayar mahal atas semua kelegaan itu.

Tanpa menyadari kini Neji dan Naruto tengah berlindung di pojokan mengobati luka mereka, maka Sasukelah satu-satunya orang yang terlihat oleh Nona Tsunade. Sedetik sebelum ia berbalik, baru disadarinya ia tengah melayang sebelum menubruk pintu lain yang tertutup di lorong itu.

Kini, onyxnya bahkan lebih kelam daripada langit malam yang mendung. Bersusah payah, dipaksa tubuhnya untuk bangun sebelum detik berikutnya sedikit menghindar saat potongan besi tajam―tak lain adalah pegangan tangga―berdesing melewatinya.

"Mau main akrobat sirkus denganku, Uchiha?" ledek Nona Tsunade di kejauhan, yang agak sibuk mencabuti tusuk gigi dari daerah sekitar matanya.

"Diam, orang tua, dan cicipi makanan penutupmu…" dihentikan kata-katanya sebelum besi itu mencapai Nona Tsunade, "…sebelum terbangun di neraka."

Woosh! Brak!

Lagi-lagi tubuh nenek tua itu terpental ke belakang. Kali ini, mungkin lebih dramatis dengan adanya musik pengiring, berupa suara gelegar petir diluar gedung.

Petir menyambar ujung dahan pohon yang membengkok kearah atas, seakan menantang suara gemuruhnya. Dengan kilatan cahaya, ujung dahan itu terbakar sempurna, merembet melalui kurdin salah satu ruangan yang berkibar liar.

Dengan banyaknya perabotan di ruangan yang terbuat dari kayu, membantu cepatnya rembetan api tersebut. Asap memang sudah melewati indikator kebakaran, dan sudah terjadi pemadaman darurat disana, namun besarnya api mulai tak bisa terkendali.

Bibir Sasuke menipis dan pucat, saking kedinginan di bawah pemadaman darurat itu. Wajahnya ikut memucat saat dilihatnya sekali lagi Nona Tsunade yang berjalan dari ujung lorong penuh senyum kemenangan.

"Kenapa kau tak mati juga…?" teriak Sasuke, hampir putus asa. "Maut sudah mendatangimu 3 kali! Kenapa kau belum enyah dari hadapanku?"

Nona Tsunade berjalan tenang menuju arena pertempuran sambil menarik potongan besi secara paksa dari dadanya. Dari bagian itu, Sasuke dapat melihat dengan jelas aliran cairan pekat yang mengalir tanpa henti. Anehnya, kehilangan sebegitu banyak belum membuat wajahnya memucat sama sekali.

Sedikit salam kehormatan dari Nona Tsunade berupa pukulan tak terlihat yang meninju Sasuke ke samping, membuatnya terkapar sejenak. Saat dikiranya ia sudah selangkah menuju maut, ternyata Nona Tsunade malah berdiri di tempatnya tadi. Dengan santai, ia kembali merapikan pakaiannya.

"Coba pikirkan, anak muda," ujarnya santai. "Untuk apa aku repot membunuh setengah dari penghuni sekolah ini?"

Saat itulah Sasuke tersadar. "Kau… kau menambah kekuatanmu, berikut dengan nyawamu. Satu nyawa yang dikaruniai, maka setahun ditambahkan dalam umurmu. Itu kenapa… kenapa kau lebih tua daripada kami…"

Nona Tsunade menyeringai jahat. "Persis. Tidakkah kau ingat? Kita berlima adalah keturunan terakhir, dan lahir pada waktu yang sama," katanya, sambil berjalan mendekati Sasuke, "dan malam ini satu diantaranya akan hidup selamanya. Membangkitkan dunia sihir, serta menjadi penguasa di dalamnya…!"

Sepasang onyx Sasuke membulat, setelah disadarinya tubuh Nona Tsunade terpental ke samping, sedetik setelah ia menyelesaikan kalimatnya. Bayangan 2 orang yang berdiri tepat di hadapannya, membuat tersenyum kecil.

"Itu bukan apa yang dikatakan oleh ramalan," komentar seseorang, yang terdengar familiar di telinga Sasuke. "Bukan begitu, Teme?"

Pemuda berambut raven itu menerima uluran tangan Naruto, dan perlahan mengangkat tubuhnya. Ia disambut oleh cengiran Naruto, serta sosok Neji yang sibuk memegang gulungan kertas kumal di tangannya.

Masih berupaya memerangi rasa pusing yang semakin menusuk, Sasuke berpikir keras mengingat apa yang tertulis dalam surat peninggalan itu. Sama sekali bukan hal bagus dengan kembali membuka gulungan kertasnya, dan kembali membaca suratnya, dalam keadaan begini.

"Kita… kita harus mendapatkan paling tidak setetes darahnya, dan membakarnya dengan surat ini," ucap Sasuke, tersengal, mengawasi tubuh Nona Tsunade yang masih meringkuk di lantai.

Naruto mengangguk. "Kalau soal api, sudah selesai," ucapnya, menunjuk satu ruangan yang habis dilalap api, "tinggal bagaimana caranya mendapatkan darah orang itu."

Neji menggigit bibir bawahnya. "Kalau begitu… hanya ada satu caranya," ujarnya pelan, sambil mendelik kearah Nona Tsunade, bergantian dengan ruangan yang terbakar.

"Apa itu?"

Neji menghela nafas. "Usahakan bakar seluruh tubuh Nona Tsunade bersama kertas ini, ke dalam ruangan itu."

x-x-x

Meskipun ketiganya sudah memecahkan masalah bagaimana mengakhiri semuanya, yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menyatukan Nona Tsunade dan kertas perjanjian itu dalam ruangan terbakarnya.

Berkali-kali Naruto membuat Nona Tsunade oleng dalam pijakannya, namun serangan balik yang diberikan Nona Tsunade 10 kali lebih menyakitkan. Pemuda itu akan terhempas ke belakang dengan luka baru yang terbentuk sembarangan di tubuhnya.

Cukup bermain-main, Neji memilih menggunakan sihir sebagai alternatif saja. Ia mengambil sepotong kayu yang ujungnya tajam dan terbakar, lalu berjalan mengendap kearah Nona Tsunade yang tengah menyiksa Sasuke dengan sihir kutukannya.

Satu tusukan tepat di jantung, membuahkan hasil miring pada Neji.

"Sudah berapa kali kubilang, kalau aku tidak akan pernah mati!" hardik Nona Tsunade yang langsung berbalik, mengirim Neji terhempas keras ke tanah.

Putusnya kontak mata dengan Nona Tsunade, membuat Sasuke mampu berdiri setelah disiksa oleh sihir kutukan tadi. Sedikitnya belasan luka lecet membekas di sekitar lengan dan wajahnya.

Naruto kembali berdiri, dan memfokuskan pandangannya kearah Nona Tsunade, berusaha mengulang sihir pembuat oleng-nya lagi. Nona Tsunade mulai kerepotan menangani 3 serangan berbeda sekaligus, maka ia tak terlalu sadar saat mendadak dirasanya ia berdiri di atas cairan minyak licin.

Nona Tsunade terlalu sibuk menggelosor licin di atas minyak yang tak kelihatan, ketika Sasuke mendorongnya mundur kearah ruangan terbakar dengan satu pandangan mata. Sementara itu, Neji sudah siap melempar gulungan suratnya kapanpun tubuh Nona Tsunade masuk kedalam ruangan itu.

"Akhirnya aku mengerti cara mengalahkanmu," desis Naruto pelan. "Bukan menyerangmu… tapi melemahkanmu―Argh!"

"Naruto!" teriak Sasuke, ketika Naruto ambruk ke belakang dengan bara panas tepat melayang cepat kearahnya.

Dalam keadaan seperi itu, tetap saja Nona Tsunade sempat terbahak. "Kalian… tak akan pernah bisa menghabisiku anak-anak. Bagaimanapun juga, akulah yang terkuat di antara kalian!"

Sasuke semakin memperbesar kekuatannya, sehingga lebih cepat ruangan itu berpenghuni, maka semakin bagus. Sementara rasa pusing mulai menyerang kepalanya, dan kakinya pun saat itu mulai terasa kelu, lalu mati rasa.

Namun, hal berikut yang disadarinya, semua suara terbahak Nona Tsunade lenyap. Begitu juga dengan bara api yang menggerogoti ruangan di belakang Nona Tsunade. Lorong itu sunyi seketika, hanya ada suara nafas tersengal miliknya, Neji, serta Naruto.

Semuanya… telah membeku. Mirip kejadian di ruang makan tadi siang.

Diikuti keraguan yang luar biasa, Sasuke menoleh kearah tempat Sakura berbaring tadi.

"Dorong dia, Sasuke," ucap gadis itu lemah, "waktunya hanya sedikit."

Tanpa pikir panjang lagi, Sasuke mendorong tubuh Nona Tsunade yang membeku ke dalam ruangan itu, dan Neji segera melemparkan gulungan kertasnya.

Seakan diputar dalam slow motion, sosok Nona Tsunade yang terbakar dalam kesakitan, dan lengking teriakannya yang memekakkan telinga, mengantar kematiannya. Naruto menghempaskan tubuhnya berbaring, dan Neji terduduk lemah.

Pemuda berambut raven itu mendelik tajam kearah Sakura. Lengking teriakan Nona Tsunade akhirnya lenyap, bersamaan dengan menutupnya sepasang mata emerald milik seseorang.

Sasuke menajamkan penglihatannya, sebelum melesat menuju sisi gadis itu. Disaat itulah, ia menyadari ada orang lain disana.

x-x-x

"Aku… sangat berterima kasih padamu Tuan Kakashi. Untuk menyelamatkan hidupnya di detik-detik terakhir," ujar seorang pemuda berambut raven, dengan perban hampir di sekujur tubuhnya.

Kakashi berbalik memandang pemuda itu. Bisa dikatakan, penampilannya kacau. Perban melilit dahi, lengan kanan, dan kakinya. Belum juga di bagian perut, dan bagian pergelangan kakinya yang serasa akan memisahkan bagian tungkai dan kakinya.

Pria berambut perak itu tersenyum di balik maskernya. "Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menolong kalian," perhatiannya agak terurai saat Neji dan Naruto menghampiri mereka, "ternyata aku datang tepat waktu."

Naruto nyengir. "Kau benar, Tuan Kakashi. Semuanya berakhir, dengan runtuhnya sekolah itu," ujarnya berpendapat. "Sekarang aku mulai berpikir. Sebenarnya mudah saja menebak orang kelima itu."

"Caranya?" tanya Neji. Dahinya mengernyit.

"Pemilik, sekaligus kepala sekolah Magnolia. Berapa banyak sih orang modern yang tahu-menahu tentang lima keluarga penyihir ini?" tanya Naruto. "Asal kalian tahu. Nenek moyang kita hidup di jaman dulu sekali."

Sebelum seseorang dari mereka sempat berkomentar, pintu nomor 27 dan 28 yang berseberangan, terbuka bersamaan. Dari dalam pintu bernomor 27, seorang suster memberitahu keadaan pasien bernama Shizune sudah melewati masa-masa kritisnya.

Sementara itu, dari dalam pintu nomor 28, seorang suster yang memberitahu Haruno Sakura sudah siuman, hampir dianggap layaknya kelegaan besar oleh Sasuke. Pemuda itu berusaha menghiraukan cekikikan Neji dan Naruto, saat perlahan ia memasuki kamar itu.

"Hei… jam berapa sekarang?" tanya sebuah suara feminin.

Tampaklah diatas tempat tidur bersprei putih, dalam balutan baju pasien, Sakura terbaring lemah. Ia tersenyum kearah Sasuke yang mendekatinya, sambil menahan sakit di kaki. Mata onyxnya cerah, saat menemukan kursi di samping tempat tidur gadis itu.

"Kita berhasil…?" tanya Sakura lemah.

Pemuda itu tersenyum kecil. "Ya, begitulah. Kami sudah tidak bisa menggunakan sihir lagi," ujarnya pelan, "dunianya sudah punah selamanya."

Sakura tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, dengan senyuman di wajahnya. Agak lama ruangan itu hening, sampai akhirnya Sasuke buka suara.

"Jadi… mau minum kopi bersamaku? Yah, sekedar mengisi waktu luang, maksudku―er…"

Gadis itu terkikik kecil atas kegugupan Sasuke yang tiba-tiba. Ia menoleh perlahan, dan memperhatikan penampilan pemuda itu dari atas ke bawah.

"Tentu. Tapi setelah kau melepas pernak-pernik mirip mumi ini," jawab Sakura tersenyum.

x-x-x

Ramalan mengatakan, dunia sihir memang benar-benar hancur.

Jika saja tidak ada orang serakah yang ingin menguasai dunia, semudah menjentikkan tangan sendiri, maka ramalan akan terbukti tanpa memakan nyawa.

Ingatlah, karena keserakahan membawa orang ke dalam penderitaan.

Pilihan dijatuhkan pada mereka, untuk memilih golongan yang mana.

Magnolia

The End

x-x-x

A/N: Huuff... akhirnya selesai. Tentang scene berantemnya, mohon maklum kalo kurang seru, karena saya belum ahli. Dan... saya juga minta maaf kalau pembongkaran sama hipotesis rahasianya kurang seru dah 'wah'. Masih belajar.

Oke, ini balesan buat yang non-login:

naoriN: wah disini romancenya akhir-akhir, dan... kayanya sedikit banget, hehe. thanks for review yaa...

Rio Murasaki: yap. benarrr! Tsunade adalah pelakunya! hehe, udah update nih. makasih yaa reviewnya

Nagusha-vi: iya. buktinya emang ke dia semua, dan dialah orangnya :) thanks for review yaa... udah update.

Naru-mania: yoi. kan Kakashi ngelindungin Shizune akhirnya. heheh, maaf deeh. udah update nih. makasih reviewnya...

aya-na rifa'i g login: kalo udah baca chapter ini udah ga penasaran kan? *ditimpuk makasih yaa ay-san reviewnya...

Terima kasih sebanyak-banyaknya buat readers yang ngikutin cerita ini sampe akhir. Maaf ga bisa disebutin satu-satu. Kalau ada pertanyaan, silakan review atau PM.

sign,

pick-a-doo